In Artikel
[tab] [tab_item title=”ID”] [button color=”#000000″ background=”#e5e5e5″ size=”small” src=”#”]Laporan redaktur Jurnal Footage, Mahardika Yudha dari Jepang[/button]

Analog,’ ujarnya sambil menghisap rokok yang tak pernah lepas dari mulutnya. Matanya awas memandangi LCD kamera yang berukuran besar. Kamera 3CCD itu diapit oleh dua kamera berbeda tipe lainnya yang berukuran lebih kecil bersama sebagian kaset MiniDV yang berserakan terlepas dari pembungkusnya. Sebagian kaset tersusun rapih dalam kotak makan tak jauh dari botol bir kosong. Berulang kali ia mengganti kaset pada dua kamera sedang dan kecil. Sedang kamera besar menjadi poros kamera utama. Lelaki berusia 48 tahun itu masih mengedit filem yang akan diputar pukul 6 malam itu (15 Februari 2012). Dihadapannya duduk Keiko Okamura, direktur festival sejak penyelenggaraan pertama Yebisu International Festival for Art & Alternative Visions pada tahun 2009 dan Tasaka Hiroko, kurator beberapa program di tahun ini. Percobaan penayangan akan dilakukan setengah jam sebelum tayang. Sekarang waktu telah menunjukkan pukul 5.15. Seorang panitia menghampiri untuk bertanya kesiapan materi. Seniman yang berambut mohawk dan menggunakan celana biru dan jaket sepakbola Hakodate Higashi itu menggeleng dan berkata, “sebentar lagi”. Ia pun menarik selembar kertas dari bawah buku logging-nya untuk menulis judul dengan tulisan tangan lalu membidiknya dengan kamera. Kemudian bergeser ke wajah Tasaka Hiroko yang berusaha menghindari tangkapan kamera dan bidikan berakhir di wajah saya. “Tak apa kalau wajahmu jadi penutup filem ini?” dan saya menjawab, “Tak apa.”

Seniman dan sutradara filem yang bernama Hiroyuki Oki itu baru saja menyelesaikan proses editing manual. Menyusun dari kaset ke kaset. Seperti proses editing pada masa video analog, antar alat perekam VHS atau Betacam. Saya bertanya mengapa ia masih menggunakan format DV di saat semua sutradara berbondong-bondong menggunakan format high definition dan mengapa pula ia mengedit manual. Ia jawab sambil tersenyum, “Saya tak bisa menggunakan PC (mengedit dengan komputer personal)”. Jawaban itu membuat jidat saya berkerut. Menurut saya, sutradara dan seniman kawakan Jepang yang telah membuat filem sejak tahun 1984 dan memenangi beberapa kompetisi internasional itu tentu memilih format DV sebagai alasan estetik. “Inilah bentuk fisik citra yang gamblang,” ujarnya kemudian. Pada akhirnya saya harus tersenyum karena teringat dengan tema festival tahun ini, How Physical. Filemnya yang ditayang itu diberi judul Made on The Balcony (Ebisumix) yang menggunakan footage semenjak 2006-2012. Sutradara yang dikenal sebagai seniman work-in-progress yang tidak pernah menghentikan setiap karyanya pada satu titik puncak estetik. Dalam program khusus karya-karyanya yang diberi judul The World is Drunk! (dikuratori oleh Tasaka Hiroko), diputar dua filem Hiroyuki Oki lainnya yang juga terus berkembang sejak pertama kali dibuat, Um/Om 1 (2005-2011) dan Matsumae-kun’s Red (Public Pants) Film (Eizosai mix) dibuat sejak tahun 2010-2012. Ia juga terlibat dalam proyek Between Yesterday & Tomorrow yang merespon keseharian (memandang sekarang, kemarin, dan masa depan). Proyek ini melibatkan banyak seniman dan sutradara yang telah berjalan sejak tahun 2008-2012. Pada festival tahun ini, karya-karya yang diputar terdiri dari empat edisi pasca gempa dan tsunami 11 Maret 2011, 3 Juni 2011, 31 Agustus 2011, 9 September 2011, dan Januari 2012. Proyek filem ini merupakan salah satu dari beberapa proyek filem yang dihadirkan untuk membicarakan ragam ‘bentuk fisik’ dari bahasa filem dari berbagai proyek filem, seperti pencarian konstruksi filem eksperimental terbaru dari Korea Selatan, Deep Structure – Korean Contemporary Art yang memutar delapan filem rentang 2008-2012 dengan berbagai pendekatan bahasa baik dokumenter, eksperimental, ataupun fiksi. Program Visual Anthoropology Today dengan fokus filem sutradara Kawase Itsushi dan Bundo Daisuke melalui filem-filem etnik produksi di negara-negara Afrika, Ethiopia dan Kamerun; A Rectangular Prism yang dikuratori Jim O’Rourke menghadirkan beberapa filem Walter de Maria, Tony Conrad, Ernie Gehr, dan Kirk Tougas yang mempertanyakan concrete cinema; dan program Architecture and Images: On Experience in Material mencoba membicarakan konsep ‘gambar bergerak’ sebagai materi utama dalam membuat filem dengan menumbukkannya pada kekurangan fotografi atas hilangnya durasi pada sebuah peristiwa.

Between Yesterday & Tomorrow Omnibus vol. 31 Agustus 2011
#02 Suma Beach (Takashi Toshiko)

Between Yesterday & Tomorrow Omnibus vol. 31 Agustus 2011
#09 Onagawa
(Maeda Shinjiro)

Between Yesterday & Tomorrow Omnibus vol. 31 Agustus 2011
#02 Jingu Stadium
(Ishikawa Tamagawa)

Between Yesterday & Tomorrow Omnibus vol. 11 September 2011
#04 Whale Shark
(Matsushima Shunsuke)

Program penayangan dilangsungkan di lantai satu gedung sinema. Selain proyek-proyek filem yang menghasilkan data temuan dan tesis visual hasil penelitian, juga diputar beberapa terjemahan bentuk fisik gambar dari sudut pandang dua dimensional yang memiliki keterbatasan pada layar, yaitu penayangan perdana di Asia dari dua filem Anthology Film Archive yang membicarakan sejarah filem eksperimental melalui Free Radicals: A History of Experimental Film (2010) karya Pip Chodorov dan filem catatan harian terakhir dari jagoan tua Jonas Mekas, Sleepless Night Stories (2011) yang merumuskan definisi bentuk filem eksperimental dari masa ke masa melalui bidikan-bidikan gambar personal dan keseharian, serta makna dari amateur dan author. Berbeda dengan filem esai Free Radicals: A History of Experimental Film menghadirkan pemikiran dedengkot-dedengkot filem eksperimental sejak Hans Richter, Robert Breer, Ken Jacobs, Peter Kubelka, Jonas Mekas, dan MM Serra.

Free Radicals: A History of Experimental Film (2010) & Sleepless Night Stories (2011)

 

Pip Chodorov (Free Radicals: A History of Experimental Film)

Program pemutaran ditutup dengan pertunjukan langsung filem bisu Victor Sjöström, The Phantom Carriage (1921) oleh musisi Jim O’Rourke yang pernah berkolaborasi dengan sutradara-sutradara kontroversial seperti Werner Herzog, Shinji Aoyama, dan Koji Wakamatsu. Selain itu, program pertunjukan See This Sound pada 18 Februari 2012 menghadirkan seniman-seniman muda Jepang yang sebagian besar pernah terlibat dalam proyek-proyek seni di Yamaguchi Center for Arts and Media1. Seniman Hiroyuki Oki yang menyelesaikan studi arsitektur di Universitas Tokyo pada tahun 1988 pada pertunjukan ini menjadi disk jockey yang enerjik dengan nama DJ Piropiro. Ei Wada memainkan karya terbaru dari Wada’s Project, Open Reel Ensemble yang bergaya ‘old-style’, merekam dari tape ke tape sebagai materi instrumennya. Ia memainkan musik dengan menyentuh 6 layar monitor yang ditaruh di sisi panggung pertunjukan. Kelompok Shinigiwa memadukan lecture Shigeru Matsui tentang sejarah seni media di Jepang sejak kelahiran Jikken Kobo dan musik eksperimental yang dimainkan oleh Hiroyuki Nagashima. Proyeksi-proyeksi kuotasi, foto dokumentasi dan data statistik perkembangan seni media di Jepang periode tengah 1950 hingga 1970an itu telah menghipnotis penonton muda yang memadati The Garden Room. Duo Kensuke Sembo dan Yae Akaiwa yang tergabung dalam kelompok exonemo menghadirkan live digital berbasis komputer. Karya ini mengembalikan citra otomatis pada teknologi komputer kepada sistem manual dan menghadirkan fisik digital komputer Macbook Pro yang ditaruh di atas panggung dengan layar desktop yang terhubung dengan proyektor sebagai ‘pelaku performance’. Exonemo memainkan musik secara manual dengan menghadirkan video-video yang berfungsi sebagai suara-suara tunggal dan mengabungkannya dalam kesatuan simfoni. Ia juga menghadirkan rekaman langsung dari video-video itu dalam satu desktop komputer yang diaransemen kembali layaknya orkestra digital, serta bereksperimen dengan fungsi-fungsi desktop dalam layar komputer yang diproyeksikan melalui proyektor. Karya lain yang sama badung dan jenaka dari exonemo juga dipamerkan di pelataran area Taman Ebisu. Karya yang berjudul The Eye Walker yang merupakan hasil dari proyek seni LabACT2 (produksi Yamaguchi Center for Arts and Media) yang mengajak pengunjung taman untuk bermain sebagai ‘mata-mata’ atas pengunjung lain. Pergeseran ‘kecurigaan atau pemantauan’ dari negara pada masyarakat kepada internal antar masyarakat itu sendiri, dihadirkan secara gamblang bagaimana mekanisme dan alur kecurigaan itu terus berlangsung hingga sekarang.

The Phantom Carriage (1921) Victor Sjöström

Kolaborasi DoraVideo dan drummer Yoshimitsu Ichiraku menampilkan live performance dengan video mixer potongan-potongan filem hiburan ‘kekerasan’ seperti Kill Bill. Karya ini mempertanyakan tentang bentuk kekerasan yang dihadirkan melalui citra-citra pada layar tunggal yang memiliki kemampuan manipulasi dan hanya mengulang citra-citra yang sama dalam sejarah sinema dunia. Pertunjukan See This Sound juga menghadirkan Typingmonkeys dan evala.  Pertunjukan See This Sound memiliki korelasi dengan tema yang dilemparkan ke publik pada perhelatan kedua festival ini di tahun 2010, Searching Song.

Penayangan filem, live performance, simposium, pameran di galeri dan karya interaktif di lapangan terbuka pada 4th Yebisu International Festival for Art & Alternative Visions 2011 mencoba mempertanyakan (what) bentuk fisik dari gambar bergerak atau mengimajinasikan bagaimana (how) jika seandainya citra itu memiliki tubuh jasmani. Bentuk fisik atau lahiriah dari citra memiliki fisik sebagai materialitas dan korporealitas. Materialitas mengacu pada peralatan dan teknik yang digunakan, serta bagaimana aspek-aspek fisik lainnya yang menjadi terjemahan atas nilai konten yang menjadi pilihan artistik, seperti ukuran dan sifat layar, tata letak (layout) ruang, efek-efek dari akustik peralatan, dan cara pendistribusian. Sedang korporealitas mengacu pada aksi dari citra itu sendiri untuk mempengaruhi atau mengintervensi dari ‘tubuh pemirsanya’. Seberapa mampu citra itu memilah kenyataan sebenarnya dan keterhubungannya dengan subyek kebendaan –dalam hal ini teknologi.3

Presentasi pameran menjadi bentuk presentasi yang kasat mata dalam upaya mem-fisikkan citra sebagai tema yang diangkat dalam festival ini selain pertunjukan langsung See This Sound dan The Phantom Carriage (1921). Pameran ini menggabungkan antara fisik dari teknologi itu sendiri, fisik dalam kaitannya dengan ruang dan bentuk citra tiga dimensional yang dihadirkan melalui citra gambar bergerak—baik fisik dari citra analog ataupun digital.

The Space Beyond Me (Julius von Bismarck)

Karya seniman Jerman, Julius von Bismark, menghadirkan mitos total sinema goa plato (platonic heaven) yang diungkapkan oleh André Bazin4 melalui karyanya yang berjudul The Space Beyond Me (2010). Karya ini menerjemahkan gambar Manusia Mesin (Man Machine) Fritz Kahn dengan menghadirkan kodifikasi proyektor 16 mm Arriflex 16ST dengan memasang mesin motorik lensa zoom otomatis dengan cahaya UV Light sebagai lampu proyeksi yang mampu bergerak dan zoom in-out secara otomatis mengikuti gerak sang tokoh, seorang laki-laki telanjang. Proyektor itu diletakkan di titik pusat ruangan melingkar yang memiliki diameter sekitar 3 meter (jari-jari berkisar 1,5 meter). Proyeksi berwarna hijau difungsikan sebagai ‘lukisan goa’ yang berasal dari fosfor dengan bantuan sinar UV Light. Proyeksi hijau itu merupakan gambar diam dari ‘Adam’, peninggalan proyeksi biru yang terus bergerak selama 16 sekwens (dengan jumlah frame berbeda tiap sekwens-nya). Proyeksi biru yang bergerak mengikuti Adam memanjat dinding-dinding batu, berlari di sabana, merenungi kehadirannya di dunia yang tak ada siapapun selain dirinya. Pergerakan proyeksi dari kiri ke kanan, lalu tiba-tiba bergerak cepat kembali ke kiri itu mengejutkan pengunjung karena pergerakannya sama sekali tidak bisa diidentifikasi kapan proyektor akan mengarahkan proyeksi pada tubuh pengunjung. Para pengunjung bergeser-geser memberikan ruang proyeksi dan mengikuti alur cerita pada ‘lukisan goa kontemporer’ yang terbentuk dari fosfor itu.

The Space Beyond Me

Ruang pameran terdapat di basement, lantai dua dan tiga Tokyo Metropolitan Museum of Photography. Di lantai tiga, ruang pamer terbagi menjadi 5 ruang dengan menghadirkan empat seniman internasional. Marijke van Warmerdam, seniman perempuan dari Belanda yang lahir 1959 menampilkan tiga karya. Passage (1992), karya ini menghadirkan proyektor 16 mm yang memproyeksikan filem eksperimental avant-garde berbentuk gambar kotak dan garis berima (memiliki irama seperti layaknya sebuah sajak) berukuran kecil. Sedangkan layar tunggal Couple (2010) dan In the Distance (2010), dua karya ini diproyeksikan pada satu layar berukuran sekitar 5 x 2 meter yang diletakkan menggantung di tengah ruangan dengan proyeksi yang saling membelakangi. Dari pintu masuk ruang pamer seniman yang telah dibuatkan pameran retrospeksinya oleh Van Abbe Museum pada tahun 1997 dan Museum Boijmans van Beuningen di tahun lalu itu, pengunjung langsung disuguhi In the Distance yang menampilkan gambar dari balik jendela yang berembun dari dalam rumah. Pergerakan kamera perlahan menuju jendela dan pada akhirnya menampakkan gambar buram (berembun) sepasang kakek-nenek yang duduk di tepi hutan. Adegan kakek-nenek ini juga hadir pada karya Couple, namun diambil dari sudut luar rumah dan sepasang kakek-nenek yang duduk di tepi danau. Dua karya yang saling berkomunikasi ini dan Passage telah dikoleksi oleh Taka Ishii Gallery, Tokyo. Berbeda dengan bentukan logika editing gambar bergerak dari still citra yang disusun berjajar menjadi empat baris horisontal yang dihadirkan Tomoko Maezama melalui 48 foto landscape yang diambil dari dua negara yang berbeda; North Cape (Norwegia) dan Inari (Finlandia). Foto-foto (bidikan) dalam karya yang berjudul Stones/Branches/Glass itu memiliki warna dan pencahayaan yang sama sekali tidak berbeda dan sambung menyambung membangun peristiwa. Tomoko Maezama yang lahir di Nagano pada tahun 1972 dan tinggal-bekerja di Tokyo menyusunnya dalam alur yang naratif dan linear. Dimulai dari gambar melebar pegunungan dan danau Inari, Finlandia lalu bergerak ke medium shot dan kemudian close-up bebatuan dan bergeser pada close-up bebungaan pinggir danau musim dingin dan berakhir pada longshot danau North Cape, Norwegia.

Tokyo Cinema

Passage (1992) Marijke van Warmerdam

The Quick Brown Fox Jumps Over The Lazy Dog (2009) mengumpulkan 3.664 frame dari 3.664 filem yang masing-masing filem dikutip satu frame. Filem eksperimental found footage ini menyusun frame-frame itu dalam cerita linear selama tiga menit. Karya Johann Lurf lainnya, Endeavour (2010) yang menggunakan footage dari NASA yang dikemasnya menjadi kisah percintaan romantis. Karya ini ditaruh di ruang basement bersama karya-karya mix media Suzuki Ryoji Dubhouse Kino (2012); Points on Line (2010)-nya Sarah Morris; dan Hiroyuki Oki, Train-An yang dikerjakannya sejak tahun 2007-2012. Ia juga menghadirkan karya sketsa Scores for ‘Um/Om 1’ yang diselesaikan pada tahun 2011.

The Quick Brown Fox jumps (2009)_johann lurf

Karya Johann Lurf

Di lantai dua, Film Studies: Odessa’s Steps (2006) dari Ryusuke Ito menghadirkan sebuah miniatur kereta bayi yang berjalan menurun di tangga dan memproyeksikannya pada layar. Karya ini membicarakan logika miniatur yang sering digunakan dalam filem dan menghadirkan ilusi kenyataan sebenarnya pada benak manusia. Karena ini juga merespon logika montase Sergei Eisenstein yang termuat dalam filem pertempuran Bolshevik, The Battleship Potemkin (1925). Karya Ito yang lain berjudul Song Plate #23. Karya ini menggabungkan beberapa seluloid berbeda ukuran, 8mm, super 8, 16 mm, dan 35 mm. Carolin Teunisse dan Bram Snijders dari Belanda benar-benar mempertanyakan bentuk fisik dari sebuah proyeksi melalui refleksi tubuh proyektor itu sendiri. Karya video mapping berjudul RE: (2010), merefleksikan pantulan sinar proyeksi pada rangkaian pantul tiga cermin yang berakhir pada pemindaian tubuh fisik projektor itu sendiri. Filem-filem ilmiah dari Tokyo Cinema periode 1950-1960 juga dipamerkan pada festival ini. Perusahaan filem itu telah mendokumentasikan perkembangan teknologi di Jepang paska Perang Dunia II. Tokyo Cinema yang berdiri pada tahun 1953 itu telah menghasilkan ratusan filem-filem ilmiah seperti, The World of Pulses: Electronics and Living Organism (1962) yang berdurasi 29 menit membicarakan tentang analogi perkembangan tubuh manusia yang sama persis dengan perkembangan teknologi dan Denshi no Gijyutsu: Television (1961) yang membicarakan era dunia baru media massa pada kelahiran televisi.

odessa's steps (2006)_ryusuke ito

Film Studies: Odessa’s Steps

RE-2010-carolien-teunisse-snijders

RE:

Carolien Teunisse and Bram Snijders

Yebisu International Festival for Art and Alternative Visions
Festival tahunan ini mulai hadir di Ebisu pada 2009. Diinisiasi oleh institusi pemerintah, Tokyo Metropolitan Museum of Photography yang berlokasi di taman Ebisu. Festival ini menjadi salah satu barometer untuk mengukur tingkat kepekaan dan kepedulian seniman terhadap laju pertumbuhan teknologi di Jepang. Percepatan teknologi yang tergolong gila-gilaan di Jepang perlu diimbangi dengan saluran-saluran ekspresi seni atau bahkan melintas dengan teknologi industri komersial. Seperti kita semua ketahui bagaimana Jepang telah menjadi produsen teknologi-teknologi mutakhir, terutama di bidang teknologi informasi (komputer) yang mampu memberikan dorongan dan inspirasi dalam mengeksplorasi bentuk-bentuk baru estetika seni elektronik dan media di dunia. Percepatan pertumbuhan seni berbasis komputer dan media di Jepang juga dipicu dengan semakin sehatnya perangkat-perangkat kesenian dan kebudayaan sejak dekade 90an.

Dalam sejarah perhelatannya, festival yang mayoritas pengunjungnya adalah anak-anak muda Jepang ini memfokuskan diri pada persoalan-persoalan gambar, baik diam (still) ataupun bergerak. Festival ini berupaya mengkaji dan mensejajarkan seni pada tingkat kesejajarannya dengan pengetahuan. Terlihat sekali bagaimana para seniman-seniman yang terlibat lebih cocok dikatakan sebagai ilmuwan scientific ketimbang seniman aktivis yang banyak bermunculan dewasa ini di berbagai belahan dunia yang merespon kondisi sosial-politik global.

Pada tahun pertama, festival ini mengangkat isu tentang lintas makna gambar yang digunakan dalam berbagai bidang dan disiplin keilmuan. Alternative Vision dijadikan tema yang merespon leburnya batas-batas persepsi dan aksi citraan pada teknologi di masa bergesernya kuasa purba teks kepada gambar. Pada perhelatan pertama, festival ini menghadirkan tidak hanya seni berbasis waktu dan seni elektronik, tetapi juga foto dan lukisan. Beberapa karya dari tokoh-tokoh sejarah modern dihadirkan, seperti Andy Warhol, Bruce Conner, General Idea, Dara Birnbaum dan Dan Graham, dan Nagisa Oshima. Di tahun 2010, tema yang diangkat tentang suara, Searching Songs. Perebutan ruang antara gambar dan suara dalam sejarah gambar bergerak yang telah terjadi sejak teknologi suara ditemukan dalam filem dicoba dimaknai kembali dengan perspektif zaman sekarang dengan karya-karya yang dihadirkan seperti sekelas Henri Cartier-Bresson, Vito Acconci, Paul McCarthy, Mike Kelley, John Cage, Nam June Paik, ataupun Jonas Mekas. Sedang pada perhelatan ketiga di tahun 2011, festival ini mengangkat Daydream Believer yang mengacu pada fantasi dan kenyataan.

Disappearing Landscape-Passing II_Yuan Goang-ming

Disappearing Landscape, Passing II, Yuan Goang-ming

experience in material no 53 (2012) ryoji suzuki

Experience in Material No. 53 (2012), Ryoji Suzuki

– –
Dari berbagai sumber. Terutama katalog 4th Yebisu International Festival for Art & Alternative Visions 2012 dan laporan pandangan mata selama mengikuti beberapa program baik pemutaran, pameran, ataupun live event selama festival berlangsung dari tanggal 11-19 Februari 2012.


1 Yamaguchi Center for Arts and Media (YCAM) berdiri pada November 2003. Institusi ini memfokuskan pada kerja-kerja berbasis teknologi komputer dan informasi dalam hubungannya dengan disiplin seni yang lain seperti; tari, teater, performance art, pameran seni, pemutaran film, dan sound-related events; ataupun menyelenggarakan distribusi pengetahuan seperti kerja kolaborasi, workshop, ataupun seminar dengan remaja dan anak-anak.

2 Proyek seni LabACT merupakan proyek seni yang berjalan sejak tahun 2011. Proyek seni ini diinisiasi oleh Yamaguchi Center for Arts and Media yang menjadi ruang pertemuan untuk mengeksplorasi hubungan antara ilmu pengetahuan dan seni, termasuk aspek sosialita yang melatarinya. Pada tahun pertamanya, proyek seni ini mencoba melacak alur ‘mata teknologis’ dengan menghadirkan edisi pertama seniman-seniman seperti exonemo, semitra, Zach Lieberman, Evan Roth, James Powderly, Theo Watson, Chris Sugrue, Tempt1 dan Seiko Mikami.

3 Wawancara dengan Keiko Okamura (11 Februari 2012 di Tokyo Metropolitan Museum of Photography).

4 [ ] Sinema adalah fenomena gagasan. Gagasan yang dikonstruksi manusia itu sudah ada secara lengkap di pikiran, seperti di surga platonic; dan yang mengejutkan kita adalah adanya tantangan keras dari materi terhadap gagasan, dan bukan berbagai anjuran teknis bagi imajinasi peneliti. Andre Bazin dalam The Myth of Total Cinema, “What is Cinema?”, University of California Press, 1967, hlm. 234.

[/tab_item] [tab_item title=”EN”] (Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item] [/tab]
Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search