In Kronik

Dimuat di Siasat 152. Tahun IV 5 Februari 1950. Hlm 12.1

Roger Manvell, direktur Akademi Filem Inggris, pengarang beberapa buku tentang filem dan semi-filem, baru-baru ini melihat dalam sebuah karangan filem-filem yang dibikin di Eropa selama 1949.

rosihan_anwar_kesusastraan_indonesia_modern_dalam_kritik_dan_essai_1_1962_p10

Rosihan Anwar

Menarik perhatian ucapannya tentang dua regisseur (sutradara) Italia yaitu Rossellini dan Vittorio de Sica (pembikin Pencuri Sepeda) sebagai berikut:

“Rossellini dan de Sica sangat berpegang kuat pada kebenaran. Filem-filem yang keras, pahit-getir, tapi pada dasarnya penuh dengan peri-kemanusiaan ini mengajukan kaca jernih kehidupan. Tidak adalah terdapat sesuatu sikap memberi hati kepada penonton yang gemar kesenangan dan mempunyai anggapan-anggapan romantis.”

Apa yang dikatakan oleh Manvell tentang kedua regisseur Italia itu sebenarnya berlaku juga bagi semua regisseur Italia, yang telah menjadikan buah ciptaannya berderajat paling tinggi di dunia dewasa ini.

Alessandro Blasetti adalah seorang regisseur Italia lain yang terkemuka. Baru-baru ini kita melihat filemnya yang bernama Un Giorno Nella Vita (1946) atau Sehari dari Kehidupan.

Ceritanya pun serta-merta menawan minat orang seperti umum halnya pada semua filem Italia.

Dua dunia dipertentangkan oleh Blasetti. Dunia padri wanita (biarawati) dalam sebuah biara, yang hidup terasing dari siapapun juga. Dunia kaum gerilya yang bertempur melawan tentara Jerman.

Mereka mempunyai seorang teman seperjuangan yang luka, bekas fasis yang membunuh kiri kanan untuk Mussolini, tapi kemudian insaf jalannya yang sesat itu, lalu menggabungkan diri pada kaum gerilya.

Meskipun menurut aturan tidak dibolehkan orang luar memasuki biara tersebut, namun pemimpinnya menyediakan juga kamar operasi dan perawatan bagi prajurit gerilya yang luka itu.

Kemudian cerita memperlihatkan konfrontasi kedua dunia yang berbeda itu. Kaum padri yang hanya tahu cara beribadat, kamum gerilya yang serba kasar dalam segala tingkah lakunya.

Konfrontasi ini bertambah dipertegas, apabila kedua golongan manusia itu terpaksa bersama-sama berada dalam ruangan perlindungan.

Lalu penonton mendapatkan tahu di mana intrige (intrik) ceritanya ialah bahwa pemimpin biara itu tadinya istri seorang dokter, yang masuk biara, menjadi padri, setelah suaminya ditembak oleh seorang fasis. Dan fasis itu tiada lain melainkan prajurit yang luka itu.

Sebentar kamera memperlihatkan perjuangan batin di dalam pemimpin biara itu, bagaimana dia terombang ambing antara sifat-sifat rendah seperti ingat pembalasan dendam dengan dengan sifat-sifat suci sesuai dengan martabatnya sekarang seperti tahu memaafkan. Dalam pada itu bahaya makin mendekat. Tentara Jerman tahu di mana kaum gerilya bersembunyi.

Di akhir filem kita lihat kaum padri itu ditembak oleh senapan mesin Jerman, sehingga mati bergelimangan.

Tiba-tiba kaum gerilya, yang telah meloloskan diri keluar pada waktunya, menyerang kembali tentara Jerman yang berada di dalam biara.

Mereka berhasil mematahkan perlawanan tentara Jerman dan menawan beberapa serdadu musuh. Ketika kaum gerilya melihat bagaimana akibatnya kekejaman Jerman terhadap padri-padri itu, maka komandannya mau menembak pula serdadu-serdadu Jerman yang mereka tawan. Perbuatan ini dicegah oleh pemimpin padri dengan sebuah isyarat tangan sebelum dia menghembuskan nafasnya.

monet-impression-sunrise-1872

Dan seakan-akan tidak ada terjadi apa-apa Blasetti  memperlihatkan kepada kita bagaimana kaum gerilya terus meninggalkan biara dan mayat-mayat padri yang bergelimangan ini, terus mengejar tentara Jerman yang mulai mengundurkan diri.

Garis pokok ceritanya memang biasa saja, terjadi dalam tempo sehari, akan tetapi pada sementara itu Blasetti telah menggunakan kesempatannya untuk mengemukakan segi-segi kecil dari kehidupan manusia biasa.

Kita lihat misalnya seorang prajurit gerilya, yang tidak tahan hati lalu mencolong kalung emas patung Maria. Kita lihat nasib seorang rakyat biasa yang sebenarnya hendak kembali kerumahnya di Italia Selatan, tapi kebetulan di jalan kesomplok dengan gerombolan gerilya lalu ikut saja, kemudian pergi pula jika filem sudah sampai di akhir.

Kita lihat kelakar sesama kaum gerilya, apabila mereka mengamat-amati padri-padri wanita yang muda dan cantik. Kita lihat pula bagaimana seorang padri muda digoda oleh nafsu iblis ingin hendak melarikan diri saja dari biaranya, ikut dengan gerilya.

Pendek kata, pada semua itu kita mengenali sifat-sifat kita sendiri pula, baik di dalam keluhurannya, maupun di dalam kenistaannya.

Pada akhirnya biarpun mungkin menjemukan, kita serukan di sini kepada pemerintah RIS, baik kementrian pengajaran, kesenian, pengetahuan yang dikepalai oleh Dr. Abu Hanifah, seorang yang suka mencampuri hal ihwal kebudayaan Indonesia, maupun kementerian penerangan yang dikepalai oleh Arnold Mononutu, juga seorang kebudayaan buat mengatur beleidnya (peraturannya) sedemikian rupa, sehingga masyarakat Indonesia juga mendapat kesempatan buat melihat filem-filem Italia, Meksiko, Prancis, Swedia, Maroko yang terpilih dan terbaik.

Sebab apabila masyarakat Indonesia tidak dapat melihat filem-filem yang terpilih itu, maka berartilah itu suatu kekurangan usaha di dalam memperkenalkan kepadanya segala buah usaha kebudayaan bangsa-bangsa di dunia ini, yang wajib diketahui.

Memang kesulitan dalam praktik banyak sekali. Misalnya akan segera timbul persoalan di dalam bioskop. Mungkinkah filem-filem itu dapat dipertunjukkan, andaikata sudah di import di Indonesia? Dapatkah ditembus jaring-jaring monopoli yang dipasang oleh Hollywood yang mempunyai kongsi bioskop-bioskop bagi filem-filemnya saja?

Akan tetapi sesuatu pemerintah yang tahu menghargakan dirinya tidak boleh tidak akan berusaha buat mengatasi kesulitan tersebut. Di dalam hal ini pemerintah RIS harus memberikan bukti yang nyata.

Maka baiklah mari kita lihat!

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search