In Artikel
[tab] [tab_item title=”ID”]

Messieurs Delmote adalah seorang seniman performans asal Belgia yang banyak berkarya menggunakan medium video, tak hanya itu, ia juga membuat drawing dan patung dengan pendekatan performativitas. Seniman ini sehari-harinya berdandan ala hipster dengan berkemeja-dasi atau kemeja-dasi-jas, dengan gaya rambut ber-gel belah-tengahnya yang cukup menyita perhatian. Ia tampil dengan penuh karakter serta gestur yang tidak terduga dan terkadang tidak masuk akal. Performansnya selalu mengintervensi situasi sehari-hari yang memasukan penontonnya sebagai bagian dari aksi perfomans-nya.

IMG_3891

Messieurs Delmotte, berpose di depan salah satu lokasi pembuangan sampah di Kalibata, Jakarta Selatan.

Di sela lawatannya ke Jakarta pada Oktober 2011 atas undangan OK. Video “Flesh” 5th Jakarta International Video Festival 2011, dalam program Video Out: Underdeveloped yang dikuratori oleh Reinaart Vanhoe di RURU Gallery, Messieurs Delmotte melakukan kerja kolaborasi dengan Forum Lenteng dalam produksi video performans barunya di Jakarta. Dalam proyek di Jakarta ini, ia menampilkan dirinya sebagai tubuh yang ‘mati’. Tubuh mati dihadirkan di tengah hiruk pikuk kota dengan latar yang berbeda.

IMG_3524

Pembukaan program Video Out: Underdeveloped, OK. Video Festival 5th Jakarta International Video Festival 2011 yang dikuratori oleh Reinaart Vanhoe (dengan mikrofon), di RURU Gallery, Ruangrupa-Jakarta.

Tubuh Mati sebagai Representasi Sistem
Bekerja dengan banyak orang memiliki tantangan sendiri, dengan memerankan orang mati, sebagai patung hidup yang diusung oleh 6 orang di bawahnya seperti mengantar pembumian jenazah. Performans ini mengintervensi ruang-ruang dengan interaksi sosial masyarakat yang cukup intens. Messieurs Delmotte memilih lokasi seperti; pasar, stasiun, mal, halte, taman publik, zebra cross, pedestrian, hingga ke tempat pembuangan sampah dari selatan hingga pusat kota Jakarta.

IMG_3650

Messieurs Delmotte, memfoto jembatan di Kebun Raya Bogor-Jawa Barat, sebagai bagian dari riset awal lokasi.

IMG_3657

Beristirahat sejenak, disela melakukan riset di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat

Sebagai orang Eropa yang hidup dalam keteraturan sistem sosial ekonominya, Erik (nama panggilan Messieurs Delmotte) melakukan penyusupan ‘tubuh mati-nya’ di antara kesibukan dan aktivitas kota. Tubuh diam itu dihadirkan di antara dinamika orang-orang, lingkungan sosial yang selalu bergerak yang terkadang dengan caranya sendiri. Ia menjadi metafora sebuah sistem sosial yang ia wakilkan yaitu masyarakat Eropa. Dalam perfomansnya di Jakarta, Erik diam, tak berdaya sebagai “patung hidup” yang dikelilingi para “pemainnya” yang mungkin sedang berjualan, ingin pulang ke rumah, naik ke kereta, tukang ojek, supir bajaj atau hanya orang-orang yang selintas lalu begitu saja.

I can be a bad person, in a good place or the opposites”, kutipnya dalam diskusi menjelang pulang ke Belgia di Forum Lenteng, 15 Oktober 2011.

IMG_3683

Stasiun Bogor, salah satu lokasi dimana Messieurs Delmotte melakukan aksi performansnya.

Pengalaman menjadi bagian dari produksi karya Erik, mengajarkan saya tentang apa itu kecairan dalam aksi performans. Tidak saya temukan usaha untuk membuat adegan slapstick, konyol, dan melawak. Menjadi orang mati di atas pot besar yang biasa kita temui di tengah pedestrian, yang kadang tidak tumbuh atau hanya sebagai penghias. Erik menempatkan dirinya di atas pot, dengan olah tubuh yang baik, dan tentu menghabiskan tenaga. Karena, ia harus menegangkan seluruh ototnya untuk melakukan posisi tidur horizontal tegak lurus di atasnya. Lalu lalang dua jalur kendaraan di belakangnya sebagai latar dalam bingkai video, sebuah satir sederhana tentang persoalan kota (Jakarta).

IMG_3720

Messieurs Delmotte dan Bagasworo Aryaningtyas (juru kamera), sedang mempersiapkan lokasi pengambilan gambar di Perempatan Pancoran, Jakarta Selatan.

IMG_3728

Messieurs Delmotte, performans di salah satu lokasi di Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat.

Sebuah karya video yang sadar akan medium
“Kenapa proses pengambilan gambar dilakukan dengan handheld?”, tanya Dian Komala dalam sesi diskusi.

Handheld, selain lebih mudah untuk mengikuti proses (follow shot) performans, aksi itu juga lebih manusiawi. Dengan bingkai searah pandangan mata (eye level), penonton diajak untuk ikut menjadi bagian dalam aksi performans tersebut. Dengan menggunakan tripod misalnya, bagi saya, ia hanya menjadi sebuah tontonan yang “kaku”, hanya sebagai sebuah pemandangan saja yang mereduksi sisi metafora aksinya.

IMG_4027IMG_4039
IMG_4054IMG_4070
Suasana diskusi di kantor Forum Lenteng, 15 Oktober 2011. Sesaat sebelum kepulangannya di Belgia. Berbicara tentang karya-karya video performansnya dan tinjauan Project Jakarta ini.

Erik selalu menata bingkai videonya dengan posisi lanskap horizontal, sangat fotografis. Ia ingin ada latar di dalam bingkainya, dimana ia menjadi salah satu titik di antaranya. Ia juga tidak ingin menjadikan dirinya sebagai subyek yang berdiri sendiri, ia ingin mengikutsertakan pelalu-lalang menjadi pemainnya. Pilihan-pilihan close shot menjadi jarang di sini. Ia lebih memilih medium atau long shot dengan gedung-gedung, kendaraan atau orang-orang di belakang atau di sekitarnya. Garis-garis, volume, tata letak dalam bingkai video menjadi penting karena ia selalu menatanya, seperti layaknya tradisi formalis Eropa pada umumnya.

Sebelum melakukan aksinya, dia melihat-lihat keadaan terlebih dahulu. Dengan gaya berpakaiannya yang unik, ia menjadi pusat perhatian sendiri di tengah keramaian. Layaknya sutradara, ia membuat bingkai dengan memposisikan kedua tangannya sedemikian rupa seperti viewfinder kamera. Berpikir sebentar, lalu berkomunikasi dengan juru kamera dan tim, di mana ia harus diposisikan, bagaimana ia masuk dan keluar bingkai video. Ia membuatnya sebagai sekuens dalam adegan, tak hanya diam, ia juga memikirkan gerak sinematis dalam bingkai tersebut.

IMG_3734IMG_3740
Melihat tayangan di kamera dengan tim, setelah melakukan pengambilan gambar di Jl. MH. Thamrin, Jakarta Pusat

We cannot continue the shooting, because the light is too dark”, Beberapa kali kata itu ia lontarkan kepada saya, karena cuaca di Jakarta yang tidak menentu. Karena ia hanya ingin melakukan aksinya dalam terang cahaya, tidak dalam suasana mendung atau malam hari.

Berbeda kota, berbeda intervensi
Berkarya di ranah Eropa, Erik sengaja menjadikan dirinya sendiri sebagai pusat perhatian. Sistem-sistem yang teratur di sana, membuat ia mengintervensi sistem tersebut dalam melakukan aksinya. Beberapa video yang ia tampilkan di sesi diskusi di Forum Lenteng dapat menjadi perbandingan yang cukup baik untuk ini.

Performans (video, fotografi, instalasi dan patung), I Represent My Ego (In Falling), Nobody Is Perfect (2)–2010, 15 boneka lateks berukuran 1:1 serupa dirinya sendiri. Ditempatkan di ruang-ruang publik di Liège, Belgia. Ia ingin mengintervensi ruang-ruang di sana. Ia menjadi ego yang menjadi pusat di antara masyarakat. Ia ingin publik melihatnya sebagai pusat perhatian bahwa ia “melawan” keadaan ini. Boneka-boneka ini ada yang ia tempatkan di atas patung simbol kota, di atas gedung-gedung megah, di taman publik, kafe-kafe, dan lain sebagainya.

delmotte0477photo-goldo1
Performans (video, fotografi, instalasi dan patung), I Represent My Ego (In Falling), Nobody Is Perfect (2)–2010, 15 boneka lateks berukuran 1:1 serupa Messieurs Delmotte

Sebagian besar karya-karya videonya, Erik menggunakan dirinya sendiri sebagai aktor. Dalam, Traffic Light (1998), sebuah lanskap jalan raya dengan lampu lalu lintas. Adegan berlanjut dengan lampu berwarna merah berganti ke hijau, lalu Messieurs Delmotte tiba-tiba berlari dari arah kanan bingkai video, dan memecah lampu hijau tersebut dengan palu, kemudian ia berlari ke luar bingkai video dan menghilang. Hidup dalam masyarakat yang irasional dan minim keadilan, serta akal sehat untuk melawan mekanisme kondisi sosial yang menentukan eksistensi masyarakat itu sendiri. Ini adalah hal dimana ia mencoba untuk membebaskan diri dengan bantuan kekonyolan dan abusrditas.

1321_011

Traffic Light (1998)

Jakarta Project[1], Kolaborasi Messieurs Delmotte dengan Forum Lenteng
Sistem sosial ekonomi yang kompleks di Jakarta, dengan kelas-kelas pekerja dan lingkungan yang tidak dapat diduga, menjadi tantangan sendiri bagi Erik. Jika karya-karyanya di ranah Eropa menjadikan dirinya sendiri sebagai “aktor” yang menjadi pusat perhatian, dimana ia mengintervensi sistem sosial ekonomi yang sudah termekanisasi. Adalah hal yang baru, di Jakarta, bagi Erik untuk dalam usaha intervensinya ini.

Di tengah mobilisasi penduduk kota jakarta yang terkadang membuat sistemnya sendiri, dan seorang “Eropa” yang datang ke kota ini. Dalam sejarah pembuatan karyanya, Erik, selalu mengintervensi keadaan atau sistem sosial ekonomi yang ada di masyarakatnya. Lain halnya di Jakarta, ia menjadikan dirinya sebagai massa. Tidak ada aktor yang “keluar ke permukaan” seorang diri. Erik menjadikan dirinya bagian dari keadaan sekitar, sebuah kondisi sosial ekonomi yang terus bergerak dan tak dapat diprediksi.

Ia beraksi diam di atas tumpukan parkiran motor-motor di depan toko emas, di lokasi perbelanjaan rakyat kelas menengah. Ia beraksi di depan penjaja pisang kaki lima di sebuah pasar tradisional, lalu orang-orang bergerak begitu saja. Beberapa memperhatikan beberapa hanya melihatnya sebagai sebuah tontonan hiburan. Tak ada yang terlalu aneh, hanya saja tidak dapat diprediksi.

Di tengah kemacetan pasar, dengan bird eye view shot dari atas jembatan penyeberangan, Erik diusung melewati mobilitas kendaraan umum dan orang-orang dan ia ditempatkan di di pagar pembatas sebuah jalur underpass. Di stasiun kereta, iringan tubuh mati ini melewati satu gerbong kereta ekonomi yang cukup sesak, dan diletakkan di depan salah satu pintu gerbong. Lalu, orang-orang hanya melihatnya, tidak ada yang terkejut, hanya sesekali tersenyum dan mengobrol dengan orang-orang yang dekat di sampingnya.

IMG_3826

Pasar Minggu, Jakarta Selatan salah satu lokasi performans

Yang menarik buat saya ketika ia menempatkan tubuhnya di atas bajaj. Sang sopir bajaj tidak protes ketika saya menanyakan, bolehkah ada orang tidur di atap bajajnya. Bajaj datang dari sisi kiri kamera, berjalan perlahan dan berhenti kira-kira 20 detik di depan sebuah mini market dan di tengah bingkaian kamera. Setelah itu bergerak ke sisi kanan kamera, dan menghilang. Atau tidur telungkup di depan sebuah masjid, di saat adzan Ashar berkumandang.

Tidak ada kecenderungan untuk membuatnya menjadi banyolan, bahwa lokasi-lokasi itu sudah ada. Tidak ada yang perlu dilawan, tidak ada yang perlu diubah. Ia hanya masuk ke dalamnya, dan menjadi bagian itu. Sebagai sebuah metafora sistem sosial ekonomi Eropa yang “kaku”, menjadi representasi “tubuh mati” di tengah hingar-bingar mobilisasi penduduk kota Jakarta.

Sebuah aksi Anti-Surealisme katanya dalam diskusi, mengingat ia berada di suatu posisi di antara realitas dan imajinasi. Sebuah fiksi dalam realitas sosial kota Jakarta, dan juga satir yang cukup pandai dalam membaca lingkungannya.

*Tulisan ini beberapa disarikan dari sesi diskusi Messieurs Delmotte di Forum Lenteng pada 15 Oktober 2011, serta pengalaman pribadi saya selama 5 hari dalam mengkoordinasi proses performansnya di Jakarta.   


Messieurs Delmotte lahir pada 1967. Ia belajar di Liège Sain-Luc Institute dan fokus utamanya dalam fotografi, video dan ‘performans’. Karyanya bersisian dengan tradisi surealisme Eropa. Karya-karya videonya telah dipertontonkan di Museum of Modern Art Philadelphia, New York Underground Festival, Muhka-Antwerp dan juga di OK. Video Festival-Jakarta. 


[1] Pada 10-15 Oktober 2011, Messieurs Delmotte melakukan kerja kolaborasi dalam karya barunya dengan Forum Lenteng. Judul “Jakarta Project” bukanlah judul karyanya. Pada saat tulisan ini dibuat, footage-footage performansnya di Jakarta sedang dalam proses penyuntingan di Belgia dengan judul karya yang akan ia tentukan kemudian.
[/tab_item] [tab_item title=”EN”] (Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item] [/tab]

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search