In Artikel

KETIKA BRIEF ENCOUNTER (atau Короткие встречи) rilis tahun 1967, satu-satunya ulasan tentang film ini ditulis oleh seorang kritikus konservatif. Isinya mencela kebengalan Muratova karena tidak mengolah tema tunggal yang pantas bagi film Soviet (yaitu: “man and the historical process, man and his epoch”)1 dan hanya “…menyusun ulang bagian-bagian film tanpa menyuguhkan alasan yang masuk akal (kenapa susunannya mesti begitu).”2 Konon, Komite Perfilman Negara Uni Soviet (Goskino) sempat pula menyuarakan keberatan; mereka menganggap kalau protagonis di dalam Brief Encounter mencerminkan karakteristik yang amoral.3

Sementara itu, di mata kritikus atau akademisi yang memuji, terutama sejak era 1980-an hingga sekarang, Brief Encounter dianggap luar biasa eksperimental karena mempunyai konstruksi yang berbeda dari kelaziman dalam industri film arus utama Rusia sejak era Stalin hingga Brezhnev.

Poster original film "Brief Encounter". Official film poster - https://www.kinopoisk.ru/picture/427385/#, Fair use, https://en.wikipedia.org/w/index.php?curid=51874855

Diketahui pernah membuat film—secara kolaboratif bersama Alexander Muratov—berjudul By the Steep Ravine (atau У Крутого Яра, 1961) pada masa sekolah di VGIK, dan Our Honest Bread (atau Наш честный хлеб, 1964) saat mengawali karir di Odesa Film Studio, Muratova menyatakan bahwa film pertama dalam karir kesenimanannya adalah Brief Encounter.4 Salah satu dari “dua film yang dijuluki provincial melodramas” ini5 mewakili cara pandangnya yang unik terhadap isu-isu tentang kelas sosial, khususnya kehidupan perempuan. Meskipun dari segi bentuk belum se-“radikal” karya-karya sinematik yang Muratova buat sejak era Gorbachev, dan juga tidak begitu representatif untuk mendiskusikan filsafat sinema Muratova yang berkembang di kemudian hari, film yang menyentil sistem birokrasi dan pernah dituduh mencerminkan “realisme borjuis”—alasan yang melatarbelakangi penyensoran dan distribusi terbatas yang dialaminya selama lebih-kurang dua dekade—ini, nyatanya, memang telah menunjukkan gelagat artistik dan visi estetik yang “memberontak” terhadap narasi-narasi besar dan gaya bahasa film yang diakui oleh rezim pada masanya. Brief Encounter dapat dipahami mengejawantahkan kelahiran gaya ungkap “[anti]-ideologis” khas Muratova, gaya yang diyakini melampaui zaman.

***

Melalui Brief Encounter, Muratova meramu isu sosial di Odesa dan mengkritisi stereotipe tentang perempuan Rusia masa itu ke dalam kisah cinta segitiga antara Valentina (diperankan oleh Kira Muratova sendiri), Maksim (diperankan oleh Vladimir Vysotsky), dan Nadja (diperankan oleh Nina Ruslanova). Ramuannya ini menerapkan mekanisme syuzhet6 yang merangsang penalaran retroaktif (‘berlaku surut’) di kepala penonton, sebagaima tampak jelas dengan penggunaan sekuen-sekuen kilas balik yang menyebabkan latar ruang-waktu cerita menjadi berlapis dan kompleks.

Terkait hal itu, Muratova menyuguhkan sebuah struktur naratif yang mendefamiliarisasi7 baik konten tematik yang ia bingkai dalam film—yaitu, krisis sarana dan prasarana di Odesa, sebagaimana tercermin lewat gambaran mengenai kurangnya pasokan air bersih bagi masyarakat kelas bawah—maupun, mengutip pendapat Jane A. Taubman,8 bentuk emosi-emosi insaniah dari subjek-subjek naratifnya, yaitu emosi-emosi yang berselindung di balik gestur dan tabiat klise mereka. Dengan membingkai gestur dan tabiat klise tersebut, perilaku suatu subjek dapat dipahami merepresentasikan karakteristik kelompok masyarakat tertentu berdasarkan status dan masalah sosio-ekonomi yang melingkupinya—dan justru inilah yang menjadi sasaran utama dari kritisisme Muratova melalui Brief Encounter. Ia mengkritisi stereotipe-stereotipe psikologis dan sosial masyarakat yang terbangun dan berkembang dalam suatu kemapanan, baik kemapanan oleh ideologi negara maupun oleh pasar/industri.

***

Valentina adalah perempuan terpelajar yang mengabdikan diri sebagai pegawai negeri, memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kesenjangan sosial yang terjadi di kotanya. Mengimpikan kehidupan yang stabil dan menetap, ia berwatak konvensional dan terbilang bertele-tele bahkan dalam memenuhi kewajibannya sebagai petugas sekaligus perwakilan adminstratif kota. Ia menjalin cinta dengan Maksim, lelaki petualang yang ia sebut “suamiku”, dalam suatu hubungan yang tak resmi. Berprofesi sebagai geolog, Maksim menolak segala bentuk keterikatan dan kehidupan monoton, serta acuh tak acuh terhadap isu-isu politik dan tatanan sosial. Perbedaan cara pandang dan gaya hidup menyebabkan keduanya sering berdebat hingga bertengkar mulut. Valentina jengah secara emosional dengan kesenangan Maksim bertualang, datang dan pergi di waktu-waktu yang tak tentu dalam durasi yang tak pasti—ia lelah menunggu. Sedangkan Maksim, jenuh dengan rutinitas domestik yang terbatas dan keseharian yang kaku seperti yang dijalani Valentina—dia lebih menyukai kebebasan. Di saat Maksim mesti kembali melakukan ekspedisi ke sebuah wilayah entah di mana, pertengkaran hebat keduanya terjadi lagi dan mereka pun berpisah sambil membawa kedongkolan di hati masing-masing. Valentina bahkan nyaris berpikir untuk tidak akan menunggu kepulangan Maksim, sedangkan Maksim bersikap seolah mengancam tak akan pernah kembali lagi.

Sementara itu, Nadja adalah perempuan udik yang—karena berbagai faktor mesti merantau ke luar kampung untuk mencari peruntungan nasib secara finansial dan sosial—bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe yang berlokasi di pinggir jalan besar yang menghubungkan kota dan desanya. Ia jatuh cinta kepada Maksim yang suatu waktu menjalankan misi pencarian emas di daerah rural dan kebetulan sering mampir ke kafe tersebut. Tatkala Maksim pergi melanjutkan petualangannya usai menuntaskan misi di lokasi itu (meskipun ia dan tim geolognya hanya menemukan perak), Nadja pun berhenti menjadi pelayan kafe dan memutuskan untuk mengejar cintanya ke kota, menuju satu-satunya alamat yang ia ketahui berhubungan dengan Maksim. Ketika sampai di alamat itu, ia justru mendapati bahwa Valentina, si pemilik rumah, tengah menunggu kedatangan seorang pembantu rumah tangga yang diusulkan seorang temannya. Valentina mengira Nadja-lah pembantu yang direkomendasikan temannya itu. Tanpa banyak cakap dalam keterkejutannya menyadari bahwa Valentina adalah “istri” Maksim, Nadja pun menerima pekerjaan sebagai pembantu itu sembari mempelajari gaya hidup Valentina dan bagaimana bentuk hubungan yang terjalin antara majikan barunya itu dan lelaki idamannya.

***

Eksperimen syuzhet—seperti yang dicontohkan film ini (yaitu, mengotak-atik linearitas waktu di ranah penceritaan)—merupakan hal umum bagi sinema, apalagi sinema zaman sekarang. Permainan “waktu naratif” adalah perangkat, kalau bukan muslihat, yang digunakan seorang sutradara untuk menciptakan kemusykilan, memancing tanya dan imajinasi, atau mengantisipasi keterkejutan penonton. Bagaimanapun, sasaran pendekatan semacam ini bersifat psikologis: meskipun mungkin cita-citanya adalah mengeliminasi “suturasi”9 (dalam arti yang lain: juga “anti-psikologis”), penekanannya masih tetap perihal “efek filmis pada penonton”.

Dalam Brief Encounter, “de-kronologi” yang dilakukan Muratova membuahkan gugus-gugus sekuen yang saling berkelindan berdasarkan hubungan resonansial.10 Tidak sedikit cerita pada sekuen tertentu sekonyong-konyong dipenggal, atau disela, oleh sekuen lain (yaitu, sekuen “kilas-balik”) yang memiliki tingkatan temporal yang berbeda. Namun, sekuen-sekuen “kilas balik” ini dihadirkan tanpa identifikasi urutan kejadian. Kaganovsky berpendapat bahwa, dengan cara ini, Muratova memberi penonton sebuah efek “penundaan” dalam mencerap garis besar cerita secara utuh—sebuah metode untuk bermain-main dengan konvensi sinema melodramatik.11

Sementara logika temporal yang masuk akal tidak lagi berlaku wajib di dalam film ini, situasi spasial yang terdapat pada setiap narasi sekuen justru siginifikan dalam hal bagaimana karakteristik tokoh-tokoh utama dapat didefinisikan, sekaligus menjadi elemen penting yang menentukan kualitas dramatik dari naratifnya. Apa yang saya sebut “spasial” di sini mencakup dua hal, yaitu sesuatu yang tampak secara visual dan sesuatu yang hadir secara tersirat. Dua bentuk spasialitas tersebut, sebagaimana yang akan saya jabarkan nanti melalui beberapa contoh adegan, merupakan materi yang digunakan Muratova untuk menyuguhkan bingkai defamiliarnya mengenai hubungan kompleks antara masalah sosial dan individual.

***

Sunglap “waktu naratif” di Brief Encounter sudah dapat kita saksikan bahkan ketika Muratova memperkenalkan ketiga tokoh utama film. Sekuen-sekuen “waktu sekarang”, yang di dalamnya interaksi sosial antara Valentina dan Nadja berlangsung, disela-sela oleh sekuen-sekuen “kilas balik” berupa memori tentang hubungan asmara yang dimiliki masing-masing tokoh perempuan itu dengan Maksim. Dalam sekuen “kilas balik” yang merupakan memori Nadja, cinta Nadja diceritakan hampir sepenuhnya bertepuk sebelah tangan—hanya ada satu adegan (Nadja menyerahkan jaket kepada Maksim dari balik semak pada suatu malam) yang menyiratkan kemungkinan bahwa Maksim sempat membalas rasa kepada Nadja. Sementara itu, dalam sekuen “kilas balik” yang merupakan memori Valentina, kita mengetahui hubungan Valentina dan Maksim terasa canggung meskipun keduanya sama-sama menunjukkan kepedulian yang besar satu sama lain.

Mengamati keberadaan sekuen-sekuen “kilas balik” tersebut, kita tak akan menemukan satu indikasi pun yang menginformasikan urutan waktu kejadian, antara peristiwa dalam memori siapa yang mendahului peristiwa dalam memori yang lain. Apakah pertemuan Maksim dan Nadja terjadi sebelum pertengkarannya dengan Valentina (yang berarti bahwa ada kemungkinan Maksim pulang dulu ke rumah Valentina sebelum melanjutkan ekspedisi berikutnya), atau justru sesudahnya (yang berarti bahwa Maksim langsung melanjutkan petualangan ke lokasi ekspedisi berikutnya setelah pamit dengan Nadja tanpa pulang ke rumah Valentina terlebih dahulu)? Jawabannya, kita tidak tahu benar. Sebagaimana naratif di dalam film ini berkembang, itu semua tertinggal sebagai semata ingatan yang tak lagi membutuhkan kepastian waktu.

Tapi satu hal yang kita ketahui: ketika Nadja berhasil menemukan rumah Valentina (yang dikiranya adalah rumah Maksim), si geolog petualang itu sudah tak ada di dalam rumah tersebut—ingatan kita “digiring” kembali ke sekuen-sekuen di awal film, khususnya adegan saat Muratova memperkenalkan Nadja dengan bidikan close-up yang ekstrem.

Ketiadaan informasi mengenai waktu kejadian di film ini, khususnya tentang urutan waktu dari peristiwa yang dipecah-pecah ke dalam sekuen-sekuen “kilas balik”, pada satu sisi, adalah satu aspek yang patut digarisbawahi untuk menimbang nilai ekperimental dalam gaya penceritaan Muratova. Tapi, yang menarik, permainan syuzhet tidak selesai pada aspek itu saja. Alih-alih kausalitas temporal, konsentrasi Muratova yang terbilang jauh lebih penting ialah strategi penceritaan berdasarkan kausalitas spasial, yaitu hubungan-hubungan yang melaluinya motivasi dan gestur setiap karakter dipersoalkan sebagai kode sinematik, dengan mengacu kepada kapasitas fisikal di dalam relasi antara kehadiran tokoh-tokoh dan keberadaan ruang beserta benda-benda keseharian (realia) di sekitar yang menempatinya.

***

Menurut Mikhail Iampolski, dalam produksi film secara umum dikenal dua model pendekatan penciptaan naskah. Pertama, berbasis plot, di mana karakter dipilih secara khusus dengan ukuran yang sesuai dan dapat memenuhi kebutuhan arah cerita yang telah ditentukan—plot bersifat final dan tidak bisa diubah. Kedua, berbasis karakter, di mana plot bersifat fleksibel dan dapat berkembang menurut kebutuhannya menjaga konsistensi karakter.12

Iampolski—yang adalah seorang profesor studi budaya Rusia di Universitas New York dan juga dikenal sebagai salah seorang ahli Kira Muratova—lebih jauh berpendapat bahwa model pembuatan naskah yang pertama adalah ciri produksi film komersial, sedangkan model yang kedua kerap digunakan oleh para pembuat film yang mempunyai visi eksperimental terhadap naratif. Tapi, meskipun terbilang penting untuk digunakan dalam menganalisa skenario film-film Muratova, Iampolski berargumen bahwa Muratova agaknya tidak menggunakan kedua pendekatan tersebut di sebagian besar filmnya. Alih-alih, menurutnya, pendekatan Muratova justru lebih cenderung memiliki kesamaan dengan pendekatan para Konstruktivis era 1920-an: di mana materialitas lingkungan (the materiality of milieu) menjadi basis pengkonstruksian naratif.13

Perlu diketahui bahwa, Iampolski menerapkan penilaian tersebut untuk menganalisa film-film Muratova yang diproduksi pada era yang ia—mengacu pengakuan Muratova sendiri—sebut sebagai “era antara” di Rusia, yaitu masa transisi dari zaman yang didominasi oleh ideologi ke zaman yang didominasi oleh pasar. Dengan kata lain, konteksnya jelas berbeda dengan konteks film yang kita bahas di esai ini. “Era antara” itu adalah era ketika Muratova memproduksi film berjudul Change of Fate (atau Перемена участи, 1987) dan The Asthenic Syndrome (atau Астенический синдром, 1989). Konon, pada era tersebut, Muratova dianggap melakukan lompatan yang sangat radikal dari segi gaya ungkap filmis dan ideologi estetikanya, dan dari situ ia “mengukuhkan” filsafat sinemanya yang belakangan dikenal dengan nama “Ornamentalisme”.14 Inilah sebuah paradigma yang telah ia coba bangun sejak film berwarna pertamanya, Getting to Know the Big, Wide World (atau Познавая белый свет, 1978).15

Namun, saya kira, meskipun falsafah “Ornamentalisme” agaknya belum sepenuhnya menjadi tujuan estetik Muratova pada masa film-film “provincial melodrama”-nya itu, kita bisa berargumen bahwa, di dalam Brief Encounter, Muratova telah menunjukkan tanda-tanda khusus akan minatnya mengenai “materialitas tubuh, objek, dan ruang”, semacam orientasi yang mengarah kepada “proto-ornamentalisme” dalam rangka menghidupkan karakter-karakter di dalam filmnya, atau setidaknya: untuk menguji coba permainan dramatiknya yang unik.

Argumentasi saya ini mengacu pada penjelasan Irina Schulzki tentang gagasan “Sinema Gestur” (Cinema of Gesture) yang, menurutnya, melandasi film-film Kira Muratova. Schulzki berpendapat bahwa sinematografi haptik khas Muratova dapat dipahami lewat metafora “permadani” yang di dalamnya terkandung gagasan-gagasan mengenai “kekriyaan” (handicraft), “permukaan” (surface), “selubung” (cover), “ornament” (ornament), “struktur” (structure), dan “heterogenitas elemen-elemen”. “Tubuh-tubuh sinematik…” di dalam film-film Muratova, sebagaimana argumentasi Schulzki, “…ditempatkan dalam suatu lingkungan yang sarat dengan berbagai benda dan hiasan pecah-belah yang menentukan gerak dan gestur mereka”, dan karakteristik dari struktur semacam ini menegaskan “paham keseimbangan ornamental”, dalam arti bahwa, di dalam situasi yang seimbang itu, “benda-benda diangkat statusnya menjadi [juga] karakter, menyaingi tubuh manusia dari segi visibilitas.”16

Menurut gagasan yang dijelaskan Schulzki di atas, kita bisa menyadari bahwa kedua karakter perempuan di dalam Brief Encounter mengeksplorasi dunia di sekitarnya dengan sentuhan dan rabaan. Adegan-adegan yang menunjukkan gerak dan gestur subjek yang menyentuh/meraba permukaan-permukaan ruang dan benda itu, menurut Schulzki, memainkan fungsinya sebagai “citra transisi”, yaitu citra yang mengantarai dua tingkatan naratif: “waktu sekarang” (plot utama) dan “waktu kilas-balik” (plot penyela), di mana “kapasitas perabaan secara perlahan berubah menjadi regulasi dan visi.”17 Struktur inilah yang, menurut hemat saya, membuat setiap sekuen di dalam Brief Encounter saling berresonansi berdasarkan gelagat dramatik subjek terhadap ruang. Dalam hubungan antara subjek dan ruang itu, Muratova memposisikan spasialitas yang berbasis kebendaan (atau “keberadaan benda di dalam ruang”) sebagai titik berangkat, yang di dalamnya benda-benda juga memiliki peran dalam mengembangkan motivasi karakter sepanjang film, dan melaluinya plot dapat dimainkan.

***

Dalam semesta naratif Brief Encounter, benda-benda mempunyai dua hakikat. Pertama, hakikatnya sebagai material untuk “menjelaskan” karakter (tokoh-tokoh). Kedua, hakikatnya sebagai “juga karakter” (yang perannya setara dengan para tokoh). Alat tulis di atas meja, perabotan antik, peralatan dapur, pinggan, dan gelas bukan semata objek-objek nganggur yang sengaja dibiarkan teronggok di bak cucian, tetapi juga tanda-tanda hidup yang akan menjelaskan karakteristik Valentina besertaan dengan kegalauannya sebagai warga kelas terdidik dan intelektual. Permainan bidikan kamera Muratova menunjukkan gelagat itu: betapa benda-benda di dalam rumah mendapatkan proporsi sorotan yang signifikan dan intensional. Hal itu dapat kita amati, salah satunya, di sekuen paling awal, ketika Valentina resah tak kunjung berhasil menulis naskah pidato sementara pekerjaan membereskan rumah enggan ia tuntaskan.

Dalam sekuen yang lain, contohnya: gitar tidak hanya hiasan pasif di dinding, tetapi juga suatu wujud aktif yang dapat membawa kita melompat ke dalam memori Nadja nan udik, yang mengimpikan cita-cita untuk dapat hidup stabil dan memiliki sandaran—di dalam memori itu pun si gitar hadir menemani subjek yang hendak disasar, untuk dijelaskan—Maksim. Begitu pula dinding-dinding rumah atau tape recorder, yang kehadirannya justru menegaskan ketidakhadiran protagonis laki-laki di hadapan para protagonis perempuan, yang sekaligus pula membawa kompleksitas sosiokultural tentang agenda pembangunan kesejahteraan warga oleh negara. Melalui peran benda-benda inilah motivasi dan situasi emosional dan relasi sosial para tokoh dipaparkan.

Kausalitas spasial juga dapat disadari, terutama, dalam adegan ketika Valentina dan Nadja mengunjungi situs pembangunan rumah susun. Fakta tentang kesenjangan sosial sekaligus kesenjangan emosi personal saling berhimpit dan disampaikan lewat relasi para subjek terhadap ruang yang mereka hadapi atau kitari. Motivasi Nadja merantau ke luar kampung dihantarkan melalui keberadaan jalan penghubung kota dan desa, yang secara konseptual hadir dalam perbincangannya dengan Valentina di beranda bangunan rumah susun, dan secara visual muncul dalam adegan memori tentang perjalanannya menyusuri jalan besar bersama sahabatnya, Liuba, menuju kota.

Dualitas emosional Valentina, yang keras sekaligus lembut, baik sebagai seorang administrator kota maupun sebagai perempuan, digambarkan melalui dramatika kran dan saluran air rumah susun yang tak kunjung tertangani. Di bagian ini, kepentingan sosial dan kebutuhan personal saling tarik-menarik: perdebatan Valentina dan Maksim (di dalam salah satu adegan “kilas balik”) mengenai pasokan air bersih di kota dan desa, misalnya, merepresentasikan secara bersamaan isu tentang tingkat kualitas kehidupan sosial masyarakat dan isu tentang tingkat kualitas kerukunan sepasang kekasih.

Contoh lainnya: alat perekam suara muncul bukan semata sebagai simbol politik, melainkan berfungsi secara faktual untuk menerakan kualitas eksistensial akan relasi kuasa: baik dalam bentuk hubungan asmara antarindividu maupun dalam bentuk hubungan tanggung jawab antara negara dan warganya. Pada sisi fungsinya sebagai penegas bentuk dari eksistensi Maksim (yang secara fisikal tak pernah hadir dalam sekuen-sekuen “waktu sekarang”), alat ini seakan menjadi rekaman tentang motivasi dan laku Maksim yang tergambarkan tak pernah tuntas—yang mana ketidaktuntasan itulah karakteristik yang hendak dibicarakan film ini. Hal itu bergema dengan sisi fungsi alat perekam suara sebagai dokumentasi pidato politik Valentina (mewakili negara atau partai politik berkepentingan) yang tak selesai, atau tak sengaja dirusak (dihapus) oleh keluguan sejumlah subjek terhadap apa yang dianggap kemaslahatan dalam sudut pandang penguasa.

Sedangkan adegan Nadja mengenakan sepatu bot di penghujung film, usai menata meja makan untuk majikannya (Valentina, yang dapat diterka akan menyambut kedatangan Maksim), sekali lagi, memaparkan bibit-bibit paradigma ornamentalis a la Muratova: benda sebagai apa yang patut diamati dalam rangka meninjau ulang relasi subjek dengan idealisme yang dikehendakinya/diimpikannya. Materialitas, dalam lingkup masyarakat yang mengalami pergulatan transisional antara ideologi dan pasar, kerap menjadi dasar, tujuan, ataupun dalih dalam berlaku secara sosial. Yang awalnya merupakan alasan pasti, lantas menjadi sekadar kedok dalam proses pencariannya akan Maksim (Nadja pernah berujar bahwa dia ingin membeli sepatu bot baru jika berhasil mengumpulkan uang di kota), keberadaan sepatu bot di adegan penghujung ini menjadi semacam titk balik Nadja untuk memaklumi pengejaran cintanya yang berakhir.

Beriringan dengan itu, benda-benda di meja pun berperan penting dalam merangkum konstruksi naratif dari drama percintaan ini: tatanan dan keteraturan yang terdisrupsi, meninggalkan kesan tentang hal yang hilang atau terlewatkan (Nadja mengambil sebuah jeruk sebelum pergi meninggalkan rumah).18

“Harmoni komposisi yang sedikit dirusak,”19 mengindikasikan orientasi dan preferensi Muratova terhadap pendekatan konstruktivis dalam mempersoalkan isu-isu non-metanaratif Rusia, diejawantahkan dengan balutan montase resonansial tatkala musik latar—yang sebelumnya kerap terdengar dalam adegan-adegan “kilas balik” yang merupakan memori Valentina20—muncul mengiringi kepergian Nadja dari ruang makan, dari rumah; dan kamera bergerak perlahan mengamati benda-benda di dalam ruangan itu.

***

Brief Encounter merefleksikan pahit getir pergumulan perempuan di antara tuntutan profesi dan cinta, keluarga, dan kemanusiaan, melampaui stereotipe tentang “wanita Soviet” yang berkembang sejak era Stalin.21 Dalam balutan Muratova, perempuan bukan lagi dinarasikan secara naif sebagai sosok yang melulu menjadi objek hasrat, yang pasif menunggu keajaiban, tapi bukan pula ditampilkan secara reaksioner sebagai figur tangguh-serba-bisa yang berintensi mewakili keberhasilan ideologi sosialis, ataupun untuk mengacaubalaukan sistem yang mendominasi kehidupan perempuan. Penekanannya ialah pergulatannya dengan konflik yang tengah berlangsung, yang selalu tarik-menarik di antara kepentingan umum dan privat, yang selalu merangsang ambiguitas pemahaman, dan karenanya tepat dijadikan sebagai pangkal pertanyaan ulang tentang batas-batas moral dan etika sosial.

Gambaran perempuan Muratova keluar dari “kelaziman” masanya, dalam arti kelaziman menurut cara pandang ideologis dari rezim yang berkuasa. Dalam konteks ini, apa yang hendak dikemukakan Muratova justru berbelok dari kebutuhan untuk mengekspresikan “ke-semesti-an” posisi dan peran perempuan dalam masyarakat, sekaligus melompat dari “konvensionalitas” mengenai isu tersebut.

Ketimbang menuding sistem sosial, Muratova melalui Brief Encounter justru “menjelajahi emosi perempuan yang sulit dipahami bahkan oleh perempuan itu sendiri,”22 dan meletakkan fokus perenungannya pada suatu “krisis” yang, alih-alih berada di dalam perubahan yang terjadi pada kenyataan, justru berada di dalam pengakuan si perempuan atas kenyataan itu sendiri.23 Dengan sudut pendirian semacam ini, “gambaran apa adanya” bukanlah tujuan naratif. “Penggambaran apa adanya” merupakan suatu konsekuensi dalam mengungkap persoalan renjana perempuan melalui sudut pandang perempuan secara manusiawi. Dalam praktik sinema Muratova, hal-hal yang lugas, yang sudah semestinya, yang mudah dipahami “awam”, didobrak dengan menawarkan suatu alternatif penceritaan. Secara estetik, Muratova beranjak dari “bahasa naratif yang mudah itu” (yang menurut rezim harus disosialisasikan ke masyarakat). Dengan memperkaya plot sederhana dengan syuzhet, Muratova mengemukakan spekulasi yang bersifat emansipatif, baik terhadap beragam relasi sosial yang dibayangi patriarkisme, maupun terhadap gaya ungkap konvensional sinema melodrama. []

Artikel berjudul “Menjelajahi Renjana Perempuan dalam Pertemuan Singkat” merupakan bagian dari seri artikel dalam Editorial 10, bertajuk “Materialisme, Ornamentalisme, dan Fantastisisme”, yang secara khusus mengulas karya-karya dan praktik sinematik Kira Muratova.

Endnotes[+]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search