In Artikel
[tab] [tab_item title=”ID”] Bumi perkemahan itu terasa sangat dingin. Setiap sore atau malam hari, hujan menderas tak henti-henti. Padahal akhir bulan Mei menjelang, bulan yang seharusnya sudah memasuki musim kemarau. Kadang, serombongan kelelawar pun beterbangan. Satu atau dua ekor memasuki tenda rangka kerja. Tapi, sekitar 50 orang dari berbagai negara di belahan Asia-Pasifik itu tak surut bertemu. Mereka berbagi pengalaman dalam pertemuan Asia-Pasifik menyoal transmisi jaringan internet.

Transmission Asia-Pacific (TxAP) 2008 adalah sebuah pertemuan yang digagas oleh Engage Media dan Ruangrupa. Pertemuan ini berupaya membahas berbagai persoalan dalam transmisi jaringan internet untuk memfasilitasi kerjasama antara pembuat video, pengembang perangkat lunak dan produser laman. Pertemuan yang didukung oleh Hivos dan The Open Society Institute ini merupakan kelanjutan dari pertemuan tahun 2006 di Roma, Italia.

Tujuan utama dari pertemuan ini adalah untuk mencari kemungkinan mengembangkan distribusi video di dunia maya sebagai alat keadilan sosial dan demokrasi media. Tahun-tahun belakangan, prakarsa ini menyebar bagai jamur. Berbagai pengembangan teknologi seperti program video, sistem manajemen isi, RSS (Really Simple Syndication), p2p (peer to peer) dan perangkat lunak dilakukan. Selain itu prakarsa TxAP juga meningkatkan aktivisme multimedia melalui upaya peningkatan akses jangkauan gelombang. Teknologi-teknologi dan kerja-kerja ini disatukan dalam upaya demokratisasi akses distribusi video di tingkatan global, untuk menantang media penyiaran dominan serta bersuara di sekitaran isu-isu sosial dan lingkungan kritis.

Bumi Perkemahan Tanakita, Sukabumi, Indonesia adalah tempat pertemuannya. Di sini, setiap peserta pertemuan mengikuti rangka kerja dari tanggal 19-25 Mei 2008. Tenda Ubuntu, Debian, Theora dan Dirac (nama-nama program perangkat lunak bebas dan terbuka/FOSS), disiapkan untuk menggelar seluruh rangka kerja.

Untuk pertemuan besar, di mana melibatkan seluruh peserta, dipakai tenda Ubuntu. Di sini, terdapat proyektor video untuk presentasi dan pemutaran karya-karya video peserta. Debian merupakan tenda lab komputer, sedangkan Theora digunakan sebagai tempat pertemuan dalam satu sesi rangka kerja. Sebuah gazebo yang dinamai Dirac, digunakan untuk pertemuan-pertemuan kecil.

Selama pertemuan, para peserta dilengkapi dengan fasilitas internet nirkabel yang bisa digunakan di seluruh area bumi perkemahan Tanakita. Namun, bagi mereka yang tidak membawa komputer sendiri, tenda Debian dilengkapi dengan delapan komputer berinstalasi Linux. Fasilitas ini memudahkan peserta untuk berhubungan dengan dunia luar selama pertemuan berlangsung.

Lisensi dan Hak Cipta
Persoalan lisensi dan hak cipta menjadi dua masalah dasar dalam TxAP 2008. Hal ini mengemuka terutama bagi seniman yang seringkali terbentur masalah legalitas, saat mereka membuat dan mendistribusikan karya. Dalam salah satu sesi rangka kerja pembahasan legal, Namita, yang berasal dari Bangalore, India, memberikan alternatif hukum untuk mengatasi persoalan lisensi dan hak cipta. Menurutnya, selama ini lisensi dan hak cipta hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar dunia. Microsoft atau YouTube, misalnya, menikmati kekayaan luar biasa dari lisensi dan hak cipta yang didapat dari pengguna produk-produk mereka. Dia mempertanyakan kembali persoalan penggandaan karya-karya seni. “Kenapa menggandakan disebut mencuri sedangkan yang asli tidak pernah muncul?” tanyanya.

Salah seorang peserta rangka kerja dari Bangladesh, Siraj, membuat analogi pencipta pertama yang tidak pernah meminta kekayaan atas karya yang dibuatnya. “Kalau Anda mau mematenkan sebuah karya, dan dengan paten itu Anda mendapatkan banyak uang, maka Anda telah lepas dari sejarah. Waktu lampu diciptakan Thomas Alfa Eddison, dia tidak pernah meminta uang dari hasil ciptaannya. Lalu kenapa perusahaan besar begitu keras menghukum orang yang membajak produk-produk mereka, yang sebenarnya tidak bisa juga disebut asli itu,” tegas Siraj.

Persebaran karya-karya video di jaringan internet menjadi persoalan mendesak yang harus dipecahkan. Sebagai media baru, internet merupakan solusi untuk memberikan alternatif persebaran karya yang luas dan interaktif bagi pembuat video. Namun, seringkali karena persoalan legalitas penggunaan perangkat lunak, para pembuat video kesulitan untuk menyebarkan karya-karya mereka. Meski berbagai perusahaan komersial menyediakan ruang bagi persebaran karya-karya, namun kenyataannya, seniman banyak dirugikan oleh perlakuan perusahaan besar tersebut. Untuk menjawab persoalan ini, Tiffany dan Chris, dua aktivis video dari Amerika Serikat dan Malaysia, melihat alternatif FOSS sebagai jalan keluar. Bagi mereka, FOSS memberikan kebebasan sebenarnya, di mana ia berbeda dengan kebebasan semu yang ditawarkan oleh perusahaan komersial besar. Dengan menggunakan perangkat FOSS, pembuat video tidak perlu takut lagi dihadapkan dengan persoalan legalitas perangkat yang mereka gunakan selama ini. Persoalan yang masih tersisa tinggal bagaimana pengembang FOSS mampu meyakinkan para pembuat video, bahwa produk hasil kembangannya tidak kalah bagus dari produk-produk perangkat lunak komersial.
[/tab_item] [tab_item title=”EN”] (Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item] [/tab]

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search