In Kronik
[tab] [tab_item title=”ID”]

Dikutip dari Pertjatoeran Doenia dan Film, No. I/Tahun I/1941.

Datangnya filem dan radio ditengah-tengah masyarakat kita adalah suatu peristiwa yang patut diperhatikan secukupnya oleh kaum pendidik khususnya serta pula kaum kebudayaan dalam umumnya. Di tanah Eropa sendiri, tanah kelahiran dua bentuk kebudayaan modern itu, sudah lama ethiei menyelidiki baik jahatnya filem dan radio terhadap pembentukan budi pekerti kanak-kanak, juga terhadap perubahan kebudayaan lama karena pengaruh filem dan radio yang dalam beberapa tahun saja telah mendapatkan posisinya di dalam masyarakat.

Poster filem “Roekihati” (1940)

Seperti biasa maka ketika hadir keadaan baru –begitu pula filem dan radio– itu tentu memiliki keburukan dan juga kebaikan. Dua akibat itu harus dipelajari dengan baik, dengan cara objektif, jangan hanya mengikuti atau menyesuaikan dengan keinginan sendiri saja (subjektif). Setelah itu hendaknya kebaikan yang ada dikembangkan, diluaskan, dimajukan, sedang bagian-bagian yang jahat sedapat-dapatnya dikurangi atau diperhambat agar dapat diperkecil pengaruhnya.

Menerima kebudayaan baru dengan begitu saja tanpa dipikirkan baik atau buruknya terhadap kebudayaan yang ada, itulah sikap yang keliru bagi orang yang berkewajiban mementingkan pendidikan atau kebudayaan. Lebih-lebih di masa sekarang ini, zamannya negeri-negeri di seluruh dunia mudah sekali saling berhubungan hingga setiap hari kebudayaan-kebudayaan dari luar negeri datang membanjiri masyarakat kita. Sudah pasti sikap menerima dengan begitu saja berasal dari tanah-tanah Barat dan menolak pengaruh baru itu dengan kultureel (budaya).

Salah pula sikap setengah-setengah yang selalu mengabaikan segala bentuk kebudayaan baru yang berasal dari tanah-tanah Barat, serta menolak pengaruh baru itu dengan begitu saja, yakni tidak dengan mempelajari kebaikannya. Biasanya orang-orang yang bersikap demikian itu pada suatu waktu akan terkejut karena tiba-tiba anak-anaknya sendiri sudah dihinggapi kegemaran terhadap kebudayaan baru yang sedikit demi sedikit terus-menerus memasuki jiwa anak-anaknya itu.

Marilah sekarang kita coba mencari keburukan dan kebaikan dari filem dan radio bagi bangsa kita. Penyelidikan yang tentu hanya bersifat summier (singkat) saja, yaitu cuma mengenai pangkal-pangkal persoalannya.

Tentang filem haruslah yang pertama kali diperingati bahwa memang sebenarnya masih terlampau banyak filem-filem dari tanah Eropa dan Amerika yang mempertunjukkan cerita-cerita yang menarik hati orang ke arah kejahatan. Sungguhpun yang dimaksudkan barangkali tidak begitu. Akan tetapi akibatnya sungguhlah seperti yang tadi disebutkan. Janganlah dalam hal ini dilupakan bahwa banyak anak-anak dan pemuda-pemuda, juga orang-orang tua yang berwatak “sanguinisch” (karakter kinderlijk/kekanak-kanakan) itu biasanya mudah sekali tertarik dan suka sekali meniru segala tingkah laku yang mereka lihat. Lebih-lebih peniruan ini mudah terjadi kalau orang-orang itu mempunyai watak “avontuurlijk” (petualang), yakni amat tertarik kepada macam-macam tingkah laku dan peristiwa yang agak luar biasa. Teristimewa yang berbahaya.

Yang lain lagi dari itu, hampir semua cerita filem itu bersifat roman, yang tidak saja tendens-nya (maksudnya yang khusus), akan tetapi cara melakukannya (handeling-nya) untuk kita bangsa Timur seluruhnya acap kali bersifat luar biasa, bahkan seringkali amat melangkahi batas kepatutan. Di mana batas kepatutan itu berhubungan dengan kehidupan sexueel, yakni mengenai kehidupan suami-isteri. Maka sering sekali terbukti bahwa filem yang sedemikian itu amatlah jahat pengaruhnya terhadap orang-orang yang besar sekali rasa birahinya. Sebaliknya lemah sekali penguasaan dirinya (zelfbeheersing-nya).

Sebelum ada filem, memang benar cerita-cerita roman sudah banyak dan dibaca oleh orang-orang. Akan tetapi jangan dilupakan bahwa “membaca” itu beda akibatnya dengan “melihat” walaupun perbedaan itu hanya gradueel (perlahan). Pun tak boleh dilupakan pula bahwa “membaca buku” itu tidak begitu gampang dan mudah seperti “menonton bioskop”.

Sigmund Freud (1856 – 1939)

Tentang sikap, tindakan serta tenaga pada cerita terdapat pula perbedaannya “literatur” (karya tulis) dan “bioskop” (karya gambar bergerak) yaitu karena di dalam buku bacaan itu si pengarang biasanya amat mementingkan indahnya ikatan kalimat dan bahasa sedangkan di dalam bioskop (filem) memperlihatkan sensasi-lah yang diutamakan. Kegemaran pada sensasi di dalam filem itu semakin besar bilamana mengenai hidup sexueel (percintaan) ini memang sesuai dengan kodratnya manusia, dalam kodrat itu memang terus terkandung nafsu-nafsu yang dalam, yang menurut “libidotheorie” dari Dr. Freud (Sigmund Freud) semua ini dalam pokoknya bersifat sexueel. Dalam segala hal yang mengenai oerinstinct (naluri) itu, maka seringkali manusia itu mudah tertarik dari tingkat kemanusiaan (humaan niveau) ke tingkat hewani (animaal niveau).

Sekianlah sifat kejelekan yang kita dapat di dalam soal filem serta pengaruhnya. Mengetahui keburukannya itu maka berarti kita dapat jalan untuk membuat perbaikan. Menurut pendapat saya, maka dalam umumnya dapat timbul harapan perbaikan itu akan terjadi dengan sendirinya jika pemain-pemain filem itu dengan keinsyafan mengerti benar bahwa mereka itu kunstenaars (seniman). Bukan orang sembarangan yang hanya wajib menyenangkan publik belaka. Akan tetapi juga berkewajiban menuntun masyarakat ke arah yang lebih baik, kemuliaan dan kebahagiaan. Harapan saya itu sebetulnya kini sudah terbukti bukan hanya harapan kosong saja, akan tetapi sekarang pun sudah dapat kita lihat terkabul dengan nyata. Ada sudah filem buatan Indonesia yang mengandung tendens dan corak seperti yang saya harap itu, misalnya cerita-cerita Dr. Samsi, Roekihati (1940, Joshua Wong & Othniel Wong), dan sebagainya. Ternyata di situ bahwa terjunnya orang-orang yang kenamaan baik dan berasal dari lapisan rakyat yang berpendidikan, baik sekali pengaruhnya terhadap kemajuan dunia filem.

Dengan sekonyong-konyong teringatlah dalam pikiran saya waktu lahirnya tonil kethoprak pada lebih kurang 20 tahun yang lalu. Pada waktu itu besar harapan saya akan berkembangnya tonil Jawa yang origineel (asli) itu, yang menurut pikiran saya boleh jadi akan mewujudkan tonil modern yang memakai musik secara opera. Sayangnya kethoprak itu tak dapat perhatian dari kaum intelektual. Rakyat jelatalah yang mengusahakannya, pun juga aktor dan aktrisnya yang kebanyakan bukan orang-orang yang berpendidikan. Bagaimana sekarang? Maklum, kita tahu bahwa kethoprak itu kini boleh dibilang tak dapat kemajuan bahkan banyak yang sekarang sama sifatnya dengan wayang orang, tetapi wayang orang yang jelek. Oleh karena jika pada waktu itu ada gerombolan orang-orang yang berpendidikan mulai berani mengusahakan kethoprak maka bisa diharap akan lahirnya tonil modern yang sesuai dengan kemajuan masyarakat kita pada zaman yang serba modern ini.

Kembali pada soal filem. Disamping keburukan dan kejelekan dari filem itu, barang tentulah ada pula kebaikannya. Yang pertama patutlah diakui bahwa filem itu sebagai “tontonan” atau “tonil” amat geschikt (sesuai) untuk dipakai sebagai penyebar pendidikan. Malah dalam hal itu, filmtoneel itu lebih berharga dari pada tonil orang karena lebih mudah dipertunjukkannya, tidak amat bergantung pada adanya toneelgezelschap (perusahaan/gedung teater) di satu tempat. Tiap-tiap filem dengan mudah dapat dikirim kemana-mana tempat untuk dipertunjukkan. Lagi pula segala sifat hidup baru, hidup modern, dapat dipertunjukkan di tempat-tempat yang sebetulnya tak pernah dan tak akan dapat melihat hidup baru itu jika batinnya rakyat lalu dapat terhubung dengan dunia besar, yang berarti rakyat lalu lebih luas pengetahuannya. Melihat filem itu boleh diumpamakan berkeliling negeri-negeri (daerah-daerah) lain dengan sambil duduk bersenang-senang dengan harga murah. Berhubung dengan ini, maka baik sekali tiap-tiap pertunjukan filem itu selalu didahului dengan mempertunjukkan macam-macam perlihatan (gambar) yang dapat menambah pengetahuan.

Tentang cerita-cerita yang dipertunjukkan, asal saja kaum pengarang dan kaum pemain dalam filem itu merasa kewajibannya sebagai “kunstenaars” (seniman), maka tidak kecil faedahnya untuk mendidik budi pekerti sambil memberi kesenangan kepada rakyat. Soal mendidik dengan tonil ini tidak usah kita terangkan dengan panjang lebar oleh karena di seluruh dunia mulai zaman dahulu hingga kini pertunjukan tonil itu memang dimaksudkan untuk memberi kesenangan sambil memberi pendidikan; lebih-lebih di dalam dunia keagamaan.

Lain dari pada itu, maka perlu pula dicermati bahwa adanya filem itu lalu menimbulkan film-industrie (sekarang mulai berkembang), yang akibatnya memberi nafkah kepada beberapa orang pekerja dan pemain yang dalam pandangan nilai ekonomis sungguh besar artinya baik untuk orang-orangnya (pelaku-pelaku) maupun untuk penghasilan negeri ini sendiri.
[/tab_item] [tab_item title=”EN”] (Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item] [/tab]

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search