In Kronik
[tab] [tab_item title=”ID”]

Ketika di tahun 1903, suratkabar Perniagaan [Kabar Perniagaan, 1903-1930], yang dahulu diterbitkan sebagai suratkabar khusus iklan, pimpinan F. D. J. Pangemanann— pada masa itu berisi berita-berita melayu yang paling berharga dan digemari oleh pembaca, tiada lain adalah cerita-cerita populer terjadi di masyarakat. Mengikuti kemauan pembaca di waktu itu, F. D. J. Pangemanann memuat di Perniagaan beberapa cerita yang direkayasa dari Djawa Koe’on, dan di antara cerita-cerita itu, yang paling terkenal adalah cerita “Si Tjonat”, pemimpin penyamun di daerah Tangerang.

Cerita ini sebetulnya cuma suatu karangan yang dilebih-lebihkan saja. Tapi menurut adat kebiasaan kebanyakan pengarang pada waktu itu, seperti juga F. D. J. Pangemanann, berkata “Betul kejadian ini terjadi di zaman dulu.” Ini semacam kedustaan yang dianggap sebagai perkara kecil. Karena kesalahan itu sudah menjadi hal umum dan tidak dianggap sebagai kesalahan lagi, maka orang tidak merasa malu untuk melakukannya. Bahkan sampai sekarang pun masih ada satu dua pengarang Bang Pak yang suka melakukan kedustaan semacam itu.

Kita masih belum lupa ketika cerita itu dimuat dalam Perniagaan. Bagaimana kita yang baru belajar membaca koran sudah mesti saling berebut dengan kawan yang tinggal di sebelah rumah. Saling mendahului membaca “Si Tjonat” yang sangat kita gemari. Dan ketika Drukkerij Hoa Siang In Kiok yang dimuat dalam Perniagaan yang kemudian diterbitkan dalam bentuk ini, kita pun merasa perlu untuk membelinya.

Cepat sekali cerita itu populer, dan sering dimainkan oleh opera-opera bangsawan di waktu itu. Tapi belakangan ini orang tidak lagi peduli. Terutama sesudah munculnya cerita-cerita Melayu yang lebih baik dan pembaca mulai bisa membedakan mana cerita yang baik dan mana cerita yang jelek.

Dilihat menurut ukuran sekarang ini, cerita “Si Tjonat” tidak ada artinya apa-apa lagi. Baik dari cara penulisannya atau pun alur ceritanya. Cerita itu hanya melukiskan kehidupan seorang Bumiputra yang sejak kecil sangat nakal. Setelah ia membunuh kawannya dan merampas serta menjual kerbaunya, ia pun melarikan diri ke Jakarta. Di Jakarta ia bekerja sebagai pelayan seorang Belanda. Lantas mencuri barang milik isteri orang Belanda itu. Ia lalu menjadi kepala perampok. Akhirnya ia menaruh hati pada seorang gadis Tionghoa anak seorang petani yang hidup dari memelihara babi dan berkebun sayur yang tinggal di desa. Namun gadis itu tidak mencintainya. Ia pun membawa lari sang gadis yang bernama Lie Gouw Nio itu. Kemudian tunangannya, Thio Sing Sang, menolong dengan memperlihatkan kegagahannya di hadapan kawanan penjahat itu.

Sekarang cerita ini sudah diadaptasi dalam sebuah filem oleh perusahaan filem yang belum lama ini didirikan di Jakarta. Ketika membicarakan hal ini, salah satu suratkabar harian di Jakarta telah menyomel dan mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan filem di Jawa yang mulai tumbuh seperti jamur, sekarang ini hanya membuat cerita-cerita perampokan, pembunuhan, perempuan yang dibohongi dan sebagainya.

Kita sendiri, meskipun tidak setuju dengan cerita-cerita itu, tidak bisa menyalahkannya pada perusahaan-perusahaan filem yang sebelumnya memproduksi cerita-cerita yang bagus dan berharga untuk ditonton oleh kaum terpelajar. Setidaknya perusahaan-perusahaan filem itu bisa bertahan dahulu. Beberapa perusahaan filem yang memainkan aktor-aktor yang pandai berperan, terpaksa gulung karena rugi atau keputusan Benzine. Perusahaan yang memproduksi filem “Loetoeng Kasaroeng” (1926) [disutradarai oleh G. Kruger dan L. Heuveldrop, diproduksi oleh NV Java Film Company], legenda masyarakat Sunda, pun sekarang tidak terdengar lagi kabarnya. Maka sablonnya bisa melahirkan filem-filem yang bagus dan berharga untuk ditonton oleh golongan terpelajar. Biarlah perusahaan-perusahaan filem yang masih muda dan belum mapan itu, memilih jalan yang mudah, biaya murah, dan memilih cerita populer yang bisa menarik banyak penonton. Kalau pun semua perusahaan itu sudah maju dan mapan, dan orang yang nonton Thio Sing Sang berkelahi dengan penjahat di antara batu-batu karang. Seorang sutradara filem tidak boleh terlalu mengikuti bunyinya buku [textbook/teoretis], karena yang paling perlu dibuat adalah supaya filem itu menjadi bagus dan menarik. Tidak usah kukuh mengikuti jalannya cerita secara mati-matian.

Yang paling lucu, yang membuat satu ruangan bioskop gemuruh oleh sorak-sorai penonton adalah ketika kawanan penjahat itu memajukan empat laskar perempuan yang bertarung pukul-memukul dengan empat orang polisi yang datang membantu Thio Sing Sang. Pertarungan antara amazones dengan politie-politie agent itu menunjukkan bagaimana seorang sutradara tahu betul bagaimana membuat penonton tertawa.

Pemeranan orang-orang yang menjadi ibu, ayah, dan lain-lain, kelihatannya cocok, sedang pemeranan dari Miss Ku Fung May yang memerankan Lie Gouw Nio, tidak bisa dicela. Inilah yang membuat kita tidak heran karena Jakarta Motion Picture Company bisa memilih aktor-aktor yang pandai untuk memerankan tokoh-tokoh yang penting, yang semuanya diperankan oleh bangsa Tionghoa. Sehingga jikalau seterusnya bisa berjalan seperti itu, ada banyak harapan filem-filem yang diproduksi oleh perusahaan ini bisa mengalahkan filem-filem produksi perusahaan-perusahaan filem Indonesia lainnya.


*Pertamakali dimuat dalam Panorama, 10 Februari 1930. Diterbitkan kembali oleh Jurnal Footage dalam edisi suntingan baru.

[/tab_item] [tab_item title=”EN”] (Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item] [/tab]
Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search