In Artikel
[tab] [tab_item title=”ID”]

“What we are really attempting is not to invent a story that looks like reality, but to present reality as if it were a story.”
—Zavattini

(Catatan Menonton Bumi Bergolak (La Terra Trema) di Senin Sinema Dunia. Senin, 9 Januari 2012)

Banyak kalangan menyatakan bahwa Pencuri Sepeda (Ladri di Biciclette, 1948) karya Vittorio de Sica, merupakan puncak dari pencapaian gaya realisme sinematis dalam gerakan Neorealisme Italia. Sebagai seni pembebasan, Neorealisme Italia justru melahirkan cabang yang tidak sekedar dirujuk pada satu gaya filem saja, sehingga gerakan ini membentuk banyak puncak-puncak pencapaian dalam sinema. Filem Bumi Bergolak (La Terra Trema, 1948) karya Luchino Visconti, adalah karya filem di periode yang sama dengan Pencuri Sepeda dan merupakan satu di antara puncak-puncak gerakan ini.

SSD-9

Dua karya yang tersebut di atas, pada akhirnya membentuk dua posisi dari kalangan teoritikus dan kritisi filem Italia.  Pada 1950an, setidaknya ada dua posisi pandangan. Yang pertama, Zavattini, memandang Neorealisme sebagai usaha pembebasan terhadap realisme yang disandarkan sepenuhnya pada kamera yang mengurai peristiwa. Melalui ini, Zavattini menggali pengetahuan bersama “spectacle”, seolah sebuah cerita tentang orang-orang itu merupakan “cerita” diri mereka sendiri.

Pandangan kedua dari Guido Aristarco, seorang kritikus Cinema Nuovo menyatakan bahwa, ada kapasitas sutradara untuk menangkap realitas sehingga membentuk derajat tertentu dari realisme filem. Bagi Aristarco, tidak cukup sinema menggambarkan peristiwa yang berlangsung, karena pada tingkat tertentu dari realisme harus sampai pada dinamika dan motif dibaliknya. Sehingga, perlu realisme menyandarkan dirinya terhadap sesuatu yang sastrawi. Baginya, hal yang sastrawi dapat menangkap “tingkat kenyataan” sesungguhnya yang menjangkau dinamika dan motif di balik cerita dalam filem tersebut. Bumi Bergolak dianggap oleh Guido Aristarco mendorong Neorealisme Italia menjadi sebuah gaya yang khas. Menurut Aristarco, Visconti berhasil menggunakan bahasa realisme berdasarkan identifikasi penciptaan yang puitis. Hal ini terkait dengan latar belakang filem yang mengadaptasi novel karya Giovanni Verga, I Malavoglia (The House by the Medlar Tree).

http://www.youtube.com/watch?v=CxGpgih4P0k
Subteks Bahasa Inggris, klik CC untuk menonton dengan subteks.

Sastra Giovanni Verga
Bumi Bergolak terdiri atas tiga alur tentang kisah Keluarga Valastros—salah satu keluarga nelayan di Aci Trezza, desa kecil di pesisir timur Sisilia, Italia. I Malavoglia menjadi La Terra Trema (The Earth Trembles) dalam filem yang dibuat oleh Visconti. Di program DVD Untuk Semua Forum Lenteng, diterjemahkan oleh Andang Kelana menjadi Bumi Bergolak. Alur pertama berkisah tentang ‘Ntoni, anak tertua dari keluarga Valastros yang ingin merubah nasib nelayan dari cengkeraman para tengkulak. Ia memprakarsai pembentukan koperasi, sebagai usaha kemandirian bersama para nelayan. Lalu ia menggadaikan rumah untuk memulai usahanya sendiri yaitu, memiliki kapal, menangkap ikan, dan menjualnya secara mandiri. Alur kedua, berkisah tentang keluarga Valastros bertahan hidup. Badai laut meluluhlantakkan perahu keluarga Valastros. Tengkulak dan para nelayan lain merasa alam telah melindungi tatanan sosial yang kekal: Penghisapan nelayan. Di alur ketiga, berkisah tentang pergulatan keluarga Valastros dalam melawan kaum pemilik modal (tengkulak). Keluarga Valastros harus rela kehilangan banyak materi dan moril ketika berhadapan dengan tatanan sosial yang menindas. ‘Ntoni pun kembali ke para tengkulak untuk bertahan hidup. Ia menyadari, perlunya kolektivitas dalam menghadapi tatanan sosial yang tidak berpihak bagi nelayan.

Giovanni Verga adalah penulis Realisme Italia. Ia banyak menulis tentang Sisilia dan masyarakatnya. I Malavoglia sebenarnya sebuah karya yang kurang sukses secara komersial, dan juga tidak mendapat sambutan yang cukup baik dari kalangan kritikus sastra. Bahkan Émile Zola, yang menjadi panutan Verga pun tidak menuliskan kata pengantar yang telah dijanjikannya sebelumnya buku itu terbit. Beberapa kalangan menganggap I Malavoglia terlalu alamiah dalam penggunaan kata untuk menggambarkan karakter. Novel yang dibuat rentang 1870-1880an ini, adalah sastra dengan gaya khas Realisme Italia (verismo). Verismo dipengaruhi oleh Naturalisme dan Realisme Prancis, seperti Émile Zola dan Gustave Flaubert. Gaya verismo Verga adalah perseberangan dari pendekatan gaya Romantis, penggambaran detail empiris tanpa melibatkan perasaan pengarang (author). Verismo adalah usaha penggambaran realitas secara murni. Indra menjadi dasar pengetahuan untuk menggambarkan detail kenyataan yang berlangsung di hadapan pengarang.

Pada filem, Visconti menerjemahkan verismo dengan gaya penceritaan yang nyaris tanpa elips. Menurut Bazin, tidak ada aturan ketegangan kecuali kehidupan itu sendiri. Hal ini dapat dilihat pada teknik bidikan gambar, terutama pada bidikan di pantai dengan nelayan, bidikan di laut yang seakan membangun citra terhadap peristiwa dan sepenuhnya membuka peluang para penonton untuk turut serta membangun makna di balik kisah.

SSD9-04

Suasana diskusi setelah pemutaran Bumi Bergolak di Forum Lenteng

Pada Bumi Bergolak, Visconti sangat pandai mengelola para aktor yang seluruhnya berasal dari para penduduk Aci Trezza. Bahkan, ia mampu mengangkat pemain ini ke dalam “citraan” opera yang cukup aristokrat, yang merupakan kodrat realisme plastis pada seni filem. Bagi Guido Aristarco, hal ini disebut sebagai derajat-derajat realisme. Verismo membawa sepenuhnya “ketegangan” pada kehidupan kisah.

Namun, Bumi Bergolak bernasib sama dengan novelnya, kurang sukses secara komersial. Filem ini adalah salah satu filem terpenting dalam melihat Neorealisme Italia sebagai “gaya” sinematografis.

SSD9-5


Tentang Luchino Visconti

220px-LuchinoVisconti

Luchino Visconti, dari Modrone, Count Lonate Pozzolo (2 November 1906 – 17 Maret 1976) merupakan seorang pelaku teater Italia, opera, sekaligus sutradara dan penulis skenario. Ia terkenal karena film-film The Leopard (1963) dan Death in Venice (1971). Visconti lahir di Milan. Dia berasal dari  keluarga kaya. Ayahnya adalah Modrone Giuseppe Visconti. Awal mula karirnya di seni, musik dan teater, saat bertemu dengan komposer Giacomo Puccini, kondektur Arturo Toscanini, dan penulis Gabriele d’Annunzio. Selama Perang Dunia II Visconti bergabung dengan Partai Komunis Italia. Bukan rahasia bahwa Visconti adalah seorang homoseks. Pasangan terakhirnya adalah aktor Austria Helmut Berger.
[/tab_item] [tab_item title=”EN”] (Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item] [/tab]

Recommended Posts
Showing 2 comments
  • debu
    Reply

    selamat berjuang

    kapan2 bisa putar dan buat diskusi di sulteng , ….mungkin ?

  • Gaston Soehadi
    Reply

    Setelah menonton La Terra Trema, rasanya saya menemukan kebenaran dalam kata-kata yang diungkapkan oleh Aristraco.Bahwa realitas harus diterjemahkan sebagai bahasa yang puitis akan lebih dapat mengungkapkan esensi dari realitas itu sendiri dan tentu saja membuatnya lebih menarik. Dan itu menjadi tugas sang pembuat filem untuk bisa mentransformasikan realita menjadi sebuah potret yang bisa berbicara dengan baik.

    Pemikiran saya yang semula memahami bahwa sutradara neorealisme sangat bersandar kepada kemampuan perangkat untuk secara lahiriah memotret realita apa adanya rasanya tidak tepat. Kalau yang dilakukan seperti itu maka kira-kira hasilnya akan kering dan tidak menyampaikan inti permasalahannya. Bukannya saya tidak yakin bahwa filem tidak mempunyai kemampuan untuk secara banal menyuguhkan realita, tapi yang saya rasakan nantinya adalah kira-kira ada aspek dalam tubuh dan pikiran saya yang tidak akan tersentuh oleh filem banal ini. Misalnya, filem-filem dokumenter yang menggambarkan kekerasan di beberapa negara sebenarnya banyak yang hanya membuat saya merasa ngeri saja, tapi rasanya tidak mengetuk sanubari saya. Atau mungkin saya salah. Bahwa yang diperlukan dalam jaman sekarang ini adalah filem-filem yang mempertontonkan pelanggaran hak-hak asasi manusia secara jelas tanpa pretensi agar bisa bisa dipahami bahkan dirasakan oleh penontonnya. Jika Andre Bazin itu masih hidup hingga kini maka ia akan terkejut melihat kehebatan metode editing yang bisa menampilkan realitas kejam menjadi seribu kali kejam (tanpa harus repot-repot memakai long take atau deep focus atau apapun namanya).

    Melihat La Terra Trema, saya mampu untuk menangkap dan mengerti apa yang mereka, karakter-karakter itu, lakukan. Tidak hanya itu saya juga merasakan semacam kenikmatan atau keasyikan dalam cara bertutur sang sutradaranya. Le Terra Trema memang filem puitis yang berangkat dari kenyataan sehari-hari dalam komunitas nelayan di sebuah pantai Italia. Dari kenyataan ini saya merasa heran juga kok bisa diangkat sebagai sebuah filem yang indah (padahal di dalam filem itu kita tidak melihat pemandangan-pemandangan yang indah). Mungkin ini hanya semacam perasaan pribadi yang belum tentu juga dirasakan oleh penonton lainnya.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search