Sejak munculnya film di Indonesia tahun 1900, banyak artikel-artikel di media massa cetak yang kritis membahas kehadiran film di masyarakat. Penerbitan kembali artikel sejarah film oleh Jurnal Footage adalah salah satu cara pendokumentasian dan pendistribusian artikel-artikel film yang pernah ada di Indonesia. Penyesuaian gaya bahasa dan struktur tulisan dilakukan tanpa mengurangi esensi dari isi tulisan.
Artikel ini ditulis oleh B. J. Bertina, berasal dari buku beliau berjudul Film in opspraak (1950/1951) yang diterbitkan oleh de Koepel, Nijmegen. Bagian isi dari buku itu telah diterjemahkan dan dimuat berseri dalam majalah Aneka di tahun terbit VI tahun 1955. Nomor-nomor terbitannya: 9 (20 Mei 1955); 10 (1 Juni 1955); 11 (10 Juni 1955); 12 (20 Juni 1955); 13 (1 Juli 1955); 17 (10 Agustus 1955); 19 (1 September 1955); 20 (10 September 1955); 21 (20 September 1955); 22 (1 Oktober 1955); 23 (10 Oktober 1955); 24 (20 Oktober 1955); 25 (1 November 1955); 26 (10 November 1955).
Jurnal Footage memuat kembali artikel ini dalam tajuk khusus “Sejarah Film Sebagai Seni”, untuk melihat bagaimana kritisisme perfilman pada masa itu membingkai sinema, baik dari segi estetika maupun konteks isu (sosial, budaya, ekonomi, dan politik)-nya. Arsip artikel dari Aneka ini menunjukkan bahwa perhatian para pengamat, serta arah kebijakan redaksi dari media massa yang bersangkutan, terhadap film terbilang kritis menanggapi fenomena industri; mereka mencoba mencari jalan bagi masuknya argumentasi seni untuk melihat film sebagai produk pengetahuan.
Silakan tinjau di bagian paling bawah halaman artikel ini untuk tautan artikel-artikel lainnya dalam seri Kronik “Sejarah Film Sebagai Seni”, atau bisa juga mengklik tautan berikut ini.
Selamat membaca!
Marilah kita renungkan sebentar masalah Avantgarde Lama; “Peranan apakah yang harus dijalankan suara dalam permainan citraan bergerak?” Setiap penonton pernah mengalami suara yang tiba-tiba hilang ketika menonton di bioskop. Peristiwa itu kadang mengganggu, kadang pula memberi rasa senang pada penonton. Pada situasi hati yang pertama, hal itu disebabkan peran suara telah demikian menguasai sehingga gambar tidak lagi mempunyai daya ungkap apa pun. Sedang pada situasi kedua, saat kita merasa senang karena kata-kata [suara—red.] telah hilang, sebab suara telah menjalankan peran berlebihan, menyerupai auditive von blur [pendengaran yang samar—red.] dari yang ditangkap sejarah visual.
Kesimpulan yang dapat kita tarik dari praktik bioskop mengenai film bicara, yaitu, “menguasai atau berlebihan”.
Perkembangan suara berupa dialog dalam film dan musik pengiring latar di awal dan akhir film sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Suara sebenarnya tidak mempunyai hak hidup sebab terlampau menguasai gambar pada film.
Dalam rangka seni film, gambar pada film senantiasa mempunyai nilai penting. Suara dapat melengkapi gambar pada film atau bertentangan sama sekali, tetapi tetap takluk pada gambar. Sebab, yang paling penting dalam seni film adalah yang dapat dilihat dan bagaimana suatu kenyataan visual yang baru-baru ini ditemukan. Teori montase bangsa Rusia diciptakan dan difungsikan untuk gambar pada film. Untuk mempertimbangkan hal itu, bagaimana kemudian film dapat dihubungkan dengan suara?
Dapat dipertimbangkan bahwa suara pada beberapa detik mendapat peranan dalam suatu adegan yang demikian rupa, sehingga gambar dan suara membentuk suatu kesatuan secara contrapuntist. Jika demikian, maka film menjadi tidak lengkap kalau tanpa suara. Kita ambil contoh sebagai penjelas; seseorang mati terbunuh. Mayatnya ditemukan seorang pembantu di kantor. Mulut pembantu terbuka. Saat itu kita menyangka kalau ia akan berteriak. Tiba-tiba kita mendengar peluit kereta api dan si pembunuh melarikan diri dengan kereta api itu. Di sini, terjadi suatu kenyataan film yang baru dengan adanya pemaduan unsur-unsur gambar dan suara. Pada pernyataan ini, kedua unsur tersebut mempunyai tugas masing-masing. Suatu contoh lain tentang tugas yang dapat dijalankan suara; kita mendengar suara detik jam, kamera mengelana di sebuah bilik. Tiba-tiba suara detik jam hilang maka kesunyian pun bertambah jelas. Suasana bertambah genting karena ketiadaan suara detik jam itu. Dengan kata lain: kesunyian dapat didengar.
Demikianlah dalam film dapat dilakukan percobaan-percobaan dengan suara melalui berbagai kemungkinan. Dalam film Citizen Kane ciptaan Orson Welles, suara disusun dalam beberapa bagian dengan cara tidak murni. Cara yang dilakukan agar dapat menjelaskan dengan baik kesenyapan kehidupan suami-isteri yang kaya raya. Seorang lelaki dan seorang seorang wanita duduk. Di sini, suara menggambarkan keadaan jiwa masing-masing. Barangkali suatu saat nanti film tidak lagi memperdengarkan suara sekeliling kita, tetapi suara yang ada di dalam kalbu kita.
Kendati hanya beberapa contoh saja yang ditampilkan—dapat ditambah dengan banyak contoh yang lain, kendati usaha-usaha awal avantgarde, tugas suara dalam film sampai saat ini masih menyerupai suatu persoalan sulit dipecahkan dan kita belum sanggup mengatasi stadium pertama.
Penjelasan persoalan suara pada sekarang ini akan memberikan suatu tugas baru bagi avantgarde film. Dari pihak industri film sekarang, tidak perlu diharapkan bantuan apa pun, sebab penonton telah merasakan pengaruhnya karena mereka terbiasa melihat adegan-adegan bernyanyi dan percakapan pada film. Jumlah penonton itu sudah sungguh banyak, bahkan kini menganggap film bisu sebagai sesuatu yang tidak sempurna yang seharusnya dilengkapi dengan suara benda dan nada suara manusia.
Siapakah kini yang masih dapat menghargai bahwa film bisu telah hampir menjadi suatu bentuk seni yang sempurna sebelum suara menguasai ruangan bioskop? Demikian juga film bisu telah memperlihatkan kepada kita bentuk-bentuk benda, permainan tangan dari dunia murni, dramatik wajah yang tak kelihatan atau wajah orang ramai. Dengan perantaraan montase, film bisu telah memperlihatkan hubungan benda yang satu dengan yang lain dan hubungan irama rohani dari adegan per adegan. Sejalan dengan hal ini, tugas film bicara tidak lain daripada meminta perhatian terhadap keadaan-keadaan sekitar sesuatu peristiwa, terhadap suara-suara benda, terhadap bahasa rahasia dunia yang fitri, dan terhadap yang turut berbicara dalam isu-isu besar di luar dialog kemanusiaan yang memengaruhi cara berpikir manusia.
Kalau film bicara hendak lebih dari sekadar permainan gambar berbicara, yang sebenarnya tidak dapat berbicara, seharusnyalah ia takluk kepada undang-undang yang sama, yang juga telah berlaku untuk film bisu. Hanya dengan cara demikian kita dapat menghargai suara sebagai faktor yang berdiri sendiri, dengan tidak mengacuhkan apakah ia dipergunakan sebagai desiran, musik, atau dialog. Suara demikian secara ritmis bergantung dari gambar, suatu unsur montase yang dapat mempunyai nilai psikologis dan dramatis kalau ia dipergunakan terbebas dari gambar. Gambar dan suara tidak mesti sejajar (sinkron/linear)—tentang hal ini masih banyak yang berbeda pendapat.
Dalam kenyataan film bicara, gambar dan suara berjalan berdampingan. Masing-masing memiliki otonomi sepenuhnya. Jadi, gambar dan suara mempunyai dasar hidupnya sendiri-sendiri, walau keduanya berjalan ritmis berkaitan satu sama lain.
Irama gambar dan suara harus sesuai [dengan ide—red.], baik pada gambar maupun gerak-gerak yang diarahkan. Dengan demikian terjadi suatu kenyataan yang memang berbeda dengan penglihatan, tetapi ia tidak mengandung sesuatu yang tidak murni lagi. Sebaiknya ia fokus pada benda-benda yang dapat kita lihat dan dengar, yang pada asasnya tak ada sangkut pautnya satu sama lain, tetapi berhubungan dalam kenyataan film dan membuka mata kita terhadap kenyataan itu.
Kalau suara mengasingkan diri dari sesuatu gambar yang selaras dengan gambar lain, maka ia merupakan suatu contoh montase suara yang mutlak (pembunuh yang melarikan diri). Suara serentak mencipta struktur gambar yang telah kita lihat melalui suara lain yang tidak kita kenal sumbernya. Gema suara lebih lama terdengar daripada hanya sekadar royan gambar. Suara hanya sekadar pendengaran daripada membentuk sebuah citraan. Kalau suatu suara masih terdengar oleh pendengaran kita, namun tidak “terdengar” pada gambar berikutnya, terjadilah bauran suara yang psikis. Dengan kesimpulan-kesimpulan yang logis itu, dapat dikatakan bahwa tidak perlu adanya musik pada film seperti sering terdengar di bioskop. Musik itu dapat dilenyapkan. Akan tetapi, praktik film banyak memperkosa musik pengiring. Pada tempatnya atau tidak, musik pembuka hanya untuk membangun suasana. Justru lagu-lagu manis sebagai latar belakang adegan-adegan yang sentimental palsu telah menambah efek-efek kitsch bioskop. Pisau [editing—red.] di sini salah potong [tidak berfungsi—red.] baik untuk gambar dan suara. Sebab, dengan cara demikian ia bukan hanya melenyapkan tetapi juga mengalami menonton film dengan aktif (kalau masih mungkin di zaman kini) melalui musik-musik yang berdialog. Namun, hal itu juga tetap mengganggu intelegensia musik para penonton karena upaya membangun peristiwa berubah menjadi suara musik yang sembrono.
Namun, ada beberapa pencipta film yang pernah berusaha menciptakan simfoni suara dari suara-suara yang fitri. Umpamanya, Edmund Meisel dengan musik iringannya dalam film The Battleship Potemkin. Suatu kemajuan yang penting tak berapa lama berselang telah dilakukan pencipta film Belanda Max de Haas dengan film percobaannya, Maskerade, yang memperdengarkan musik konkrit ciptaan orang Prancis, Pierre Schaeffer.
Musik film yang konsekuen seharusnya bersumber pada penciptaan film. Iramanya lahir dari irama gerak pada film, melodinya berasal dari peristiwa gambar pada film, ragam-suaranya harus sesuai dengan perspektif ideologis film.
Dapat juga dibayangkan pada sebuah film, di mana suara berlaku sebagai kejadian penting dan paling dramatis yang merupakan motif asasi sebuah tindakan. Film yang demikian disebut film musikal, maka musik tidak lagi bersumber pada tindakan-tindakan tetapi sebaliknya, tindakan-tindakan itu bersumber pada musik yang menjadi konsekuensi musik itu sendiri. Film ciptaan Friedrich Feher, Simfoni Perampok, adalah contoh yang baik. Film itu sangat ideal sebagai film musikal dan tak ada penonton yang tidak menghargainya.
Percobaan-percobaan musik dalam film memang terkadang membingungkan. Niatnya kita hendak memberi impresi musik sebagai perantara gambar film. Namun terlampau berlebihan menganggap gambar dan suara memiliki nilai yang sama.
Percobaan-percobaan seni film bicara sangat menarik perhatian, namun maksud tujuan seni film, yakni membayangkan realitas dari komposisi gerak-gerak, tak boleh diabaikan. Sebagai contoh yang tepat saya sebut film ciptaan Oskar Fischinger. Sineas ini telah mencoba membuat seni film bicara yang hakiki. Tetapi karena impresi-impresi yang niskala, geometris dan musikal itu tidak mempunyai tujuan lain daripada pernyataan kanta [lensa—red.] dari kesan-kesan psikis seperti ditimbulkan musik, maka ia melalaikan seni film yang hakiki. Fishinger mencari relasi jiwa yang pribadi dalam musik dan bukan gerak rohani yang elementer. Ciptaannya itu adalah suatu contoh yang jitu dan menarik tentang bagaimana suatu seni film niskala dapat mengabaikan wataknya yang mutlak serta asli, dan bagaimana suatu seni elementer dapat kembali berubah menjadi suatu alat pernyataan yang ilustratif. *