IDE TENTANG BENTUK pertemuan subjek dan dunia material, nyatanya, memang tema yang sangat mendominasi narasi film Getting to Know the Big, Wide World. Sehubungan dengan “situs konstruksi” sebagai ruang temporal dari “ruang menjadi”, sebagaimana yang sudah kita paparkan di bagian artikel sebelumnya dengan merujuk pandangan Mankovskaya, di sini kita bisa mencoba memperdalam pemahaman soal subversivitas Muratova terhadap sosio-spasial Era Stagnasi Soviet menggunakan perspektif “sinema haptik” secara lebih lanjut. Akan tetapi, berbeda dengan tabiat haptikal pada adegan-adegan di awal film, sekuen yang hendak kita tinjau berikut (masih dengan merujuk ulasan Mankovskaya, sebagaimana yang akan saya jabarkan nanti) menuntut perluasan ide haptik dalam sinema, dari sekadar perihal “tatapan-yang-menyentuh”, meluas ke persoalan spasialitas dan esensinya bagi “tindakan sensorik”.
Terlebih dahulu, menarik kiranya jika kita mempertimbangkan penjelajahan Mankovskaya mengenai aspek “ludic” di dalam Getting to Know the Big, Wide World. Hal ini, terutama, berkaitan dengan bagaimana isu tentang “interaksi material” antara tubuh subjek dan dunia objektif, dari awalnya, sudah mengisi sejarah wacana sinema Rusia; pengadaan momen “ludic” sebagai gaya naratif dan ungkapan visual diyakini merupakan salah satu kecenderungan yang signifikan dalam perkembangan estetika materialis. Bermain dianggap sebagai suatu model atau pengejawantahan suatu bentuk yang padanya subjek dapat bertemu, bersentuhan langsung, dengan dunia material.
Dalam konteks gerakan sinema avant-garde 1920-an, misalnya, konsep Homo Faber (yang mewakili gagasan “bekerja”—making) berpadu dengan konsep Homo Ludens (yang mewakili gagasan “bermain”—playing); “kerja” dan “bermain” dianggap merupakan dua bagian penting dalam proses edukasi untuk memahami dunia material yang menentukan kehidupan subjek-subjek Soviet.1 Pada dekade berikutnya, konsep Bermain diresosialisasi menjadi model baru dalam upaya negosiasi estetis para seniman terhadap tuntutan ideologis Realisme Sosials (yang, dalam konsolidasi normanya, menolak signifikansi “material murni” dan filsafat faktura).2 Konon, pada 1930-an, Bermain dipostulat-ulangkan sebagai suatu “bentuk baru” dari pertemuan fisikal-afektif-sensorik dengan dunia material,3 tetapi sarat dengan agenda untuk menggeser paradigma “material demi material”.
Namun, pandangan positif terhadap gagasan Bermain sebagai corong untuk menggapai “sensasi Sosialis” itu tidaklah bertahan lama. Mankovskaya menjelaskan bahwa proyek-proyek Soviet dalam agenda Realisme Sosialis selalu mensubordinasi gagasan tentang “transformasi material”, menjadikannya berada di bawah (tidak lebih penting dari) “proses kognisi”. Konsekuensinya, dalam karya-karya sinema Stalinis, Bermain hanya menyisa dalam adegan-adegan karnaval, perayaan, dan cerita-cerita lucu saja, hingga yang paling mengenaskan: semata gaya dalam film anak-anak.4 Ruang bermain juga dilihat hanya sebagai situs kesenangan dalam kehidupan Soviet yang “ideal”; Permainan menjadi “akhirat” bagi gagasan-gagasan haptik Soviet, menjadi suatu relokasi belaka bagi faktura dan kesenangan material; sebuah ujung dalam pengakhiran cerita dari “sensasi Sosialis”, karena subjek Soviet telah ditundukkan menjadi “anak yang patuh”, “anak yang baik”, di mana potensi revolusioner Homo Faber berubah menjadi—bukannya berkombinasi dengan—Homo Ludens, tapi Homo Ludens yang dikebiri, yang dinetralkan.5
Mankovskaya, dalam penjelasannya tentang “sinema konstruksi” (film-film yang menyajikan latar proyek pembangunan), juga menyinggung bahwa film-film pada era Thaw (1950-an hingga 1960-an) mendefinisikan “Kebermainan” sebagai ketidakdewasaan, ketidaksadaran, dan kenakalan. Tabu ini, menurutnya, baru berhasil didobrak oleh sejumlah karya sinema 1970-an, salah satunya Getting to Know the Big, Wide World-nya Muratova.6
Mengenai subversivitas Muratova di film tersebut, Mankovskaya menyoroti sebuah sekuen yang berisi adegan-adegan di situs pembangunan apartemen, yang menampilkan peristiwa permainan. Yang pertama, adalah adegan “petak umpet” di salah satu sisi lokasi pembangunan yang berbentuk seperti labirin gara-gara susunan properti bangunan dan dinding-dinding berjendela. Kedua, “adegan barter”, yaitu Misha dan teman sesama buruh yang tengah bercengkerama di dekat alat berat, saling bertukar barang (topi dengan kompas). Ketiga, adegan “menangkap botol susu”, di mana Lyuba menggoda Misha untuk mengambil sebotol susu yang tergantung pada tali yang dijulurkan dari lantai atas gedung; suatu tindakan iseng yang hanya mungkin terjadi karena gedung tersebut belum sepenuhnya selesai. Keempat, “adegan teatrikal”, yaitu latihan monolog yang dilakukan oleh Galya di salah satu bilik gedung.
Adegan-adegan tersebut, menurut Mankovskaya, menjadikan lokasi konstruksi tidak hanya sebagai latar koeksistensial bagi keakuran antara aktivitas “kerja” dan “bermain”, tetapi juga menjelmakan hubungan halus antara “ruang produktif” dan “aktivitas nonproduktif”. Realitas, esensi, dan tujuan dari lokasi konstruksi tidak dihilangkan, tetapi objek-objek di dalamnya (baik yang digunakan dalam aktivitas kerja maupun aktivitas bermain) mengalami transformasi.7 Di sini, kita bisa berargumen bahwa transformasi yang dimaksud adalah alterasi material menjadi elemen-elemen penciptaan realitas haptis yang mengandaikan keserempakan emosional-sensorik yang menyenangkan: kesan perabaan (tekstur material dari dinding, kostum, kompas, dll.), teror pendengaran (kata-kata yang diulang-ulang, misalnya “Misha! Misha! Misha!”), potensi gerak (menggapai botol), dan sunglap visual (pergantian peran dalam petak umpet; kedalaman labirin; perluasan ruang pada cermin): sensasi-sensasi tersebut berkelindan dengan lapisan-lapisan emosional, seperti hasrat seksual dan keceriaan.
Jika kita kembali mengingat esensi dari adegan “mata kelilipan” dan “bermain harmonika”, sekuen ini pun menunjukkan subversivitas lantang Muratova terhadap Realisme Sosialis dalam hal bagaimana ia mendayagunakan “puitika sinema konstruksi”8 sebagai gaya yang mengaburkan batas antara “ruang/aksi kerja” (labor) dan “ruang/aksi kesenangan” (leisure dan pleasure). Dengan cara itu, Muratova menawarkan spekulasi tentang hubungan-hubungan baru antara manusia dan lingkungan materialnya; menyajikan alternatif dari narasi dominan, menggali sejenis “rasa yang berbeda” dari dan dalam keadaan aktual “masyarakat Sosialis” yang diidamkan. Muratova menegaskan gagasan Bermain sebagai suatu tindakan haptik dan membingkainya ke dalam langgam ornamental yang mengagumkan.
***
Kita juga bisa menguraikan di sini, bahwa sensibilitas material yang diterapkan menggunakan pendekatan Faktura, bagi sinema, menyiratkan dua kemungkinan bentuk dan kehadiran, terlebih jika penerapan itu diniatkan sebagai langgam sinema haptik.
Pertama, kemungkinan penegasan bentuk dari sifat tekstural dari objek-subjek-peristiwa yang ditangkap kamera, yang jika ditampilkan ke hadapan penonton akan merangsang tidak hanya indra penglihatan, tetapi juga aspek-aspek sensorik lainnya pada tubuh (selain salah satu atau semua dari keempat indra sisanya, rangsangan ini juga berlaku terhadap “indra keenam” yang dimitoskan itu). Materialitas dari objek-subjek-peristwia yang hadir di dalam layar adalah hal dominan dan tidak bisa diabaikan; dalam derajat tertentu, materialitas ini lebih penting daripada kualitas kisah dan karakter. Rangsangan sensorik—atau sensasi—pada tubuh penonton, adalah kejaran utamanya, terlepas apakah naratif akan dapat dicerna atau tidak.
Kedua, sebagai salah satu aspek filmis, layar (yang melaluinya rekaman gambar-gambar dari objek-subjek-peristiwa itu ditampilkan) adalah juga materialitas tersendiri, yang berdiri atas dirinya sendiri. Layar merupakan sebuah bentuk yang memiliki kemungkinan lapis kedua bagi perangsangan haptik. Komposisi citra dan konstruksi urutan gambar yang terkandung di dalam layar, secara konseptual menjadi elemen faktura layar (yang faktanya adalah sebuah bidang datar), yang memungkinkannya untuk dimaknai secara topografis (berpermukaan) sekaligus geologis (bervolume) bagi dirinya sendiri. Dan sebagai sebuah bentuk otonom, layar (berserta citra yang diproyeksikannya) merupakan sebuah “kehadiran baru”.
Dengan kata lain, efek haptik bekerja melalui dua ranah: (1) sensasi yang dipicu oleh citra di dalam layar, dan (2) sensasi fisikal layar itu sendiri. Dan keberhasilan untuk mencapai mekanisme ini bergantung pada bagaimana seorang pembuat film mengkonstruksi citra yang akan diproyeksikan layar; bagaimana rekaman gambar yang ditampilkannya mengemban unsur-unsur haptik secara intrinsik, dan bagaimana pula, melalui layar yang memproyeksikannya, “haptikalitas” itu menjadi pengalaman aktual penonton.
Sekuen Bermain dalam Getting to Know the Big, Wide World yang disoroti oleh Mankovskaya, adalah contoh-contoh adegan yang tepat untuk meninjau mekanisme tersebut. Apa yang kemudian ingin saya urai lebih jauh di sini, tentu saja, adalah sesuatu yang berada di luar kualitas konten adegan yang memang menunjukkan suatu model “tindakan haptik” (sebagaimana dapat dipahami dalam analisa Mankovskaya yang sudah saya paparulangkan secara ringkas di bagian sebelumnya), bahwa Bermain pada dasarnya adalah “tindakan subjek untuk menyentuh dunia objektif”; momen pertemuan subjek dengan material lingkungan, sebagaimana cara pandang materialis kesenian Soviet memaknainya. Secara naratif, sekuen tersebut “mengisahkan” esensi bermain untuk mengenal, menyentuh, dan merasakan dunia sekitar.
Pasalnya, menurut saya, Muratova menerjemahkan konsep “bermain” tidak semata sebagai konten naratif ataupun sekadar kerangka tematik pengadeganan, apalagi acuan plot. Nyatanya, Bermain dalam sekuen ini adalah juga soal “kebermainan visual”. Sekuen tersebut mendemonstrasikan “kualitas permainan sinematik”, pada satu sisi, dan “kualitas sinematik dari permainan”, pada sisi yang lain. Kedua kualitas itu diolah berdasarkan kepekaan konstruksional. Adegan “petak umpet” di sekuen tersebut, misalnya, menunjukkan kejelian Muratova dalam menyatu-utuhkan fungsi “permukaan” dan “kedalaman” filmis. Muratova terbilang Konstruktivis dalam hal ini, karena memilih visual yang dinamis dari lingkungan material sebagai latar bagi aksi subjek, untuk menjadikannya sebagai jiwa bagi “materialitas layar”.
Emma Widdis (2017), sebelum memasuki pemaparan komprehensifnya mengenai “Sensasi Sosialis” dan periode “alam baka” yang akan dialami konsep tersebut, telah menyusun dengan panjang lebar argumentasi—sekaligus juga memberikan banyak contoh interpretasi—materialistis untuk “merasakan film”, berlandaskan pada filsafat Faktura. Dua di antaranya, ia menganalisis sebuah adegan yang menunjukkan “kualitas material sebagai latar” di dalam film The Tailor from Torzhok (Yakov Protazanov, 1925) dan sebuah adegan yang mengesankan visual geometrik-volumetrik di dalam film berjudul Girl with A Hatbox (Boris Barnet, 1927).9 Saya pikir, model analisis Emma Widdis itu bisa pula kita terapkan pada adegan “petak umpet” di dalam Getting to Know the Big, Wide World-nya Muratova ini. Tentu saja, penerapan yang saya lakukan bukan didasarkan pada alasan bahwa ketiga adegan (yang masing-masing berada dalam film yang berbeda) mempunyai kesamaan dari segi gelagat visual belaka. Sementara konteks penjelasan Widdis adalah tentang gerakan sinema 1920-an yang mengamini pencarian sinema akan “interior sosialis” melalui narasi tentang keseharian domestik, sasaran analisis saya dalam esai ini adalah untuk memahami bagaimana “kebermainan visual” Muratova, serta ekspansi spasialnya atas gagasan haptik, merupakan inti dari kritisisme formalnya untuk menuju cara pandang Ornamentalis.
Berikut, saya coba telaah secara materialistis adegan “petak umpet” tersebut, dengan menerapkan cara analisis Emma Widdis:
Pada satu sisi, dinding-dinding berjendela di situs proyek pembangunan dihadirkan ke dalam layar sebagai suatu materialitas yang dominan; mata kita tak bisa mengabaikannya. Realitas piktorial dari susunan (tata letak) properti dinding-dinding tersebut menginisiasi permainan antara “permukaan” dan “kedalaman”. Keberadaan bingkai-bingkai jendela (yang ambang kayunya masing-masing tersusun sedemikian rupa memenuhi bingkai kamera, membentuk semacam “jaringan palang”) tampil sebagai suatu muatan melimpah di dalam bingkai bidikan (sementara, di tengah-tengahnya, subjek manusia bersaing untuk mendapatkan perhatian penonton). Tapi, pada sisi yang lain, piktorialitas ini secara bersamaan juga mendefinisikan faktura layar: sebagai suatu “kehadiran baru”, layar menjadi bersifat tekstural (komposisi geometris-dinamis) dan volumetrik (konstruksi ruang yang berlapis) akibat komposisi visual dari citra yang diproyeksikannya. Selain itu, dinamika visual bidikan yang mengarah ke lorong jendela-jendela juga mengandaikan sensasi ketubuhan: tatkala subjek-subjek bergerak mengitari “labirin”, menjelajahi area-area yang mengantarai dinding-dinding berjendela yang bersitumpuk itu, kita pun merasakan faktura dari objek-objek di dalam layar, dan secara bersamaan juga faktura layar itu sendiri, di mana materialitas telah menjelma menjadi spasialitas, berbarengan dengan bertransformasinya sifat datar layar menjadi sebuah kehadiran yang bertekstur. Ada sensasi untuk menyentuh atau meraba representasi objek di dalam layar dan layar itu sendiri. Melalui dinamika yang berlangsung dalam adegan itu (dinamika spasial dan dinamika gerak subjek), mata penonton diajak untuk ikut menjelajah, dan penjelajahan itu mengarahkan penonton ke dalam suatu pemahaman indrawi yang berada di luar daya penglihatan. Sensasi gerak secara haptis diproduksi melalui spasialitas material, melampaui naratif, melompati makna, mendominasi pengalaman adegan.
***
Getting to Know the Big, Wide World disebut-sebut sebagai film yang dari sana filsafat Ornamentalisme lahir, dan mencuat dalam wujud yang belum matang. Prinsip dekoratif menghiasi setiap sudut adegan dalam film ini. “Rhythm”, “succession”, dan “repetition”10 hadir sayu-sayup di film ini melalui pengolahan faktura kostum (materialitas barang tenun), pengulangan gesture subjek (materialitas tubuh), dan ujaran subjek (materialitas bahasa), serta intervensi visual-auditori dari mesin (materialitas mekanis) di atas lanskap lokasi pembangunan (materialitas alamiah dan nonalamiah). Dalam banyak adegan, kita juga seakan menghadapi tumpukan objek-subjek dalam balutan warna-warni visual yang saling kontras tapi sekaligus pula saling menyaru, mengingkari otonomi figurnya masing-masing—persis seperti ornamen dalam arti harfiahnya (atau pengertian konvensionalnya). Apa yang kita saksikan adalah kaotik visual, juga visual dari kaotik.
Sampai di sini, kita dapat merefleksikan kembali bahwa orientasi pembacaan yang telah kita lakukan terhadap Getting to Know the Big, Wide World nyatanya lebih bersifat fenomenologis. Hal itu terutama karena sorotan kita pada sensibilitas material yang menggejala dalam bidikan, adegan, dan sekuen-sekuen di film ini. Konteks sosiopolitik yang menyertai dalam proses pembacaan menjadi konsekuensi yang tak terelakkan karena, bagaimanapun, bahasa sinema [eksperimental] Muratova mempunyai pertalian historis dengan perkembangan estetika dalam sejarah sinema Rusia, terutama terhadap Konstruktivisme avant-garde 1920-an. Namun, kritisisme politik yang (mau tak mau kita anggap ada) dalam film ini, toh, bukan muncul dalam kedudukan maknawiyahnya (bahwa kritik itu bersembunyi di balik simbol-simbol visual yang dimainkan, dan kita harus mengidentifikasinya dengan memecahkan misteri pada kode-kode tertentu). Padahal, kritisisme politik Muratova ada karena tindakan konkretnya dalam meramu visual yang berbeda—tabiat (bidikan dan editing)-nya menyimpang dari apa yang lazim dalam pandangan rezim, arus utama, dan wacana mapan.
Dalam sekuen terakhir Getting to Know the Big, Wide World, kita melihat Lyuba, Galya, Vera dan kembarannya, Zoya, berjalan di pekarangan proyek pembangunan menggunakan pakaian yang rapih sembari membawa tas koper dan beberapa benda-benda domestik, salah satunya cermin (yang dipegang oleh Lyuba). Adegan berjalan di area proyek konstruksi perumahan ini cukup panjang; di satu momen, mereka melintasi hamparan tanah bekas lintasan kendaraan dan alat berat, menuju horizon. Galya, yang memegang bunga dengan warna merah mencolok, melihat ke belakang. Warna tajam pakaian mereka kontras dengan warna-warna redup lokasi.
Kemudian, kita mengetahui bahwa keempat orang ini menuju lokasi tempat beradanya gedung apartemen yang sudah selesai dibangun. Di sana, orang-orang sudah berkumpul membawa benda-benda domestik mereka masing-masing (lemari, meja, ranjang, cermin, dll.). Mereka tampak sedang menanti waktu untuk memasuki tempat tinggal baru. Lyuba, Galya, Vera, dan Zoya mendekat ke kerumunan, meletakkan barang-barang mereka pula. Adegan ini menampilkan limpahan visual dengan kelindan warna yang mencolok, menggemakan gagasan “dekoratif/ornamental” yang disebut-sebut mencirikan kekhasan sinema Muratova. Pada momen ini, muncul Koyla, ia mencoba merayu Lyuba untuk terakhir kalinya, tapi tidak digubris. Ia pun pergi. Lalu, Lyuba yang duduk di ranjang, menyadari (melalui cermin yang ia bawa) bahwa Misha datang mendekat, membawa sebuah pot tembikar yang dibuatnya sendiri untuk diberikan sebagai hadiah kepada Lyuba, sebelum nantinya ia melamar gadis pujaannya itu. Mereka duduk bersama di ranjang itu, berbincang tentang hari-hari yang lalu dan perasaan mereka.
Adegan yang awalnya terkesan natural, sekonyong-konyong dipotong oleh suatu seting yang tampak teatrikal: tiba-tiba saja Koyla yang seharusnya sudah pergi, nongol di dekat mereka, sesekali berceletuk, mengintervensi percakapan Misha dan Lyuba. Sementara itu, Galya, Vera, dan Zoya, turut berada di sana, berdiri diam mengamati percakapan Misha dan Lyuba. Sedangkan hiruk-pikuk massa yang menanti momen untuk memasuki apartemen baru, terus berlangsung secara natural dan wajar sebagai latar, seakan tidak menyadari adanya “peristiwa teatrikal” yang terjadi di tengah-tengah mereka. Dalam dialog “teatrikal” inilah Misha melamar Lyuba. Adegan itu pun diakhiri oleh suatu kejadian yang mengejutkan: Koyla yang cemburu, pergi meninggalkan mereka, menuju truknya. Tapi di ujung jalan, ia mengambil batu dan melempar cermin yang memantulkan wajah Misha dan Lyuba. Cermin itu pecah, menyisakan hanya bingkai, dan melalui bingkai itu kita melihat ranjang—objek yang sebelumnya diduduki Misha dan Lyuba ketika berbincang—kosong.
Di sini, kita kembali menemukan refleksi tentang bagaimana pengalaman atau sensasi visual justru mendominasi naratif, mengungguli cerita. Sementara narasi dari kisah cinta segitiga ini menggantung, kita menyaksikan penyudahan visual dengan cara yang tak terlupakan, menyisakan simpulan ekstatis dari sisi formalnya.
Adegan penghancuran cermin di penghujung film tersebut, agaknya, juga menggoda kita untuk merujuk salah satu pernyataan (atau refleksi estetis) Muratova mengenai film (tatkala ia ditanya Isa Willinger soal esensi film dalam keterhubungannya dengan penonton). Muratova menjawab, bahwa film itu “…lebih seperti cermin yang mendistorsi, terkadang cermin yang dihancurkan berkeping-keping…”.11
Seturut dengan minatnya terhadap “estetika situs konstruksi” dan ide mengenai kaos, adegan tersebut barangkali layak untuk diinterpretasi sebagai metafora tentang “hal yang tidak selesai”, atau penghancuran kembali apa yang dianggap akan selesai: suatu ode liris tentang kebersituasian Rusia kontemporer yang, di mata Muratova, akan selalu berproses menuju kemadanian yang utuh, dan “proses menuju” itulah yang pada dasarnya esensial. Hal itu bergaung pula dengan kecenderungan artistik Muratova untuk menangguhkan ketuntasan naratif.
Tapi perlu kita garis bawahi, sebagaimana yang dapat dipahami, bahwa cara pandang Ornamentalis mengangankan suatu model kontemplasi yang mengelak dari pengidentifikasian kognitif sehingga, apa yang dikedepankan dalam model kontemplasi ini pada akhirnya bersifat, sekali lagi, fenomenologis. Dalam arti: pengalaman untuk merasakan visual, adalah lebih penting ketimbang mencernanya. Kejarannya bukanlah apa makna di balik visual ornamentalistik tersebut, melainkan sensasi yang bagaimana yang didapatkan dari aktivitas menjelajahi materialitasnya. Penghancuran cermin itu, dengan demikian, akan lebih menarik (dan akan lebih sesuai dengan paradigma Ornamentalisme) jika dinilai melalui kedudukan materialitasnya: pengalaman kaotik—fenomenon yang dihancurkan, menjadi suatu aksi konkret untuk menegasi “kemapanan bentuk”. Film, akhirnya, bisa dipahami sebagai aparatus yang mampu mendemonstrasikan kaos, yang oleh Muratova diyakini sebagai esensi dari kehidupan di dunia: Kaos adalah sebuah kepastian, kebenaran, dan keabadian.
Ornamentalisme, dengan kata lain, adalah suatu ekspresi untuk melipur aspek-aspek kaos dunia menjadi momen puitik. Pelipuran tersebut terkadang bisa saja mendapatkan tarikan terhadap konteks ideologis tertentu, untuk diposisikan sebagai ekspresi politik, ekspresi metaforis penuh maksud. Akan tetapi, dalam kasus film-film Muratova, menempatkan kaos sebagai ujung-pangkal estetika (untuk menjadi puisi sinema) pada dasarnya adalah aksi politik itu sendiri, yaitu politik bentuk, yang dari sana perlawanan ideologis dapat diimajinasikan sekaligus dikonkretkan, direalisasikan.
***
Menutup tulisan ini, saya ingin menyatakan pendapat (pasca-studi panjang atas Getting to Know the Big, Wide World), bahwa: sebagai salah satu Konstruktivis kontemporer, Muratova agaknya lebih tepat disebut sebagai seorang Vertovian, dalam hal orientasinya yang mengunggulkan sensasi di atas kognisi. Sementara Vertovian sangat menggaungkan optimisme sosialis-Marxis, bahwa “politik selalu berasal dari materi,”12 kita bisa berpendapat dengan mengacu kajian terhadap Getting to Know the Big, Wide World ini, bahwa Muratova berorientasi sama, tapi berada dalam jalur kritisisme yang bernuansa pesimistik-satirik terhadap Realisme Sosialis; dan keberadaannya di jalur itu, justru, karena doktrin Stalin-lah yang telah memberangus progresivitas filsafat faktura yang sebelumnya dipercaya berguna untuk membangun wacana “sensasi Sosialis”.
Dalam mewariskan cita-cita sinema bagi “manusia Soviet” di era masyarakat komunis kelak, konon Eisenstein merumuskan “montase abstraksi”, sedangkan Vertov “mengganggu” upaya intelektual itu dengan menawarkan “montase destruksi”. Sementara itu, Muratova mensintesis keduanya lewat apa yang dapat kita sebut di sini “montase disrupsi”. Montase Muratova terbilang anti-realis, anti-ideologis, karena kecenderungannya bukan mencita-citakan fundamen bahasa sinematik demi efektivitas spektatorial. Montase Muratova, sebaliknya, kerap mendisrupsi tanpa henti dalam rangka menegasi kemapanan (termasuk kemapanan estetika dalam konteks sinema), untuk menegasulangkan kaos, dan justru bertujuan untuk membongkar ilusi “manusia Soviet” yang selalu digadang-gadang dalam wacana “era ideologis” Rusia (era sejak Lenin hingga Stalin). []
Baca Bagian 01/03: “Tentang Cinta dan Harmoni dalam Mengenal Dunia yang Luas dan Besar”.
Baca Bagian 02/03: “Sensibilitas Material dalam Mengenal Dunia yang Luas dan Besar”.
Artikel berjudul “Kaos sebagai Ujung-Pangkal Estetik dalam Mengenal Dunia yang Luas dan Besar” merupakan bagian dari seri artikel dalam Editorial 10, bertajuk “Materialisme, Ornamentalisme, dan Fantastisisme”, yang secara khusus mengulas karya-karya dan praktik sinematik Kira Muratova.
Endnotes