(Art Must Be Beautiful, Artist Must Be Beautiful, 1975, karya Marina Abramović)
Dalam usaha merenungkan batas bidang-bidang seni, sesungguhnya bisa dilakukan ketika ada perjumpaan, ataupun persilangan dari dua atau lebih bidang seni yang berbeda. Setidaknya, perjumpaan dan persilangan tersebut bisa dianggap sebagai cara lain merumuskan kemandirian suatu bidang seni tertentu. Sayangnya, video sebagai medium yang terbuka—karena kemudahan akses dan penggunaannya—sering dijadikan sasaran pelampiasan hasrat estetika dari berbagai wilayah bidang seni, sehingga hakikat bahasa ‘video’ yang melekat pada bidang seni tertentu, belum tentu memiliki gambaran pemaknaan ‘video’ itu sendiri.
Performance Video (Seni Video Performans), adalah istilah yang seringkali beredar di beberapa pelaku seni di Indonesia belakangan ini. Namun, apakah istilah video performance tersebut juga telah menempatkan keterlibatan medium video sebagai sesuatu yang primer? Dalam hal ini, sejauh mana penggunaan medium ini dimungkinkan memiliki nilai estetika yang organik bersama performans (pertunjukkan) yang dilakukan dalam sebuah karya seni. Atau, memang sesungguhnya medium video masih hadir sebagai sesuatu yang sekunder, sehingga fungsinya hanya sebagai pendokumentasian dalam setiap karya seni performans. Dalam pengertian peran sekunder medium video inilah, maka istilah video performans—yang banyak ditempelkan dalam berbagai karya seniman-seniman performans—menjadi naif. Karena kata ‘video’ secara jelas tidak memberikan sumbangsih apapun terhadap peran estetika aktivitas seni performans yang dilakukan sang seniman, selain hanya sekedar alat pendokumentasian. Ditambah lagi, seni performans punya sejarah yang jauh lebih panjang dan keabsahan dalam sejarah seni modern dunia, sehingga jangan-jangan istilah ‘video’ dilekatkan pada kata video performans, hanya ‘imbuhan’ yang tidak memiki sejarah estetika.
Adalah Marina Abramović, salah seorang seniman performance art (seni perfomans) yang pernah kecewa terhadap penggunaan medium video dalam pandangan estetika. Karya Art Must Be Beautiful, Artist Must Be Beautiful (1975) adalah karya pertama Abramović yang menggunakan alat rekam video dalam aksi seni performans. Pada sebuah wawancara, seniman kelahiran Belgrade, Serbia ini menuturkan, bahwa ia tidak memberikan instruksi pada juru kamera, namun dalam perekaman juru kamera melakukan zoom in dan zoom out serta melakukan beberapa gerak kamera ke kanan dan ke kiri. Yang dilakukan oleh juru kamera cukup mengacaukan gagasan karyanya. Dari sini, kita dapat mulai membaca bagaimana kehadiran medium video dalam bidang seni tertentu (khususnya performans), akan menarik ke pembacaan pada batas, persilangan, dan estetika yang dimungkinkan oleh medium tersebut.
Apa yang diungkapkan oleh Abramović di atas, jelas tergambar dalam karya seni performansnya, Art Must Be Beautiful, Artist Must Be Beautiful, yang mayoritas direkam dengan komposisi medium shot. Seperti pada bagian tengah durasi video tersebut, beberapa adegan aksi performansnya, memperlihatkan semacam ‘niatan’ kamera yang berusaha bergerak untuk membuat titik perhatian (fokus), melalui gerakan kamera. Karya performans ini mempertunjukkan aksi sang seniman sedang menyisir rambut dengan dua sisir pada kedua tangannya. Dalam performansnya itu, Abramović mengucapkan kalimat ‘Art Must Be Beautiful, Artist Must Be Beautiful’ secara emosional dan dilakukan secara berulang.
Art Must Be Beautiful, Artist Must Be Beautiful merefleksikan sejarah keberadaan seni secara satir. Ada beberapa adegan yang menekankan gambaran ‘tubuh’ secara visual. Entah secara sadar atau tidak, ambilan gambar juru kamera menampilkan detail tubuh Abramović, sehingga mengundang pertanyaan tentang keutuhan karya ini, yang seharusnya diambil dengan full shot, dan bukan medium shot (detail). Ada juga beberapa shot yang hanya menampilkan panggung sang seniman. Hal ini menjadikan bingkai ‘shot lain’ itu tidak menghadirkan adegan performans Marina Abramović secara utuh.
Marina Abramović mengatakan; “For me what is important is the actual performance—everything else is documentation. No documentation can ever replace the energy of a live performance…”[1].
Dari sini bisa dibaca persilangan seni performans dengan medium video bisa jadi memang belum organik. Namun, ia juga mengungkapkan optimisme pada kolaborasi dua medium ini;
“Documentation made during a live performance is difficult to get right. Once I saw a Gina Pane performance in which she was cutting her lips. The documentation gave you strong, very close-up images of the action. At the actual performance, though, the only thing you could see was the backside of the camerawoman taking the pictures, positioned between the public and the action. The camera should be positioned so it captures the audience and the action, without paying too much attention to trying to make the film an artwork in itself. I have made pieces just for the camera after the live performance, framed in such a way that the viewer can see them as the public had seen them. Recently in Basel when I made a piece called Nude with Skeleton (2004), first I made the photograph, then the video and then I made the live performance (which I didn’t record) — the process was backwards.”
Perihal tubuh dalam karya seni performans menjadi fitrah dalam karya, yang juga dikenal sebagai ‘seni rupa tubuh (body art)’ dan ‘live art’. Peran kunci tubuh dalam seni performans adalah bagian penting dalam konteks sosiologis karya tersebut. Hubungan sosiologis yang melekat pada seni performans adalah semangat modernitas, yang ingin memecah kodrat tradisional seni rupa yang terletak pada bingkaian (frame) atau “breaks frame”. “Memecah bingkai inilah yang menjadi kunci dari semangat seni performans yang menyebabkan pergeseran hubungan tradisional karya dengan para penonton. Lalu, bagaimana hubungan antara karya dan penonton pada seni performans yang didokumentasikan? Apakah semangat “memecah-bingkai” masih melekat atau bersangkut-paut pada karya seni performans tersebut?
Jika kita melihat karya-karya seni video performans saat ini, tentu banyak yang memiliki persilangan yang cukup organik seperti yang saya sebutkan di atas. Seperti beberapa karya seniman Indonesia; Reza Afisina (What, 2003), Anggun Priambodo (Sinema Elektronik, 2009), dan Bagasworo Aryaningtyas (Bilal, 2005). Seniman-seniman video performans saat ini cukup cerdas memainkan kersadaran frame kamera dan bagaimana video itu dihadirkan ke penonton. Pertanyaan tentang hubungan memecah-bingkai yang diusung oleh seni performans diawal kehadirannya, telah bergeser ke wilayah yang lebih luas yaitu; representasi kenyataan aksi sesungguhnya dengan permainan ‘bahasa’ video.
Perihal-perihal penggunaan medium video pada karya seni performans, tentu akan terus menjadi bahasan yang menarik, sebagai upaya mempertanyakan lagi soal; ‘video, apakah itu?’ dan bukan frasa yang sebaliknya. Dalam sejarah filem menekankan keberadaan kamera, awalnya juga tidak luput dari tuduhan-tuduhan sebagai bidang seni yang tidak mandiri. Apalagi medium video yang sangat cair dan memungkinkan persilangan dengan berbagai bidang seni. Dengan demikian, “persilangan”, bukan bid’ah seni, namun justru sesuatu yang menjanjikan sebagai sejarah tentang ‘kemungkinan (non-metafisika)’, dan semua dapat Anda saksikan di OK. Video FLESH 5th Jakarta International Video Festival 2011 di Galeri Nasional Indonesia.
Karya Video Marina Abramović, Art must be Beautiful, Artist must be Beautiful (1975) dapat anda tonton di OK. Video FLESH 5thJakarta International Video Festival, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 7-17 Oktober 2011.
[1] http://www.flashartonline.info/PDF/Abramovic_1.pdf
[/tab_item]
[tab_item title=”EN”]
(Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item]
[/tab]