In Artikel

01

Ishak Pahing dalam perjalanannya di pesawat tertembak akibat berondongan peluru yang di muntahkan dari pesawat-pesawat tempur yang mengepung pesawat yang ia dan teman-temannya tumpangi dan akhirnya pun Ishak Pahing tertembak. Inilah pembuka filem Ruma Maida yang digarap oleh Teddy Soeriaatmadja dan sebagai penulis naskahnya, Ayu Utami—seorang  novelis yang sempat menggegerkan jagat sastra Indonesia kontemporer melalui Saman. Ruma Maida adalah filem yang mencoba membaca kembali wacana nasionalisme dalam filem—tentu dalam konteks kehadirannya dihubungkan dengan hari Sumpah Pemuda. Sebelum filem ini beredar juga diramaikan oleh kehadiran Garuda di Dadaku dan Merah Putih.

Ruma Maida diproduksi oleh Lamp Pictures dan Karuna Pictures dirilis bertepatan dengan momentum 81 tahun Sumpah Pemuda—dengan menghadirkan berbagai kepingan peristiwa hingga sekarang. Melalui Ruma Maida narasi-narasi besar perjalanan bangsa ini dihadirkan ke penonton. Latar sejarah yang menggelora dan mengharu biru dikaitkan menjadi bangunan keindonesiaan, yang mengkristal menjadi satu kata, Merdeka. Kata merdeka menjadi lokus utama di filem ini meskipun ia berbicara dari generasi yang berbeda. Konteks keindonesiaan yang merdeka terhimpun dari kepingan-kepingan peristiwa yang terpadatkan pada momentum akbar bangsa ini. Sejarah yang di mulai dalam filem bermula dari zaman pergerakan nasional tepatnya peristiwa Sumpah Pemuda, pendudukan balatentara Dai Nippon, Perang revolusi kemerdekaan hingga Peristiwa Mei 1998. Dalam narasi-narasi besar itu Ruma Maida menempati ruang mikrokosmis yang menghubungkan kehidupan anak bangsa. Sekali lagi narasi-narasi besar keindonesiaan terpusat pada sebuah rumah dan rumah inilah yang menulis sejarah pelakunya, tentunya sejarah pelaku-pelaku yang terlibat secara sadar atau tidak telah mengusik diskursus keindonesiaan itu yang belum selesai.

Apa yang terjadi di tahun 1998 oleh pembuat filem ini disamakan dengan peristiwa yang terjadi di zaman pergerakan dan revolusi—dengan cara merelasikannya situasi zaman kolonial di mana kemerdekaan yang hakiki masih jauh dari harapan. Digambarkan Maida, seorang mahasiswa sejarah semester terakhir yang sedang menyiapkan skripsi dan juga melakukan aktifitas sosial dengan melakukan kegiatan pendidikan alternatif untuk anak-anak jalanan di Jakarta. Ia adalah korban kekuasaan; modal dan sistem negara yang tidak berpihak.

02

Ayu Utami selaku penulis skenario menyatakan bahwa filem ini bertujuan untuk meneguhkan kembali makna kebhinneka-an yang hampir saja tergerus oleh pemasungan dari pihak-pihak yang memaksakan etika moral diterapkan di masyarakat Indonesia. Menurut penulis, filem ini ingin mengingatkan bahwa sebagai anak bangsa kita jangan lupa dengan pluralitas bangsa Indonesia. Ayu menjelaskan bahwa dalam filem ini diperlihatkan sketsa pilu warga bangsa yang belum mendapatkan kemerdekaannya meskipun telah merdeka.

Teddy Soeriaatmadja  menghadirkan konsep stilistikanya seperti yang pernah ia buat sebelumnya di filem Ruang. Tentu dalam Ruma Maida ia ingin menghadirkan sejarah dalam imajinasi ruang sebagai pusat narasinya. Ruang, yang direpresentasikan dengan rumah, sebenarnya sangatlah jenial dalam pemilihan bahasa filem untuk membingkai sejarah keindonesian yang sangan panjang. Namun, sutradara sangat jelas terlihat kepayahan untuk meyakinkan penonton tentang sebuah narasi sejarah versinya Ayu, sang penulis. Dalam tulisan Ishak Pahing, Nanni Kudus dan Kolonel Mayurama adalah sosok khayali yang dihadirkan sebagai penyampai risalah keindonesiaan yang dalam bacaan teks tentu memberikan gambaran imajinatif yang memberikan ruang kepada pembaca untuk membangun karakternya sendiri-sendiri—ini adalah hakekatnya saat kita membaca sebuah karya berbasis teks. Itu pula yang dihadapi oleh Teddy dalam menggarap Ruma Maida. Daya imajinasi teks tidak mampu ia kembangkan dalam bahasa filem. Kita tentu mengenal karya seperti Les Misérables-nya Victor Hugo (1862) dihadirkan kembali oleh Bille August. August tanpa tedeng aling menghadirkan sosok Jean Veljean (Liam Neeson) yang sudah menjadi sosok klasik—seorang yang berkarakter keras—menjadi sosok yang tenang dalam filem. Tentu ini menuai banyak kritik, tapi secara kehadirannya dalam filem, August berhasil menjadikan sosok Jean Veljean versi sutradara sendiri.

03

Ruma Maida
mencoba memberi prespektif sejarah versi sendiri seperti posisi bangsa Belanda, Tionghoa dan Peranakan lainnya dicap tidak nasionalis. Dalam filem ini penulis dan sutradara ingin menggeser postulasi ini yang kebangsaannya dipertanyakan. Dengan sangat mudah kita mengetahui premis film ini yaitu lokus kebhinnekaan adalah milik seluruh komponen bangsa termasuk para peranakan maupun bangsa lain yang memilih hidup untuk Indonesia. Hal ini juga tergambar pada peristiwa Mei 1998 dengan sangat jelas pembelaan Ruma Maida terhadap minoritas terutama etnis Tionghoa yang dirugikan dalam peristiwa kelam sebelum kejatuhan rejim Soeharto ini.

Dari pengalaman menonton Ruma Maida, tergambar obsesi penulis yang ingin meluruskan sejarah dalam versinya sendiri yang tentunya tidaklah sesederhana itu. Negara dan bangsa ini berdiri dengan jutaan darah dan pusaran konflik yang tiada henti. Sejak peristiwa berdarah Ken Arok, Majapahit, Mataram, Zaman Kolonial hingga kemerdekaan tidak pernah luput dari tarik ulur kepentingan dengan mengorbankan darah anak-anak bangsa. Pada periode kemerdekaan kita mencatat beberapa persitiwa seperti; pemberontakan PKI 1948, disintegrasi yang terjadi di medio 1950-an (ingat peristiwa PRRI/Permesta, RMS, DI/TII), hingga peristiwa kelabu G 30 S PKI sampai dengan peristiwa mei 1998. Semua catatan perjalanan sejarah bangsa ini selalu kepayahan untuk menegakkan visi keindonesiaan. Begitu juga dengan bagaimana kepayahannya filem ini untuk meyakinkan penonton tentang keindonesiaan itu.

Kembali pada pelurusan sejarah dalam film, Ruma Maida dijadikan pusat gravitasi keindonesiaan dalam satu rumah—dimana sejarah bangsa bertemu meskipun kita tahu sejarah bangsa ini terdiri dari fragmen-fragmen yang satu sama lain tidak melulu saling terhubung. Kontak sejarah yang saling berhubungan hanyalah wacana menuju kemerdekaan itu sendiri, namun untuk kepingan peristiwa sejarah lainnya sangat sulit untuk menghubungkan sebuah peristiwa sejarah yang terangkum padat di sebuah rumah tua.

Bagaikan puzzle, Ruma Maida menggiring penontonnya untuk cermat menyusun kepingan-kepingan puzzle yang berserakan. Sebuah pilihan yang cukup pintar dalam bahasa filem. Namun, kepingan-kempingan itu terasa menjadi hambar karena kelemahan diberbagai lini seperti pemilihan pemain dan karakter dalam film ini. Para tokoh tidak ubahnya seperti bermain dalam sinetron dengan mengerangkan urat di leher untuk memperlihatkan kemarahan. Benda-benda di dalam rumah hanya diam sebagai benda, ia tidak hadir sebagai metafora dalam filem dalam membangun imajinasi penononton. Susunan puzzle itu pada akhirnya menjadi hancur lebur sebagai sebuah bangunan filem yang seharusnya menarik lalu menjadi opera sabun (sinetron) karena konflik yang dibangun tokon Maida tuntas hanya dengan kemurahan hati seorang pengusaha congkak yang sadar akan keindonesiaan dan pentingnya arti sejarah. Inilah klise yang selalu dibangun dalam cerita-cerita murahan, yang menurut saya tidak sekelas dengan Ayu Utami dengan reputasi penulis handal generasi baru yang mendapatkan berbagai penghargaan tingkat nasional dan internasional.

04

Maida Lilian Manurung (Atiqah Hasiholan) di persepsikan oleh pengarang filem ini sebagai pejuang pendidikan bagi kelas bawah, yakni para anak jalanan. Kita bisa mengira-ngira bahwa Ayu memilih cerita ini tentu terinspirasi dari Butet Manurung—seorang tokoh penting pejuang pendidikan alternatif bagi masyarakat marjinal (orang-orang Kubu/Rimba di Jambi dan anak-anak jalanan di Makassar). Namun, gambaran ketokohan dan pengabdian seorang perempuan muda dalam filem ini seperti hanya menjadi slogan-slogan yang ada dalam surat kabar. Sutradara tidak bisa menemukan bahasa filem yang lebih baik untuk menggambarkan tokoh Butet Manurung, yang pasti tidak akan berteriak-teriak dengan mudahnya saat sekolah alternatifnya digusur. Dalam filem yang tergambar hanya slogan-slogan penindasan yang diartikulasikan dalam bahasa oral dan tubuh Maida.

Di rumah tua itu tokoh Maida bertemu dengan Sakera Motaba (Yama Carlos)—seorang arsitek yang akan merenovasi total rumah ini dengan konsep desain minimalis modern futuristik seperti yang diminta kliennya, Dasaad Muchlisin (Frans Tumbuan). Tokoh Sakera, kalau kita relasikan dengan nama, tentu kita akan tahu dia adalah seorang yang berasal dari Madura. Ini juga yang dicoba digambarkan oleh Ruma Maida tentang konsep pluralisme dalam hubungan cinta. Sakera (yang tentu dalam stereotipe masyarakat Madura adalah beragama Islam) dijalinkan dalam hubungan personal dengan Maida yang keturuna Tionghoa-Batak dan beragama Katolik. Perlawanan stereotipe mencapai puncaknya saat sepasang kekasih ini mengucapkan janji di depan pastor. Sekali lagi, bagi saya ini adalah angan-angan yang bagus, namun tidak begitu cantik dalam bermain bahasa filem. Pertanyaan muncul, kenapa harus menikah di gereja bukan di KUA (Kantor Urusan Agama)? Mungkin sutradara memilih di gereja agar lebih terlihat agung dan estetik. Padahal dalam konteks keindonesiaan dan juga dalil-dalil agama, Sakera bisa saja mengucapkan ijab-kabul di depan seorang Kyai yang di dalam beberapa perspektif Islam, kawin campur pun bisa terjadi. Di sini Ayu dan Teddy terlalu sinis melihat pluralisme di Indonesia. Padahal bisa saja dengan tidak berhadapan secara langsung yang menjadi sangat slogan dan pamflet-pamflet kemarahan.

05

Film Ruma Maida juga menghadirkan tokoh anak-anak sebagai gambaran anak jalanan di Jakarta. Di sini juga ada catatan yang perlu kita lihat yaitu peran anak-anak pada film hanya menjadi tempelan. Pelajaran musik, toh hanya sebagai pintu masuk terhadap sejarah Ishak Pahing. Padahal, Teddy sebenarnya telah mulai memainkan tanda dengan menghadirkan biola di tengah anak-anak. Namun, sekali lagi sutradara gagal menjadikan tanda ini sebagai sesuatu yang sangat penting dalam filem. Ketika biola anak-anak itu hancur karena peristiwa tragedi 1998, Maida berusaha mencari gantinya. Ia menemukan gantinya dari bekas calon suami ibunya. Maida memberikan biola itu kepada anak jalanan itu saat ia menggali gorong-gorong di jalanan. Biola menjadi hambar, hilang tanpa makna bagi filem dan relasinya dengan sang anak. Sayang sekali.

Tokoh penting dalam film ini juga Ishak Pahing—seorang indo yang ayahnya bernama Hans Schmutzer dengan ibu sunda. Ayah Ishak ingin ia menjadi penerbang, namun ia lebih menyukai musik terutama biola. Digambarkan dalam filem, keinginan tersebut semakin mantap ketika Ishak Pahing bertemu Bung Karno dan melihat Wage Rudolf Supratman memainkan lagu kebangsaan. Saat itu ia berjumpa untuk pertama kalinya dengan Nanni Kudus yang kelak menjadi istrinya. Oleh Bung Karno anak Ishak dan Nanni diberi nama Fajar Putra.

RUMA-MAIDA-daLam1

Tokoh lain adalah Kolonel Maruyama—seorang officer Jepang yang menyamar sebagai fotografer sebelum balatentara Jepang masuk ke Indonesia. Sang kolonel jatuh hati kepada Nanni Kudus yang membuat gusar Ishak Pahing. Ada hal yang perlu dicatat di sini, konflik Ishak Pahing dan Kolonel Maruyama adalah konflik pribadi yang seharusnya bisa dikemas lebih baik. Tidak dengan cara hitam-putih. Tokoh jahat yang diperankan Maruyama sama persis dengan yang kita selalu kenal yaitu bengisnya penjajah. Padahal dalam konteks cinta, seharusnya bisa lebih halus dan pasti bisa ditemukan dalam bahasa filem. Karena konflik cinta tidak ada hubungannya dengan pilihan politik seorang Maruyama. Toh, dalam filem ini digambarkan bahwa akhirnya sang kolonel memilih tetap tinggal di Indonesia dan merawat anak dari Ishak Pahing setelah meninggalnya Nanni Kudus dalam kerusuhan paska kemerdekaan. Sutradara masih melihat kejahatan sebagai sesuatu yang jahat. Padahal dalam persoalan perasaan, tentu kejahatan bisa sangat berbeda. Cinta itu adalah sebuah ketulusan dan itulah yang dibuktikan oleh rangkaian cerita Ayu Utami dalam Ruma Maida saat sang kolonel memutuskan mengasingkan diri.

Pembingkaian kejahatan dengan cara hitam-putih ini juga terjadi pada adegan kerusuhan 1998. Dalam Ruma Maida jelas posisi para perusuh digambarkan secara beringas dan tak kenal ampun. Penggambaran yang sama juga berlaku bagi orang pribumi yang di filem ini dipersepsikan sebagai biang keladi atas huru-hara 1998. Hal ini dipertegas dalam sebuah gambar toko yang bertuliskan; milik pribumi, Muslim. Ayu dan Teddy benar-benar membuat sebuah slogan yang menurut kami sangat gampang dan bersifat pamflet. Ada banyak perangkat peristiwa yang mengikuti tragedi berdarah itu. Bagi penulis, bukan berarti mengabaikan korban-korban warga keturunan pada peristiwa itu. Namun, slogan yang menjustifikasikan bahwa orang-orang pribumi adalah “biang” merupakan kesalahan fatal dalam filem ini. Penonton tidak lagi diajak untuk berpikir objektif terhadap peristiwa-peristiwa yang memojokan masyarakat keturunan itu. Bahwa ada sistem yang salah dalam membangun bangsa ini pada masa Orde Baru.

RUMA-MAIDA-daLam2

Hasil tamasya sejarahnya menghantarkan Maida dan Sakera ke Dasaad Mukhlisin dalam konflik penguasaan rumah tua yang digunakan Maida. Adegan ala sinetron terjadi saat Maida dan Sakera diusir oleh Dasaad Muchlisin karena meminta mengurungkan niatnya untuk meruntuhkan rumah itu. Diceritakan bahwa rumah tua itu adalah warisan sah Ishak Pahing yang disebutkan sebagai ayah biologis Dasaad Muchlisin. Tokoh pengusaha ini digambarkan sebagai orang yang gila pada sesuatu yang baru dan benci sejarah. Ia adalah potret masyarakat kontemporer yang ahistoris. Namun, bagaimana mungkin sebuah peristiwa yang begitu besar dan merubah perilaku seseorang dapat menjadi sangat “mellow” setelah ia datang ke rumah orang tuanya sendiri? Sekali lagi, terlalu mudah untuk filem yang dari awal berjibaku dengan soal-soal kebangsaan dalam bingkaian sejarah arus besar negara ini. Apalagi  diakhir cerita Dasaad Muchlisin sadar dan berubah pikiran. Filem ditutup dengan penghibahan rumah kepada Maida dengan disingkapnya tirai sekolah Ruma Maida oleh Pak Dasaad Muchlisin. Sama persis seperti filem-filem propaganda Orde Baru tentang kebaikan dan budi pekerti.

RUMA-MAIDA-daLam3

Sejarah dalam Ruma Maida menjadi hambar. Kehadiran tokoh-tokoh sekelas Soekarno, Hatta, Wage Rudolf Supratman dan lain-lain tidak banyak membantu untuk membuat filem ini penting untuk membaca sejarah dalam perspektif kebudayaan. Kerumitan sejarah ternyata hanya selesai dengan penghibahan rumah Dasaad Muchlisin kepada Maida dan anak-anak asuhnya. Filem Ruma Maida ternyata hanya diselesaikan oleh pertobatan Sang Pengusaha congkak saja.

RUMA-MAIDA-daLam4

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search