Transisi dari analog ke digital di dalam sinema membawa pengaruh besar terhadap perubahan bahasa sinema. Menurut Lev Manovich, kebanyakan diskusi sinema dalam era digital berfokus pada kemungkinan narasi interaktif. Hal tersebut tidak sulit untuk dipahami. Mengapa? Karena mayoritas penonton dan kritik menyamakan sinema dengan cerita; sinema digital dipahami sebagai sesuatu yang akan membiarkan sinema menceritakan kisahnya dalam sebuah cara yang baru. Apa yang dinyatakan oleh Manovich tersebut tidak lepas dari pengaruh pandangan Christian Metz dalam mengidentifikasi filem fiksional sinema abad ke-20, di mana filem fiksional adalah filem live action, yaitu mereka secara luas terdiri dari perekaman fotografis yang tak termodifikasi dari peristiwa riil yang mengambil tempat dalam ruang fisis yang “riil”. Metz sendiri kemudian tidak membedakan genre dalam filem, baik filem klasik Hollywood maupun filem avant-garde (dipisahkan dari filem abstrak), karena mereka menyandarkan diri dalam perekaman berdasarkan lensa (lens-based) dari realitas. Dalam konteks ini, menurut Metz, sinema adalah seni dari index; ia adalah sebuah usaha untuk membuat seni dari sebuah jejak kaki.
Dokumenter ‘Perjalanan’ dari Image
Perhelatan ARKIPEL social/kapital, 2016, menghadirkan sebuah karya, berjudul Kodachrome. Filem ini memenangkan “Peransi Award”, penghargaan yang diberikan kepada karya sinematik yang secara istimewa dan segar mengeksperimentasikan berbagai kemungkinan pendekatan pada aspek-aspek kemediuman dan sosial. Sebagai salah satu di antara empat kategori penghargaan yang ada di ARKIPEL, “Peransi Award” ini juga dikhususnya sebagai penghargaan kepada para pembuat filem berusia muda di bawah 31 tahun. Kodachrome sendiri adalah sebuah karya kolektif dari kelompok yang menamakan diri mereka sebagai K-14 Collective; mereka terdiri dari lima anak muda: Agatha Corniquet, Julien Doigny, Nicolas Lebecque, Thyl Mariage, dan Lydie Whishaupt-Claudel.
Kodachrome adalah sebuah filem dokumenter perjalanan. Menjelang penutupan dari kebangkrutan produsen teknologi analog—Kodachrome—di sebuah kota kecil Parsons, Kansas, Amerika Serikat, mereka, para anak muda Paris ini, melakukan perjalanan ke Kansas sembari melakukan semacam ‘perekaman terakhir’ dari merek teknologi analog tersebut. Perjalanan mereka menjadi sebuah ‘statement akhir’ melalui perekaman kamera analog, dengan membidik semacam ‘gambar buku harian’ dari perjalanan mereka; ‘statement’ terakhir dari sebuah praktik analog di tengah situasi berakhirnya sebuah era medium analog menuju sebuah era medium digital. Statement mereka sebenarnya adalah perekaman itu sendiri, selain juga manifesto yang mereka tasbihkan sendiri di tengah-tengah proses perekaman perjalanan mereka di sebuah kota di Amerika. Nama manifesto mereka adalah “Nashville Manifesto”. Di tengah-tengah perjalanan tersebut, mereka juga merekam sebuah proses pernikahan dari pasangan yang berasal dari kalangan mereka sendiri, sebagai sebuah momentum berharga yang ingin mereka abadikan pada medium tersebut menjelang kepunahannya.
Bidikan-bidikan perjalanan mereka, bisa jadi adalah perekaman buku harian perjalanan secara kekinian, namun citra-citra yang terbentuk melalui teknologi dan bahan baku lawas, menjadi semacam masa kini yang coba ditelusuri dari kelampauan mediumnya. Pengalaman akan warna-warna analog, seakan merefleksikan kembali tentang arti sebuah medium. Merekam objek-objek atau ekspresi keseharian melalui medium analog, seperti bukan representasi terhadap objek dan ekspresi itu sendiri, namun juga masih memuat hasrat akan ‘keabadiaan’ yang dilatari oleh medium yang memiliki kharisma akan ‘kelampauan’. Kesadaran medium dalam proses merekam keseharian mereka ini, seakan menjadi sebuah ‘kelampauan’ yang coba dihadirkan kembali pada konteks kekinian persepsi tentang image dari dominasi medium digital.
Beberapa bidikan keseharian mereka selama di Amerika memperlihatkan bagaimana perihal warna dan kekuatan monokromatik menjadi ciri khas dari kamera analog yang mereka gunakan. Pada bidikan lain, mereka juga mencoba merekam gerak alam, benda, dan diri mereka sendiri, sembari mengekspresikan hasrat mengabadikan momen terakhir dari sebuah perekeman medium menjelang kepunahannya itu. Sejarah sinema sendiri, pada awal kelahiran mediumnya, khususnya pada kamera analog, adalah memang seni tentang gerak. Hasrat akan medium menjadi sesuatu yang tidak bisa dipungkiri; kehendak merekam itu sama halnya dengan fotografi dalam gerak, banyak mengolah kemungkinan-kemungkinan tentang bentuk dan warna.
Semangat para pembuat filem Kodachrome ini, seperti yang mereka nyatakan dalam manifesto mereka, “Nashville Manifesto”, yang dibacakan pada rekaman perjalanan mereka, menyatakan bahwa ‘membuat sesuatu yang indah adalah di atas segalanya’. Bagi mereka, sebuah kemanusiaan akan digugurkan karena sistem yang mencari keuntungan semata, sebagaimana mereka merujuk pada sebuah periode baru dari era teknologi digital yang menghancurkan teknologi analog, menjadi sebuah pergantian kultur yang menghancurkan ‘keindahan’ yang terdapat di era sebelumnya karena semata-mata menjadi sebuah sistem yang berorientasi pada egoisme, atau kebutuhan jangka pendek dan keuntungan belaka. Kecintaan terhadap medium analog dalam filem ini sebenarnya lebih pada bagaimana mempertahankan sebuah hasrat akan ‘keindahan’, seperti yang mereka usahakan dalam karya mereka.
Filem Kolektif
Kolektivitas dalam sebuah karya seni pada dasarnya adalah modus yang banyak digunakan dalam karya-karya kontemporer. Dalam kerangka modernisme itu sendiri, karya seni sebenarnya lebih banyak disandarkan dalam semangat individualitas. Filem Kodachrome adalah karya yang diniatkan sebagai karya kolektif, sebagaimana mereka menamakan kelompok mereka, K-14 Collective—juga menjadi kode nama dari sebuah proses pengembangan bagi transparansi filem yang terdapat pada Kodak Kodachrome. Namun, pengertian kolektivitas dalam proses pembuatan filem ini, dalam pandangan mereka, merupakan semangat kebersamaan yang tidak meninggalkan keindividuan yang sebenarnya menjadi bagian dari kolektif itu sendiri.
Pengertian kolektif dalam filem Kodachrome ini, seperti yang mereka nyatakan dalam “Nashville Manifesto” sebagai pernyatan mereka dalam membuat filem, yakni “Adalah sulit untuk menandai filem dari satu ‘pengarang’ yang tunggal dan dari satu kelompok. Tahun ini, aku merasakan urgensi ini. Aku merasa tidak punya pilihan selain untuk membuat filem tentang perjalanan menuju laboratorium terakhir di dunia yang mengolah Kodachrome menuju proses terakhir. Aku juga merasa tidak bisa membuat semuanya sendiri. Aku tahu mereka semua bekerja, seperti aku, hanya demi filem, meninggalkan ego mereka di belakang. Namun, kami tidak takut menyertakan beberapa individualitas kami ke dalam filem, yang mana adalah beberapa dari keintiman kami”.
Manifesto itu sesungguhnya menyatakan bahwa, adalah hal yang sulit untuk membuat filem melalui medium di era kepunahannya secara individu. Kelangkaan medium analog yang secara implisit tertera di dalam manifesto mereka tersebut, menjadikan proses pembuatan filem dengan medium analog ini membutuhkan sebuah kolektivitas kelompok. Namun, dari pernyataan manifesto mereka itu, bisa ditafsirkan pula bahwa perihal teknis yang bisa dijembatani secara kolektif tidak menutup kemungkinan individu dalam hal-hal yang bersifat ide dan kreativitas, dalam proses pembuatan filem. Bidikan-bidikan yang terdapat pada filem Kodachrome ini juga memperlihatkan bagaimana kemudian banyak termuat image yang bersifat personal, baik ekspresi diri individu maupun momen individu, seperti adegan ketika Julien dan Agatha menikah.
Berdasarkan catatan juri ARKIPEL social/kapital sendiri, dapat kita pahami bahwa karya ini adalah sebuah eksperimen terhadap filem-filem buatannya dan berusaha untuk tidak terpaku pada berbagai genre yang konvensional dalam dunia sinema. Bagi mereka, para anggota kelompok K-14, memang kehidupan yang nyata dan aktual adalah sesuatu yang lebih penting ketimbang membuat filem, tetapi membuat filem hanya ada ketika kita bisa mengatasi dan mengabadikan kehidupan itu sendiri. Dan pada filem pulalah mereka merasa, bahwa filem banyak mengisahkan bagian kehidupan mereka. Karya Kodachrome ini sebenarnya adalah kisah individu-individu para pembuatnya di dalam suatu kolektivitas untuk mewujudkannya. Bahasa filem yang ditawarkan para pembuat Kodachrome adalah ekspresi paling intim dari setiap anggotanya, antara kehidupan individu dan kecintaan terhadap medium yang mengabadikan ‘jejak-jejak’ penting dari kehidupan mereka itu sendiri.