Ketika akhirnya saya berkesempatan menonton penuh The Act of Killing (2012) karya Joshua Oppenheimer –filem dokumenter tentang pembantaian massal 1965 yang trailer-nya mulai ramai dibicarakan beberapa teman pegiat sinema sejak pertengahan Agustus 2012—saya datang dengan ekspektasi akan menonton dokumenter historis pada umumnya: penuh footage lawas yang mungkin sebagiannya baru terungkap sekarang, simpati yang dibangun melalui kisah-kisah sedih keturunan para korban pembantaian dsb. Salah besar. The Act of Killing memakai cara yang tiada duanya untuk menghidupkan kembali horor sejarah. Pendekatannya begitu orisinal dan di luar bayangan apapun yang saya punya tentang filem dokumenter. Sutradara kenamaan Werner Herzog menyanjung filem ini “unprecedented in the history of cinema.”
The Act of Killing berkisah tentang pembantaian 1965 di Medan terhadap siapa saja yang dituduh “PKI”,[i] sementara sudut pandang penceritaannya adalah sudut pandang pelaku pembunuhan yang berfokus pada diri seorang preman senior Medan, Anwar Congo. Anwar pada zamannya adalah preman bioskop paling ditakuti, ia dan beberapa kawannya menjadi jagal terganas pada 1965. Mereka kini “sesepuh-sesepuh” yang sangat dihormati dalam Pemuda Pancasila,[ii] organisasi yang memang dikenal mengumpulkan preman-preman untuk menjalankan “fungsi-fungsi keorganisasiannya.” Maka filem ini pun juga berkisah tentang Pemuda Pancasila,[iii] pandangan para anggota seniornya maupun yang lebih yunior tentang pembantaian 1965 dan tentang apa fungsi dan kerja mereka sekarang dalam konteks Indonesia pascaotoritarianisme.
Anwar menolak untuk sekadar membuat testimoni dalam dokumenter Joshua—ia ingin membuat filem fiksinya sendiri tentang sejarah diri dan kawan-kawannya terkait 1965. Maka Anwar dkk membuat filem, dan Joshua pun memfilemkan proses pembuatan filem Anwar dkk itu. Di sini segi paling menarik dari The Act of Killing: melalui “filem dalam filem”, realitas dan fiksi (atau cara realitas itu ditafsirkan dalam fiksi) berkelindan tanpa cela. Dan dengan menyusun skenario serta memerankan semuanya sendiri, termasuk juga memerankan korban, para pelaku pembunuhan itu mengkonfrontir masa lalu mereka, dengan dampak psikologis yang berbeda-beda bagi tiap individunya. Dengan demikian, act dalam judul filem ini mengandung lapisan makna yang kaya yang bukan sekadar aksi atau tindakan, namun juga babak atau reka adegan dalam seni peran—sesuatu yang sayangnya tak tertangkap dalam judul Indonesianya, Jagal.
Tak ada penjelasan apakah Anwar Congo memang nama asli. Bisa juga nama panggilan karena kulitnya yang hitam legam seperti orang Afrika. Dengan jas dan celana licin disetrika, ia tetap dandy di usia senjanya. Gaya dan perawakannya mirip Ibrahim Ferrer, pemusik blues Kuba dalam Buena Vista Social Club-nya Wim Wenders (1999). Gaya itu bukan tanpa riwayat. Sebagai mantan preman bioskop, sinema tidaklah asing buat Anwar Congo. Ia tonton filem-filem di bioskop tempatnya mencatut karcis. Ia mengidolakan James Dean dan John Wayne, meski mengaku tak pernah tertarik untuk meniru Elvis. Ia memetik inspirasi dari filem-filem Hollywood yang ditontonnya, termasuk soal teknik membunuh tanpa memuncratkan banyak darah. Bahkan dari pengakuan Herman, salah satu rekan yunior Anwar, keterlibatan mereka membantai PKI di Medan juga lebih karena urusan filem ketimbang ideologi. Kampanye PKI untuk memboikot filem-filem “nekolim” (baca: Hollywood) membuat pendapatan para preman merosot dan perut tak terisi karena sepinya bioskop, kata Herman sambil membuat gerak tangan menyuap ke mulut namun luput a la Asmuni. Bukan kebetulan pula kantor Pemuda Pancasila tempat para korban dihabisi terletak persis di seberang bioskop Medan. Anwar dkk biasa menonton bioskop dulu sebelum menyeberang jalan untuk menginterogasi korban, agar bisa “menghabisi orang dengan gembira.” Segembira Anwar memperagakan tarian cha-cha-cha sehabis memperagakan caranya menjerat leher orang dengan kawat sampai mampus.
Dengan latar itu, filem besutan Anwar Congo dkk juga memetik inspirasinya dari pelbagai genre filem yang mereka sukai: gangster, action, musikal. Mereka bersetelan jas, dasi, dan topi gaya mafioso saat menginterogasi dan menyiksa korban; dan sebaliknya, memakai special effects barut-barut luka saat menjadi korban; mereka berdandan dengan kostum warna cerah untuk adegan hantu-hantuan dan tari-tarian kabaret di bagian penutup. “Selera estetik” Anwar dkk yang “ajaib” ini membuat bauran antara fiksi dan realitas dalam The Act of Killing terasa semakin menyentak.
Mungkin sebagian dari kita bertanya-tanya mengapa orang-orang ini mau terbuka dan terus terang menyatakan –bahkan difilemkan dan membuat filem—tentang kejahatan yang mereka lakukan? Sederhana saja: mereka tak melihat pembunuhan massal yang mereka lakukan dulu sebagai kejahatan. Sama halnya tak dianggap sebagai kejahatan ketika seorang anggota Pemuda Pancasila mengenang sambil ditingkahi tawa yunior-yuniornya bagaimana ia dulu memperkosa anggota Gerwani yang muda-muda, dan sungguh “surga dunia” rasanya bila bisa mendapat yang berumur 14 tahun. Anwar Congo ingin memfilemkan diri dan kawan-kawan angkatannya untuk memberi contoh pada generasi muda dan generasi mendatang agar perbuatan-perbuatan “heroik” mereka tak terlupakan.
Namun proses pembuatan filem itu sendiri juga memaksa orang-orang ini berhadapan frontal dengan masa lalunya. Anwar Congo –yang menyatakan tak peduli dengan hak azasi manusia—mengakui bahwa semakin tua semakin tumbuh rasa perikemanusiaannya. Ia sering bermimpi buruk, dihantui oleh masa lalunya. Entah karena jiwa para korban itu membalas dendam, katanya, atau karena ia terlalu larut mencurahkan emosi untuk proyek filemnya itu. Yang jelas, saat berperan sebagai korban yang diinterogasi dan akhirnya dibunuh dengan mata ditutup kain dan leher dijerat kawat, ia tak sanggup mengulangi pengambilan gambar itu dua kali. Saat melihat hasil syutingnya di layar televisi, ia panggil kedua cucunya yang masih kecil untuk ikut menonton kesedihan si korban. Anwar Congo menangis, membayangkan perasaan si korban saat ia siksa.
Sinema sebagai penebusan? Bisa jadi, tapi itu tak berlaku buat Adi Zulkadry. Adi juga salah satu jagal besar waktu itu, namun ia punya cara sendiri untuk tak merasa dihantui oleh tindakannya. Ia nyatakan bahwa penilaian benar-salah atas suatu pembunuhan selalu dilandasi oleh alasan untuk apa pembunuhan itu dilakukan. Bila alasannya kita yakini sebagai alasan yang benar, maka perasaan bersalah takkan muncul. Psikolog mungkin akan menggolongkannya sebagai fase denial, namun selama puluhan tahun Adi Zulkadry membebaskan diri dari rasa bersalah dengan meyakini teguh bahwa alasan semua pembunuhan yang dilakukannya itu benar.[iv]
Adi –yang tampak paling “intelek” di antara kawanan ini—memberi pernyataan gamblang di akhir pembuatan filem fiksi mereka, bahwa bila filem mereka itu diputar, propaganda puluhan tahun tentang kekejaman PKI akan tumbang dan masyarakat akan melihat bahwa para pembunuh PKI itulah yang jauh lebih kejam. Yang lain-lain tak keberatan dengan citra “kejam” itu karena memang begitulah diri mereka, dan justru gambaran itulah yang hendak mereka tunjukkan pada orang lain.
Dalam beberapa hal The Act of Killing terasa mendalam karena kemampuan Joshua dan timnya mencapai keintiman dengan para Pemuda Pancasila ini. Kamera dan alat perekam mengajak kita menembus ruang-ruang mereka yang paling privat. Maka kita pun mendapati Anwar Congo bercengkerama bersama cucu-cucunya, Adi Zulkadry berjalan-jalan di mall dengan istri dan putri remajanya, Herman tidur telanjang dada, dan Yapto Soerjosoemarno –ketua Pemuda Pancasila—menggoda gadis caddy golf dengan candaan mesum soal tahi lalat di kelamin.
Bila ada benang merah yang menghubungkan orang-orang ini, yakni adalah keyakinan mereka akan kedudukannya sebagai “preman” yang menurut mereka adalah penerjemahan dari “free man” atau manusia-manusia bebas. Penegasan “preman” sebagai “free man” ini diulang empat kali sepanjang filem oleh tokoh yang berbeda-beda dan lintas generasi dalam Pemuda Pancasila, yang menunjukkan bahwa itulah tampaknya narasi yang mereka bangun sebagai pegangan bersama.[v]
Orang-orang ini sama sekali tak berusaha menutup-nutupi kepremanan mereka. Menjadi preman bagi mereka adalah menjadi orang bebas di luar sistem. Mereka mendukung status quo kekuasaan, namun mereka juga tidak bermain di arena kekuasaan legal. Di hadapan kamera tanpa sungkan-sungkan mereka datangi pasar untuk meminta uang jatah ke Cina-cina pemilik toko. Bahkan seorang anggota DPRD di samping Anwar Congo menyatakan terus terang Pemuda Pancasila mendapat uang dari sektor ilegal macam judi dan penyelundupan, selain menjaga keamanan pusat perbelanjaan dsb. Dan ketika Herman maju sebagai caleg dari Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), ia tak menyembunyikan niatnya untuk mendulang uang dari jabatannya bila nanti terpilih, yakni dengan memeras para pemilik gedung dengan pelbagai tuduhan pelanggaran yang ia cari-cari.[vi]
Banyak kajian telah menelaah peran preman dalam sejarah dan revolusi Indonesia, termasuk di dalamnya peran ormas-ormas paramiliter semacam Pemuda Pancasila. Dan kini ketika masyarakat tampaknya semakin muak dengan ulah ormas-ormas itu (bentrokan besar terakhir antara Pemuda Pancasila dengan Forum Betawi Rempug terjadi akhir Juni 2012 di Bintaro dipicu rebutan lahan parkir Pekan Raya Jakarta), mungkinkah Indonesia dibersihkan dari mereka? Melihat The Act of Killing, rasa-rasanya saya kok pesimis.
Dengan menyediakan tenaga untuk menjalankan aktivitas pembangunan pemerintah berkuasa yang membutuhkan “kerja kotor” (seperti menggusur, membebaskan lahan dll), Pemuda Pancasila –dalam analisa Ryter—mampu menciptakan ruang buat dirinya sendiri dan dengan ini ada jaminan bahwa aktivitas ilegal mereka juga tak direcoki oleh pemerintah.[vii] Anwar Congo dkk tetap tak tersentuh hukum karena kekuasaan formal justru membutuhkan mereka. Anwar diterima dan dituakan oleh Gubernur Sumatera Utara; Deputi Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia sudi datang untuk ikut serta dalam filem yang dibuat Anwar, dengan peran sebagai provokator yang berseru-seru, “Bantai PKI!”; dan dalam pidatonya di depan acara Pemuda Pancasila, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa pembangunan tidak bisa dijalankan hanya melalui birokrasi resmi, Pemuda Pancasila dibutuhkan untuk membereskan hal-hal di luar resmi.
Dari sini The Act of Killing juga memberi gambaran lain bahwa kekejaman Anwar Congo dkk hanyalah bagian dari kekejaman bahkan kegilaan situasi sosial-politik yang melingkupinya. Kita saksikan pengakuan bos Medan Pos bagaimana ia juga turut memerintahkan pembunuhan “orang PKI” dan bagaimana pemberitaan era tersebut ia karang-karang agar masyarakat benci PKI. Kita saksikan juga bagaimana saat Anwar dan rombongan Pemuda Pancasila diundang ke acara talkshow di TVRI Medan yang membahas filem besutan Anwar, si presenter cantik mengatakan sambil bertepuk tangan dan tertawa-tawa tanpa beban bahwa para Pemuda Pancasila ini telah membantai ribuan orang PKI, seakan-akan ia sedang memperkenalkan seorang selebritis dan bukan pelaku pembunuhan massal.
Dalam situasi sosial-politik seperti itu para preman ini tetaplah free man, manusia bebas, tak tersentuh hukum. Hukum, aturan, konvensi, kata Adi Zulkadry, dibuat oleh pemenang. Dan saat ini merekalah pemenangnya. Adi menyadari bahwa sangat lumrah dan manusiawi bila keturunan para korban merasa dendam pada mereka, tapi ide mengenai pengungkapan kebenaran, pengadilan HAM, dan permintaan maaf resmi ia tolak mentah-mentah. Tak semua kebenaran perlu diungkap, katanya, karena tak semua yang benar itu bagus. Adi bahkan senang bila dirinya dilaporkan ke Mahkamah Internasional atas “kejahatan perang”, sebab itu akan membuat dirinya yang bukan siapa-siapa jadi terkenal.
Dengan itu semua, The Act of Killing menjadi paparan kompleks dan multidimensional tentang motif-motif manusia dalam melakukan dan menyikapi tindak kekerasan—sebuah pencapaian yang takkan cukup dibahas oleh resensi ini, sepanjang apapun. Ia juga telah memberi kita masukan mendalam untuk tak melihat sejarah 1965 secara garis besar dan hitam-putih saja, namun membawanya ke tataran paling personal tentang dampak panjang yang dihasilkan oleh kekerasan massal terhadap hidup dan kejiwaan masing-masing orang dalam masyarakat Indonesia, sampai sekarang.
[i] Dan sebagaimana yang terjadi pada masa-masa itu di seluruh Indonesia, pengertian “PKI” di sini ditafsirkan seenaknya bukan sekadar anggota dan simpatisan PKI itu sendiri, melainkan juga anggota dan simpatisan partai pro-Soekarno lainnya, kaum intelektual pada umumnya, serta etnis Cina.
[ii] Anwar Congo juga tercatat sebagai Dewan Pakar Angkatan 66 Provinsi Sumatera Utara.
[iii] Analisa cukup mendalam tentang organisasi ini bisa dibaca dalam Loren Ryter, “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Suharto’s Order?”, dalam Benedict Anderson (ed.), Violence and the State in Suharto’s Indonesia (Ithaca, N.Y.: Southeast Asia Program Publications, 2001), hlm. 124-155.
[iv] Meski pada satu kesempatan ia juga mengakui bahwa ada motif pribadi di balik tindakannya. Adi, yang sesumbar telah membunuh setiap Cina yang ia lihat di jalan, waktu itu berpacaran dengan gadis Cina. Dengan demikian membunuhi Cina adalah pelampiasan emosi terhadap mertuanya.
[v] Lihat juga wawancara Yapto dengan majalah Matra, Januari 1993, sebagaimana dikutip oleh Ryter, op. cit. Dalam wawancara ini Yapto juga menegaskan bahwa dirinya dan Pemuda Pancasila memang preman, yang bertindak di luar hukum namun tak bisa ditangkap.
[vi] Menarik bahwa salah satu insiden dalam proses pembuatan filem ini –pengusiran Joshua dan kamerawan Carlos Arango de Montis—sempat masuk pemberitaan yang waktu itu tidak diperhatikan oleh siapapun. “Dua Warga Inggris Diusir dari Lokasi Kampanye PPPI,” detik.com, 26 Maret 2009.
[vii] Ryter, op. cit., hlm. 142.
Film yang wajib di tonton
Judul Indonesianya kok jauh amat ya dari The Act of Killing?
Mustinya apa ya, yang bisa menangkap nuansa itu dengan lebih baik?
“Laku Pembunuhan”?
“Lakon Pembunuhan”?
resensi yang mengesankan, filem ini tidak layak dsajikan kpd msyarakat krn tidak mendidik, harus cerdas dalam memilih filem.
Komalasari, lu udah kemakan puluhan tahun propaganda orde baru ya? Kalo mau komentar, baeknya tes IQ dulu deh, daripada malu-maluin diri sendiri.
Saya setuju dengan Komalasari, filem ini TIDAK LAYAK disajikan pada masyarakat.
So what? Orde Baru itu mengekang kebebasan berpendapat, sekarang siapa yang termakan propaganda ORBA?
Duh komalasari ada temennya. Se-level kayaknya IQnya bedua tuh. Cocoklah kalo dikawinin nih Komalasari sama Opiecool. Biar jadi spesies langka IQ superrendah.
ehbuset. Merinding meliat itu presenter tvri cengangas cengenges. Mungkin gak ya ini film akhirnya akan diputar di Indonesia? Seperti film The Raid kemarin itu paling nggak..
terima kasih atas resensi apik ini. sangat membantu saya untuk memahami ‘trailer’ yang pendek itu.
Jaman internet begini sih, kalo nggak ada yang berani muter di bioskop (21 ato XXI kan konco Orde Baru), tunggu aja di festival-festival. Kalo nggak, paling ntar bajakannya keluar di Glodok sama Ambasador Mal. Kalo enggak, pasti bisa didownload gratisan. Pirate bay, atau apaan gitu. Mediafire.
Mungkin entar lagi bisa ditonton/download kumplit dari Youtube. Mana tahu.
kebetulan anwar kongo (biasa dipanggil abah) dekat dengan rumahku….aku bisa share sedikit…..nama aslinya ya anwar tok….biasa nama pasar (preman) nya nuar kongo…..kongo karena dia dulu pengen dan hampir ikut pasukan pbb ke kongo….itupun mimpinya dia aja….yg namanya pasukan pbb kan dari militer….sementara dia kan “milisi” pemuda pancasila…:) sisi baiknya dia mau jujur sama joshua terkait masa lalunya dalam menumpas pki…..yang pada masa itu menurutnya mengganggu kepentingannya sebagai preman tukang catut tiket bioskon medan di jl sutomo…..sebab masih menurutnya pki melarang masuknya budaya barat khususnya negara2 kapitalis imprialis kayak amerika…..ada pernyataannya yang mungkin bakal jadi persoalan di lingkungan kami yang mengatakan “ini yang azan dulu bapaknya pki…..kalau dulu dapat ke tangan awak (aku) mati dia”…..soalnya semua orang di lingkungan kami tau suara siapa itu……bakal berabe kalau ditonton orang sekampung si abah….;)
Bagus resensinya. Kapan yah filemnya beredar secara luas? Atau bagaimana bisa puter film di forum khusus di Bangkok atau Indonesia? Tidak bisa komen tentang film karena saya belum nonton….
@Hidayat: Pernyataan yang bakal jadi persoalan tentang muadzin PKI itu, maksudnya jadi persoalan buat muadzinnya, apa jadi persoalan buat Anwar Congo?
Saya hanya mengatakan sebagai dokumenter film joshua oppenheimer ini tidak dapat dipertanggungjawabkan karena menempatkan keterangan sumber petunjuk sebagai narasumber utama. Sangat bias dan tidak memenuhi standar penulisan dokumenter. Tapi sebagai sebuah propaganda untuk kepentingan anggaran atas nama HAM dan Pembantaian massal. Joshua berhasil dengan sangat sukses merekayasa sebuah khayalan. Adapun yang saya tahu sebelum diluncurkannya film dokumenter ini, karena sejak awal 2006 hingga saat ini saya terus mencek silang data-data yang mayoritas saya peroleh dari Ucok Majestik dan beberapa sumber lain tentang Medan 1962-1087, yakni:
1. Sebelum Joshua menjumpai Anwar Kongo, beliau telah lebih dahulu menjumpai Ucok Majestik, bersama seorang cewek bule dan seorang lagi mahasiswi di Medan. Ucok Majestik diminta untuk menceritakan bagaimana peristiwa diera itu, seperti adanya pembunuhan para aktifis PKI, termasuk menanyakan kepada Ucok Majestik yang saat itu digelar PKI dengan Setan Kota, soal Baretta pemberian konsul Inggris di Medan, Ucok menjawab tidak ada menerima Baretta dari konsul Inggris. Karena Joshua tidak sepakat dengan Ucok bahwa jika ingin dijadikan film maka yang diangkat adalah ringkasan konflik yang terjadi di Medan saat itu kurun 1962-1967 dan Ucok Majestik minta komitmen Joshua berupa hitam diatas putih tentang 1962-1967 tadi, Joshua akhirnya tak pernah lagi menjumpai Ucok Majestik. Entah belakangan dia menjumpai Pak Anwar Kongo. Target Joshua saat itu berdasarkan tugas dari pendonornya(dalam dialog dengan Ucok Majestik Joshua mengaku mencari 2 nama tadi, karena hanya 2 nama itu yang tercatat di dokumen Partai Sosialis di Inggris, partai kecil yang berafiliasi dengan Partai Buruh Inggris ) adalah HMY Efendi Nasution alias Fendi Keling(belakangan Joshua baru tahu jika Fendi sudah lama wafat) dan H. Yan Paruhum Lubis alias Ucok Majestik.yang sehat wal afiat hingga kini. Joshua kemudian menyelusuri orang-orang yang pernah dekat atau kenal kedua orang ini, karena merekalah yang dibawa Kosen Cakrasentana ke Jakarta Mei 1962 untuk menemui Aminah Hidayat dan AH Nasution(dan setelah bertemu keduanya mereka lalu diserahi tugas membentuk Pemuda Pancasila di Sumut). Di Medan beberapa orang yang ditanya Joshua seperti HM Soetardjo, So Aduon Siregar, Ibrahim Sinnik, Pak Malayu, tetap menunjuk kepada Ucok Majestik yang dianggap paling tahu kondisi Kota Medan saat itu, setelah Fendi Keling wafat. Karena Ucok Majestik tak bisa lagi dimintai keterangan, Joshua sepertinya menemui sumber orang2 yang pernah dekat dengan Fendi Keling, seperti Anwar Kongo. Sama seperti Pak Anwar, Ucok Majestik juga dijanjikan akan dibuat film Samson dan Delilah dengan latar kehidupan panggung bioskop. Bioskop Medan saat itu adalah salahsatu dari beberapa bioskop di Medan yang berada dibawah pengawasan Ucok Majestik, yang mangkal di Bioskop Majestik(Petisah) dan Bioskop Deli(Kesawan). Di Bioskop Medan saat itu ada nama lain yang sangat disegani oleh Fendi Keling dan Ucok Majestik, yakni Rahmat Hutagalung(aslinya bermarga Lubis tapi disebut Hutagalung karena kelahiran Hutagalung), tapi Rahmad tidak tergabung dengan PP hanya berurusan soal bioskop. Sedangkan rekan2 Pak Anwar di Bioskop Medan yang juga dekat dengan Fendi Keling dan aktif di PP saat itu adalah Rosiman, Asli Chan, Amran YS, Saat itu Fendi Keling merupakan Ketua PP Sumut, sementara Ucok Majestik Ketua Kubu Sumut(para pekerja yang menjadi anggota Pemuda Pancasila, jadi mayoritas adalah mereka yang mencari nafkah dari bioskop, seperti petugas parkir, catut, penjual karcis, penjaga pintu, dst) merangkap Kordinator PP Kota Medan. Karena itulah kantor di Jl. Sutomo menjadi kantor bersama Fendi Keling, Ucok Majestik, Dana, dan Kerani Bukit. 2. Nama Anwar Kongo memang karena didasari fisiknya yang tinggi diatas rata2 orang Indonesia dengan tubuh hitam dan rambut sangat keriting, jadi tidak ada hubungan dengan niat akan dikirim ke Kongo(tidak cermatnya cek silang data tentang Anwar Kongo yang disebut lahir tahun 40, Kontingen ke Kongo pertama kali tahun 1962, dan yang dikirim adalah militer. Kalaupun ada anggota PP yang disebut Joshua sebagai paramiliter akan dikirim ke Kongo ini juga sangat tidak mungkin sebab pelantikan PP Sumut/Fendi pada tahun 1962. Sementara Pak Anwar Kongo diyakini bergabung dengan PP setelah meletusnya 30 Septermber 65, apalagi saat itu untuk pertama kalinya anggota PP di Medan, termasuk Fendi Keling tercatat hanyalah 40 orang, sementara bentork antara PP dan PKI itu jauh sebelum meletusnya peristiwa penculikan dan pembunuhan Jendral di Jakarta). 3. Dalam synopsis tentang film yang dibuatnya dalam the act of killing jelas Joshua menyebutkan seluruh isi film dari dialog, adegan, naskah, bahkan pengambilan gambar dilakukan oleh Anwar Kongo dkk, jelas ini alibi Joshua bila satu saat praktek manipulatif dan rekayasa yang dilakukannya dalam the act of killing terbongkar, rekayasa dan manipulasi tadi semuanya tanggungjawab Anwar Kongo, dan tidak berhubungan dengan dirinya. Jelas Joshua telah melakukan rekayasa dan memanipulasi data, dan hal itu tidak berhasil dilakukannya kepada Ucok Majestik tapi mampu memikat Pak Anwar Kongo. 4. Saat itu di Kota Medan orang sangat takut untuk berhadapan dengan PKI, sebab anggotanya menyebar diseluruh Kota Medan dan sekitarnya, apalagi saat itu menjelang pembunuhan para jendral di Jakarta, ditiap lingkungan di Kota Medan dirumah2 kader dan pengurus PKI telah disiapkan lubang-lubang berbentuk L yang disebut nantinya bakal jadi perlindungan warga bila ada latihan perang besar-besaran. Sebenarnya saat itu telah ditargetkan bila berhasil merebut kekuasan(PKI berkuasa), maka untuk level lingkungan saja(RT atau RW) pengurus dan simpatisan PKI yang berada dilingkungan tersebut akan membantai orang2 yang tidak seidiologi. Kisah nyata ini juga menimpa kakek saya yang didaerah kami Sei Kera dikenal sebagai pengurus Muhammadiyah, bersamanya juga bakal dibantai nantinya oleh mereka(oleh teman2 dan tetangga kakek yang jadi aktifis PKI) adalah kepala lingkungan, dan seorang lagi yang sering muadzin di mesjid mereka. Kondisi saat itu benar2 mencekam, jangan khan dengan tetangga dengan saudara bahkan anak sendiri jadi sering curiga. Karena memang dalam idiologi komunis anak sendiri jika bukan komunis dianggap bukan bagian dari perjuangan jadi harus dienyahkan(ini bisa saya buktikan dengan kondisi salahsatu pelarian anggota Lekra yang mengaku kepada saya, alasannya berada jauh dari keluarganya dikota lain, selain diburu oleh mereka yang anti komunis ketika itu, keluarganya juga tidak mendukung dan sepaham dengan dirinya, soal komunis) Jadi bagaimana Pak Anwar Kongo bisa gagah2an membantai orang komunis, penggambaran itu terlalu bombastis dan penuh imajinasi tinggi. 5. Saat itu di Medan banyak tokoh2 penting di tingkat kota dan provinsi yang menjadi pengurus dan simpatisan PKI, demikian juga pihak militer, seperti Overste/Letkol Maliki(komandan Brigif VII Rimba Raya), dan beberapa nama militer lain yang juga tersohor di Medan saat itu, hingga diragukan adanya kolaborasi antara ormas dan militer melakukan pembantaian. Dalam cupikan thriller yang saya lihat ada penggambaran sebuah kampung yang diobrak-abrik mereka yang anti komunis, jika melihat sejarahnya lokasi yang seperti itu adalah Kampung Kolam di Deliserdang. Kampung Kolam bukanlah perkampungan biasa, tapi sebuah kawasan kebun terlantar yang dijadikan basis terakhir pertahanan tokoh-tokoh PKI seperti Maliki, Wariman(Ketua PKI Simalungun)yang terlibat pembunuhan Pelda Sujono di Bandar Betsi Simalungun, Jalaluddin Yusuf Nasution-Paris Pardede(SOBSI), dilokasi ini Maliki dan beberapa orang anak buahnya melatih para penunggu kampung kolam latihan militer seperti latihan menembak, jadi bagaimana mungkin ada anak dan istri yang dibawa dalam perkampungan ini. 6. Pemuda Pancasila dalam 1962-1967, kehilangan 9 anggotanya, termasuk dr.med.adlin prawira negara yang hilang saat aksi pemuda, pelajar, mahasiswa dan ormas, termasuk Pemuda Pancasila mendemo Kampung Kolam. Adlin ditenggelamkan kedalam kubangan dan pada tubuhnya diikatkan bantalan kereta api, ditimbuni dengan sampah, serta digulingkan bangkai kambing dan diatasnya ditancapkan batang pohon pisang untuk mengelabui adanya pembunuhan oleh orang2 PKI(sama persis dengan yang dilakukan untuk menutupi lubang buaya) mayat sdlin baru ditemukan 3 hari setelah orang-orang PKI didaerah ini berhasil diamankan dan diserahkan kepada militer. Kebencian orang2 PKI terhadap PP Pancasila ini dapat ditelusuri dari digantungnya dan disalibkannya anggota PP, Bakti Lubis pada sore 29 September 1965(menjelang detik2 pembunuhan jendral di Jakarta), saat Subandrio melakukan kunjungan di Medan dan mendarat di Bandara Polonia Medan, massa PP yang menyambutnya termasuk Bakti Lubis meneriakkan yel…yel..hidup Pancasila…. Sementara itu salah seorang tokoh PKI Bujung Jafar menembak mati seorang anggota Pemuda Pancasila yang melewati rumahnya, saat anggota PP tadi ingin berangkat melakukan aksi-aksi minta PKI dibubarkan, termasuk juga penembakan yang dilakukan seorang wanita etnik turunan terhadap anggota PP yang melewati rumahnya saat ingin bergabung dengan rekan-rekan lainnya yang akan melakukan aksi demo minta PKI dibubarkan. Ucok Majestik dan saat itu disebut sebagai Setan Kota,beberapa bulan menelang peristiwa pembunuhan para jendral di Jakarta, sempat mengungsi dari rumahnya di dikawasan Sekip ke rumah Fendi dikawasan Mandala(kawasan Pak Anwar Kongo dkk), karena dirumahnya yang juga berdekatan dengan rumah seorang tokoh PKI bernama Zakir Soobo, selalu disatroni patroli polisi yang mendapat perintah dari atasannya untuk tembak di tempat Ucok Majestik atau Setan Kota, karena aksi Ucok Majestik sebagai Ketua Kubu yang selalu menggagalkan aksi anarkhi PKI, seperti menggagalkan usaha pembakaran kantor percetakan Mestika yang menerbitkan Harian Cahaya, suratkabar yang pertama kali memuat berita pembunuhan Pelda Sujono. Kurun 1962-1967 Ucok Majestik kerap ditahan Kodim karena selalu bertikai dengan PKI, untungnya selalu berhasil diselamatkan atau dibebaskan Kosen Cakrasentana yang merupakan pejabat humas di Provinsi Sumut saat itu. 7. Saya hanya ingin mengatakan untuk dapat mengungkapkan dan mengangkat apa yang terjadi di Medan saat itu, hanya dibutuhkan keberanian, kesabaran dan kejujuran. Joshua punya 2 point, dan sayangnya tidak ditutup dengan kejujuran yang menjadi syarat sebuah dokumenter. 8. Saya juga mau bilang PKI itu keblinger dan haus kekuasaan, andai saat itu PKI dipimpin Letkol Untung sudah pasti saat ini kita tidak dapat menikmati demokrasi, apalagi mimpi chat seperti itu, tapi karena dipimpin Aidit yang sipil hingga perintah yang diberikan tidak secara garis lurus dapat dilaksanakan. Keblinger tidak, seluruh kader dan simpatisan PKI yang berhasil dilacak setelah peristiwa 65 ternyata memiliki stempel atau tato palu arit di pahanya, apa artinya itu manusia ditandai seperti mencap kambing atau lembu. 9. Terakhir seperti yang disebutkan oleh Ucok Majestik kepada saya, mengapa PKI gagal mengganti idiologi sebab saat itu ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa, dengan anggota yang luar biasa pula baik dari kalangan sipil maupun 5 angkatan(termasuk di Kota Medan, dulu dkenal ada Penjara Jl. Gandi untuk 5 angkatan, sementara untuk Sukamulia adalah penjara tokoh2 PKI), Ucok Majestik(78 thn) yang saat ini diangkat sebagai Pinisepuh Pemuda Pancasila mengatakan, Tuhan YME tidak Meridhoi komunis berkuasa di Indonesia. “Tapi komunis takkan pernah mati di Indonesia”, begitu Ucok Majestik selalu meyakini kata-katanya. Maliki saat ditemui Ucok Majestik di Penjara Sukamulia, sambil mengingat jari telunjuknya yang dibengkokkan mengatakan, “Belum menang kau Cok”, begitu pula Zakkir Soobo saat ditemui Ucok Majestik di eks kantor Pemuda Rakyat di Padang Bulang Way, bersikap seperti Maliki, “Belum menang kau Cok”. Begitupun Ucok Majestik mengakui disaat chaos pasti ada yang selalu mengambil kesempatan, seperti disaat tengah terjadi kebakaran diantara yang mengangkat barang korban, bukan tidak sedikit pula yang membawa barang korban kerumahnya. Seperti disaat terjadinya peang, diantara para pengungsi ada yang mengungsi bukan karena rumah atau harta bendanya jadi korban, tapi karena memang ingin berdagang dalam pengungsian. Ucok Majestik meyakini, untuk pembunuhan pasti akan diminta pertanggungjawaban di hari Akhirat nanti, siapapun itu bila dia mengambil hak Allah(nyawa), maka harus bersiap2 untuk mempertanggungjawabkannya kepada Allah SWT pula. Ucok Majestik saat ini adalah satu-satunya tokoh yang menjadi narasumber utama tentang situasi Kota Medan kurun 62-67, karena tokoh2 lain yang dapat dijadikan narasumber utama tapi telah wafat seperti Fendi Keling, H. Dalmy Iskandar(mantan Rektor UMSU), Drajat Hasibuan(tokoh pendidik), Nur Nikmat(tokoh Aceh Sepakat), dr. Zakaria Siregar. Banyak sumber yang dapat menceritakan penggalan-penggalan pengalaman tapi bukan kronologis seperti yang dimilik Ucok Majestik, seperti Chairuman Harahap, Kamaluddin Lubis, Amru Daulay. Penggalan2 itu adalah satu-satu peristiwa yang mereka alami dan bukan rangkaian peristiwa yang puncaknya adalah peristiwa Kampung Kolam pada 24 Oktober 1965. Sebab saat itu selain mereka yang aktif di organisasi, banyak juga tokoh2 lokal, seperti lingkungan yang sangat bringas terhadap kader dan massa PKI, tapi bisakah keterangan orang perorang tadi, dijadikan sumber sebuah organisasi seperti yang Joshua lakukan, perlunya ada pendalaman dan pengayaan sumber agar tidak salah kaprah, sebab dokumenter biasanya didasari pada penelusuran mendalam, dan bukan rekayasa ataupun manipulasi mendalam. Untuk penulis seperti Joshua yang menyebut dirinya pengumpul data kelas dunia, harusnya dia menampilkan data dengan utuh, dan bukannya menampilkan penggalan data ringkas seolah dinyatakan sebagi sebuah kronologis utuh. Sebuah renungan untuk bersama, propaganda karya Joshua ini adalah penampilan cara pandang saat itu terhadap masa lalu. bahkan bukan oleh pelaku utama dalam arti mengetahui detil peristiwa. Para kader PKI yang memilih menjadi martir adalah sebuah kehormatan dan kebanggan tersendiri bagi mereka, sebab kelak pengorbanan mereka tadi dapat dijadikan propaganda oleh rekan-rekannya yang memilih Survive(bertahan atau mengalah agar tidak hancur total), dan dalam kacamata minus Joshua dianggap sebagai sebuah pembantaian. Bagaimana Joshua dapat memahami bagaimana kisah anak gadis Jalaluddin Yusuf Nasution, yang memilih melompat kedalam lautan api kedalam gedung lekra yang terbakar, setelah mengetahui jika ayahnya(Jajaluddin) telah diamankan di mahkamahmilub, sementara rekan2 si wanita muda anak Jalaluddin tadi telah diserahkan kepada aparat keamanan. “Hidup PKI…Hidup PKI …”, teriak sang gadis tadi sambil terjun kedalam api yang berkobar-kobar meninggalkan kawan2nya yang memilih dibawa untuk diamanakan aparat keamanan. Atau bagaimana Siti Maryam istri Jalaluddin yang merupakan teman kakak Ucok Majestik, menjerit-jerit histeris berteriak tolong, padahal saat itu Ucok Majestik sudah mengatakan, istighfar kak, aku ucok adik si anu(sambil menyebut nama kakanya yang teman Siti Maryam), tapi tetap saja Siti Maryam berteriak2 sampai dibawa aparat keamanan…Joshua mungkin berhasil mencari sensasi, tapi mudah2an dalam buku Medan 1962-1967 akan terjawab jika dia melakukan manipulasi…
om alfiannur syafitri, kalok bener PKI memberontak pada 30 September 1965 itu, kok jendral kancil Soeharto yang jadi presiden RI sebagai akibatnya ya? Soeharto pasti PKI dooong! Hahaha!!!
“Saya hanya mengatakan sebagai dokumenter film joshua oppenheimer ini tidak dapat dipertanggungjawabkan karena menempatkan keterangan sumber petunjuk sebagai narasumber utama. Sangat bias dan tidak memenuhi standar penulisan dokumenter.”
Lantas “narasumber utama” itu harusnya siapa, om? Apakah Anwar Congo dalam film “The Act of Killing” lagi boong dengan ceritanya itu, ya om? Bisa om tunjukkan boongnya si Anwar Congo itu?
Kayaknya om pinter deh soal Film Dokumenter! Cobak om jelasin di sini kek mana sih Film Dokumenter itu sebenarnya, bisa kan, om?
Kalok pun om bener bahwa film dokumenter “The Act of Killing” adalah “sebuah propaganda untuk kepentingan anggaran atas nama HAM dan Pembantaian massal”, di mana salahnya itu, om? Salah ya bikin film yang berusaha mengungkap peristiwa Pembantaian Massal? Kok bisa salah, om? Bisa om jelaskan biar saya yang preman pancasilais ini paham?
Tolong dijawab dengan jelas ya, om, biar kami generasi muda Indonesia ini tahu siapa sebenarnya bajingan pukimak pemalsu sejarah di Indonesia sejak tahun 1965! Makasih lah dari awak atas jawabannya.
Kalau tidak salah Joshua juga ada memuat pengakuan Bos Medan Pos, mengarang berita tentang pembantaian orang2 PKI, jika yang dimaksudnya Bos Medan Pos adalah Ibrahim Sinnik memang tak pelak lagi jika Joshua memang benar-benar telah terperangkap dan terjebak dalam manipulasi data(rekayasa data) sebab seingat saya ketika Alm. So Aduon Siregar masih hidup saya masih sempat melihat Joshua dan wanita bule serta cewek Medan yang mengaku mahasiswi itu mengambil gambar di Medan Pos dan mewawancarai Pak Ibrahim Sinnik. Saat itu saya sempat menanyakan bagaimana komentar Pak SAS yang sebelumnya diwawancarai Joshua, alm. Pak SAS mengatakan dia mengatakan kepada Joshua yang mengetahui persis itu bukan dirinya sebab saat itu dirinya hanyalah mengurus administrasi di Kantor IPKI Medan, sementara Pak Ibrahim diera itu belum aktif di keredaksian. Perlu diketahui Medan Pos baru lahir pada 9 Mei 1966 di era Walikota Sjoerkani(1966-1974), dan itu artinya Medan Pos baru lahir setelah keluarnya Supersemar. Dalam era 1966 ini aksi-aksi demo minta pembubaran PKI yang melibatkan aksi fisik sudah relatif berkurang, dan para era ini hanya ada pembersihan di tubuh angkatan bersenjata dan birokrasi. Puncak demo terhadap PKI adalah peristiwa demo di konsulat Cina di Medan, yang mengakibatkan terwas tertembaknya Ibrahim Umar dan belakangan muncul stigma ganyang China di Medan.Sebelum 9 Mei 1966 Medan Pos bernama Harian Cahaya yang dianggap berseberangan dengan PKI, saat itu Harian Cahaya dipimpin Arsyad Noeh, saudara kandung tokoh BPRPI Afnawi Noeh, dengan Sekretaris Redaksi Rasyid So Aduon Siregar atau dikenal SAS.Saat dipimpin Ibrahim Sinnik Medan Pos bernama Sinar Pembangunan dan baru kemudian setelah era Harmoko kembali berubah nama menjadi Medan Pos. Hingga jelas jika data yang dimiliki Joshua selain tidak valid juga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah ataupun dari sisi populer. Setelah Supersemar di Medan kondisi sudah relatif aman seperti yang saya sebutkan diatas. Sebab pembesihan militer dan birokrasi di Medan berlangsung kurun 1966-1969. Joshua perlu melihat psikologi tertentu dari beberapa kalangan masyarakat di Medan, yang ingin disebut mengetahu detail konflik PKI di Medan. Ada beberapa kelompok yang sesumbar seolah-olah ingin diakui sebagai narasumber karena memang ada yang ingin disebut pelaku sejarah, atau saksi hidup sementara yang mereka jalani adalah penggalan ataupun sekelumit kejadiand dari sebuah kisah panjang. Selamat untuk Joshua yang mendapatkan narasumber yang salah….heheheheh
@Pak Alfiannur
Secara umum, uraian Anda hanya menegaskan propaganda Orde Baru bhw G30S adalah suatu orkestrasi terencana dari tingkat pusat ke daerah (seperti adanya ketegangan di Medan pada 29 Sept menjelang malam penculikan para jenderal di Jakarta dlsb), dan sayangnya, selain di buku2 sejarah Orba, tidak ada bukti nyata untuk menopang klaim tsb. Yang ada, seperti uraian John Roosa, adalah bahwa G30S adalah aksi paling amburadul yang pernah ada. Daerah sama sekali tak mengetahui apa yang terjadi di pusat dlsb. Pembantaian oleh PKI pada 1965 tak pernah terjadi, yang nyata terjadi adalah: pembantaian terhadap PKI pasca 1965.
Tentang nama Anwar Congo, saya tak pernah mendapati adanya penjelasan Joshua ttg kontingen ke Congo dsb itu (baik di film maupun di sinopsis). Saya membaca itu malah dalam ulasan pers.
Soal “Medan Pos”, review di atas tidak menyebut bhw pada tahun sekitar 1965 ia sudah bernama “Medan Pos”. Dalam film Joshua, juga tidak disebut bahwa pada tahun itu sudah bernama “Medan Pos”. Jadi, apanya yang tidak sahih?
Dan saya cukup takjub membaca kalimat Anda: “Para kader PKI yang memilih menjadi martir adalah sebuah kehormatan dan kebanggan tersendiri bagi mereka”. Ini mengingatkan saya akan adegan penutup film Anwar Congo, yang kelupaan saya tulis dalam review di atas, ketika sambil diiringi lenggak lenggok para penari perempuan di depan air terjun, sang korban yang dibantai mengalungkan medali pada Anwar Congo sambil BERTERIMA KASIH KARENA TELAH DIBUNUH. Mengerikan.
Ada terlalu banyak propaganda anti-PKI ala Orde Baru yang tidak masuk akal pada komen di atas, dan tidak akan repot-repot kami tanggapi. Tapi ada dua hal yang perlu diluruskan:
1. Alasan Joshua tidak memfilmkan Yan Paruhum Lubis (Ucok Mayestik) bukan karena cerita darinya tidak cocok dengan “prasangka” Joshua, sebagaimana dituduhkan dalam komentar di atas. Melainkan, Ucok Mayestik hanya mau difilmkan kalau dibayar–dengan jumlah yang gila-gilaan besar. Bagi Joshua, adalah sangat penting bila partisipan tidak dimotivasi oleh uang, dan tidak “jualan” cerita mereka.
2. Berkaitan dengan informasi mengenai Medan Pos: Pada 1965 dan awal 1966 Ibrahim Sinik adalah penerbit Harian Tjahaja, yang kemudian berganti nama menjadi Medan Pos pada bulan Mei 1966. Soaduon Siregar adalah wartawan di koran yang sama. Kantor redaksi koran ini terletak persis di seberang Medan Bioskop, dalam sebuah bangunan yang juga menjadi tempat bagi banyak pembunuhan–dan di tempat yang sama Joshua memfilmkan peragaan ulangnya (re-enactment) untuk film The Act of Killing/Jagal. Kantor Ibrahim Sinik dan Soaduon Siregar berada di lantai dasar, kantor redaksi Harian Tjahaja. Lantai pertama adalah markas Pemuda Pancasila kota Medan. Lantai kedua, merupakan teras loteng yang sebagian beratap adalah ruang tahanan dan tempat eksekusi dilakukan. Sinik dan stafnya, juga Kerani Bukit, Dana, dan Effendy Nasution, melakukan interogasi (dan penyiksaan) terhadap para tahanan di kantor koran. “Pengakuan” dikonstruksi dari sesi ini, dan kemudian
diterbitkan dalam koran. Ketika Ibrahim Sinik dan yang lain merasa “informasi” yang didapat sudah cukup untuk koran (dalam film The Act of Killing, Sinik juga mengatakan bahwa ia menambah-nambahi cerita untuk korannya), mereka akan memberi perintah agar tahanan diangkat ke lantai dua dan dibunuh. Pembunuhan itu dikerjakan oleh Pasukan Kodok, pasukan pembunuh yang beranggotakan, di antaranya, Anwar dan Adi. Kantor Soaduon Siregar persis berada di bawah tempat eksekusi dilakukan, dan mayat-mayat diseret-seret melewati kantornya beberapa kali sehari. Tesis doktoral Dr. Loren Ryter mendokumentasikan cerita yang kira-kira sama, begitu pula puluhan jam material wawancara yang telah Joshua dan rekan-rekannya rekam bersama para saksi mengenai apa yang terjadi di kantor tersebut.
Fakta yang perlu diluruskan adalah, Harian Cahaya saat itu dipimpin Aryad Noeh(abang kandung Afnawie Noeh, Ketua BPRPI Sumut) sebagai Pemimpin Redaksi, sementara So Aduoan Siregar adalah Sekretaris Redaksi. Mei 1966, Harian Cahaya menjadi Koran Sinar Pembangunan, sementara nama Medan Pos baru ada sejak tahun 1973, setelah dewan persi dipimpin oleh Harmoko. Saat 65(maaf) Ibrahim Sinnik adalah seorang pemuda yang aktif membantu kelurganya berdagang, jadi belum masuk redaksi ataupun wartawan), Keberadaan Ibrahim Sinnik di mulai sejak era Walikota Baru Soerkani sekitar awal tahun 1967. Pencantuman 9 Mei 1966 saat ini di redaksi Medan Pos adalah dihitung sejak menjadi Sinar Pembangunan tadi. Jika anda hitung waktu kejadian adalah tahun 1966 saya pikir Joshua keliru, sebab chaos di Medan diakhiri dalam Demo Konsulat Cina di Medan dengan tewasnya Ibrahim Umar yang ditembak pegawai konsulat RRC saat itu, hingga amarah massa kemudian dikenal dengan peristiwa Ganyang Cina di Medan 12 Desember 1965. Tentang alasan Joshua tidak melibatkan Ucok Majestik karena minta honor mahal, sama kira juga tidak masuk akal, melihat kenyataan Joshua didukung sosialis dunia, terbukti dia sanggup hampir 6 bulan bolak-balik kerumah Ucok Majestik, bahkan Joshua juga mampu melibatkan kru media elektronik lokal yang mengkondisikan Anwar Kongo seolah2 pelaku sejarah saat itu hingga direkayasa untuk diwawancarai media elektronik lokal. Soal pembunuhan dikatakan dilaksanakan dikantor itu juga perlu dicek ulang, sebab saat itu selain Majestik, Medan Bioskop saat itu termasuk salahsatu bioskop beken di jamannya yang ramai dikunjungi oleh masyarakat khususnya entnik Tionghoa, jadi mana mungkin bioskop yang ramai diseberangnya adalah tempat pembantaian. Sementara saat itu mereka yang mampu menonton bioskop mayoritas etnik Tionghoa. Saat itu di Medan Bioskop ada nama2 seperti alm. Rosiman dan Rahmad Lubis, jadi diragukan jika disebut Anwar Kongo yang beken disana saat itu apalagi Adi Zulkadri. Tentang adanya pasukan kodok juga sangat diragukan kebenarannya, sebab saat itu pimpinan lapangan Pemuda Pancasila adalah Ucok Majestik sesuai jabatannya sebagai Kordinator Pemuda Pancasila Kota Medan dan Ketua Kubu Pancasila Sumut, sementara Fendi Keling yang merupakan Ketua PP Sumut lebih banyak mengkordinir dan menghimpun keberadaan dari kelompok lain seperti keberadaan masa demo dari kalangan pemuda dan mahasiswa serta pelajar dan berkordinasi dengan Dalmi Iskandar, Drajat Hasibuan, Nur Hikmat, dan dr. Zakaria Siregar. Saya perlu Joshua perlu lebih jujur untuk mengangkat sebuah dokumenter daripada menjual propaganda untuk tujuan anggaran mengatasnamakan Pembantaian Massal dan HAM. Saya sedikit heran dengan istilah pembantaian sebab jauh sebelum meletusnya peristiwa penculikan dan pembunuhan di Jakarta 9 anggota PP sudah lebih dahulu menjadi korban di Medan, termasuk M. Nawi Harahap yang kini ditabalkan menjadi sebuah nama di Medan, serta beberapa masyarakat sipil lainnya seperti yang terbunuh di salahsatu gedung sosial Lekra dikawasan Sekip(dekat tempat tinggal Ucok Majestik). Saya pikir Joshua salah memilih tim yang mendampinginya selama berada untuk mendapatkan bahan wawancara selama di Medan, hingga akhirnya dokumen dan bahan dokumenternya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai informasi anggota Pemuda Pancasila di Medan awalnya hanya berjumlah 40 orang, dan sepertinya itu juga ada dalam wawancara salahsatu media dengan Pak Anwar Kongo, tolong Anwar Kongo sebutkan siapa2 saja yang diantaranya adalah 40 orang tadi, sebab nama Anwar Kongo tadi tidak tercantum didalam daftar nama 40 orang tadi. Sebagai sebuah propaganda saja salut atas keberanian Joshua Oppenheimer meskipun Joshua gagal mencapai target donornya untuk meminta keterangan Ucok Majestik, hingga sebagai sebuah dokumenter saya prihatin sebab Joshua gagal menampilkan gambaran utuh apallagi sumber2nya hanyalah sumber petunjuk. Tentang Joshua sudah pernah wawancaa dengan Amran YS, RM Soetardjo ataupun Sakhyan Asmara yang disebut sebagai pembuat buku Pemuda Pancasila, perlu saya ungkapkan jika saat ini keduanya masih terus berusaha mendapatkan cerita utuh Pemuda Pancasila dari Ucok Majestik dan belum pernah diberikan Ucok Majestik. Amran YS dan teman-temannya seperti Anwar Kongo diperkirakan mendapatkan penggalan cerita dari Alm. Fendi Keling, demikian juga RM. Soetarjo yang belakangan sejak walikota Medan dipimpin Soerkani dikenal akrab dengan Fendi Keling. Sakhyan dalam bukunya Pemuda Pancasila juga hanya menerima keterangan dari Amran YS, itulah sebabnya dalam buku itu tidak ditulis tentang 9 anggota Pemuda Pancasila yang wafat atau nama 40 anggota Pemuda Pancasila pertama. Itulah sebabnya mereka tidak berani mencantumkan nama 40 orang anggota PP saat itu, sebagai bukti mereka tidak mengetahui kronologis sebagaimana yang diketahui dan diingat persis oleh Ucok Majestik hingga saat ini. Terakhir saya hanya mampu mengucapkan kasihan kepada Joshua yang hanya menangkap khayalan dan bualan dari par sumbernya………….
Pak Ronny yang terhormat, saya kira anda perlu mendalami dan mempertajam kemampuan anda untuk memperoleh dokumen anda terkait adanya literatur tentang adanya dewan revolusi serta dewan revolusi daerah seperti yang dapat ditelusuri dari dokumen dewan revolusi di NTT, Solo ataupun di Sumut yakni di Medan dan Karo. Soal kader PKI yang memilih martir dapat anda telusuri dari anak2 pengurus teras PKI yang ada di Medan, dan dapat ditanyakan apakah mereka menyesal jika orangtuanya gagal melakukan pemberontakan. Saya pikir Bung Roni kurang banyak bergaul dengan mereka2 yang sekarang adalah aktifis2 kiri dan tetap bangga mengatakan mereka adalah anak PKI(atau Bung Roni pura2 tidak tahu dan menutup-nutupi). Saya bersyukur dapat berkomunikasi dengan mereka, dan juga bersosialisasi dengan mereka tanpa hambatan hingga sekarang, karena bagi saya masa lalu keluarga mereka adalah urusan mereka demikian pula dengan sikap orangtuanya. Bagi saya sebuah dokumenter adalah miniatur dari sebuah peristiwa, dan bukan penggalan dari sebuah peristiwa. Tentang gambaran Anwar Kongo yang mendapatkan medali dari mereka yang dibantainya saya pikir juga Joshua mendapatkan gambaran yang keliru, sebab sampai akhir hingga diamankan militer Zakir Soobo(Walikota Dewan Revolusi saat itu di Medan), serta Overste Maliki tetap mengatakan kepada Ucok Majestik, “Belum Menang Kau Cok!, sambil menggigit jari telunjuknya yang dibengkokkan sebagai lambang palu arit. Sementara penggambaran memberikan medali sebagai ucapan terimakasih telah dijagal oleh Anwar Kongo, sangat tidak realistis bagi mereka yang merupakan kader PKI apalagi mungkin mereka yang bisa saja difitnah sebagai anggota PKI saat itu. Jika Anwar Kongo dan Adi Zulkadri dalam dokumenternya mengatakan telah menang, itu membuktikan jika mereka dipertanyakan pernah berhadapan apalagi membantai anggota PKI ataupun mereka yang dianggap PKI saat itu. Sebab prilaku tadi jauh berbeda dengan sikap Ucok Majestik yang hingga kini masih tetap yakin jika PKI dan komunis masih tetap eksis dinegeri ini. Perlu Bung Rony ketahui adanya korban dari massa dari PP dan masyarakat saat itu tidak ditampilkan saat orde baru sebab ada upaya untuk menghlangkan kronologis sejarah, tapi masih bisa didapati dari makam-makam mereka di Medan. Untuk dapat memperoleh gambaran detil sebaiknya anda harus turun ke Medan, dan mewawancarai masyarakat Medan, baik yang anti PKI ataupun masih mengaku sebagai PKI, baru membandingkannya dengan literatur para penulis barat, sebab banyak dari mereka yang mengaku akademisi nyatanya tidak pernah turun kelapangan dan hanya mengumpulkan berkas berkas dari balik meja. Itulah sebabnya tidak ada ditemukan dalam literatur mereka tentang adanya lubang2 letter L yang dibuat kader dan pengurus PKI saat itu dihalaman rumah mereka, begitupula tato palu arit di paha sebagai tanda merupakan kader dan aktifis PKI, dulu dierah tahun 80an saat ada keluarga yang masih ada keluarganya yang dulunya adalah PKI tanda2 itu masih ditemukan dalam tubuh jenazah dan didokumentasikan. Kesulitan anda saat ini mungkin apakah ada keluarga yang mau mengakui jika ketika kerabatnya wafat saat itu memang ditemui tanda-tanda ini. Joshua telah bekerja keras, sayangnya kurang keras apalagi orang2 yang mendampingin sama sekali tlidak memahami psikologi dan lapangan di Medan hingga akhirnya mendapatkan data yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Jika anda masih kurang mengakui keberadaan data2 yang saya miliki anda dapat menelusuri mengapa ada nama jalan di Medan diberi nama M. Nawi Harahap, siapa beliau, siapa yang membunuhnya, dan dimana dia dimakamkan, nama ini sulit dicari dalam literatur, tapi itulah kenyataannya dan tidak ada satu masyarakat di Medan yang menyanggah jika M. Nawi Harahap jadi korban PKI
Dokumen-dokumen yang om maksudkan itu sendiri mana, om? Kok gak dimuat link-nya di sini ato minimum kutipan-kutipannya yang bisa kami telusuri kebenarannya?!
Nih, om, dokumen dari saya tentang Pemberontakan G30S/TNI dan Pembantaian WNI pada tahun 1965-1968 itu:
1. Baca “Cornell Paper” di Wikipedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Cornell_Paper
2. Silahkan download ini: “Selected Documents Relating to the September 30th Movement and Its Epilogue” http://cip.cornell.edu/DPubS?service=UI&version=1.0&verb=Display&handle=seap.indo/1107134819
3. A meal of snake and broken glass on Jl. Gandhi http://www.thejakartapost.com/news/2012/09/28/a-meal-snake-and-broken-glass-jl-gandhi.html
Ya ampun.
TLDR deh lu.
anda terlalu banyak membaca tesis berdasarkan perasaan dan kahayalan pembuatnya, silahkan turun ke Medan dan kelokasi yang ada……saya siap membukakan pikiran anda. Oh ya tentang isu dewan jendral sendiri sudah dibantah dokumen tentang pengakuan agen Pavka dan Pociatek agen-agen Cekoslovakia yang mengaku merekalah sebenarnya yang mengirim dokumen gilchrist yang berisi adanya dewan jendral, sayang tidak tahu siapa yang melarang beredarnya buku ini di Indonesia sekitar tahun 1973. Orde Lama, Orde Baru, atau Orde Apapun yang kita butuhkan saat ini adalah kenyataan dan bukan pembengkokan sejarah tentang keterlibatan PKI sebagai dalang dan pelaku kudeta. Anda bisa menyisiri Kota Medan, tentang adanya Overste Maliki. Letkol, Komandan Batalin Brigif VII Rimba Raya yang menjadi kader PKI PKI, atau Brigjen Ulung Sitepu Gubernur Sumut saat itu yang menjadi kader PKI, atau keberadaan Zakir Soobo yang pegawai Pertamanan Kota Medan dan akan menjadi Walikota Dewan Revolusi, andai kudeta di Jakarta berhasil. Jangan banyak baca tesis, tapi turunlah langsung ke lokasi. Jika anda ingin tahu siapa yang keliru atau teledor, anda boleh melihat bekas Kantor SOBSI Kota Medan, tempat Zakir Soobo tewas dalam tawuran dengan massa yang minta PKI dibubarkan. Dalam ringkasan HAM, saksi mengatakan kantor itu dibakar, Zakir Soobo dan 2 penjaga kantor tewas. Kantor itu tidak pernah dibakar, dan terus menjadi kantor beberapa organisasi seperti jadi kantor PEPABRI, Kantor Warakuri bahkan pernah menjadi kantor Perwakilan Gereja Sumut. Sekitar tahun 2004 lokasi ini oleh pengembang dipagari seng dan baru tahun 2008 lalu kantor itu dirubuhkan pengembang. Menurut salahsatu saksi sejarah yakni Ucok Majestik yang memimpin demo massa ke kantor SOBSI Itu, terjadi bentrok dimana Zakir Soobo dan anggotanya lari kelantai 2 sambil melemparkan berbagai benda keras, seperti batu, bahkan senjata tajam seperti tombak. Dalam kejadian ini anggota PP 11 orang menderita luka2 akibat pelemparan dari massa yang berada di lantai atas. Akhirnya karena terus dikurung masa demo, Zakir Soobo turun kebawah menemui massa pendemo dan tawuran dengan massa yang mengurungnya dibahagian bawah.
Dan mengetahui Zakir Soobo tewas dalam tawuran dengan massa yang berada di bawah, anggotanya yang berada di lantai atas, menyerah dan kemudian diserahkan kepada aparat Kodim dipimpin Mayor Datuk Akhtar B dan Letnan Ramli Markam. Anda cek saja keberadaan orang-orang ini, karena lewat orang-orang ini juga Ucok Majestik menyerahkan dokumen propaganda PKI, saat diminta kepada Hamid(Wakil Ketua Pemuda Rakyat Sumut) untuk menyerahakn dokumen partai, yang ternyata mereka kubur dibelakang bahagian kantor SOBSI ini dan dengan jelas menerakan jika propaganda mereka itu adalah CGMI—->VS HMI, Pemuda Rakyat —>VS Pemuda Pancasila, Gerwani—–>VS Wanita Muslimin. Seluruh dokumen itu diambil dari Hamid dan diserahkan kepada Pasi I Kodim Kota Medan Datuk Akhtar B dan Ramli Markam. Tembus saja dokumen militer, jangan anda sibuk propaganda orde baru-propaganda orde baru, padahal anda bisa bebas dan kebablasan seperti ini juga berkat orde baru
Bung Ronny Agustinus terimakasih ulasan mengenai film ini juga buat Bung Alfiannur syafitrianda comment anda cukup menarik. Saya pembaca setia Jurnalfootage setidaknya memperoleh banyak masukan perihal film ini.
Harapan saya kawan2 berargumentasi dan bukan saling menyudutkan.
Salam
Capek deh Preman Pancasilais, silahkan tunggu Hak Jawab dan Bantahan H. Yan Paruhum Lubis alias Ucok Majestik dimuat Redaksi Tempo yang memuat utuh Film The Act of Killing, hingga dapat dapat membuka wawasan anda. Soal dokumen silahkan saja anda tembus sumber-sumber di militer, jangan nanti kalau sudah terungkap baru bilang, oh begitu, oh seperti itu. Sama seperti dokumen eksekusi Kertosewiryo yang katanya didapat dari pedagang loak, masuk akal itu?. Nukan tidak mungkin satu ketika juga militer akan membuka file eksekusi DN. Aidit.
Oh ya biar kita tidak sama-sama lupa, tesis hanya bisa dipakai sebagai petunjuk awal untuk mengetahui garis besar peristiwa bukan detail sebab akibat peristiwa, apalagi bila masih ada saksi hidup dan pelaku langsung, tesis itu akhirnya hanya bakal jadi bahan perbandingan. Hanya saja sumber harus benar-benar sumber mahkota, bukan sumber-sumber seperti para sumber Joshua dalam Film The Act of Killing, cek saja berapa rata-rata usia mereka, seperti Syamsul Arifin, Sakhyan, yang pastinya Joshua keliru memunculkan propagandanya ini saat Ucok Majestik masih hidup, coba kalau tunggu 5 tahun lagi saat yang bersangkutan sudah uzur atau pikun dan sudah wafat, mungkin banyak yang akan terbius, tapi kalau sekarang, berani malu lah kawan, sebab rangkaian rekayasa pasti pada akhirnya akan terbuka oleh pengakuan saksi hidup…………..
alfiannur syafitri, mending lu coba bikin tulisan sendiri aja di jurnal ini. bikin tulisan yang lebih afdol menurut lu daripada cuman komen panjang2 ngebantah ga karuan begini. kalau bikin film dokumenter yg lebih hebat dan lebih sahih kayanya lu juga lebih jago tuh, napa ga bikin aja,
Boris yang malu-malu menyebutkan identitas pribadi, coba lu cek Majalah Tempo edisi 22-28 Oktober 2012, sudah ada tuh ralatnya dari media yang bersangkutan, Jangan picik kawan, hanya karena melihat orang luar negeri lalu dibuat jadi Tuhan yang tanpa kesalahan. Saya sudah coba membuat tulisan sendiri berdasarkan narasumber utama yang ditinggalkan Joshua, dengan alasan minta bayaran mahal. tapi kolom disini gak cukup bung,
Boris Lu keluar Modal ya beli Majalah Tempo Edisi 22-28 Oktober 2012, dah dimuat tuch Hak Jawab dan Bantahan H. Yan Paruhum Lubis alias Ucok Majestik, banyak belajar lagi ya biar gak banyak mendongeng Boris yang pintar ngomong doang
Kepada pembaca Jurnal Footage yang budiman.
Saya kira kebenaran sejarah yang diinginkan oleh beberapa pembaca jurnal ini dari tulisan Ronny Agustinus tidak akan mungkin. Saya setuju pada saudara Boris yang meminta bagi pihak-pihak yang ingin menyampaikan kebenaran menurut padangannya, untuk menulis lebih konprehensif. Jurnal Footage menganggap tidak ada yang salah dengan filem The Act of Killing dalam konteks filem. Kalau dalam konteks sejarah memang perlu diperdebatkan. Namun, fakta-fakta filmis bukanlah sesuatu yang perlu dibanding-bandingkan dengan tesis akademik ataupun sumber-sumber yang dianggap paling benar. Kami menganggap The Act of Killing karya Joshua adalah sebuah karya yang menghadirkan ‘kesegaran’ dalam memandang ‘filem dokumenter’ dalam konteks keindonesiaan. Joshua berhasil menghadirkan filem dokumenter yang benar-benar filmis yang tidak terjebak dalam ‘isu besar’ dalam konteks peristiwa pembunuhan paska 1965. Orang-orang yang dihadirkan dalam filem itupun secara sadar menyampaikan apa-apa yang mereka alami dan juga pandangan-pandangan mereka. Saya kira pandangan atau apa yang dialami oleh narasumber filem ini, tak terlalu penting untuk dianggap sebagai kebenaran atau sumber yang tak sahih. Karena toh…sebagai manusia yang sadar (juga sadar dengan kehadiran kamera), mereka tidak merasa terbebani untuk mengungkapkan kekerasan yang digambarkan oleh filem ini yang notabene sangan satir dan humoris. Tidak ada ‘nasehat-nasehat’ yang selama ini menyelimuti filem-filem kita dalam filem ini.
Redaksi Jurnal Footage juga menerima klarifikasi dari Ucok Majestik tentang tulisan di Majalah Tempo. Bagi kami itu tak ada relevansinya dengan Jurnal Footage. Untuk itu kami tidak memuat tulisan dimaksud dalam jurnal ini. Jurnal Footage melihat filem dengan pandangan estetika dan kritisisme.
Silakan menulis tentang filem dengan kritis di Jurnal Footage.
Salam
Hafiz
Pimpinan Redaksi Jurnal Footage
thanks atas review film-nya buat bung Ronny dan Jurnalfootage
thanks juga buat diskusi-nya dari yang lain…
begini, menurut pemahaman saya, apa yang dilakukan oleh Joshua Oppenheimer ini tidak ada salahnya, bahkan sudah sangat menarik menurut saya.. Metodologi yang digunakannya pun menggunakan Metodologi Poskolonial.
Dalam metodologi Poskolonial, semua orang diberikan ruang untuk menceritakan story-nya sendiri, menurut sudut pandang mereka. Jadi pendekatan dengan metode ini tidak membiarkan sejarah hanya dikuasai oleh Negara atau orang-orang yang berkuasa, tapi bisa oleh setiap orang yang punya kisah.
Selamat menikmati fantasi, imajinasi dan euforia, Joshua beserta para sumbernya…..selamat berkhayal tidak ada yang melarang untuk berhalusinasi untuk memuaskan diri sendiri….
Cukup menggelikan baca-baca komentar yang kontra dengan film The Act of Killing padahal belum nonton filmnya.
Tapi orang-orang, maaf, kurang cerdas seperti inilah yang ternyata menguasai Indonesia.
Heran saya, kenapa orang pintar, orang baik, di Indonesia itu pada kalahan ya? Ke mana mereka semua. Saya sendiri, terus terang, walaupun setiap hari berusaha menjadi orang baik, tapi sebenarnya masuk kategori bodoh. Atau biasa-biasa saja, bukan termasuk orang pintar.
Ini saya tanya begini karena saya heran kok sekian puluh tahun dibiarkan para penjahat itu malang melintang di seluruh Indonesia tanpa perlawanan. Kalau pun ada, ya nggak berasa hasilnya. Seperti Indonesia merdeka, yang kalau lihat konteks internasional, sudah sewajarnya merdeka. Indonesia merdeka itu menyambut selesainya perang dunia kedua. Suharto tumbang itu juga bukan hasil perlawanan, tapi macam sudah waktunya saja.
Suharto, dimakan usia, rubuh sendiri, bagaikan ketentuan alam. Tapi sebetulnya tak ada yang berubah dalam rezim yang dibangunnya. Rezimnya jalan terus. Maju terus. Ibarat tank, maju terus, menerabas, merangsek, sekali-sekali menembakkan meriam, mengancam, menggilas. cuma berhenti sebentar ganti sopir.
Orang baik dan orang pintar di Indonesia itu entah pada takut mati semua, entah kebanyakan bertanya dan mempertanyakan segalanya sampai ragu pada semua pilihan dan tindakannya, atau jangan-jangan, dan ini yang dugaan saya yang paling kuat, orang pintar dan orang baik di Indonesia luar biasa sedikit.
Yang punya koran, yang punya media, yang jadi anggota parlemen, yang jadi wartawan, yang jadi polisi, yang jadi hakim, yang jadi menteri, yang jadi presiden, yang jadi wakilnya, jangan-jangan memang bajingan semua.
Tolol atau jahat, atau keduanya; tapi nggak ada takutnya. Tidak takut menggunakan kekerasan atau membunuh, bahkah, demi mencapai tujuan.
Data terakhir yang ingin saya sampaikan, Jalaluddin atau Jalaluddin Yusuf Nasution, sebagai Sekretaris CDB PKI Sumatera Utara dan Ketua SOBSI Sumatera Utara. Dan dilakonkan oleh Anwar Congo (maaf Anwar memerankannya sebagai tokoh yang digorok, dan penggoroknya juga diperankan oleh Anwar Congo). Jalaluddin wafat sekeluarnya dari Mahkamamah Militer di Sumatera Utara tahun 1980, wafat dikediaman mertuanya karena sakit didaerah Silalas Glugur Medan. Jadi tidak ada penganiayaan ataupun pembunuhan terhadap Jalaluddin Yusuf Nasution. Itulah mengapa sebabnya saya sebutkan sebagai dokumenter yang harusnya, merekam apa yang terjadi, The Act of Killing sangat jauh dari kenyataan. Jika satu adengan terbantahkan berdasarkan data dan kenyataan, bagaimana mempercayai keberadaan dan eksistensi adegan-adegan lanjutan.