In Artikel
ID

“Every film is in some way poised between the documentary and the fictional aspects of its medium, between the documentary image that the camera captures and the fiction projected on the screen”
—Perez (49)

Sinema self-reflexive, atau filem yang mencerminkan dirinya sendiri, adalah filem yang yang berurusan dengan suara, wewenang (authority) dan kepengarangan (authorship). Tiap representasi realitas adalah sesuatu yang dikonstruksi, karena memuat subjektivitas dan sudut pandang di balik pemilihan potongan dunia yang disodorkan. Dalam esai ini, saya akan membahas bagaimana sinema self-reflexive mengungkapkan dirinya dan apa yang berusaha diguncangnya. Filem yang akan difokuskan di sini adalah Pierrot le Fou (1965) karya Jean-Luc Godard, Anything Else-nya Woody Allen (2003) dan filem Belgia C’est arrivé près de chez vous (1992) atau Man Bites Dog yang disutradarai oleh Rémy Belvaux, André Bonzel dan Benoît Poelvoorde.

Sinema self-reflexive merupakan reaksi terhadap direct cinema atau cinema verite. Pada tahun 1960-an, cinema verite muncul di Prancis sedangkan direct cinema di Amerika Serikat. Sinema ini berdasar pada keharusan sinema untuk menjadi objektif bagaikan ‘seekor lalat di dinding’. Kehadiran kamera dan sang pembuat filem tidak boleh diketahui. Salah satu faktor kelahiran sinema ini adalah teknologi. Televisi memperlebar jalan bagi gambar hidup dan kamera yang ringan mengizinkan pengambilan gambar tanpa interupsi dan dalam gerak. Perkembangan teknologi video di awal 1980-an juga memicu “menjamurnya teks autobiografis” (Hayward 108).

Nama Jean-Luc Godard lekat dengan gelombang sinema yang disebut French New Wave. Disamping Godard, ada juga Francois Truffaut, Eric Rohmer, Jacques Rivette, Claude Chabrol, Alain Resnais, Chris Marker dan Agnes Varda. French New Wave adalah pergerakan artistik yang terjadi antara akhir 1950-an dan pertengahan 1960-an di Prancis yang sebagian diidentikkan dengan kritikus majalah bulanan Les Cahiers du cinéma et de la television. Generasi sinemafilia terekspos dengan filem-filem Amerika yang tidak beredar di Prancis pada waktu kependudukan Jerman di Perang Dunia II. Cahiers dikaitkan dengan penolakan terhadap pembuatan filem gaya montase klasik seperti yang didengungkan Eisenstein daripada mise-en-scene (contohnya komposisi pengambilan gambar lama dan dalam), dan condong ke ekspresi artistik personal dan authorship.

Godard, layaknya Eisenstein, menafikan “konsepsi individualis pahlawan borjuis” dan ini tecermin di gaya shot-nya. Kamera Godard tidak mengabdi kepada siapapun. Kameranya tidak pernah memulai gerakan untuk mengikuti tokoh dan ketika ia mengambil satu tokoh selagi bergerak, ia meninggalkannya begitu saja (Henderson 2). Alasannya, beberapa teknik French New Wave ditanamkan sebagai solusi untuk permasalahan produksi filem. Sineas yang memulai karirnya sebagai kritikus ini tidak tahu banyak mengenai proses pembuatan filem dan terlebih lagi terkendala oleh dana. Dan lahirlah konvensi-konvensi filem French New Wave, di antaranya, jump cuts, syuting di lokasi, pencahayaan alami, dialog dan alur cerita yang diimprovisasi, perekaman suara langsung, serta pengambilan gambar panjang. Konvensi tersebut merespon konvensi filem realis, yang menganggap bahwa dunia ada sebagai objek yang dapat diinderai, atau kemungkinan-kemungkinan yang dibangun orang, atau sebagai produk dari khayalan (Williams 1).

Pierrot le Fou (1965)

Terlihat jelas bahwa Godard mejayakan kemungkinan bagi filem Hollywood kelas B, namun juga memanfaatkan penggunaan filem tersebut dalam konteks Prancis secara spesifk dengan latar belakang pembuatan filem sehari-hari: gairah untuk menjelajahi aspek fiksional konteks dokumenter dan sebaliknya (Nelmes 420). Pierrot Le Fou mencoba mengangkat hal kehidupan sehari-hari ini, seperti ditandai oleh, misalnya, kedipan lampu neon bertuliskan ‘vie’ (yang berarti ‘hidup’ dalam bahasa Prancis), ‘Riviera’. Tetapi lampu itu juga mengedipkan ‘cinema’.

Filem ini bertutur tentang sepasang kekasih, Pierrot dan Marriane, yang menjadi buron karena mencuri sejumlah besar uang. Interupsi-interupsi dan perbandingan muncul bergantian. Filem ini mengaku “berfungsi… untuk menertawakan dirinya sendiri,” seperti yang dikatakan suara narator (voice over) di awal filem ketika menggambarkan si pelukis Velasquez, yang berhenti melukis hal-hal yang jelas, definit. Sang protagonis pun menceritakan tentang kisah hidupnya, dalam beberapa bab, walau menurut Marriane, “hidup berbeda dengan buku… [yang] jelas, logis, teratur.” Filem ini lebih dari sekedar kisah cinta, melainkan “kisah [di mana] segalanya bercampur.”

Filem self-reflexive bertutur tentang filem dengan, salah satunya, menunjukkan elemen-elemen yang membangunnya. Dalam PLF, ada tokoh sutradara Amerika. Cara lainnya yaitu bertumpu pada dunia kreatif, misalnya memperlihatkan kisah-kisah acak para tokoh utama meminta uang pada orang lain dengan bermain drama tentang Perang Vietnam di hadapan tentara Amerika. Lebih jauh lagi, filem self-reflexive menyebut genre filem. Misalnya ketika kedua tokoh utama tinggal di rumah pantai, dimana Pierrot menghabiskan waktu dengan menulis buku hariannya, sedangkan Marriane merengek ia tidak punya kegiatan apa-apa. Perempuan itu berkata, “ayo kembali ke filem gangster kita, dengan  mobil ngebut dan senjata dan klub malam” (penekanan oleh saya).

Pierrot le Fou (1965)

Ciri self-reflexivity yang paling terang-terangan di filem ini adalah pengakuan tokoh-tokohnya kepada kita, penonton. Marriane berbicara ke kamera, mengeluh bahwa ia ingin menari dan tak peduli kalau ia bisa terbunuh, juga bahwa ia ingin membeli piringan hitam tetapi Pierrot malah menghabiskan uang untuk buku. Pierrot pun melihat ke belakang ke arah kamera dan bilang bahwa yang dipikirkan Marriane cuma bersenang-bersenang. Ketika Marriane bertanya Pierrot berbicara dengan siapa, Pierrot menjawab “penonton.” Kita pun menjadi orang kedua yang menjadi bagian dari filem itu. Filem itu seperti sadar bahwa ia diciptakan untuk bercerita pada kita, cerita butuh pendengar/penonton. Adegan ‘becermin’ atau reflexivity lainnya yaitu ketika Pierrot melihat kaca spion dan berkata bahwa ia sedang melihat dirinya sendiri. Bahkan ia membocorkan alur cerita, dengan berkata “ia akan berkendara di bukit dengan kecepatan 60 mph.”

Self-reflexivity bisa ditemukan juga di pengungkapan dualitas aktor atau aktris. Marriane terus memanggil kekasihnya Pierrot, walau nama aslinya adalah Ferdinand, seolah-olah seorang aktor memainkan peran ganda—di filem dan di kehidupan sehari-hari sebagai individu. Mereka juga menyebut diri mereka sendiri Paul dan Virginia, seperti nama sembarang saja.

Realisme yang diusung metode mise-en-scene dipermainkan Godard dengan cara, misalnya, pengulangan. Di filem ini, rekaman yang rusak diputar berkali-kali. Repetisi juga timbul sebagai kilas balik, ketika Marriane bertanya pada Pierrot apakah ia masih memikirkan istrinya. Tapi ketika sesuatu dibutuhkan, ia tidak muncul atau dilakukan. Misalnya ketika cut diperlukan untuk penyuntingan, Godard menafikkan harapan penonton dengan membiarkan kamera tetap merekam. Ketika Pierrot bertanya apakah Marriane akan meninggalkannya, perempuan itu menjawab, “ya, aku yakin” dua kali, dan di antaranya dia menghadap ke kamera seolah sang sutradara menginstruksikan pengucapan yang kedua. Sapuan non-realis kelihatan di sini. Pierrot bergerak dari satu frame ke frame lainnya, dari warna merah ke biru ke warna natural yang sedang men-shoot seorang laki-laki dan perempuan. Darah orang mati tampak seperti darah buatan. Lebih jauh lagi, frame juga mencakup benda-benda lain berwarna merah yang sama: bantal kecil, sofa, lampu, lukisan dan pakaian perempuan.

Pierrot le Fou (1965)

Dunia sur-realis yang seperti mimpi menyelimuti adegan sepasang laki-laki dan perempuan di rumah mewah. Laki-laki itu mengenakan jas formal sedangkan si perempuan telanjang, walau memakai perhiasan, dan mereka membicangkan bahwa pakaian dalam itu tidak sopan. Lalu dunia non-realis juga mengaburkan batasan atara yang brutal dengan yang jenaka. Misalnya, cara membunuh orang yaitu dengan menikam leher seorang lelaki tua dengan pisau. Genre filem musikal juga menambah suasana non-realis, yaitu ketika Marriane menjawab pertanyaan Pierrot dengan bernyanyi. Soal teknis pengambilan gambar, pada suatu percakapan, Marianne sedang berbicara dengan seseorang, tetapi kamera hanya menyorotnya.

Lebih lanjut soal teknis, jump cut banyak digunakan di PLF, walau tidak sebanyak di filem Godard yang lain, A Bout de Souffle. Jump cut adalah “pemotongan mendadak antara dua shot yang menarik perhatian karena tidak pas. Jump cut menandai transisi ruang dan waktu karena mengganggu yang sensibel; sang penonton menjadi ‘terlonjak’ dan bertanya-tanya kemana arah narasinya” (Hayward 229). Hasilnya, kebalikan efek dari cut standar. Karena lonjakan pada narasi tidak dijelaskan—misalnya adanya jump cut atau voice over—penonton menjadi bingung. Akibat yang tidak nyaman ini disebabkan oleh dipermainkannya hubungan kausal. Godard, terutama di filem-filem 1960-annya, merupakan salah satu sineas terbaik dalam penggunaan jump cut. “Tokoh-tokohnya tampak kehilangan orientasi di dunia dimana pikiran tampak tidak mampu mendasari rentetan logis kejadian-kejadian.” (Hayward 229). Penonton bukan satu-satunya yang heran dengan lonjakan ini, tetapi juga si tokoh. Menurut saya, pengakuan Godard bahwa ia memilih untuk menggunakan jump cut sebagai strategi cepat untuk mengikis versi dua-jam-setengahnya menjadi satu-jam-setengah, tidak relevan. Jump cut itu seperti, kata Pierrot, “kita bisa berhenti di mana saja.” Pierrot dan filem itu sama-sama tidak dapat diprediksi. Pierrot berkendara dan berbelok tajam menuju danau dan menenggelamkan mobil itu. Kita akan lihat jump cut juga dipakai di Anything Else (AE).

Dekonstruksi terhadap realisme juga dilancarkan Godard dengan ketidakselarasan antara gambar dan suara. Ketika frame diagetik menampilkan Pierrot dan Marriane yang berusaha menyingkirkan mayat seorang laki-laki, sang suara meringkas perjalanan melarikan diri mereka. Potongan drama berjudul “Uncle Sam’s nephew versus Uncle Ho’s niece” yang menyindir Perang Vietnam mengindikasikan ketidakselarasan tersebut. Ucapan Pierrot deras dengan jargon, sementara Marriane mengigau bahasa Mandarin, bersuara latar ledakan dan tembakan.

Pierrot le Fou (1965)

Gaya posmodern Godard di PLF yang lain adalah ‘bricolage’, yang ‘menempel’ berbagai elemen termasuk strip komik, lukisan, wawancara (yang akan lebih intensif di La Chinoise), buku hariannya, poster filem dan foto. Poster digunakan sebagai judul bab; lukisan mendeskripsikan atau menggantikan kejadian yang sedang berlangsung—misalnya pertarungan antara Pierrot dan seorang pengawal, ada tubuh yang terjungkir.

Filem-filem Godard dan Nouvelle Vague Prancis pada umumnya adalah kritik terhadap filem Hollywood. Metode-metode di atas pada jaman itu melawan “narasi Hollywood [yang] didikte oleh gairah untuk membuat cerita yang mudah dipahami penonton” (Speidel 64). Hal ini dilakukan melalui satu set konvensi yang bertujuan membimbing penonton selama bergulirnya cerita. Konvensi-konvensi ini menutupi atau menyembunyikan konstruksi filem dan bagaimana cerita diceritakan. Prinsip sebab-akibat sangat dijunjung di narasi Hollywood. Biasanya tokoh mengandung alasan/sebab yang mengarahkan cerita ke depan dan menghubungkan kejadian-kejadian inti dalam alur. Karenanya, umumnya si tokoh utama memiliki cita-cita atau semangat yang jelas. Bagian akhir menjadi kesimpulan, entah cita-cita tersebut teraih atau tidak. Tujuan dari Hollywood sebagai industri adalah kesenangan (‘pleasure’), sehingga cita-cita akan lebih disukai jika tercapai.

Anything Else (2003)

Mari kita lihat filem yang berikutnya, Anything Else besutan Woody Allen. Allen, seorang sutradara, penulis sekaligus aktor, biasanya memerankan dirinya sendiri. Gabungan antara kehidupan publik dan kehidupan pribadi-lah yang membantunya sukses (Girgus 1). Keberhasilan Allen juga didukung filem lain tentang dirinya, misalnya Hollywood Ending yang menyorot karirnya, dan dokumenter Woody Allen: A Life in Film (2002) sepanjang 90 menit karya Richard Schickel. Bergandengnya kehidupan publik dan pribadi membangun aura unik Allen dalam filem bergaya dokumenter. Di filem-filem klasiknya, Allen sebagai tokoh “superior secara artistik, intelektual dan bahkan moral dibandingkan tokoh-tokoh lain… Bahkan dalam situasi di mana moral dikompromikan, tokoh-tokoh kerap memperlihatkan sifat jujur, peka dan rumit” (Girgus 13). Allen memulai karir sebagai pelawak di klub-klub New York dan kemudian sukses di Las Vegas bahkan di acara televisi terkenal. Latar ras-nya dipakai untuk menelisik fenomena rasial yang masih ada. Di AE, Allen yang berperan sebagai David Dobel mempermasalahkan keyahudiannya. Setelah seseorang menghinanya dengan kata-kata rasis, Dobel mengamuk dan menghantam mobil orang itu.

Diceritakan oleh sang protagonis, AE jelas-jelas menguak self-reflexivity. Filem ini berkisah tentang hubungan penulis muda Jerry Falk (Jason Biggs) dengan Amanda (Christina Ricci). Kisah bagaimana Jerry bertemu dengan Amanda berupa kilas balik menandakan bahwa plot  tidak linier atau lurus. Self-reflexivity lebih kental di kritik filem ini terhadap genrenya sendiri. “Funny is money,” kata Harvey (Danny DeVito) seperti mengacu ke filem komedi. Itulah alasan Jerry pada waktu itu masih mengerjakan filem komedi di saat dia sebenarnya tertarik untuk menulis novel. Filem menohok lebih dalam untuk memperlihatkan intrik di balik industri filem, bagaimana seorang manajer mendapat jatah dari keuntungan si komedian, misalnya. David mengajak Jerry ke California untuk menulis skrip acara TV bersamanya, dengan umpan bahwa di sana menulis lebih berprospek. Di Annie Hall California bagi seorang penulis asal New York adalah tanah gersang atau membosankan, tapi di Hollywood Ending, California adalah lahan basah. Bagi Jerry, pergi ke California berarti memutuskan hubungannya dengan Amanda.

Anything Else (2003)

Acuan ke dunia filem sangat kentara di adegan di Annie Hall ketika sewaktu mengantri tiket bioskop, Allen mendengar seorang dosen studi filem universitas tenar menceritakan tentang filem kepada temannya (dan Allen banyak bersilang pandangan dengan si dosen dan berbisik pada penonton). Di AE, kita diberi cuplikan jerih payah Amanda, berkali-kali casting untuk menjadi seorang aktris. Ia bermain jelek, depresi dan melampiaskannya dengan makan banyak. Ilusi filem realis yang konvensional dipermainkan di sini. Jerry, yang pada waktu itu masih kekasih Brooke, berbohong bahwa dia suka makanan laut dan ular demi menarik perhatian Amanda. Ini seperti mengingatkan penonton bahwa filem adalah sebuah representasi dunia, sebuah dunia bohongan.

Self-reflexivity adalah salah satu strategi seni posmodern, di samping ironi, intertekstualitas, pastiche, eklektisisme, dan posisi teoritis yang mengadopsi perilaku skeptis terhadap gagasan yang tertutup tentang kebenaran, realitas dan kemajuan. Dengan demikian psikoanalisis dan Marxisme dianggap tidak berlaku karena tidak ada pandangan atau pemahaman menyeluruh tentang masyarakat dan budaya. Sifat posmodernisme adalah sudut pandang yang terbelah-belah dan gagasan bahwa kebenaran filosofis itu tidak ada (Nelmes 444). Psikoanalisis diolok-olok di AE oleh penggambaran seorang psikoanalis Jerry. Jerry berkonsultasi dengannya untuk masalahnya dengan Amanda—Jerry harus punya kekasih karena dia tidak bisa tidur sendiri, sedangkan Amanda tidak bisa berkomitmen. Ironisnya, si psikoanalis tidak pernah memberi solusi, melainkan lebih tertarik pada ‘asosiasi bebas’ mimpi Jerry. David, yang meremehkan psikoanalisis, malah menjadi orang yang bisa membujuk Jerry, misalnya untuk menyimpan senjata beramunisi atau alat pemurni air untuk jaga-jaga. David membuka pikiran Jerry, memberitahunya bahwa Amanda selingkuh dan manajer Jerry, Harvey, memanfaatkan Jerry.

Man Bites Dog (1992)

Beranjak ke filem terakhir, Man Bites Dog, yang memenangkan International Critics’ Prize di festival filem Cannes. Filem ini adalah parodi filem dokumenter dan reality TV, atau acara televisi yang menampilkan kehidupan yang ‘sebenarnya’. Refleksif berarti cukup menyadari aspek-aspek diri mana yang diperlukan untuk mempertontonkan proses dan produk kepada penonton. Jadi menjadi refleksif itu lebih dari sekedar narsis. Parodi filem dokumenter jarang ada dan muncul belakangan. Parodi mencibir atau membuat jadi lelucon bentuk, konvensi, dan kode-kode komunikasi, jadi ia memiliki fungsi refleksif (Ruby 2005: 35). Refleksivitas mengarahkan perhatian penonton ke proses bertanya. Ia menunjukkan metodologi sang sutradara. Satu isu utama genre dokumenter adalah “tingkat relatif intervensi yang dilakukan sineas… [intervensi] harus ditekankan, walau tampilannya yang kadang ‘tanpa perantara’, penggambarannya tentang dunia pada saat berlangsungnya – merupakan sebuah konstruksi” (Ward 175).

Dokumenter, yang disorot dalam filem ini, terbagi menjadi enam jenis, yaitu puitis, eksposisi, partisipatif, pengamatan, refleksif, dan performatif (Nichols 2001: 99). Filem Michael Moore Roger and Me (1989) adalah contoh dokumenter partisipatif dimana beberapa adegan bergerak karena adanya peran serta sang pembuat filem itu sendiri. Hasilnya, penonton jadi lebih dekat dengan filem, dan filem menjadi tidak didaktis atau menggurui. Penonton didorong untuk mempermasalahkan tingkat relatif ‘kebenaran’ dan pengelabuan diri. Sedangkan performatif adalah mode yang mempertanyakan hubungan antara pembuat filem dengan subjek ‘pertunjukan’ (performance). Pertunjukan di hadapan kamera, seringkali untuk mencemooh rasa kelangsungan (sense of immediacy), memperlihatkan bagaimana pembuat filem bersama-sama dengan subjek mereka secara aktif membuat filem dokumenter tersebut. Kedua jenis/mode ini bisa saling tumpang tindih di filem yang sama. Filem genre ini menguak bahwa sang pembuat filem dan penonton terlibat dalam dunia nyata yang aktual. MBD, oleh sebab itu, bisa dianggap sebagai bermode performatif karena para kru sendiri berperan serta dalam filem. Awalnya mereka tak tampak, hanya ‘di belakang layar.’ Mereka cuma mengikuti sang tokoh utama Ben seraya kamera bergerak-gerak (karena gambarnya bergerak tak stabil). Di sini cinema verite dinafikan. Kemudian dua orang laki-laki dimunculkan di frame. Ketika kamera merekam, mereka membantu Ben dalam membunuh dan bahkan melakukan tindakan kekerasan yang lebih parah dari Ben. Ben memberitahu mereka agar tidak membiarkan kamera mengintimidasi mereka, dan berbuat serta berkata apa saja yang mereka suka.

Man Bites Dog (1992)

Filem ini berpura-pura menjadi filem dokumenter tentang Ben sang pembunuh berantai dengan mempertontonkan metode pembunuhan Ben, mengupas tentang kehidupan sehari-harinya serta membuka ruang bagi wawancara. Untuk aksinya, Ben memilih korbannya. Ia membunuh dengan dengan mencekik, memukul belakang leher, menekan bantal di wajah agar kehabisan napas, menembak dan bahkan—sebagai ejekan—mengageti perempuan lanjut usia yang berpenyakit jantung. Ia paham betul bagaimana menangani tubuh kaku mayat. Dan seperti sinema self-reflexive, Ben itu nanrsis. Ia mendemonstrasikan alasan dia dipanggil ‘si oktopus’, dengan menggerak-gerakkan beberapa bagian tubuhnya. Ben adalah filsuf sekaligus orang yang mempraktekkan. Ia mendeklamasikan puisi dan meyakinkan para kru bahwa filem dokumenter itu harus berlanjut walau sang penata suara, Patrick, meninggal.

Filem ini, seperti PLF, menggambarkan pembunuhan, tetapi dengan lebih intens. MBD bukanlah suatu rekonstruksi kejadian kriminal, karena direkam pada saat itu juga, bukan setelahnya (rekaan). Filem ini memuat klip (footage) beberapa kejadian pembunuhan. Christopher Null membandingkannya dengan filem Kubrick A Clockwork Orange, dan menurutnya, MBD merupakan generasi penerusnya dalam hal kekerasan. Tema filem ini membuatnya menjadi filem dokumenter yang bagus: seorang pembunuh berdarah dingin yang kelihatan seperti pria normal yang ada di lingkungan kita.

Selain genre dokumenter, MBD juga mengingatkan kita pada genre thriller. Filem thriller menekankan alur rumit untuk menambah kengerian dan ketidaknyamanan penonton. Filem jenis ini mempermainkan ketakutan dalam diri kita sendiri dengan menguak fantasi dasar dan terkubur paling dalam serta bersifat voyeuristic dan seksual (Hayward 476). Filem ini sado-masokis dalam artian bahwa penonton mendapatkan kesenangan dari simulasi naluri dasar mereka. Kita mungkin ingat dengan Peeping Tom (1960) oleh Michael Powell yang menempatkan penonton sebagai voyeur atau pengintip seks.

Man Bites Dog (1992)

Jelas menonton filem ini tidak akan menimbulkan rasa nyaman. MDB menggamblangkan tubuh grotesque, yang aneh, menggelikan, misalnya Ben muntah setelah makan kerang. Kita juga menyaksikan Ben membunuh duapuluhan orang selama filem ini, dengan korban acak seperti seorang nenek dan penjaga malam kulit hitam. Ben dan kelompoknya juga memperkosa dan membunuh sepasang laki-laki dan perempuan. Menurut saya ini adalah adegan yang paling ‘mengganggu’, menyeramkan, terutama gambar mayat dengan perutnya yang terbelek. Inilah mungkin alasan utama filem ini hitam putih. Jika di PLF, warna darah dikuatkan, di sini seolah dinetralkan.

Pembunuhan berantai pun digerakkan motif sepele, yaitu untuk olahraga dan uang. Misi mereka yaitu proyek pembuatan filem dokumenter dimana uangnya akan digunakan untuk membuat filem dokumenter ‘yang sebenarnya’. Ada anggapan bahwa filem dokumenter adalah sarana untuk memberi ‘suara bagi yang terbungkam’, orang-orang yang tertindas secara politis, sosial dan ekonomi. Suara untuk menghasilkan imaji mereka sendiri (Ruby 1992: 44). Yang terjadi di MBD adalah kebalikannya. Frase judul inggris ini (judul aslinya dalam bahasa Prancis adalah C’est arrivé près de chez vous, yang artinya ‘terjadi di lingkungan Anda’), man bites dog berarti fenomena dalam jurnalisme dimana suatu kejadian luar biasa menjadi berita, bukannya kejadian biasa sehari-hari seperti anjing menggigit orang. Umumnya berita meliput sesuatu yang tidak biasa atau yang baru. Tetapi di filem ini, pembunuhan menjadi hal yang demikian ‘biasa’. Filem ini tidak berminat menampilkan Ben sebagai pembunuh berantai yang terkekang dan terbungkam, namun Ben yang melakukan pembunuhan layaknya rutinitas.

Dengan demikian MBD adalah sebuah satir atas pandangan masyarakat terhadap kekerasan. Filem ini mempertanyakan genre kriminal televisi yang mencoba memotret ‘kehidupan nyata’, dan menguak sulitnya klaim jurnalisme akan objektivitas, etik, kemandirian profesional. Tabir yang tadinya memisahkan dunia filem dan dunia penonton, dibuka. Masyarakat juga memainkan peran di sinema self-reflexive. Dengan kata ‘terjadi di lingkungan Anda’, filem ini sadar akan siapa yang diajaknya bicara. Penonton adalah bagian dari keberadaan filem.

Man Bites Dog (1992)

Salah satu ciri filem self-reflexive yang sudah saya sebutkan di atas, yaitu membicarakan tentang dirinya sendiri (dunia perfileman), juga ditemukan di filem ini. Ketika Ben membunuh seorang laki-laki dengan membenturkan kepala orang itu ke bak cuci piring, adegan ini mirip dengan adegan di The Old Gun (1975) yang dimainkan Philippe Noiret. Lalu ketika Ben dan kawan-kawannya mabuk, mereka bernyanyi tentang sinema. “dari layar ke layar, dari filem ke filem”. Dan bagian yang paling self-reflexive adalah proses editingnya. Kita melihat bagai frame demi frame dihilangkan atau dilekatkan. Bagaimanapun, akhir filem itu menimbulkan banyak pertanyaan. Jika Ben mati dibunuh geng yang membalas dendam, lalu siapa yang menyunting terakhir? Apa yang akan terjadi pada ‘filem’ dalam filem? Dan siapa yang memiliki hak atas filem?

Pencerminan filem dalam dan melalui filem menelanjangi filem itu sendiri, menunjukkan elemen pembangunnya dan cara mereka bekerja. Filem self-reflexive mempertanyakan apa sebenarnya ‘kenyataan’ itu, dengan mempertontonkan bahwa sebuah representasi adalah sebuah kontruksi, dengan campur tangan pihak-pihak yang terlibat.


Daftar Pustaka

  • A Bout de Soufle (Breathless). Sutradara: Jean-Luc-Godard. Video. Les Productions Georges de Beauregard and Société Nouvelle de Cinématographie (SNC). 1960.
  • Annie Hall. Sutradara: Woody Allen. 1977. Video. MGM/UA Home Video, 1991.
  • Anything Else. Naskah oleh Woody Allen. Sutradara: Woody Allen. Pemain: Woody Allen, Jason Biggs, Christina Ricci. 2003.
  • Doane, Mary Ann. “Information, Crisis, Catastrophe” The Historical Film: History, Memory and Media. Marcia Landy.
  • Girgus, Sam B. The Films of Woody Allen. 2002. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Henderson, Brian. “Toward a Non-Bourgeois Camera Style” Film Quarterly Vol. 24, No. 2 Winter, 1970-1971, pp 2-14, University of California Press
  • Hayward, Susan (ed.) Cinema Studies: The Key Concepts, third ed. New York: Routledge, 2006.
  • Man Bites Dog. Naskah oleh Rémy Belvaux, André Bonzel, Benoît Poelvoorde, Vincent Tavier. Sutradara: Rémy Belvaux, André Bonzel, Benoît Poelvoorde. 1992.
  • “Man Bites Dog” Wikipedia. 2007. Wikipedia Foundation, Inc. 12 Nov 2010.
  • Nelmes, Jill. Introduction to Film Studies. New York: Routledge, 2007.
  • Nichols, Bill. Introduction to Documentary. Indiana: Indiana University Press, 2001.
  • Null, Christopher. “Man Bites Dog” Filmcritic.com. Web. 13 Nov 2010.
  • Peeping Tom. Sutradara: Michael Powell. Video. Michael Powell (Theatre), 1960.
  • Perez, Gilberto. The Material Ghost: Films and Their Mediums. Maryland: Johns Hopkins, 2000.
  • Pierrot le Fou. Naskah oleh Jean-Luc Godard, Lionel White. Sutradara: Jean-Luc Godard. Pemain: Jean Paul Belmondo, Anna Karina. 1965.
  • Ruby, Jay. “Speaking For, Speaking About, Speaking With, Or Speaking Alongside: An Anthropological And Documentary Dilemma.” Journal of Film and Video, Vol. 44, No. 1/2, International Issues (Spring and Summer 1992), pp. 42-66 University of Illinois Press.
  • —. “The Image Mirrored: Reflexivity and the Documentary Film” New Challenges to Documentary. Alan Rosethal and John Corner (eds.). Manchester: Manchester University, 2005.
  • Speidel, Suzanne “Film form and narrative.” Introduction to Film Studies. Jill Nelmes (ed.). New York: Routledge, 2007.
  • The Old Gun. Sutradara: Robert Enrico. Video. Les Productions Artistes Associés, 1975.
  • Ward, Paul. “The Documentary Form.” Introduction to Film Studies. Jill Nelmes (ed.). New York: Routledge, 2007.
  • Williams, Christopher. Realism and the Cinema. New York: Routledge, 1980.

EN

Self-Reflexive Cinema

“Every film is in some way poised between the documentary and the fictional aspects of its medium, between the documentary image that the camera captures and the fiction projected on the screen”
—Perez (49)

Self-reflexive film is concerned with voice, authority and authorship. In some ways it transgresses conventional, realist film. Every representation of reality is constructed, there are subjectivity and point of view behind the selection of the world. In this essay I will explore how self-reflexive cinema expresses itself and what it is trying to transgress. The films I am focusing on are Jean-Luc Godard’s Pierrot le Fou (1965), Man Bites Dog (1992) and Woody Allen’s Anything Else (2003).

Self-reflexive cinema is a response to direct cinema or Cinema Verite. In the 60s cinema verite rose in France and direct cinema in the United States. It stands on the believe that cinema must be objective like ‘a fly on the wall’. The presence of the camera and the filmmakers must not be known. One of the factors of their birth is technology. Television allowed live images and lightweight camera allowed uninterrupted and mobile filming. Video technology development starting 1980s also led to “a proliferation of autobiographical texts” (Wayward 108). Hollywood perceived cinemascope as falling into genres, such as Westerns and epics, in the 1950s and 1960s. But started by French New Wave, European cinemas used it subversively for intimist films about the failure of social life (Wayward 76).

Jean-Luc Godard is one of the directors of French New Wave cinema. Other directors are Francois Truffaut, Eric Rohmer, Jacques Rivette, Claude Chabrol, Alain Resnais, Chris Marker and Agnes Varda. French New Wave is an artistic movement between the end of the 1950s and early to mid-1960s in France partly characterized by critics of Les Cahiers du cinéma et de la télévision monthly magazine. This generation of cinephiles watched mostly great American films that had not been available in France during German Occupation of the World War II. Cahiers was associated with the characteristics of rejecting classical montage-style filmmaking in place of mise-en-scene (for example long take and deep composition) and favoring a personal artistic expression and authorship.

Godard, like Eisenstein, repudiates “the individualist conception of the bourgeois hero” and his tracking shots reflect this. His camera serves no individual and prefers none to another. It never initiates movement to follow a character and if it picks one up as it moves it leaves him behind as haphazardly (Henderson). This is because some French New Wave techniques were invested as the solution to film production problem. The critics-turned-filmmakers did not know much about the process and moreover lack of budget. The conventions of French New Wave films include jump cuts, shooting on location, natural lighting, improvised dialogue and plotting, direct sound recording and long takes. These are used to undermine conventional realist film. Realism assumes that the world exist as perceptible object, or possibilities that people build, or as the product of imagination (Williams, 1).

Pierrot le Fou (1965)

Godard, like Eisenstein, repudiates “the individualist conception of the bourgeois hero” and his tracking shots reflect this. His camera serves no individual and prefers none to another. It never initiates movement to follow a character and if it picks one up as it moves it leaves him behind as haphazardly (Henderson). This is because some French New Wave techniques were invested as the solution to film production problem. The critics-turned-filmmakers did not know much about the process and moreover lack of budget. The conventions of French New Wave films include jump cuts, shooting on location, natural lighting, improvised dialogue and plotting, direct sound recording and long takes. These are used to undermine conventional realist film. Realism assumes that the world exist as perceptible object, or possibilities that people build, or as the product of imagination (Williams, 1).

The protagonist narrates his life story, dividing it in chapters. But according to Marriane, “life is different from books.. clear, logical, organized”. The movie stresses on the depiction of life, by the blinking neon lights saying ‘vie’ in ‘Riviera’, also ‘cinema’. However, the film is more than just “a love story”. It is “a story [where] all [are] mixed up.”

To speak about film, self-reflexive film shows the elements within it. There are elements in film production in Pierrot le Fou, the American film director as a character, the old figurant. It also focuses on creative world, for example telling random stories to move people to give them money, acting a play on the Vietnam War for American soldiers. It talks about film genre. In the middle of the film, they settle in a house on the beach. Pierrot mostly spends his time by writing his diary, while Marriane nags that he has nothing to do. Then she says “let’s go back to our gangster movie, with fast cars and guns and night clubs”.

Pierrot le Fou (1965)

As regards methods of self-reflexivity, the film employs confession model. Marriane talks to the camera, complaining that she wanted to dance and did not care whether she may get killed, also she wanted to buy a record but he spent the money on books. The most reflexive scene is when Pierrot looks back to the camera and says that all Marriane thinks about is fun. When she asks him who he was talking to, he replies “the audience”. Reflexivity is also apparent when Pierrot is looking at the rearview mirror and says that he is looking at himself. He also leaks the plot that he is “about to drive over a cliff at 60 mph”. Yet, out of expectation of the audience, this speeding is not shown.

Self-reflexivity can be seen in the depiction of the duality of actors/actresses. Marrianne keeps calling him Pierrot although his real name is Ferdinand, as if showing the duality of an actor–as a character in the film and as a person. Once they also address themselves as Paul and Virginia, some random names a screenwriter can find.

Godard undermines realism by, among others, repetition. Here it is like a broken record. Repetition can take form as a flashback when Marriane asks Pierrot is still thinking about his wife. Godard also flees from the audience’s expectation. When the cut was necessary for editing, it is not done. When Pierrot asks Marriane whether she will never leave him, the girl says “yes, I’m sure” twice, and in between she looks at the camera as if the director instructs her to do it again. The unrealistic color is very apparent. Pierrot moves from one frame to another, from red-colored, to blue, to natural color of medium shot of a couple. The blood on dead men seems artificial. Moreover, the frame also captures other things of the same red color: a small pillow, pans, a sofa, a lamp, the painting and the girl’s dress.

Pierrot le Fou (1965)

The dreamy unrealistic world is also shown by the couples in an upper-class house. The man is in a formal suit while the lady is naked (yet wearing accessories) and talking about lingerie being indecent. The line between brutal and humorous is sometimes very thin. For example, their trick of murdering people is cheap and funny: pushing an old man to unconsciousness or using scissors to stab the neck. Musical genre of film can be seen as unrealistic. Marriane replies Pierrot’s question by singing. As regards camera angle, during a conversation, the girl does not to talk about herself, yet the camera only shots her.

Although not as many as in A Bout de Souffle, jump cut appears in Pierrot le Fou. Jump cut is “an abrupt cut between two shots that calls attention to itself because it does not match the shots seamlessly. It marks a transition in time and space but is called a jump cut because it jars the sensibilities; it makes the spectator jump and wonder where the narrative has got to” (Hayward 229). This creates a reverse effect of the standard cut. As there is no explanation for the narrative jump, such as a shot or voice-over, the spectator is confused. It is uncomforting because the cause-effect concept is undermined. Godard especially in his 1960s films is one of the best in utilizing jump cut. “His characters appear disoriented in a world where reason seems incapable of imposing a logical order on events.” (Hayward 229). The spectator is as disoriented and troubled by this as the characters. Godard’s claim that he chose to use the jump cut as a quick strategy for whittling his two-and-a-half hour version down to ninety minutes seems irrelevant. Jump cut is like, in Pierrot’s words, “we can just stop anywhere”. Pierrot is as unpredictable as the movie. He drives and takes a sharp turn toward the lake and drown the car. Jump cut is also apparent in Anything Else.

The deconstruction of Godard include the discordant between the image and the sound. When the diagetic frame is about Pierrot and Marriane getting rid of the body of a man, the voice is summarizing their journey of escape. The acting titled “Uncle Sam’s nephew versus Uncle Ho’s niece” on Vietnam War also shows such discordant. Pierrot is talking jargons and Marriane talks in gibberish Chinese. Meanwhile, the background sounds are explosions and shootings.

Pierrot le Fou (1965)

Godards uses postmodern method bricolage in depicting many elements: comic strip, painting, interviews (which will be intensified in La Chinoise), his diary, movie poster, photograph. A poster is used to tell the title of the chapter. Paintings are to describe—or replace–the ongoing action, for example the fight between Pierrot and the bodyguard: a body is turned upside down.

Godard’s movies, and French Nouvelle Vague in general, are a critique of Hollywood movies. “Hollywood narratives and codes are dictated by a desire to make the story readily comprehensible to the audience” (Speidel 64). This is done through a sophisticated set of conventions aiming to guide viewers through the story. It puts forth the invisibility, how the story is told is concealed. The principle of cause and effect is adhered to most rigidly. Usually the character provides the cause to drive the story forward and link the plot elements. Therefore mostly the heroes have definite goals or desire. The ending is a conclusion, either the goal is met or not. The industry’s goal is pleasure, so it prefers the achievement of the goal.

Anything Else (2003)

Now let’s move on to the next film, Anything Else by Woody Allen. Woody Allen is a director, writer and star. In his movies, Woody Allen usually plays as himself. The union between the public and private life helped him achieve success (Girgus 1). Allen’s success is also because of other movies about him. Hollywood Ending is a highlight of his career, while Richard Schickel’s Woody Allen: A Life in Film (2002) is a ninety minutes documentary. The joining of the public and the private life helped establish his unique aura in the documentary-like films. In his classic films, Allen as a character is “artistically, intellectually, and even morally superior to the other characters… Even in morally compromising situations, his characters often demonstrate qualities of honesty, sensitivity, and complexity” (Girgus 13). In Anything Else, Woody Allen plays as a comedy writer, much like how he started his career. He was a stand-up comedian. Starting in New York clubs, he was also successful in main clubs in Las Vegas clubs and the most popular television programs of the time. His ethnicity background is used to scrutinize the still existing phenomenon of racial difference. This is also apparent in Anything Else, where Dobel problematizes his Jewishness. He rebels by hitting and smashing the glass of the car whose owners insult him. Dobel is waiting for a car to go and about to park his car. However, a car swiftly parks in the narrow space from behind when Dobel is reversing his car. He protests but the two muscular men abuse him with racist words and threat him. He goes away, but later on comes back to the spot and relieves his revenge.

Anything Else is a film told by its protagonist. Young writer Jerry Falk (Jason Biggs) is in a relationship with Amanda (Christina Ricci). The plot is non-linear, for example the long flashback when Jerry first meets Amanda. Amanda then is his friend’s girlfriend and Jerry is in a relationship with Brooke. The self-reflexivity can be seen from the film’s critique of its own genre. “Funny is money,” says Harvey (Danny DeVito). This is why Jerry is still doing comedy when he is actually interested in something more serious such as writing a novel. The film goes deeper to show the intrigues behind film industry, how much is the manager’s share of the comedian’s profit, for example. David invites Jerry to California to write a TV show with him. He lures that in Los Angeles there is a future for writing. In Annie Hall California to a New York writer is a land of boredom, but in Hollywood Ending it is the land of wealth. Going to California will also break the relationship between Jerry and Amanda. In Annie Hall while queuing for a ticket of a movie, Allen overhears a professor of film studies from a reputable university telling his friend about movie. Another insight into film is that Amanda is an actress, or at least she tries some castings. She tells how she does badly in the casting and then get depressed and eats a lot. The illusion of ‘conventional realist’ film is undermined by the movie, for example through the obvious lies Jerry has to say to attract Amanda (that he loves seafood and snake) when he is still in a relationship.

Anything Else (2003)

The mocking of psychoanalysis is one of the characteristics of self-reflexive cinema. Jerry says that his problem is that he cannot sleep alone. Thus he has to have a girlfriend. However, Amanda is afraid of commitment, interested in love affairs. Although he almost never has sex with Amanda, and she always disappoint him with her attitude, Jerry adores her. Jerry goes to a psychoanalyst to consult about his problem, especially when he does not know what to do to face his problems. Ironically the psychoanalyst never gives his opinion and instead always tries to push Jerry to explain about his dreams. He is more interested in the free association between Cleveland Indians and Toys R’ Us, which appear in Jerry’s dreams.

Self reflexivity is one of the strategies of postmodern art, apart from irony, intertextuality, pastiche, bricolage, eclecticism, and a theoretical position which adopts a sceptical attitude towards totalising notions of truth, reality and progress. Psychoanalysis and Marxism are regarded as not viable because there is no all-encompassing view or understanding of society and culture. The characteristics of postmodernism are the fragmented viewpoints of culture and the notion that there is no philosophical truth (Nelmes 444). Jerry asks David (Woody Allen) whether he knows anything about psychoanalysis and David somehow undermines this theory. David Dobel can the person who can persuade Jerry, for example to have a loaded riffle or water purifier in the apartment for self defense. In spite of his bad temper, David has philosophical way. He can tell his opinion straightforwardly, such as that Amanda is cheating on Jerry. David also convinces Jerry to end the contract with his manager, Harvey, as Harvey takes too much of share.

Man Bites Dog (1992)

This brings us to the last film. C’est arrivé près de chez vous or Man Bites Dog (1992) which won the International Critics’ Prize at the Cannes Film Festival is a parody of documentary and reality TV. Reflexive means sufficiently self-aware to know what aspects of self are needed to expose to the audience, the process and the product. So it is more than being narcissistic. Documentary parodies are uncommon and more recent. Parody mocks or ridicules communicative forms, conventions, and codes, so it has a reflexive function (Ruby). Reflexivity directs the audience’s attention to the process of inquiry. It shows the director’s methodology. One central issue of documentary genre is that “the relative level of intervention by the filmmakers: it has to be stressed, at the outset that all documentary – despite its sometimes ‘unmediated’ appearance, its apparent capturing of life as it happens – is a construction” (Ward 175).

Bill Nichols divides documentary into six modes: poetic, expository, participatory, observational, reflexive, performative (2001: 99). Michael Moore’s Roger and Me (1989) is an example of participatory documentary where some scenes are moved by the filmmaker’s participation. The result is far from the detached or straightforwardly didactic. The film employs reflexive mode in the form of commentary on the means of representation itself. The viewer is encouraged to question the relative levels of ‘truth’ and self-deception. The performative is a mode that questions the relation between the filmmaker and subject ‘performance’. The performance in front of the camera, often negatively to mock the sense of immediacy, shows both the filmmaker and their subjects actively creating the documentary. The modes can overlap in the same film. Documentary shows how the filmmaker and the viewers are involved with the real world of actuality. Man Bites Dog therefore can be regarded as performative as the crew itself participates in the film. First the film crew is invisible, behind the scene. It simply follows Ben while the camera movement is apparent. This is a rejection against cinema verite. Later on two men are shown in the frame. As the camera rolls, they can incite more violence in Ben’s act of murder, and even help him. He tells them not to let the camera intimidate them and to just act and speak naturally.

Man Bites Dog (1992)

The film pretends to be a documentary of Ben the serial killer by showing about his methods of killing, portraying his daily life as well as giving space for his interview. He chooses his victims. He kills by strangling, hitting the back of the neck, suffocation with a pillow, shooting and even by shocking an old lady who then has a heart attack. He knows how to handle the dead body. Like a self-reflexive cinema, Ben is narcissistic. He demonstrated why he is nicknamed “the octopus,” that is being able to wiggle different parts of his body independently. Ben is both a philosopher and the man of action. He recites poetry and convinces the crew that the documentary must go on although the soundman Patrick died.

Like Pierrot le Fou, Man Bites Dog also portrays murder, but more intensely. The film is not a reconstruction of a crime. It is a series of footages of the event of murder. Christopher Null made a comparison of it to Kubrick’s A Clockwork Orange. He says Man Bites Dog is its successor as regards violence. The theme of the movie makes it a good documentary, a cold-blooded murderer who appears to be an ordinary man next door.

In addition to documentary genre, Man Bites Dog can also draw our attention to thriller movie. A thriller emphasizes the complex plot to raise the audience’s fear and uneasiness. It plays on our own fears by evoking our infantile and mostly repressed fantasies that are voyeuristic and sexual in nature (Hayward 476). It is sadomasochistic in the sense that the audience experiences pleasure from the simulation of its basic instinct. We remember Michael Powell’s Peeping Tom (1960) positions the audience as voyeurs.

Man Bites Dog (1992)

However, watching this movie is not very convenient. The film depicts the grotesque body: Ben throwing up after eating tainted mussels. He commits more than two dozens of murder during the film. He kills random people, such as a granny and a black night watchman. The gang also commit rape and murder to a couple. This is the most disturbing scene, especially the picture of the dead bodies with the stomach cut open. This is perhaps why the film is pictured in black and white. It is the reverse of Pierrot le Fou, that is to neutralize the color of the blood. The motives of the murder are petty, that is for sports and money. This is related to the project of the documentary filming, the money is for funding the ‘real’ documentary. It is assumed that the documentary is a means to give a “voice to the voiceless”, those politically, socially and economically oppressed or the subaltern. A voice to produce their own image (Ruby). What happens in Man Bites Dog is the reverse. The phrase man bites dog means a phenomenon in journalism in which an extraordinary event is reported as news, rather than a regular, everyday occurrence (instead of ‘dog bites man’). In general, news means something unusual, or new. A common event is unlikely to be taken as newsworthy and will be in headlines (“Man Bites Dog”). However, the film less of Ben as the oppressed serial killer than of murder as an ordinary thing.

Man Bites Dog (1992)

It is a satire on the society’s views of violence. It questions TV’s pretentious “real-life” crime genre, and a debunking of journalists’ claim to professional detachment, objectivity, and ethics. The society plays a role in self-reflexive cinema. The title is self-reflexive as it literally means “hitting your neighborhood”. It addresses the audience as ‘you’, so the film is aware to whom it speaks to. The audience is a part of the film’s existence. There is also a reference to a movie, when Ben kills a man by bumping the man’s head to the sink, which is like a scene of Philippe Noiret in The Old Gun. When the boys are drunk, they sing about cinema, “from screen to screen, from film to film’. The most self-reflexive part of this film is the editing process. We see how frames are eliminated and stitched. However, the ending of the film raises many questions. As Ben is dead being killed by a vengeful gang, the camera falls. So who did the final editing, what will happen to the ‘film’ in the film, and who owns it?


Works Cited

  • Anything Else. Screenplay by Woody Allen. Dir. Woody Allen. Perf. Woody Allen, Jason Biggs, Christina Ricci. 2003.
  • Doane, Mary Ann. “Information, Crisis, Catastrophe” The Historical Film: History, Memory and Media. Marcia Landy.
  • Girgus, Sam B. The Films of Woody Allen. 2002. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Henderson, Brian. “Toward a Non-Bourgeois Camera Style” Film Quarterly Vol. 24, No. 2 Winter, 1970-1971, pp 2-14, University of California Press
  • Hayward, Susan (ed.) Cinema Studies: The Key Concepts, third ed. New York: Routledge, 2006.
  • Man Bites Dog, screenplay by Rémy Belvaux, André Bonzel, Benoît Poelvoorde, Vincent Tavier. Dir. Rémy Belvaux, André Bonzel, Benoît Poelvoorde. 1992.
  • “Man Bites Dog” Wikipedia. 2007. Wikipedia Foundation, Inc. 12 Nov 2010.
  • Nelmes, Jill. Introduction to Film Studies. New York: Routledge, 2007.
  • Nichols, Bill. Introduction to Documentary. Indiana: Indiana University Press, 2001.
  • Perez, Gilberto. The Material Ghost: Films and Their Mediums. Maryland: Johns Hopkins, 2000.
  • Pierrot le Fou. Screenplay by Jean-Luc Godard, Lionel White. Dir. Jean-Luc Godard. Perf. Jean Paul Belmondo, Anna Karina. 1965.
  • Ruby, Jay. “Speaking For, Speaking About, Speaking With, Or Speaking Alongside: An Anthropological And Documentary Dilemma.” Journal of Film and Video, Vol. 44, No. 1/2, International Issues (Spring and Summer 1992), pp. 42-66 University of Illinois Press.
  • Ruby, Jay. “The Image Mirrored: Reflexivity and the Documentary Film” Journal of the University Film Association Vol. 29, No. 4. Pp 3-11.)
  • Speidel, Suzanne “Film form and narrative.” Introduction to Film Studies. Jill Nelmes (ed.). New York: Routledge, 2007.
  • Ward, Paul. “The Documentary Form.” Introduction to Film Studies. Jill Nelmes (ed.). New York: Routledge, 2007.Williams, Christopher. Realism and the Cinema. New York: Routledge, 1980.
Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search