In Artikel
[tab] [tab_item title=”ID”] Ontologi sinematografi dan refleksinya pada sinema merujuk pertanyaan soal apa itu filem, apa yang membuat sebuah filem menjadi filem, dan untuk menilai apa yang akan disebut Wittgenstein sebagai tata bahasa konsep kita soal filem beserta peranan yang dimainkannya dalam berbagai bentuk kehidupan kita. Kemampuan untuk merekam citra-citra bergerak dengan begitu telah menyambangi para moderenis dan menjadikan sejarah-sejarah sinema milik moderenisme. Persinggungan tindak-tanduk manusiawi, penelisikan keilmuan, upaya artistik dan debat-debat filosofis telah membingkai moderenisme bersamaan dengan kelahiran sinema.

Sinematografi merupakan proyeksi citraan-citraan yang terikat dalam ruang dan waktu. Citraan-citraan yang tampak nyata memiliki tata bahasa mereka sendiri dan mewakili dunia mereka sendiri, “sebuah dunia mandiri”. Citraan-citraan ini, yang direkam dan diproyeksikan, yang melakukan percakapan berkelanjutan bersama kita dan mencoba mengatakan sesuatu (atau banyak hal), yang terkadang berkerabat dengan, dan melampaui, pengalaman-pengalaman kita, di mana pelampauan ini hanya bisa ditengahi melalui keterlibatan. Semuanya bergantung pada pembayangan ujung-ujung pemahaman manusia, baik sebagai pencipta maupun sahaya (penerima, penonton, pelibat, pengusil dan penyelidik) untuk memaknai citraan-citraan ini, “citraan-citraan yang digunjingkan.”

Ontologi filem harus dihubungkan dengan sifat alami dan kedalaman pikiran tentang filem itu sendiri: Filem soal filem, untuk menelisik berbagai proses dan strukturnya. Filem dengan begitu menjadi sebuah penyelidikan dan penunjukkan harta-harta, sebuah kegiatan epistemologis dan didaktika.

Menurut pemahaman Greenbergerian, filem ditempatkan dalam sejarah moderenisme, sebuah pemisahan radikal dari disiplin-disiplin akademik dan bentuk-bentuk seni silam (kesusasteraan, lukisan, musik). Dengan begitu, filem diterima oleh moderenitas sebagai sebuah revolusi teknologis. Merujuk Sharits, orang bisa melihat sifat ganda filem (proses perekaman optik/proses pengisian gagasan). Sifat ganda ini membuat ketimpangan masalah, yang barangkali menjadi bahasan sinema paling ontologis.

Filem merujuk pada diri sendiri, sebagai alat penelisikan ke dalam persoalan bahasa dan wujud filem. Citraan-citraan atau rangkaian-rangkaian dalam pembuatan filem diatur sebagai cara menyebarkan pemahaman makna besar. Dengan kata lain, kebutuhan referensi dan denotasi mengendalikan struktur-struktur seluruh tingkatan beragam sampai ke paling bawah. Kebutuhan khusus dalam sinema ini digunakan untuk menangkap kesamaan dunia sehingga bisa menyebar dan menghasilkan pengenalan protokol-protokol struktur baru. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak membawa pada kehampaan makna sebab prinsip perujukan-diri sudah diperkenalkan. Lalu, filem itu menjadi soal dirinya dan strukturnya sendiri.

Filem, disebabkan kegandaan wujudnya bisa menjadi objek mandiri sekaligus representasi-pribadi dalam dirinya sendiri. Melalui gagasan tentang pengobjekan dari filem itu sendiri, melalui putaran proses soal refleksi-dirinya, filem sekarang diarahkan menuju keadaan alamiahnya.

Dalam medan umum ideologi, pembuatan filem bisa menghindari kejatuhan ke lubang ilusionisme, dengan sekadar menjadi pengganti sifat parasit dunia pada ideologi, yang didaur-ulang olehnya sebagai kenyataan.

Filem sebagaimana diproyeksikan dalam ruang dan waktu memberikan sifat organis alaminya (yaitu bahan mentah yang mengasumsi bentuk, watak, suara, dll.), tampak seperti menghembuskan nafas kehidupan yang memunculkan anggapan bahwa filem setara dengan signifikansi dunia sebagaimana yang kita alami.  Sifat alami filem mengenai tafakur sebagai “kehidupan” secara ontologis terkait dengan filosofi sebagai sebuah disiplin. Ditempatkan dalam sinematografi moderenitas (FILM), dalam aroma magis, telah menjadi pusat dari kehidupan dan filosofi.

Esensi seni tidaklah bersandar hanya pada kemampuan ketukangan yang membuat persinggungannya bisa menyingkapkan diri bersamaan dengan kehadirannya. Dalam persinggungan dengan sebuah karya seni, kita menjadi hadir lebih utuh dan kita membawa pengalaman kita juga siapa diri kita ke dalam permainan dan keseluruhan pemahaman diri ditempatkan dalam keseimbangan serta keteraturan. Pengalaman mengambil tempat dalam kesatuan dan keberlangsungan pemahaman diri kita sendiri. Keabsahan seni tidaklah bersandar pada kenikmatan estetika yang tidak menarik melainkan ketika ia menyingkap diri sebagai sesuatu yang hidup. Ia menghadirkan sebuah dunia kepada kita: dunia baru.

Ketika seorang seniman/pembuat filem yang memiliki kuasa untuk mengubah sesuatu ke dalam citraan atau bentuk, pengalaman hidupnya menjadi bahan-bahan yang digunakan bukan sebagai ikutan melainkan gubahan. Ada sebuah penengahan sempurna dan penengahan seni harus dianggap sebagai keseluruhan. Sejatinyalah, pengalaman seni yang menunjukkan bahwa karya seni memiliki wujud otentik dalam fakta pembentukan pengalaman bisa mengubah si pengalam. “Suatu karya dari karya-karya seni.”

Masalah pengalaman seni, hal yang bertahan melewati waktu, bukanlah subjektivitas seseorang yang mengalami karya, melainkan karya itu sendiri.

Dunia ada di luar sana untuk dijelajahi. Namun, bukan penggambaran empiris maujud-maujud di dalamnya, bukan pula tafsiran ontologis individu semacam itu yang akan berpaut dengan fenomena dunia. Dunia adalah sesuatu yang dipahami “bersamaan” dengan maujud-maujud yang muncul di dalamnya. Tapi, bagaimanapun pemahaman harus melalui dunia. Dunia dan pemahaman menjadi bagian tak terpisahkan dari konstitusi ontologis kehidupan untuk menegaskan eksistensinya. Dunia tempat kita hidup melampaui wilayah kegiatan prasadar yang berasal dari persepsi pikiran. Ia adalah wilayah di mana penolakan dan berbagai peluang aktual dalam struktur kehidupan membentuk pemahaman. Ringkasnya, ia adalah wilayah proses hermenetika di mana kehidupan ditemakan sebagai bahasa: sebuah bahasa filmis.

Sebagaimana akan dikatakan Paul Sharits, prosedur penelitian paling subur bersandar dalam pembuatan filem-filem, dalam arti kata eksperimental yang ketat. Filem-filem seperti itu yang dibuat oleh para peneliti akan menghasilkan informasi mengenai struktur-struktur linguistik/sinematik/filosofis mereka sendiri.

Seperti ditunjukkan Deleuze saat dia berkata: “Ini adalah aspek pertama dari sinema baru [waktu-citraan]: patahan dalam lingkar gerak-indera [tindakan-citraan], dan lebih jauh lagi dalam hubungan antara manusia dengan dunia.”

Kebanyakan perkataannya didasari oleh keyakinan bahwa sinema telah secara nyata mengubah cara pandang dan perasaan kita soal waktu dan dunia tempat kita hidup.

Pergeseran paradigmatik menyangkut pemahaman dan konstruksi kita soal realitas, sebuah realitas ontologis yang didasari Das Sein, di mana esensi pemahaman bersandar pada penyingkapan kekuatan-kekuatan nyata untuk hidup dalam cakrawala penempatan seseorang di dunia ke sebuah pemahaman lebih baru,  perubahan mendasar dalam persepsi kita tentang dunia, di mana realitas filmis saling bersinggung dan mengisi dengan diri.

Dengan begitu filem perujukan-diri adalah sebuah alat penelisikan ke dalam permasalahan bahasa filem dan keberadaan filem.

Melalui gagasan pengobjekan dalam filem itu sendiri seperti dalam sifat alaminya yang mandiri, melalui putaran proses refleksi-diri, filem penilaian, penyelidikan diri diarahkan menuju sifat alamiahnya yang dilihat inheren secara ontologis dengan medium, di mana filem dan filosofi yang bersandingan dengan refleksivitas mereka, bisa membangun landasan umum seperti dalam “Filmosophy”, untuk memberi kebangkitan pada sebuah disiplin pemikiran baru dan penyelidikan epistemik ke dalam sesuatu yang sangat tidak dikenal di dunia pembuatan Filem. Konten digital, dengan begitu bisa menjadi sebuah proyek pemaknaan dengan cakrawala yang melampaui dirinya sendiri.
[/tab_item] [tab_item title=”EN”] (Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item] [/tab]

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search