In Kronik

Pengantar

Filem Melati van Agam diadaptasi dari novel yang ditulis oleh Swan Pen yang bernama sebenarnya  Parada Harahap (1899-1959), salah satu tokoh pers nasional yang telah bekerja di Pewarta Deli, Benih Merdeka, Sinar Merdeka, Bintang Hindia, Bintang Timur, Sinar Pasundan, surat kabar berbahasa Belanda Het Dagblad, Waspada, dan majalah Postaha. Novel ini diterbitkan oleh Uitgevers Mij. Bintang Hindia tahun 1924. Filem ini diproduksi menjadi dua bagian dalam satu tahun (1930). Kedua-duanya disutradarai oleh Lie Tek Swie, sutradara  yang sebelumnya bekerja di kantor distribusi filem. Ia juga telah menyutradarai Njai Dasima (1929), Si Ronda (1930), Ikan Doejoeng dan Siti Noerbaja (1941). Ia salah satu sutradara pertama yang muncul dari perusahaan Tan’s filem Company, sedang filem Melati van Agam merupakan filem produksi kedua perusahaan itu setelah Njai Dasima (1929).

Kritik filem Indonesia paska kemunculan Loetoeng Kasaroeng tahun 1926 yang disutradarai L. Heuveldorp hingga masuknya Jepang di tahun 1942 sangat sedikit sekali dibanding publikasi di media massa dalam bentuk poster dan pamflet, atau sinopsis dan reportase pemutaran di bioskop. Dari sekian banyak media massa yang terbit masa itu, rubrik Pemandangan filem (Kritik filem) di majalah Panorama yang terbit tiga kali sebulan merupakan salah satu media yang selalu mengupayakan adanya kritik filem Indonesia. Majalah Panorama yang mulai terbit 1926 dan dikelola oleh Kwee Tek Hoay merupakan majalah yang juga memuat persoalan kebudayaan seperti teater, sastra, dan politik.

Jurnal Footage menampilkan kembali bagaimana kritik filem hidup di periode awal produksi filem di Indonesia. Dengan mengadaptasinya ke EYD (Ejaan Yang Disesuaikan) namun tetap menampilkan istilah-istilah Belanda dan bahasa Batavia yang banyak dipakai dalam tulisan ini sebagai pertimbangan sejarah. Seperti nama lokasi, kiasan, atau jabatan kerja di masa-masa penjajahan Belanda. Dua kritik filem ini dimuat dalam rubrik Pemandangan filem majalah Panorama edisi no. 182, Tahun ke 4, 20 Agustus 1930, hal 27 dan 28, dan edisi no. 198, Tahun ke 5, 30 Januari 1931, hal 25 – 28. Selisih enam bulan sejak kemunculan edisi pertamanya.

Kritik filem yang ditulis oleh Kwee Tek Hoay sangat obyektif. Ia membahas sebuah filem tidak hanya dari pelaporan tanggapan masyarakat akan filem itu, tetapi juga membahasnya dari cara pandang estetika sinema; logika gambar, dramaturgi, bahasa pencitraan dan pemeranan, hingga teknik pengambilan gambar. Dalam kritik Melati van Agam, ditulis “Itu perlombaan kuda di Fort de Kock bukan sebagai penambah, hanya ada jadi salah satu bagian dari itu cerita, karena di waktu ada itu perlombaan, di atas tribun, Idroes pertama kali bertemu pada Norma. Lebih jauh ada dilukiskan pekerjaan di parit arang batu di Sawah Lunto, dimana Idrus, sebagai murid dari sekolah Mijnbouw, ada turut bekerja buat dapat practisch. Dengan tegas dilukiskan keluar dan masuknya lori-lori elektrik ke dalam lubang-lubang parit bagaimana itu arang batu diangkut, dipindahkan dan lain-lain sebagainya, yang semua ada berharga buat orang yang hendak luaskan pemandangan dan pengetahuan.” Tulisan ini mengingatkan pada kaidah Neorealisme Italia. Cara pengambilan gambar di lapangan terbuka dan memasukkan peristiwa latar sosial sebenarnya ke dalam bingkai filem.


 

MELATI VAN AGAM

Produksi Paling Baru dari Tan’s Film

 

Pada tanggal 1 bulan ini [Agustus 1930] , Tan’s Film Company pertunjukkan filem yang sudah lama ditunggu-tunggu, Melati van Agam yang juga salah satu cerita Melayu paling terkenal. Jalan ceritanya mirip Romeo dan Juliet karangan Shakespeare atau cerita Tionghoa, Sam Pek Eng Thay1. Menuturkan tragedi sepasang kekasih yang saling mencinta satu sama lain namun terjegal oleh nasib atau lebih tepatnya, kemauan orang tua.

Kalau membaca novelnya, cerita itu terlalu hambar dan tidak cocok dibuat filem. Isinya hanya percintaan dan surat-menyurat antara gadis bernama Norma dengan Idroes pemuda yang dicintainya. Namun Tan’s Film Company telah memproduksi Melati van Agam sebagai filem yang baik, rapih dan menarik hati dari produksi sebelumnya.

Cerita ini berlatar di Fort de Kock2 dan sekitarnya. Tan’s filem Company mengirim pekerja filemnya ke tempat-tempat yang tersebut dalam cerita novel tanpa perdulikan biaya transportasi yang cukup mahal. Bahkan tidak hanya tempat-tempat seperti Mijnbouw School3 di Sawah Lunto —cerita novel, Idroes lulus dari sekolah itu— tetapi juga pemandangan-pemandangan indah dari Sumatera Barat yang memang termasyhur dan belum pernah dijadikan bagian dalam filem. Terutama pacuan kuda di Fort de Kock yang dilukiskan dengan bagus sekali. Kedatangan dan kepergian Gouverneur Sumatera’s Westkust [Gubernur Sumatera Barat] ketika menghadiri pacuan itu dan bagaimana masyarakat menonton digambarkan sangat jelas dan memuaskan.

Peristiwa pacuan kuda di Fort de Kock bukanlah tambahan saja, tetapi memang ada satu adegan Idroes bertemu dengan Norma pertama kalinya di atas tribun penonton saat peristiwa pacuan kuda berlangsung. Lebih jauh lagi digambarkan kerja tambang batu bara4 di Sawah Lunto tempat Idroes bekerja untuk membiayai sekolahnya di Mijnbouw. Jelas sekali dilukiskan keluar-masuk lori-lori elektrik ke dalam lubang-lubang parit, bagaimana batu bara diangkut, dipindahkan dan lain-lain sebagainya. Semua itu sangat berharga untuk masyarakat memperluas pandangan dan pengetahuan. Sedang jalan ceritanya akan dibahas lebih jauh, seperti di bawah ini:

Sutan Kayo, seorang pensiunan mantra, memiliki seorang anak gadis bernama Norma yang kecantikannya sangat termasyhur sehingga banyak pemuda tergila-gila padanya. Oleh masyarakat ia diberi gelar “Melati van Agam”. Saat perlombaan kedua di Fort de Kock, Norma dilirik oleh seorang pemuda bernama Idroes, murid sekolah Mijnbouw di Sawah Lunto. Idroes pun jatuh cinta. Keesokan harinya, Idroes yang hendak pulang ke Sawah Lunto akan bertemu dengan Norma di stasiun. Norma mengantar adiknya yang hendak pergi ke Padangpanjang. Norma menitipkan adiknya pada Idroes dan berjanji akan mengunjungi Idroes di Sawah Lunto kalau ia pergi ke sana. Perjumpaan mereka di Sawah Lunto membuat hubungan semakin erat hingga akhirnya mereka surat-menyurat dan saling menyisipkan bait-bait percintaan dan sehelai foto.

Sementara itu seorang hoofd onderwijzer[kepala sekolah] dari Kota Raja [Banda Aceh] bernama Nazaroeddin yang punya banyak harta dan kebun, ketika melihat Norma ia pun melamar. Meskipun usia Nazaroeddin jauh lebih tua dari ayah Norma dan punya empat anak, namun hal itu tak menjadi halangan lamarannya akan ditolak karena Sutan Kayo dan isterinya, seperti kebanyakan orang tua kuno, menganggap keberuntungan dari anak perempuan jika mendapat suami kaya. Norma dan Idroes yang tidak tahu situasi melanjutkan hubungannya. Waktu vacantie [liburan] bulan Juni, mereka pergi ke Padang. Di kursi tepi laut, dua merpati itu saling bersumpah mencinta satu sama lain. Idroes memberikan cincin tanda pertunangan dengan Norma. Idroes menyampaikan rencananya bahwa ketika ia lulus examen [ujian] dan menjadi opzichter mijnbouw [Mandor Pertambangan], ia akan melamar Norma. Mereka pun terbang berhayal bagaimana kehidupan hari nanti ketika sudah menjadi suami isteri dan berumah tangga sendiri. Di dalam impiannya itu, mereka membayangkan sebuah rumah kecil yang mungil dan indah dengan kebun pekarangannya yang rupawan. Di taman itu, Norma dan dua anak mereka yang mungil menyambut Idroes berwajah lelah sehabis bekerja dengan peluk-cium. Idroes kemudian menggendong anak mereka menuju dalam rumah sedang satu tangan lainnya merangkul pinggang Norma. Inilah impian-impian hari depan yang dihayalkan sepasang kekasih itu! Lalu, dengan ironis, muncul intertitles sepotong syair:

 

“Orang yang sedang beruntung dan gembira,

Gampang ciptakan astana di atas udara;

Sebagai kelembungan sabun yang gemilang,

Dalam sekejap ia pecah, musnah terhilang.”

 

Dan memang nasib sedih dua merpati akan dilukiskan di bagian kedua filem itu. Meskipun ceritanya terasa singkat, namun filem Melati van Agam I cukup lama dan menarik hati. Bagaimanapun upayanya, cerita itu tak bisa dipadatkan dalam satu filem. Selain pandangan-pandangan yang dituturkan di atas, cerita itu penuh dengan kejadian-kejadian lucu yang membuat orang tertawa terpingkal-pingkal. Sutradara filem ini sangat pandai memilih pemain. Terutama yang berperan untuk adegan-adegan penting. Seperti perempuan gemuk yang menjadi pembantu keluarga Norma yang tingkah lakunya membuat semua orang yang menonton jadi tertawa. Ketika Norma mengunjungi rumah Idroes di Sawah Lunto, saat sepasang kekasih itu melepas rindu, pembantu gemuk itu asyik minum kopi bersama jongos yang mencoba pikat hatinya. Adegan itu membuat penonton bersorak hingga gedung bioskop rasanya mau rubuh. Lalu Nazaroeddin si mata keranjang kalau melihat gadis-gadis dan kelakuan pemuda-pemuda yang terkesima pada keelokan Norma.

Pada adegan-adegan percintaan, seperti cara sepasang kekasih itu berkenalan dan menyatakan cinta, dibahasakan dengan bagus dan wajar. Ketika duduk minum teh di rumah Mak Leha, kaki Idroes menyentuh-nyentuhkan kaki Norma dengan sepatunya, inilah aksi yang berharga untuk sebuah filem Eropa kelas satu.

Tentang para pemain. Pemeran Norma sangat cocok dan dimainkan dengan bagus. Hampir-hampir tak ada celah. Idroes pun bermain baik meski beberapa orang menganggap pemain Sutan Palindih, kawan Idroes, lebih cocok sebab parasnya jauh lebih cakap dari Idroes —walaupun Idroes sudah dibedaki tebal dan sangat mencolok dalam gambar.

Kesalahan selalu ada. Kesalahan yang paling terlihat adalah ketika bibi Norma sakit dan tak bisa ikut mengantar ke stasiun Rohani, adik Norma. Bagian ini tak diberi intertitles yang membuat penonton menjadi bingung dan tidak mengerti maksudnya. Apalagi adegan itu tak ada dalam novel. Lebih baik kalau adegan itu digunting saja sebab tak berguna sama sekali.

Kesalahan lain adalah ketika Norma mengunjungi Idroes di Sawah Lunto. Ketika gadis itu pulang, adegan di dalam rumah, Idroes yang tergila-gila pada Norma tidak mengantarnya sampai keluar. Dia hanya melihat dari dalam saja. Sikap yang sangat bertentangan dengan perilaku seorang jejaka yang tergila-gila pada seorang gadis. Berulang kali adegan itu terjadi. Dan, ketika Norma membaca surat Idroes ia lantas mencium surat itu beberapa kali. Sebaliknya, pemuda itu hanya tertawa girang dan tidak mencium surat yang dikirim Norma.

Kesalahan-kesalahan ini hanya bisa dilihat bagi penonton yang terbiasa memperhatikan filem dengan baik. Untuk penonton pada umumnya hal itu tak dipermasalahkan. Namun, hampir di setiap bagian filem banyak hal-hal bagus dan menarik hati, teksnya sangat rapih, ringkas dan jelas. Bahkan dimunculkan banyak syair yang sesuai dengan keadaan yang ingin digambarkan. Hal yang belum pernah terjadi pada filem-filem lain, sekalipun filem Eropa.

Karena itu kami berani katakan kalau Melati van Agam (bagian kesatu) adalah yang paling bagus dan paling baik yang pernah dibuat Tan’s Film Company dan siapapun yang menontonnya tak akan menyesal.

 

 


MELATI VAN AGAM

Bagian Penghabisan

 

Setelah sempat tertunda beberapa bulan, lanjutan Melati van Agam produksi Tan’s Film Company akhirnya diputar di bioskop Roxy Cinema Pancoran tanggal 16 [Januari 1931] lalu. Karena filem bagian pertama kami menuliskan kritik atas filem itu, maka kami merasa wajib untuk menuliskan kritik pada filem bagian terakhir ini.

Di filem bagian pertama penonton sudah mengetahui bagaimana kebahagiaan Norma dalam hubungan percintaannya dengan Idroes terancam bahaya peminangan yang Nazaroedin. Meskipun Norma menolak dan berterus terang mengatakan bahwa ia mencintai Idroes, namun orangtuanya tak mau mengerti. Bahkan menghina Idroes sebagai pengangguran dari golongan rendahan. Norma menyerah tatkala melihat ibunya gusar, mengutuk dan menyumpah atas sikap kepala batunya. Hari nikahpun ditentukan. Bukan main kaget dan sedihnya Idroes ketika menerima surat dari Norma yang mengabarkan keadaan dirinya. Seorang sahabat Idroes bernama Sutan Palindih —juga sanak famili Norma dan menerima undangan menghadiri acara pernikahan itu— memberikan pengertian agar tak berputus asa karena ia akan menolong supaya kawannya itu dapat bertemu kekasihnya sebelum pernikahan. Bahkan, kalau mau, Idroes boleh bawa lari gadis itu. Berangkatlah Idroes dan Palindih dari Sawah Lunto ke Fort de Kock. Sampai di sana, Palindih memberikan surat Idroes kepada Norma dengan sembunyi-sembunyi. Ia juga membawa surat balasan yang isinya menerima kunjungan Idroes malam itu di kamar pembantunya di kebun belakang rumah. Pertemuan itu tak lain hanya untuk mengucapkan selamat berpisah. Idroes terlalu mulia hati untuk mencemarkan atau membawa kabur gadis itu. Meskipun Norma bersedia apa saja yang diinginkan Idroes atas dirinya. Akhirnya Norma menikah dengan Nazaroedin dan ikut suaminya pindah ke Kota Raja. Disana, Norma harus mengurus lima anak Nazaroedin yang diperoleh dari isteri sebelumnya.

Layaknya seorang perempuan terpejalar, Norma pun suka bergaul. Di antara kenalannya, terdapat pemuda-pemuda yang sering berkunjung ke rumah suaminya. Nazaroedin yang mengetahui bahwa Norma tak cinta padanya , semakin cemburuan. Bahkan ia sangat gusar kalau melihat Norma bicara dengan anak laki-laki paling besar yang juga anak tiri Norma. Diam-diam Nazaroedin menyuruh seorang anaknya mematai-matai kemanapun Norma pergi atau bertemu dengan siapa tatkala Nazaroedin tidak di rumah. Suatu hari Norma berjalan-jalan di taman dan bertemu dengan kawannya bernama Djalit dan seorang pemuda lagi. Saat bercakap-cakap, Nazaroedin tiba-tiba datang hingga terjadi keributan besar.

Jauh dari sana, Idroes jatuh sakit dan meninggal dunia. Menjelang ajalnya ia berpesan supaya saudara perempuannya, Rahma, jangan dikawinkan pada laki-laki yang ia tidak sukai. Apalagi kalau Rahma sudah punya kekasih. Kabar kematian Idroes akhirnya sampai di Kota Raja dan tertulis dalam surat kabar. Nazaroedin yang tahu bahwa Idroes lelaki yang dicintai isterinya, ditambah sindiran Djalit kepadanya di dalam surat kabar, membuat Nazaroedin cemburu demikian rupa. Norma tak tahan hidup seperti itu dan meminta pulang ke rumah orang tuanya di Fort de Kock. Saat kejadian itu ia sudah berbadan dua dan sebentar lagi akan melahirkan. Ketika Norma sedang membereskan barang-barangnya ke dalam koper, Nazaroedin melihat foto Idroes. Foto itu lantas dirampas dan bersumpah kalau anaknya mirip Idroes ia tak akan mau mengakuinya. Norma sehat sampai di Fort de Kock dan mengunjungi kuburan Idroes, lelaki yang tak mungkin bisa dilupakannya.

Nazaroedin datang usai Norma bersalin. Ia sangat terkejut melihat wajah anaknya mirip dengan Idroes. Ia pun gusar dan tak mau mengakuinya. Kejadian itu membuat Norma malu hingga di suatu malam ia nekat menghabisi nyawanya. Hal itu baru diketahui keesokan hari ketika ibu dan pembantunya mendengar tangis bayi dan ketika mereka mengintip dari lubang kunci terkejut melihat Norma sudah menggantung. Mayat Norma dikuburkan di sebelah kuburan Idroes. Beberapa hari kemudian Nazaroedin datang ke Fort de Kock dan turut berduka atas kematian Norma. Ia mengunjungi kuburan isterinya. Melihat kuburan Norma di sebelah Idroes, Nazaroedin mengutuk dan menyumpah. Ketika itu ia melihat roh Norma dan Idroes berdiri di hadapannya. Dengan pikiran kalut ia lari dari kuburan dan beristirahat di paseban dalam kebun. Ketika memandang ke langit, kembali ia melihat Norma dan Idroes berpegang tangan di antara awan-awan.

Begitulah jalan ceritanya yang sebagian tidak mengikuti cerita novel karena ada bagian-bagian dalam novel yang terlalu rumit atau kurang menarik dibahasakan dengan filem. Gambar filem Melati van Agam ini pun cukup jernih seperti semua gambar-gambar yang dibuat oleh Tan’s Film Company. Intertitles-nya cukup jelas walau di bagian awal agak sedikit buram. Kata-katanya sangat menyenangkan dan stuktur bahasanya rapih, bahkan banyak juga yang sastrawi. Kalau dibandingkan dengan bagian pertama, stuktur filem bagian terakhir ini lebih banyak kesalahannya. Ketika Idroes berduka menerima surat dari Norma yang mengabarkan kalau ia akan dinikahkan oleh Nazaroedin. Penonton mengerti dan ikut merasakan kepedihan Idroes. Namun ketika Sutan Palindih datang sesaat usai membaca surat itu, Idroes kelihatan gagah dan berprilaku biasa saja. Memberikan rokok pada sahabatnya, bahkan menyulutkan api ke rokoknya. Keadaan ini tidak lumrah dengan keadaan seorang pemuda yang sedang tertindas oleh kedukaan yang membuatnya terseret ke lubang kubur. Menawarkan rokok dan menyalakannya hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang sedang senang dan gembira. Perbuatan itu sangat bertentangan dengan karakter manusia pada umumnya. Ketika Idroes bertemu Norma di waktu malam. Di dalam novel, kamar pembantu itu kosong karena pembantunya sedang pergi. Tetapi di dalam filem, Norma menggedor-gedor pintu karena pembantunya sedang tidur meringkuk. Lantas ia menyuruh pembantu itu pergi agar ia leluasa berbicara dengan Idroes. Bagian ini bertentangan dengan logika. Apabila seorang gadis yang menemui kekasihnya diam-diam dan tidak mau mengambil resiko, akan memeriksa dulu apakah ada orang di kamar atau tidak. Khawatir kalau-kalau pembantu itu membocorkan pertemuan rahasia itu. Atau, paling tidak, Norma bersekongkol dengan pembantu itu seperti yang biasa terjadi dalam roman percintaan. Tapi di sini kelihatannya Norma tak perduli dengan pembantunya. Tingkah ini seakan-akan kamar pembantunya itu seperti kamar rumah bordil. Norma, si bungaraya [wanita tunasusila], seakan terbiasa memakai kamar itu untuk menerima ‘tamu’. Ini menunjukkan bahwa penataan filem ini tak memperhatikan kebiasaan-kebiasaan sederhana tentang kehidupan dan karakter manusia. Ketika Nazaroedin mengirim seseorang untuk mengantar mas kawin yang hanya terbungkus seperti buntelan besar dan ditinggalkan begitu saja di atas meja. Membiarkan calon mertua melihat isinya. Hal ini sangat bertentangan dengan tradisi di masyarakat.

Bagaimana kalau isinya kertas koran? Lucunya lagi, ayah dan ibu Norma cekcok rebutan emas kawin yang katanya uang sebesar f 3000. Seperti yang disaksikan oleh penonton, saat kejadian berlangsung, bungkusan itu belum dibuka. Dilihat dari ukuran besar bungkusan itu, sewajarnya tidak hanya berisi uang. Tetapi ada pakaian, sarung, cita atau barang perhiasan. Namun suami-isteri itu tak ambil pusing untuk periksa mas kawin. Malah cekcok perebutkan uang yang penonton belum lihat sama sekali. Kita sering menonton opera bangsawan yang alur ceritanya sangat buruk dan tak masuk diakal. Namun orang cekcok perebutkan uang yang belum kelihatan jarang sekali terjadi di tonil. Orang desa yang bodoh pun bisa melihat cacat itu. Ketika Norma ikut suaminya ke Kota Raja. Penonton melihat ia sudah mengasuh banyak anak yang salah satunya sudah jejaka. Sebetulnya diperlukan intertitles untuk menerangkan dari mana anak-anak itu. Kami kira penonton yang belum pernah membaca bukunya akan keliru menduga anak-anak itu adalah anak Norma. Sebab dalam kenyataan filem sangat mungkin durasi kehidupan dilewatkan beberapa belas tahun. Yang paling membingungkan adalah jejaka itu, si anak tiri paling besar, yang selalu berdempetan dengan Norma seperti sepasang kekasih dan membuat Nazaroedin cemburu. Hal ini disebabkan karena sikap Norma terlalu manis pada anak tiri jejaka itu. Wajar saja suaminya kurang senang dan dalam hal ini Nazaroedin tak bisa disalahkan. Siapapun orangnya akan tidak senang kalau melihat isterinya yang masih muda begitu dekat dengan anak tiri yang sudah jejaka. Kelakuan Norma yang digambarkan dalam filem itu memang terlihat sundel [kurang ajar], bukan seperti perempuan baik yang jadi korban dari kecemburuan suaminya.

Kesalahan parah ketika Norma berjalan-jalan sendirian di taman dan duduk di kursi. Kemudian datang dua pemuda kawannya yang duduk mengapit Norma, lalu berbicara sambil tertawa. Sikap ini seperti layaknya bungaraya, bukan perempuan moderen bergaya Barat karena orang Barat sendiri jarang begitu merdeka. Jangankan Nazaroedin, orang sabarpun darahnya akan mendidih melihat isterinya berprilaku seperti itu di taman siang hari. Tidak heran kalau Nazaroedin gusar dan mengancam hendak menghajar dua pemuda itu dengan tongkatnya.

Melihat filem ini, Norma bukanlah ‘korban’ kecemburuan suaminya. Ia lah yang ‘meminta’ Nazaroedin bersikap demikian karena kelakuannya mirip bungaraya. Esok harinya Norma berdiri dirubung oleh anak-anak tirinya di pinggir jalan depan rumah. Kemudian datang lagi dua pemuda di taman. Norma menyuruh pembantunya untuk menjaga dan mengajak anak-anak ke dalam rumah. Ia sendiri berbincang-bincang dengan kawannya itu. Tak lama datang Nazaroedin yang setelah kejadian di taman sangat gusar dan ingin menghajar mereka. Penonton tentu menduga akan terjadi keributan lagi. Karena memang wajarnya seperti itu. Namun kali ini Nazaroedin justru mengundang dua pemuda itu masuk ke dalam rumah dan minum teh bersama. Saat perjamuan berlangsung, Nazaroedin memperlihatkan ketidaksukaannya setiap kali Norma berbicara sambil tertawa dengan dua tetamu itu. Tamu itu pun menyambut tawa seakan-akan keributan di taman tak pernah terjadi. Prilaku ini bertentangan dengan kebiasaan di masyarakat. Orang yang sudah pernah dimaki-maki oleh Nazaroedin tentu tidak berani gegabah mendekati Norma di depan rumahnya, dan Norma yang tahu kalau suaminya cemburu dan gusar tentu tidak berani berbicara lama pada Djalit dan kawannya itu di depan suaminya. Seorang suami yang mencemburui seorang lelaki, tidak mungkin bersikap manis dengan mengundang lelaki itu. Prilaku seperti ini tak mungkin terjadi di Barat, apalagi orang pribumi yang pegang erat adat kebiasaan Timur. Kekeliruan ini bisa diperbaiki dengan jalan menukar adegan di taman terjadi setelah adegan Norma bertemu Djalit dan kawannya di pinggir jalan dan mengundang minum teh.

Satu lagi adegan tak masuk diakal yaitu ketika ibu dan pembantunya menemukan Norma gantung diri di kamar. Ayahnya Norma yang sedang jalan-jalan melihat bunga di kebun pekarangan rumah tidak dipanggil oleh dua perempuan itu. Atau mereka berteriak minta tolong pada tetangga. Tahu-tahu Norma sudah direbahkan di pembaringan dan ditangisi oleh ibu dan pembantu. Tak lama kemudian sang ayah muncul. Seorang ibu yang melihat anaknya gantung diri pasti lemas, tidak kuat berdiri, dan pembantu itu tentu tidak berani masuk ke dalam kamar dan menurunkan mayat. Kenapa sang suami tidak lantas dipanggil?

Lebih aneh lagi ketika Nazaroedin datang sesudah Norma dikubur. Begitu ia masuk ke dalam rumah, ayah Norma menyambut, salaman dan persilahkan duduk layaknya tamu biasa. Seorang ayah semestinya sakit hati karena anak perempuannya bunuh diri lantaran Nazaroedin tidak mau mengakui cucunya yang baru lahir karena mencemburui Norma tanpa alasan. Bagaimana bisa Nazaroedin  diterima dengan manis dan bersalaman dengan ayah Norma? Kalau saja ketika Nazaroedin muncul di rumah Norma lantas dikemplang oleh mertua laki atau disembur ludah sirih oleh mertua perempuan, kejadi itu lebih cocok dan masuk akal.

Semua kesalahan sangat terlihat. Banyak yang kami tak catat. Kami hanya ingat waktu Norma mengunjungi kuburan Idroes dan melihat rohnya yang bertubuh kecil seperti anak-anak. Inilah kesalahan tehnik yang tidak boleh dibiarkan. Cacat lainnya ketika Nazaroedin melihat roh Norma dan Idroes di kuburan. Nazaroedin kelihatan tidak terkejut atau takut, ia seperti melihat patung, bukan setan atau roh halus. Penonton pasti bertanya dalam hatinya: Apakah ada orang yang begitu tabah? Ini juga bertentangan dengan logika.

Satu hal penting yang bukan kesalahan sutradara filem, tetapi penulis cerita. Soal Nazaroedin tidak mau mengakui anak itu karena rupanya mirip dengan Idroes. Persoalan ini kami anggap tak masuk diakal karena bayi yang baru dilahirkan tak bisa lantas terlihat mirip ayah, ibu atau orang lain. Sekalipun bisa langsung dilihat bayi itu mirip dengan Idroes, belum bisa dijadikan alasan Nazaroedin tidak mau mengakui anak itu. Sebab sejak menikah, Norma tidak pernah bertemu dengan Idroes. Lain perkara kalau di malam pertama Nazaroedin  mendapatkan Norma sudah tak perawan lagi. Tetapi di dalam cerita disebutkan sewaktu Norma menikah ia masih perawan dan Idroes tidak mau mengganggu kesuciannya. Kami juga mengkritik tempat tidurnya Norma yang terdapat di Fort de Kock ataupun di Kota Raja. Seprei dan kelambu seorang Hoedjin [nyonya], seperti Norma, memiliki hanya satu rupa saja yang dilihat dari rendahnya di atas permukaan lantai. Dengan menghadirkan seprei motif lain, cacat ini bisa disingkirkan.

Walau memiliki cacat, banyak bagian dalam filem ini yang bagus dan menarik. Caranya Palindih smokel [menyusupkan] surat dari Idroes kepada Norma, dan bagaimana ia menggunakan akal membawa surat balasan Norma untuk Idroes. Sangat bagus dan tjingli [wajar]. Tak heran kalau penonton bersorak karena lucu. Kelakuan Nazaroedin ketika jadi pengantin pun sangat bagus dan lucu sekali. Membuat penonton terpingkal-pingkal. Saat sedekah antara tetamu lelaki dan perjamuan tetamu perempuan terlihat rapih seperti kejadian yang sebenarnya. Yang paling bagus ketika adegan pencak Sumatera. Penonton yang hanya ingin melihat pencak itu saja tak akan merasa rugi menonton filem ini.

Tehniknya terlihat ada kemajuan. Di adegan terakhir yang melukiskan roh Norma dan Idroes melayang di udara bagus sekali. Sampai sejauh ini kami belum menemukan satu filem buatan Indonesia yang mempertunjukkan imajinasi macam ini.

Tentang pemain. Kami melihat yang paling pandai bermain yaitu pemeran Nazaroedin. Di bawah arahan sutradara yang hebat ia pasti bisa memerankan tokohnya lebih bagus lagi. Pemeran Norma juga sangat bagus dan cocok. Hanya pemeran Idroes yang belum begitu baik. Pupur tebal yang ia pakai dimuka terlalu mencolok dan tak membuatnya lebih cakap. Sebaliknya, paras pemeran Palindin yang hitam-manis alami, memang terlihat lebih cakap dan gagah dari Idroes. Pemeran Ayah dan ibu Norma pun bermain bagus kalau saja diarahkan dengan betul. Tapi yang main menjadi Djalit, sahabatnya Norma di Kota Radja, terlihat terlalu muda, masih seperti anak-anak. Sedangkan Djalit dalam novel digambarkan sebagai pemuda pintar yang berparas cakap dan gagah, bukan kacung seperti anak ingusan. Adik perempuan Idroes, Rahma, dalam filem itu tak kelihatan sama sekali perannya. Kami anggap ini sebuah kekeliruan karena ia hanya sekali dimunculkan ketika Idroes hampir meninggal. Kalau tidak mau ada Rahma lebih baik title namanya dihilangkan saja.

 

 

—————————————

1 San Pek Eng Tay (San Pek Ying Tai) kisah jenderal perempuan yang lihai ilmu silatnya. Cerita Cina klasik ini pernah difilemkan di tahun 1931 yang disutradarai oleh The Teng Chun. Cerita ini juga pernah diterjemahkan oleh OKT dari versi bahasa Cina-nya.
2 Fort de Kock merupakan nama kolonial Bukittinggi. Nama Fort de Kock berasal dari benteng yang dibangun oleh Kapten Bauer di Bukit Jirek masa Perang Paderi tahun 1825. Awalnya bernama Sterrenschans.
3 Mijnbouw School merupakan sekolah pertambangan yang didirikan oleh NV. Mijnbouw Maatschapij di Siloengkang, Sawah Lunto.
4 Tambang Batu Bara Ombilin (TBBO) dibangun di Sawah Lunto sekitar tahun 1876.

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search