OLGA SERGEYEVNA ANTONOVA, perempuan yang di dalam dunia cerita Nikolai disebut membintangi tokoh Natasha, muncul di panggung didampingi oleh si pembawa acara. Niatnya, akan ada diskusi mengenai film yang baru saja ditonton. Tapi adegan pertama dalam segmen kedua dari The Asthenic Syndrome ini menunjukkan bahwa para penonton segera hengkang kaki dari bioskop, tiada minat sama sekali dengan diskusi; menegaskan kurangnya apresiasi mereka terhadap film tentang kisah Natasha (segmen pertama). Olga yang malu pun pergi ke luar panggung dan si pembawa acara, mau tidak mau, menyudahi acaranya dengan canggung.
Sementara itu, di bangku penonton, hanya tersisa seorang laki-laki yang tengah tertidur dan sebarisan tentara yang duduk di bangku-bangku paling belakang. Laki-laki itu, yang nantinya kita ketahui bernama Nikolai (protagonis di segmen ini), sempat terkejut dalam keadaan masih tertidur ketika barisan tentara di belakangnya berdiri lalu berjalan menuju ke luar bioskop.
Adegan beralih ke rentetan bidikan di stasiun kereta bawah tanah, di mana ratusan orang memenuhi peron. Ruang-ruang yang sesak. Dari jendela gerbong kereta, kamera memperlihatkan wajah-wajah lelah dari orang-orang yang berdesak-desakan di dalamnya. Lalu, saat kamera juga membidik wajah-wajah penumpang dari dalam gerbong, kita melihat bahwa Nikolai (yang tidur sambil berdiri) berada di tengah-tengah tumpukan manusia-manusia itu. Pintu kereta terbuka dan penumpang berhamburan ke luar gerbong, Nikolai belum juga terjaga dari tidurnya. Dalam kondisi tak sadarkan diri, badannya lantas tergeletak begitu saja di lantai stasiun tanpa ada yang peduli padanya. Muratova seakan menggandakan kegamangan soal risiko ketiduran ini dengan menyelipkan lagi bidikan-bidikan lain yang memperlihatkan puluhan orang yang berdiri di eskalator stasiun yang sedang bergerak, serta kereta-kereta yang melintas cepat. Ini merupakan sebuah montase jitu untuk menyiratkan kesan durasi tidur Nikolai yang panjang di atas lantai stasiun itu. Baru setelah penumpang lain turun dari kereta berikutnya, tiga orang mendekati tubuh Nikolai dan mengangkutnya ke sudut ruangan agar aman.
Setelah disela lagi oleh dua bidikan ke tubuh dan wajah Nikolai, kita kemudian melihat seorang petugas stasiun dan seorang tenaga medis tiba-tiba sudah berjongkok di samping Nikolai untuk memeriksa keadaannya—sekali lagi, menurut saya ini adalah montase yang jitu. Dari mulut si tenaga medis, kita tahu bahwa Nikolai hanya tertidur. Muratova dengan jenaka melanjutkan adegan ini dengan menunjukkan bahwa kedua orang yang memeriksa keadaan Nikolai itu pun, ternyata, juga dilanda kelelahan dan kantuk yang berat. Bidikan close up ke ekspresi wajah mereka yang menguap lebar ditingkahi oleh visual dan auditori kaotik dari suasana stasiun yang sibuk dan berisik.
Dapat kita sadari bahwa, bahkan sejak adegan di bioskop, Muratova menghadirkan perihal “tidur” dan/atau “ketiduran” ini secara berulang-ulang, baik melalui protagonis maupun karakter-karakter lain di sekitarnya, seolah ingin memberitahu kita bahwa itu adalah sebuah gesture yang penting. Menjadi kode kunci, nyatanya memang itulah gestur yang secara visual memanifestasikan subject matter film ini: sindrom astenik, yaitu suatu kondisi mental di mana seseorang dilanda kelesuan, kerengsaan, dan kelelahan kronis, kerap mengalami narkolepsi (kecenderungan ekstrem untuk tertidur secara mendadak di mana pun), kesulitan dalam berkonsentrasi, dan bahkan menjadi apatis dengan keadaan lingkungan sekitar.
Adegan berikutnya: Nikolai ternyata terlambat tiba di sekolah. Ia menghentikan larinya yang tergesa-gesa di ujung koridor, tepat membelakangi gambar potret besar Lenin. Ia berusaha menghindari seorang perempuan gemuk (belakangan akan kita ketahui dia adalah Direktur Pengajaran) yang sedang menggosok foto-foto murid yang terpajang di dinding. Nikolai berjalan pelan-pelan di koridor, berjingkat di tangga, dan kemudian masuk ke sebuah ruangan kelas yang tampaknya sudah berubah fungsi menjadi gudang. Beberapa kali, kamera secara intensional membidik dinding atau gambar-gambar di kaca patri yang melatari pergerakan kedua subjek (Nikolai dan si Direktur Pengajaran). Taubman, dengan mengacu kepada naskah The Asthenic Syndrome yang digarap ulang oleh Muratova, menyinggung intensi ini sebagai sorotan jahil si sturadara terhadap selera kasar dan tak menentu yang mewarnai tata ruang publik Soviet—dekorasi yang terlalu berlebihan dan mencolok mata.1
Kita bisa mengelaborasi interpretasi Taubman di atas dengan mengaitkan gagasan ornamentalisme sinematik.2 Sebagaimana yang kita tahu, ornamentalitas di film-film Muratova bukan hanya beroperasi pada tataran formal dari gaya ungkap filmis, tetapi juga menyasar elemen-elemen di ranah intrinsik yang ada di dalam tataran naratif. Sementara “kedalaman substansial” pada tataran formal dialterasi dengan gaya ornamental yang menafikan kemungkinan-kemungkinan makna simbolik sehingga bentuk film justru mengedepankan “tekstur”, pendekatan ornamentalistik Muratova terhadap intrinsikalitas naratif justru kerap kali dilakukan dengan menandingi (meng-counter)—kalau bukan menegasi—apresiasi-apresiasi atau pengakuan-pengakuan umum (resmi) mengenai apa yang dianggap indah dan apa yang tidak; apa yang diterima wajar dan apa yang semestinya tidak diterima wajar. Dalam konteks pengungkapan ornamentalis pada adegan di gedung sekolah ini, misalnya, menurut saya bidikan kamera yang intensional ke gambar-gambar di kaca patri sejatinya bukan untuk menciptakan atau menghadirkan simbolisasi tertentu tentang Soviet. Sebaliknya, penonton didorong untuk mengalami, ketimbang memaknai, selera estetika yang menggejala dalam kehidupan kontemporer dari masyarakat negeri itu. Dengan cara ini, pengalaman visual tanpa beban kontekstual—terhadap apa yang tampak—terbilang akan membuahkan penilaian yang hakiki. Itu, bagi film-film Muratova, lebih utama daripada pemahaman referensial terhadap makna-makna yang [barangkali] dikandung oleh visual di dalam adegan. Mengikuti gagasan Muratova tersebut (sebagaimana tersirat pada naskah yang dikutip Taubman) maka kita dapat menyetujui bahwa mata yang terbiasa melihat melalui selera atau perspektif yang ditetapkan rezim dan norma tertentu, tidak akan bisa menyadari keanehan, kemencolokan, dan kekeliruan dari dekorasi bangunan; atau setidaknya, tak akan mempunyai cara pandang alternatif terhadap dekorasi tersebut.
Permainan gaya ungkap ornamentalistik semacam itu—memadukan pengoperasian kebahasaannya pada aspek formal dan aspek naratif sekaligus—juga terlihat pada adegan selanjutnya. Di dalam gudang: Nikolai ujug-ujug melafalkan sebuah puisi yang, jika ditinjau dari segi isi, mengangkat tema tentang keterasingan. Isi puisi ini, sebagaimana dapat disadari, mengesankan suatu hubungan tematik dengan judul film. Si protagonis mengungkapkan kefrustrasiannya dengan mendeklamasikan puisi tersebut. Di sini, Muratova tengah menempatkan atau menjalankan fungsi pengungkapan filmis pada performativitas perilaku si subjek di dalam film. Modus semacam ini mengingatkan kita pada sebuah adegan performatif di film Change of Fortune (1987), yaitu saat tokoh Maria, di penjara bawah tanah, bercerita kepada seorang advokat tentang insiden penembakan. Terlebih lagi, adegan deklamasi puisi Nikolai terasa ganjil karena ia—yang penampakannya di dalam susunan bidikan kamera sempat disela-sela oleh gambar-gambar dari patung-patung Lenin serta ditingkahi oleh dua jump-cut yang mengulangi posisi di mana ia berdiri—melafalkan bait-bait puisi itu dengan gaya meluap-luap, hampir histeris (terlepas apakah ini adalah bagian dari “penghayatannya” terhadap puisi), dan dalam tempo pengucapan yang relatif cepat. Gabungan keempat elemen tersebut—distraktif (susunannya), repetitif (visualnya), histeris (subjeknya), dan cepat (ritme/temponya)—menjadikan adegan performatif si protagonis memenuhi sifat-sifat pengujaran mekanikal di dalam konteks bagaimana kata-kata menjadi salah satu bagian terpenting dari ornamentalitas filmis.3 Pada teknik pengadegan semacam inilah Muratova sebenarnya sedang mendefamiliarisasi gagasan yang terkandung di dalam puisi tersebut melalui teatrikalitas; ia tidak menyampaikannya lewat adegan konvensional, misalnya melalui dialog atau model interaksi sosial lainnya yang mungkin juga bisa menunjukkan kalau Nikolai mengalami dilema alienasi. Jika kita mengacu kepada teoretisasi Shklovsky, kefrustrasian yang ditunjukkan Nikolai dalam adegan tersebut menjadi “mencolok” justru karena, pertama dan utama sekali, tampilan perilakunya yang juga “mencolok” (performatif; teatrikal). Teknik pengadeganan ini—aksi (adegan) subjek yang performatif (atau subjek histeria)—adalah teknik formal dari ornamentalisme sinematik yang sangat khas di film-film Muratova.
Lanjutan adegan di dalam gudang itu adalah sebagai berikut: Nikolai menghentikan deklamasi puisinya karena tiba-tiba empat orang perempuan (yang bisa diduga adalah staf di sekolah tersebut) masuk ke dalam gudang. Mereka, lagi-lagi dengan suasana dan pembawaan yang heboh (histeris), berdiskusi soal hilangnya anjing liar yang mereka adopsi. Taubman4 menyoroti lanjutan adegan tersebut dengan menyatakan: “Muratova secara tidak langsung membandingkan kepedulian mereka terhadap hewan liar dengan penyiksaan yang mereka lakukan terhadap sesama manusia,” dan ia menegaskan penilaiannya itu dengan mengutip ujaran salah satu tokoh perempuan: “Ini semua adalah perbuatan Liushka si tukang kebun… Kalian harus mendatangi Liushka dan menghancurkan wajahnya!”, serta memberikan catatan kontekstual: “Muratova khususnya tidak menyukai sekolah Soviet, di mana kepalsuan wacana baku mencapai titik terpuncak.”
Catatan Taubman di atas berhubungan dengan interpretasinya soal keberadaan deklamasi-deklamasi teks yang dilakukan Nikolai dalam beberapa adegan di sepanjang film. Menurut Taubman,5 monolog Nikolai (dalam bentuk deklamasi teks) merefleksikan kesadaran mendalam tentang bagaimana sistem masyarakat, melalui pendiktean oleh norma-norma sosial dan politik, menanamkan suatu wacana atau narasi baku pada diri setiap individu sehingga orang-orang secara sadar atau tidak sadar selalu berusaha memenuhi ekspektasi umum yang sesuai dengan standar yang lazim. Ketidakpekaan atas hal ini berkonsekuensi pada terciptanya perilaku masyarakat yang mengulang bahasa (kata-kata) klise dan basa-basi meskipun mereka mungkin berada dalam kondisi yang terputus secara emosional dengan makna yang dikandung kata-kata tersebut. Performans atas teks (wacana)—‘menunjukkan tindakan mengujarkan teks/wacana’—yang dilakukan Nikolai inilah yang oleh Taubman dinilai sebagai suatu model kritik terhadap “double-speak” (‘bahasa-ganda’ atau ‘bahasa berbelit-belit’), gaya yang bisa dibilang menjadi ciri dari bahasa-bahasa politik dan bahasa-bahasa normatif. Di adegan itu, Nikolai “menunjukkan” kegelisahannya, lewat ujaran dan teatrikalitas, terhadap wacana dan sistem bahasa yang membentuk masyarakat terteatrikalisasi.
Perlu dipahami bahwa “bahasa berbelit” adalah fenomena yang menegaskan—tapi sekaligus juga yang menjadi penyebab—keteralienasian individu dari realitas autentik. Sementara itu, pada adegan, gagasan soal perasaan teralienasi itu sendiri terkandung di dalam puisi yang dideklamasikan Nikolai. Konstruksi adegan ini, dengan demikian, memicu suatu simpulan sederhana yang penting: perilaku performatif (ujaran mekanikal) Nikolai agaknya merupakan sebentuk protes atau disrupsi puitik atas kepalsuan yang menggejala di dalam realitas normatif. Bisa dikatakan pula, Muratova sedang mengkritik persepsi-persepsi stereotipikal di masyarakat (karena stereotipe adalah hal-ihwal yang benar-benar ditolak dalam sinematika ornamentalisnya) melalui penokohan Nikolai.
Tapi, apa yang justru menarik dari adegan tersebut, adalah, “protes Nikolai”—yang hanyalah sebuah penggalan dari adegan—secara langsung dibenturkan dengan penggalan lainnya dari adegan tersebut: gunjingan para perempuan yang di dalamnya terdapat suatu kontras, yaitu kontras antara “kepedulian terhadap binatang liar” dan “penerimaan wajar terhadap brutalitas pada sesama manusia”.
Perlu diperhatikan bahwa Taubman menawarkan interpretasinya dengan melakukan kontekstualisasi secara ekstrinsik, yaitu dengan mereferensikan sebuah informasi soal kebencian Muratova terhadap [sistem] sekolah, dan bahwa preferensi itulah yang agaknya tepat, menurut sudut pandang Taubman, menjadi dasar argumentasi untuk mencerna konten dari adegan tersebut. Penafsiran Taubman yang menarik konteks di luar unsur-unsur intrinsik The Asthenic Syndrome, tentunya, dapat berlaku dalam posisinya sebagai kritikus: ia bebas dari kewajiban mengikuti prinsip-prinsip formal sinema ornamentalis. Kita pun juga punya kebebasan yang sama sebagai pengamat. Tapi apabila kita lantas bertanya, bagaimana jika kita tidak mengetahui preferensi Muratova soal sekolah? Menurut saya, justru di titik ketidaktahuan inilah operasionalisasi gaya ungkap ornamental film bisa kita telaah.
Di dalam prinsip sinema ornamental, referensi eksternal yang spesifik, misalnya “kebencian subjektif si sutradara terhadap persekolahan”, tidak lagi berlaku wajib di dalam proses pembacaan atas suatu konstruksi formal adegan-adegan di dalam film. Sebagai gantinya, ornamentalitas justru memancing kontekstualisasi internal, yaitu ke unsur-unsur intrinsik adegan itu sendiri. Pada adegan di dalam gudang, kontekstualisasi yang paling mungkin adalah peng-acu-an secara intrinsik ke karakter dan setting naratifnya. Pada unsur setting, yaitu latar dan suasana sekolah, beberapa kontras—salah satu elemen terpenting dalam filsafat ornamentalisme (khususnya ornamentalisme sinematik)—dimunculkan dan ditata secara berlapis melalui karakterisasi (penokohan). Pertama, kontras nilai, yaitu kontras antara idealisme si protagonis (terwakili oleh isi puisi) dan truisme yang tampak pada orang-orang lain (terindikasi pada gaya bahasa dalam perbincangan para perempuan). Kedua, kontras tindakan, yaitu kontras antara tindakan sadar akan momok ‘bahasa-ganda’ (hal yang memotivasi Nikolai untuk bermonolog) dan tindakan yang justru mewujud dalam bentuk pengujar-ulangan teks diskursif (puisi dideklamasikan secara teatrikal). Ketiga, kontras sikap (yang menempatkan Nikolai dan tokoh-tokoh lain pada hubungan komparatif), yaitu kontras antara sikap soliter dan senandika-nya Nikolai dan sikap berkelompok dan dialogis-nya para perempuan. Keempat, yang secara khusus merujuk ke perilaku para perempuan, adalah kontras moral, yaitu kontras antara welas asih dan brutalitas. Kontras-kontras ini menjalankan suatu fungsi yang memfasilitasi sebuah struktur adegan yang memprovokasi pemahaman lazim kita tentang definisi “institusi pendidikan”, yang tidak mesti spesifik ke institusi pendidikan di lokasi mana, dan yang juga terlepas dari kemungkinan apakah itu ada kaitannya dengan preferensi sutradara atau tidak. Dengan kata lain, jenis institusi ini, sebagaimana ditampilkan dalam adegan tersebut, adalah sebuah ruang yang tidak steril; ia memungkinkan pertemuan yang janggal antara autentisitas dan banalitas, antara pendirian yang ideal (yang kerap dirundung kegelisahan) dan pendirian yang normatif (yang penuh basa-basi dan penerimaan terhadap stereotipe).
Struktur kontras tersebut secara tidak langsung juga ikut menggemakan tema naratif film: gundah-gulana personal yang mengusik karena berhadapan dengan realitas sosial yang tidak lagi sejati, juga tentang kecanggungan individual terhadap formalitas institusional, yang beriring-iringan dengan kecemasan batiniahnya sebagai manusia akan brutalitas jasmaniah yang dimungkinkan oleh manusia lain. Inilah suatu keadaan yang membuat protagonis di dalam cerita mengalami sindrom astenik: keadaan dari kepalsuan sosial. Sementara gaya bahasa sinema ornamental Muratova beroperasi di segi formal melalui perilaku performatif subjek dan ujaran-ujaran mekanikalnya, gaya ornamental yang sama dalam rangka mengungkapkan keadaan tersebut juga beroperasi di segi naratif melalui jukstaposisi adegan dan konten (tentang alienasi), di mana jukstaposisi itu merangsang suatu pembantahan terhadap idealitas dari apa yang menjadi latar adegan—sekolah. Bahasa ornamentalis, sekali lagi dapat kita pahami sampai di sini, selalu menolak kemapanan.
Mari kita kembali melanjutkan cerita: mengabaikan empat perempuan yang bergunjing soal anjing yang hilang, Nikolai pun keluar dari gudang itu. Dia tak bisa lagi menghindari pertemuan dengan Direktur Pengajaran yang, akhirnya kita tahu, bernama Irina Pavlovna. Jengah karena dicerca omelan Irina yang mengkritik ketidakdisiplinannya, Nikolai balas membentak sehingga membuat si direktur kesal. Perempuan itu pun menyudahi kekesalannya dengan mendorong badan Nikolai. Alih-alih bengis-brutal, pertengkaran itu tampak lucu dan menggelikan.
Sekuen ini kemudian diakhiri dengan adegan Irina menegur seorang murid laki-laki yang bersembunyi di balik patung di ujung koridor karena membuang sampah kertas sembarangan. Ketika Irina hendak pergi, si murid laki-laki itu berkata bahwa bagian bawah rok Irina terbuka, tapi perempuan itu tak terlalu memedulikannya.
Provokasi Muratova tentunya tidak berhenti di situasi kaos yang singkat begitu. Gelagat performatif Nikolai, misalnya, akan kita temui kembali pada beberapa adegan lain pascasekuen gedung sekolah yang sudah kita bahas di atas. Yang membuat film ini kian kompleks: “performatisasi” dan “histerisasi” perilaku tidak terjadi hanya pada tokoh Nikolai yang dirundung melankolia, tetapi juga pada subjek-subjek lainnya. Beberapa di antaranya mengesankan pernyataan protes yang keras (terhadap kondisi sosial), beberapa lainnya tampil jenaka bagaikan parodi yang mengolok-olok kehidupan masyarakat yang sudah terlanjur krisis. Meskipun film ini berbicara tentang sindrom kelelahan mental yang kronis, kita malah akan bertemu dengan banyak subjek histeria di dalamnya.
Pada adegan-adegan selanjutnya di dalam cerita segmen kedua ini, yang mencakup baik peristiwa di luar sekolah maupun peristiwa di dalam kelas yang diampu Nikolai, kita akan melihat bahwa si protagonis akan terus membawa kegundahan dalam hati dan pikirannya beserta dengan gejala-gejala kegulanaan jasmaniahnya. Gestur menguap, bisa jadi, akan mengganggu keseruan Anda menyimak adegan, kalau bukan melipatgandakan ketegangan naratif yang sedang berlangsung. Sementara itu, peristiwa demi peristiwa anomali—yang bahkan nyaris mencerminkan situasi anarki—mewarnai setiap adegan. Kehadiran masing-masing peristiwa bagaikan sebuah sketsa, tetapi satu sama lainnya tampak disusun menjadi rangkaian kejadian episodik yang terhimpun secara longgar.
Perlahan-lahan, Muratova mengajak kita mengamati satu per satu sketsa-sketsa tersebut. Beberapa sketsa diceritakan dengan mengikutsertakan kehadiran Nikolai, sedangkan sebagian lainnya diselipkan tanpa membawa keterhubungan naratif dengan si protagonis. Perpindahan bidikan kamera Muratova dari satu sketsa ke sketsa berikutnya, bagaimanapun, tetap terasa sangat apik; konstruksinya menyiratkan kejeniusan seorang maestro yang mampu memainkan suatu ritme untuk menciptakan ambiguitas formasi atau agregasi deleuzian. Sebagai salah satu bentuk pengejawantahan dari estetika prefabrik yang mendasari gaya sinema ornamental Muratova, struktur episodik inilah yang akan menjadi ihwal utama dalam ulasan kita berikutnya. []
Baca Bagian 01/03: “Subversi Melankolia: Histeria Duka Natasha”
Subseri artikel berjudul “Subversi Melankolia” ini merupakan bagian dari seri artikel dalam Editorial 10, bertajuk “Materialisme, Ornamentalisme, dan Fantastisisme”, yang secara khusus mengulas karya-karya dan praktik sinematik Kira Muratova.
Endnotes