In Artikel

Pada 1944-45 saat perang dunia kedua hampir berakhir, debut dua artistik yang sangat sedikit berdampak pada situasi politik internasional tapi akan menjadi penentu utama wilayah kebudayaan Swedia terjadi. Pertama adalah penerbitan Pippi Långstrump (Pippi Longstocking) oleh Astrid Lindgren. Satunya lagi adalah kemunculan filem Hets (Murung), naskahnya oleh Ingmar Bergman, pada saat itu sutradara teater amatir di Kota Tua Stockholm.

Cerita anak-anak Lindgren berkisah tentang seorang gadis rambut merah berkuatan luar biasa yang membuat rendah seluruh selera tinggi sosial dan naskah filem Bergman mengenai seorang bocah sekolahan yang tersiksa oleh guru bahasa Latinnya yang sadis menyebabkan perdebatan sengit di media Swedia. Apa yang ditentang adalah, sejatinya, landasan kultur tradisional homogen, yang diatur oleh struktur keluarga patriarkis, gereja negara (yang juga merupakan pelayan sipil), sistem sekolah hirarkis terpisahkan oleh kelas [sosial] yang dibangun di atas disiplin ketat, dan secara khusus, kemapanan birokrasi.

384px-Pippi_Longstocking_book_cover

Tigapuluh tahun kemudian, baik Astrid Lindgren dan Ingmar Bergman berkontribusi dalam cara yang berbeda pada kejatuhan pemerintahan sosial-demokratik yang sudah berkuasa sejak akhir perang dunia kedua. Selama mandat politiknya, Swedia menjadi model negara kesejahteraan. Sistem sekolah otoriter dibongkar; kebudayaan baru generasi muda mendapat landasan yang berani menentang kewenangan orang tua.

Swedia telah menjadi salah satu masyarakat paling sekular di dunia, dan gereja Lutheran purba, yang etosnya sudah menyediakan tulangpunggung moral dan religius di negeri itu selama berabad-abad, kini direduksi hanya sekadar pelayanan ritual penduduk pada acara pembaptisan, pernikahan dan pemakaman. Bagi Ingmar Bergman, putra seorang pendeta Lutheran yang juga membuka kapel pribadi bagi raja dan ratu Swedia, perubahan sosial dan politik yang dialami negeri itu sudah sangat tidak lagi fundamental.

760px-Lindgren_1960

 

 

Seniman yang Disalahpahami

Tapi Ingmar Bergman (1918-2007) merupakan seorang seniman dan bukannya binatang politik. Ia pernah berkata kalau satu-satunya partai politik yang pernah dimasukinya adalah Partai Ketakutan. Adalah satu dari sekian ironi dalam karirnya bahwa saat awal magangnya (menggambarkan figur-figur berwenang seperti kepala sekolah, pendeta, pekerja-pekerja sosial, pejabat, dan psikiatris) membuatnya mendapatkan reputasi sebagai pemberontak muda dan ikonoklas[1] sosial, filem-filemnya yang semakin dewasa dan introspektif (yang beralih fokus pada isu-isu religius dan eksistensial) disebut berada di luar jalur waktu itu oleh rekan-rekan Swedianya. Saat beberapa filem seperti The Seventh Seal, Wild Strawberries, The Virgin Spring, dan Winter Light memapankan reputasi Bergman di mancanegara sebagai directeur du conscience dan eksistensialis terdepan auteur du cinéma, karya-karya ini sering dipandang terlalu personal oleh orang-orang Swedia. Bergman pernah berkata kalau ia menderita “ampas kemabukan Kristen” dan para pengamat Swedia berlaku kritis pada “penggalian tanpa makna menyoal Kecemasan” Bergman. Alih-alih mereka menyebutnya filem-filem yang menggambarkan kehidupan “orang yang sangat biasa”.

Para penonton asing di lain sisi sering melihat Bergman sebagai prototipe orang Swedia, mahluk mitis yang terbebani sejak zamannya Montesquieu dengan iklim gelap dan gigil, mencerminkan mentalitas kultural suram (sombre) dan moralitas menghukum diri Lutheran. Di foto sampul dirinya pada majalah Time, Bergman muncul di depan sebuah rimba gelap di mana “persona”-nya, mahluk hitam mengerikan menguntit di antara pepohonan. Sering ia terhubungkan pada masa awal orang-orang Skandinavia seperti Kierkegaard dan, terutama, Strindberg.[2] Koran Sunday Times (London) pernah menggambarkannya sebagai “mahluk yang keluar dari drama Strindberg, seorang penderita syaraf insomnia dan hipokondria[3] yang tidak suka kritik, jarang bercukur dan tidak punya daftar nomor di buku teleponnya”. Penilaian atas Bergman sebagai orang Swedia murung yang khas ini mengganggu para komentatornya di dalam negeri tapi juga menjadi bagian dari kekecewaan mereka atas filem buatan Bergman, sebab apa yang ditunjukkannya, menurut mereka, sama sekali citraan palsu realitas Swedia.

Ingmar_Bergman_Smultronstallet

Pada 1962, sutradara Bo Widerberg menerbitkan sebuah pamflet bertajuk Visionen i svensk film (Visi dalam Sinema Swedia), yang ditujukan sebagai terompet panggilan untuk industri filem dalam negeri agar berjalan pada apa yang disebut Widerberg sinema ‘horisontal’, yaitu, sinema realistik yang berakar di masyarakat Swedia moderen. Tapi pamflet itu mengambil bentuk yang kemudian menjadi serangan seumur hidup pada filem non-realistik “vertikal” Ingmar Bergman. Tanggapan ini harus dilihat dalam hubungan visibilitas kuat Bergman dalam keseluruhan faset seni Swedia: filem, teater, opera, TV, radio, dan kepada pencarian tanpa ujungnya akan sarana komunikasi dengan publiknya, termasuk buncahan wawancara di berbagai media, bahkan dalam tabloid dan majalah-majalah popular.

Di sisi lain Bergman tidak pernah muncul pada pemutaran perdana karyanya sendiri atau pada begitu banyak festival yang menghormati produksi filem dan teaternya. Ia mungkin seorang promotor yang sangat andal untuk karya-karya yang dikerjakannya tapi tidak bagi kehidupan pribadinya. Adalah integritas personal ini yang membuat orang Swedia dihormati. Sudah terlihat jelas saat Bergman berpindah ke Kepulauan Faroe di Baltik pada pertengahan 1960-an dan penduduk pribumi merahasiakan keberadaannya kepada banyak pelancong penasaran yang berkunjung ke pulau itu.

 

 

Sang Maestro Terasingkan

Dua tema utama dalam filem-filem matang Bergman – kesunyian Tuhan dan takdir seniman “karatan” – yang merupakan pusat karya-karya layarnya seperti The Seventh Seal, Through a Glass Darkly, Winter Light, The Silence, Persona, The Hour of the Wolf dan Shame sering menghadapi kritik di dalam negeri yang diwarnai oleh suara-suara terpolitisasi intelektual 1960-an. Setelah pembukaan Winter Light, pada 1963, salah seorang kritikus Stockholm berteriak kesal: “Atas dasar apa cerminan pribadi religius Ingmar Bergman bergerak dalam arah beragam.” Juga ketika The Hour of the Wolf dan Shame diputar perdana pada 1967-68, seorang anggota Akademi Swedia, Lars Forssell, bertanya apakah Bergman tidak bersalah akan “beberapa butir kebutaan konstitusional, sebuah cerminan pandang individualistik seniman abad ke-19 yang dimulai dengan Werther dan diakhiri oleh Oscar Wilde”, seseorang yang telah bersalah atas “penilaian tinggi diri artistik yang tampak sangat ketinggalan zaman.”

Torment_1944

Seperti pelukis Johan Borg dalam The Hour of the Wolf, Ingmar Bergman terlihat tenggelam dalam lumpur mentalnya sendiri. Per Olov Enqvist, novelis penulis naskah drama Swedia, merujuk Bergman sebagai mamba raksasa (ular beracun Afrika) yang mengigiti ekornya sendiri dan merangkak di pojokan mengeluh soal kesengsaraan masa kanaknya. Jelas sangat sulit, tulis kritikus Bergman yang lain, “untuk memantapkan hubungan apapun dengan seninya Bergman. Tidak ada unsur-unsur baru yang dibiarkan masuk ke dalam semestanya. Tapi waktu tidak diam dan semakin luas wilayah sinema yang dikuasainya, semakin sempit semesta Bergman ini jadinya.”

Saat Bergman menerima, pada 1963, penunjukan sebagai kepala teater nasional Swedia, Dramaten (Dramatika Kerajaan) di Stockholm, ia mengalami iklim ideologis di dalam negerinya juga ada di atas panggung. Tahun-tahun  berikutnya, dalam otobiografinya Laterna Magica, ia akan menggambarkan apa yang disebutnya “sempit-pikir revolusi kultural kita” sebagai berikut:

“Mungkin saja beberapa peneliti berani suatu hari nanti akan menelisik pada seberapa besar kehancuran yang dilakukan pada kehidupan kultural kita oleh gerakan 1968…Sekarang, revolusioner frustrasi masih…tidak melihat (dan bagaimana mungkin mereka bisa!) bahwa kontribusi mereka adalah potongan mematikan pada evolusi yang seharusnya tidak boleh dipisahkan dari akarnya. Di negara-negara lain di mana beragam gagasan diperbolehkan bermekaran pada saat yang sama, tradisi dan edukasi tidaklah dihancurkan. Hanya di Cina dan Swedia di mana seniman dan para guru dibuat tak berguna…”

Dalam iklim terpolitisasi ini Bergman dicemooh saat ia mencoba memberikan kuliah pada mahasiswa-mahasiswa baru di sekolah drama nasional Swedia. Setelah tiga tahun sebagai kepala Dramaten, ia mengundurkan diri, menyebutkan tinggal sementaranya di sana selama tiga tahun sebagai “sabun pembersih mandi terburuk dalam kehidupanku”. Ia meninggalkan arena teater Swedia demi pengasingan singkat di Norwegia, tapi kembali dalam waktu kurang dari setahun dan menampuk kembali perannya sebagai direktur Dramatika Kerajaan. Di saat inilah ia membuat para kritikusnya dalam ketakjuban dengan mengundang mereka untuk menghadiri latihan terbuka bagi produksi mendatangnya Woyzeck karya Büchner dan dengan menjelajahi medium TV dengan beberapa karya seperti The Magic Flute, Mozart dan “opera sabun” pertama Swedia, sebuah karya yang sangat populer, Scenes from a Marriage. Bergman tidak lagi dipertimbangkan sebagai seniman elitis dan karyanya pada akhirnya mencapai khalayak luas juga di dalam negerinya sendiri.

Meski demikian, jika Ingmar Bergman tidak menjadi korban dari otoritas pajak Swedia pada 1976, sebuah peristiwa yang membimbingnya pada pengasingan sukarela di Muenchen selama tujuh tahun, ia tidak akan pernah mendapat status sebagai ikon nasional. Penangkapannya di bawah kondisi memalukan bisa dihubungkan dengan nilai pajak Swedia yang begitu besar. Dan saat seniman yang lebih populer, Astrid Lindgren muncul, dalam sebuah surat ironis yang begitu kritis kepada menteri keuangan Swedia, bahwa nilai pajaknya mencapai 103% dari penghasilan tahunannya, ia menambahkan ledakan politik atas situasi itu. Dalam pemilu setelahnya, orang-orang Swedia tidak lagi memilih pemerintahan sosial-demokratik yang sudah berkuasa di negara itu selama tigapuluh tahun.

Saat Bergman kembali ke Swedia setelah pengasingannya, ia disambut bak putra raja. Malam pembukaan produksi King Lear karya Shakespeare pada 1984 di Dramaten, perdana menteri Olof Palme, tokoh politik utama 1960-an, duduk di bangku penonton. Bergman muncul di panggung –sebuah peristiwa langka- dan disambut oleh aktor yang memerankan King Lear dengan kata-kata: “selamat datang kembali”. Dari situ, ia disebut media Swedia tidak dalam julukan awalnya sebagai “Sutradara Setan” tapi sebagai Mästaren (Maestro).

Ingmar_Bergman-The_Seventh_Seal-02

 

 

Tabu Terpecahkan

Ingmar Bergman akan tetap aktif di Dramaten selama duapuluh tahun lagi juga di televisi dan radio Swedia, tahun-tahun yang menegaskan posisi kemaestroannya dan tidak lagi ditandai oleh guncangan dekade-dekade sebelumnya. Tapi meski ia mungkin “dikanonisasi” oleh pers Swedia sekarang, studi resepsi (jajak pendapat) yang dibuat di Stockholm pada pertengahan 1990-an menunjukkan dengan jelas keraguan yang masih ditemukan dalam seni Bergman di Swedia. Salah satu responden dalam proyek resepsi itu, yang mengatakan dirinya sebagai pengecualian dengan tanggapan positif sepanjang hidupnya kepada Ingmar Bergman, mengakui reaksi yang ditemukannya di antara keluarga dan rekan-rekan kerjanya:

“Mereka tidak paham bagaimana saya suka karya Ingmar Bergman. Fakta bahwa ia menyusup jauh ke dalam kemanusiaan dan membawa masalah-masalah filosofis tidaklah begitu populer di Swedia. Sebaliknya, kami orang Swedia jarang bicara soal agama dan filosofi dalam cara orang-orang di negara lain biasa lakukan. Di Swedia hampir menjadi tabu untuk bicara soal perasaan seperti yang dilakukan Bergman. Kami adalah negara yang hanya memperbincangkan program TV dan cuaca.”

Sekarang, setelah kematian Bergman pada 30 Juli 2007, di mana media Swedia membanjiri saluran-salurannya dengan program dari dan tentang Ingmar Bergman, pokok bahasan itu untuk sementara berubah menjadi topik yang lebih serius. Untuk sehari atau dua hari orang Swedia materialistik memilih Bergman ketimbang Ikea. Tapi apa yang tersaring melalui penghormatan ini atas pencapaian artistik luar biasa bukan hanya kehadiran menyeluruh Bergman dalam kebudayaan Swedia lebih dari setengah abad tapi juga cara penerimaan karyanya, lebih jauh mungkin dari karya itu sendiri, mencerminkan iklim sosial dan politik di negaranya sepanjang waktu itu.

 


Birgitta Steene adalah profesor emeritus dalam kajian sinema dan literatur Skandinavia di University of Washington dan juga pernah menjadi profesor untuk departemen filem di Stockholm University. Ia adalah penerima doktor honoris causa dari alma maternya, University of Uppsala.

Birgitta Steene adalah penulis Ingmar Bergman: A Reference Guide (Amsterdam University Press, 2005) dan juga banyak menulis buku dan artikel dalam bidang drama dan filem Skandivania.

 

– – – – – – – – –

[1] Iconoclast: seorang yang menentang kepercayaan mapan atau bisa disebut pula penghancur berhala. (Catatan redaksi).
[2]
Johan August Strindberg (22 Januari 1849-14 Mei 1912) adalah seorang penulis drama, novelis, dan esais Swedia. Penulis kreatif yang sering digambarkan langsung berdasarkan pengalaman pribadinya. Karir Strindberg berjalan selama empat decade. Sepanjang masa itu ia menulis lebih dari 60 naskah drama dan lebih dari 30 naskah fiksi, otobiografi, sejarah, analisis kultural, dan politik. Ia adalah seorang eksperimentalis dan ikonoklas yang mengeksplorasi sejumlah metode dan tujuan-tujuan dramatis, dari tragedi naturalistik, monodrama, dan drama sejarah, serta antisipasinya atas teknik-teknik ekspresionis dan surealis. (Catatan redaksi).
[3]
Hypochondriac: penyakit ketakutan akan menderita masalah kesehatan serius (Catatan redaksi).

 

all other rights are reserved to the author and openDemocracy.net.
Artikel asli diterbitkan dalam majalah online independen www.opendemocracy.net

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search