Dipicu kematian George Floyd oleh aksi brutal petugas kepolisian Minneapolis, Derek Chauvin, isu rasisme dan gerakan perlawanan masyarakat kulit hitam akhir-akhir ini kembali menyeruak di jagad media sosial dengan tagar #BlackLivesMatter. Diskriminasi masyarakat kulit hitam merupakan rentetan dari sejarah politik Amerika Serikat yang hingga kini tidak juga luput diperkarakan dalam ruang sinema. Fenomena ini kembali mengingatkan saya bahwa filem-filem yang menyiratkan, menyinggung, atau bahkan membahas secara lugas soal rasisme terhadap warga kulit hitam sudah banyak diproduksi oleh Industri filem Amerika Serikat itu sendiri. Dari sekian filem-filem bertemakan isu rasisme, terutama menyangkut masyarakat african-american, bagi saya, filem White dog (1982) garapan Samuel Fuller merupakan salah satu yang paling menyolok untuk dibahas. Sebab, meskipun menuai banyak kecaman dari publik kulit berwarna Amerika Serikat, filem adaptasi novel berjudul sama yang ditulis oleh penulis perancis, Roman Gary, pada tahun 1970 ini dipuji habis-habisan oleh para kritikus filem.
Sulit untuk mengatakan bahwa filem dengan tema rasial, dibikin oleh orang kulit putih pula, takkan menyulut polemik. Meski sempat dikawal ketat dari mulai tahap produksi filem, Collette Wood, juru bicara National Association for the Advancement of Colored People (NAACP), dengan tegas menyatakan penolakannya terhadap bagaiamana masyarakat kulit hitam direpresentasikan dalam filem White Dog. Entah keberanian macam apa yang ada pada Paramount Pictures dan Samuel Fuller untuk memproduksi filem ini di tengah gerakan perjuangan hak-hak sipil masyarakat african-american. Sementara mengesampingkan bahwa Samuel Fuller adalah warga kulit putih Amerika Serikat, temuan-temuan saya pada filem ini mendasari keyakinan saya untuk membongkar kembali bagaimana Samuel Fuller membahasakan keberpihakan politis dan kritiknya terhadap diskriminasi warga kulit hitam melalui filem ini–-yang kita ketahui kemudian menjadi filem terakhirnya di Amerika Serikat sebelum ia membuang diri ke Perancis.
Filem berdurasi sembilan puluh menit ini bermula ketika aktris kulit putih bernama Julie Sawyer (Kristy McNichol) secara tidak sengaja menabrak anjing german shepherd dengan mobilnya. Dari perbincangannya dengan dokter hewan yang merawat anjing tersebut, Julie memutuskan membawa anjing itu pulang sebab pemerintah setempat akan melenyapkan anjing-anjing hilang yang tak kunjung dijemput pemilik aslinya. Tanpa disadari, aktris muda tersebut baru saja mengadopsi seekor monster yang telah dilatih untuk menyerang warga kulit hitam. Keanehan si anjing baru diketahui Julie saat anjing menganiaya Molly (Lynne Moody), rekan sesama artis yang berkulit hitam, di sebuah lokasi syuting. Menyadari kondisi anjingnya akan membawa orang lain dalam bahaya, Julie membawa anjingnya ke tempat pelatihan hewan bernama Noah’s Ark, di mana ia bertemu dengan Keys (Paul Winfield), seorang pelatih hewan berkulit hitam yang juga merupakan antropolog.
Di tengah kelengahan, pada suatu malam, anjing tersebut berhasil kabur dari tempat pelatihan hewan dan menyerang seorang kulit hitam hingga tewas. Rupanya, serangan itu membuat Julie mulai pesimis dan meminta Keys untuk menembak mati anjing tersebut. Namun, Keys tetap berusaha meyakinkan Julie bahwa dengan menyembuhkan anjing itu akan membuat rasis berkulit putih tidak bisa melatih anjing putih lainnya. Keys kemudian secara intensif melatih anjing itu kembali hingga tingkat keberhasilan mencapai sembilan puluh sembilan persen. Carruthers (Burl Ives), pria berkulit putih yang memiliki tempat pelatihan tersebut mengundang Julie untuk menyaksikan binatang peliharaanya telah berhasil disembuhkan. Dalam perjalanannya menuju tempat pelatihan hewan, Julie berhadapan dengan pemilik asli anjing yang datang untuk mengklaimnya. Dengan marah ia mengatakan kepada pemilik anjing itu bahwa si anjing telah disembuhkan oleh orang kulit hitam di depan cucunya. Di arena pelatihan, Keys dan Julie merayakan kemenangannya karena anjing tersebut berhasil disembuhkan. Tetapi, anjing itu malah mengalihkan perhatiannya pada Carruthers dan sekonyong-konyong lari menyerang Carruthers secara bertubi-tubi. Untuk menyelamatkan nyawa majikannya, Keys kemudian menembak mati anjing tersebut.
Langgam Hiperbolis dalam Konflik Rasisme yang Termediasi
Begitu kiranya bagaimana Fuller membingkai persoalan rasial dalam tubuh seekor anjing. Tubuh ini dihadirkan Fuller sebagai mata pertama yang mentransformasikan konflik yang bersifat sosiologis, dalam kasus ini sentimen xenofobia, ke dalam situasi psikologis seekor anjing. Subjek utama yang dihadirkan dalam filem ini seakan hadir untuk menunda kerja moralitas manusia, sebab konflik tidak dihadirkan secara langsung dari interaksi manusia di sekitarnya, bahkan tak tergambarkan secara gamblang secara visual. Saya menyebutnya sebagai cara yang metaforis; yaitu menggunakan penanda lain untuk mengungkapkan suatu penanda. Menariknya, metafor dihadirkan Fuller melalui langgam hiperbolis yang dapat kita temui pada penggunaan suara dan pengadeganan yang cukup klise layaknya bahasa estetika opera sabun.
Kita perlu menjawab pertanyaan, mengapa Fuller menggunakan langgam hiperbolis sebagai metafor? Sekilas, apa yang hadir dalam White Dog dapat diidentifikasi sebagai genre animal horror dalam filem kelas B. Namun, hal ini tidak serta merta membuat Fuller terjebak dalam kebanalan yang seringkali terjadi pada filem-filem serupa. Kita bisa membayangkan seandainya persoalan rasisme dalam filem dihadirkan tanpa mediasi dalam tubuh anjing. Tentu, akan menjadi sangat problematis apabila tindakan-tindakan rasisme yang dilakukan oleh manusia digambarkan dengan begitu hiperbolis seperti apa yang kita lihat dalam filem ini. Di sini kita bisa melihat signifikansi metafor yang dihadirkan Fuller, sebab, penggunaan langgam hiperbolis hanya dimungkinkan ketika subjek dari persoalan rasisime ini diletakkan pada tubuh seekor anjing. Kita dapat menduga bahwa langgam hiperbolis yang digunakan Fuller adalah upaya kritik terhadap penggunaan langgam tersebut dalam industri filem. Kita dapat kembali mengkontradiksikan konstruksi langgam hiperbolis pada filem-filem serupa dengan filem ini. Dari kacamata saya, langgam hiperbolik yang dihadirkan Fuller samasekali tidak dimaksudkan untuk mengeksploitasi emosi seperti yang seringkali kita temui dalam filem-filem bergenre serupa. Jika biasanya pada filem-filem serupa penggunaan langgam hiperbolis adalah konsekuensi narasi yang terjebak pada kebanalan konten, Samuel Fuller melompat lebih jauh dengan menggunakan langgam hiperbolis sebagai metafora dari persoalan yang jauh lebih kompleks.
Kesadaran konstruktifnya terhadap penggunaan langgam hiperbolis dapat kita rujuk dari sejarah hidup Samuel Fuller sendiri yang besar sebagai penulis koran-koran lampu kuning. Jejak kepenulisan Fuller jelas dapat kita saksikan pengaruhnya terhadap estetika yang ia pilih dalam mengadaptasi novel sumber ke dalam medium filem. Pada bagian selanjutnya saya akan sedikit menyinggung bagaimana Fuller dengan cermat mengubah narasi novel dengan sedemikian rupa sehingga ia dapat menghadirkan sikap politisnya terhadap rasisme dalam konteks sosio-historis yang berbeda.
Kritik Terhadap Rasisme Melalui Perspektif Anjing
Kita akan membedah bagaimana cara Fuller mengajak kita untuk menelusuri jejak rasisme melalui perspektif anjing. Pada momen-momen yang melibatkan si anjing, kamera diletakkan sejajar, atau bahkan, menampilkan tubuh anjing dalam proporsi yang besar sedang tubuh manusia dalam ukuran yang lebih kecil. Beberapa adegan juga menampilkan perspektif anjing melihat sekelilingnya. Permainan perspektif ini menciptakan ilusi empatik yang bekerja pada mata penonton. Kamera adalah pintu masuk bagi penonton untuk masuk ke dalam realitas filem. Secara langsung, penilaian penonton terhadap suatu gagasan atau peristiwa dalam filem ditentukan melalui sudut pandang kamera. Dengan demikian, kamera adalah pintu masuk ke dalam dimensi psikologis anjing di mana penonton terlibat dalam konflik antara subjek pelaku sekaligus korban dari sentimen rasisme.
Pada lapisan berikutnya, narasi berpusat pada kehidupan di sekitar anjing putih yang menjelaskan bagaimana rasisme dalam dimensi sosiologis bekerja. Merujuk pada situasi dan lokasi tempat terjadinya penyerangan anjing terhadap warga kulit hitam, saya membagi konflik rasisme dalam empat bidang; Ekonomi, Budaya, Agama, dan Pendidikan. Penyerangan terhadap orang kulit hitam pertamakali terjadi pada seorang pengemudi truk sampah yang kemudian menabrak toko busana bernama Oscar’s. Penyerangan kedua terjadi pada aktris kulit hitam bernama Molly di sebuah lokasi syuting. Berikutnya terjadi pada seorang kulit hitam yang tewas secara naas di dalam gereja. Lalu, yang terakhir adalah penyerangan terhadap Keys di arena pelatihan hewan. Menariknya, meski akhir filem ini terasa pesimistis, saya melihat gejala optimisme Fuller dalam melawan diskriminasi rasial pada bidang pendidikan.
Anjing adalah subjek bebas nilai yang setiap tindakannya didorong oleh naluri alamiahnya. Serangan-serangan brutal kepada warga kulit hitam, seperti yang tergambar dalam filem, jelas distimulasi oleh manusia. Seperti yang dijelaskan Keys pada Julie pada sebuah adegan di tempat pelatihan hewan bahwa sentimen tertentu diinjeksikan melalui laku pembiasaan. Sebagaimana orang-orang kulit hitam yang menerima fenomena anjing putih sebagai fakta getir kehidupan, Keys menjelaskan, laku pembiasaan itu dilakukan oleh orang-orang rasis kulit putih dengan membayar orang kulit hitam dalam pengaruh alkohol untuk menyiksa seekor anjing pemburu. Siksaan yang dilakukan secara terus-menerus memicu respon naluriah anjing untuk bertahan hidup dengan mensubstitusikan ketakutannya menjadi agresi terhadap seseorang dengan ciri fisik berkulit hitam. Untuk itu, dalam upaya penyembuhan, Keys, menggunakan metode pelatihan serupa. Dalam Ilmu Psikologi kita mengenal teori behaviorisme atau teori belajar tingkah laku yang berorientasi pada metode pelatihan dan pengulangan dengan parameter yang bisa diamati sehingga terbentuk sebuah kebiasaan tertentu. Seperti yang dapat kita amati pada filem ini, cara kerja pembiasaan yang dilakukan Keys adalah dengan memberikan stimulus dengan membiarkan anjing putih tersebut untuk menyerangnya tanpa memberi pukulan balik. Kemudian Keys memberikan penguatan dengan memastikan bahwa hanya dirinya, yang berkulit hitam, yang memberi makan anjing tersebut. Seiring waktu, anjing putih tersebut tidak lagi melihat orang kulit hitam sebagai ancaman. Tampaknya, proses penyembuhan sudah hampir berhasil, meski terdapat keganjilan ketika Keys membuka perutnya, anjing tersebut kembali menunjukkan respon agresif. Di akhir filem, keganjilan itu rasanya terjawab dengan adegan munculnya si pemilik anjing dan penyerangan secara tiba-tiba pada Carruthers yang keduanya sama-sama memiliki tubuh gemuk. Prasangka si anjing terhadap orang kulit hitam memang berhasil disembuhkan, namun agresi yang muncul dari naluri bertahan hidupnya masih ada dan justru menyerang balik orang berciri fisik serupa dengan pemilik asli anjing tersebut. Dengan demikian kita bisa menduga bahwa, menurut Fuller, persoalan rasisme memang dapat diselesaikan melalui pendidikan, meskipun tidak serta-merta kebencian yang mendasari sentimen rasial dapat terselesaikan.
Di filem ini, Fuller membalikkan narasi rasisme dalam versi novel. Pada versi novelnya, anjing putih itu malah berbalik dimanfaatkan sebagai senjata balas dendam dengan dilatih menjadi seekor anjing hitam (black dog) yang menyerang orang-orang kulit putih. Alih-alih tindakan rasis harus dipukul balik dengan tindakan rasis lainnya, Fuller berupaya menarik persoalan yang lebih esensial dari rasisme. Dalam konteks ini, saya menyejajarkan anjing putih dengan anak-anak sebagai subjek yang menginternalisasi nilai-nilai tertentu dari lingkup terkecil; yaitu keluarga. Perilaku rasis adalah konsekuensi dari kebencian yang ditanamkan melalu prasangka bahwa suatu ras lebih unggul dari kelompok ras lainnya. Institusi pendidikan, yang dalam filem ini digambarkan sebagai tempat pelatihan hewan, mampu menangkal perilaku rasis dengan menghilangkan prasangka rasial. Di sisi lain, rasisme hanyalah salah satu bagian dari sejarah kebencian yang diturunkan dalam lingkup sosial terkecil. Sampai di sini, saya kira Fuller cukup cermat dalam menghadirkan peran pendidikan sebagai agen utama dalam membentuk maupun memulihkan persoalan rasisme.
***
Kontribusi estetiknya dalam menghadirkan kompleksitas pada langgam hiperbolis, serta kritiknya terhadap diskriminasi rasial dengan menghadirkan pendidikan sebagai agen utama, saya kira memberi jalan terang mengenai keberpihakan politisnya terhadap isu rasisme. Memang, polemik yang melingkupi filem White Dog adalah konsekuensi logis dari kemungkinan bahasa sinema yang dihadirkan Fuller. Tanpa mengesampingkan berbagai penolakan yang ditujukan pada filem ini, kiranya kita perlu kembali mempertimbangkan substansi yang ditawarkan Samuel Fuller melalui filem White Dog dalam khazanah sinema, terutama Hollywood, dalam mempersoalkan isu rasisme.