In Artikel
[tab] [tab_item title=”ID”]

Dalam kultur gambar bergerak (moving image), satu diantara perubahan yang dihasilkan dari kelahiran video sebagai medium rekam adalah perubahan cara bernarasi, dari kaidah-kaidah filemis. Tentu, perubahan cara bernarasi dengan sendirinya memperluas cakrawala bernarasi itu sendiri. Forget it, Forget it not (2005), karya Wimo Ambala Bayang, mungkin bisa dianggap cara bernarasi yang cukup berbeda. Setidaknya, dalam perihal dokumentris. Video ini cukup memperlihatkan fitrah bernarasi video yang dimungkinkan melalui alat perekam yang sangat cair.

wimo-ambala-bayang_forget-it-forget-it-not_2005

Wimo Ambala Bayang, Forget it, Forget it Not (2005)

Melalui sekali ambilan (one shot) yang diam (still shot), karya video ini merekam sebuah monumen bergambar Garuda Pancasila, dan gambar beberapa pahlawan nasional Indonesia, di suatu waktu di salah satu jalan di Yogyakarta. Dari aksi ambilan gambarnya, sedikit banyak menampakkan semangat cinéma vérité, yakni semacam teknik “naturalistik” sebagai bentuk gaya dokumenter—yang merekam lalu lalang keseharian orang-orang.  Dari intensitas sekali ambilan yang berdurasi kurang lebih lima menit, Forget it, Forget it not, cukup memberikan persuasi kepada penonton; yang mengarahkan pandangan penonton pada keadaan monumen, seakan teracuhkan oleh lalu lalang masyarakat yang melintasinya. Persuasi ini semakin dipertegas melalui judul video ini yaitu semacam tarik menarik antara melupakan dan tidak melupakan.

Tentu, kecerdasan sinematik karya ini, sedikit banyak dipengaruhi kesadaran bahasa medium video; peka terhadap pengamatan (observasi), dan kepekaan keadaan sosial di sekitarnya. Ambilan lebar (wide shot), cukup analitik menurut saya. Wimo memperlihatkan secara visual, konteks ruang tempat berlangsungnya ketidakacuhan orang-orang yang melintasi. Penonton dibebaskan, membuka ketaksaan visual, mulai dari perilaku keseharian orang-orang, konstruksi monumen, durasi, dan seterusnya. Bisa saja video ini kita masukan dalam direct cinema yang mengenal gaya “observational mode” dimana kamera menjadi alat pengurai dan penjelajah peristiwa.

wimo-ambala-bayang_Once-Upon-a-Time-in-China_2005

Wimo Ambala Bayang, Once Upon a Time in China (2005)

wimo-ambala-bayang_Once-Upon-a-Time-in-indramayu_2006

Wimo Ambala Bayang, Once Upon a Time in Indramayu (2006)

Menurut André Bazin, kesaksian sinematik pada dasarnya hampir sama dengan kesaksian seorang geolog; ia bisa dibebaskan dari sarananya. Dalam konteks karya yang menggunakan medium video ini, kesaksian bisa jadi karena sarana perekam yang dimungkinkan untuk melihat ambilan peristiwa secara naturalistik, atau bahkan sebaliknya. Kepekaan terhadap isu sosial lah yang menentukan gaya ambilan gambar. Proses kreatif bisa jadi memang sangat cair, antara menimbang ide yang menentukan medium, atau bahkan sebaliknya. Tapi inilah yang disebut ‘fitrah video’. Video Forget it, Forget it Not, merupakan karya video yang cukup bisa dijadikan referensi dalam khasanah estetika video.

Dalam sejarah perjumpaan dua bidang seni, André Bazin menyatakan bahwa bingkaian lukisan bersifat sentripetal (ke dalam), sedangkan bingkaian filem bersifat sentrifugal (keluar). Pada bingkaian lukisan, adalah semacam menggarisbawahi keragaman mikrokosmos piktural,  sedangkan pada bingkaian filem semacam membentuk kesinambungan terhadap realitas kehidupan. Pada Forget it, Forget it Not, fungsi bingkai seakan membentuk sifat keduanya. Ambilan lebar (wide shot), mau tidak mau menciptakan konteks, karena posisi monumen berada di tengah ambilan, seakan memuat garisbawah yang cukup tegas, bahkan mengarahkan, pada keragaman piktural yang dimungkinkan. Namun, gambar bergeraknya, selalu mengandaikan kehadiran (present).

wimo-ambala-bayang_Once-Upon-a-Time-in-Malang_2006

Wimo Ambala Bayang, Once Upon a Time in Malang (2006)

Inilah video, sebuah medium yang semakin membuka banyak peluang bagi ragam bahasa visual. Secara isu, karya ini cukup mengkritik politik nasionalisme yang dihadirkan di ruang publik. Namun, potensi medium lah yang memungkinkan kritik itu melalui berfikir secara video.

wimo-ambala-bayang_sabar_2006

Wimo Ambala Bayang, Sabar (2006)


Forget it, Forget it Not (2005), di pamerkan dalam program Video Out, 5th OK. Video Festival “Flesh” 2011.

Focus on Henry Foundation, Reza Afisina, Wimo Ambala Bayang
Kurator: Ade Darmawan

di dia.lo.gue Artspace
Jl. Kemang Selatan 99a
29 September – 15 Oktober | 10:00 – 18:00.

[/tab_item] [tab_item title=”EN”] (Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item] [/tab]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search