Majalah Aneka, No. 16/Tahun III/1 Agustus 1952, halaman 17
Tentang filem di negeri kita masih sedikit sekali dibicarakan atau dituliskan kalau dibandingkan dengan banyaknya filem yang setiap hari disajikan sebagai santapan masyarakat. Pembicaraan-pembicaraan filem di surat kabar seringkali cuma resensi yang sedikit sekali arti pendidikannya. Sedikit sekali orang mendapatkan pelajaran dari tulisan-tulisan itu mengingat masih rendahnya tingkatan pemahaman masyarakat kita dewasa ini. Resensi yang berupa kritikan atau pujian sering cuma berupa pernyataan singkat saja, tidak cukup dalam berisi alasan-alasan yang jelas. Di majalah-majalah kebudayaan seperti Zenith yang memuat pembicaraan filem masih sedikit sekali dapat menarik hasil. Sampai-sampai Liga Film Indonesia yang bertujuan khusus mendidik anggota-anggotanya supaya memiliki film minded –mempunyai kesadaran terhadap fungsi filem yang sebenarnya, nampaknya memiliki jarak yang jauh terhadap penonton yang terbilang ribuan banyaknya itu.
Siapkah penonton filem yang sebenarnya? Penonton yang menjaga hidupnya di filem itu? Berlainan dengan seni lukis, filem sangat bergantung pada kapital (modal besar). Untuk membuat sebuah lukisan, si seniman cukup dengan modal beberapa puluh rupiah saja, sedang untuk pembuatan filem harus ada ratusan ribu rupiah. Dilihat dari sudut produksi saja sangat jelas kalau filem tidak bisa hidup hanya bergantung dari sekelompok masyarakat kecil saja. Pembuatan filem membutuhkan penonton ribuan dan gedung bioskop yang berjumlah ratusan atau ribuan juga. Berlainan dengan seni-seni lain, filem lebih terasa bertumpu pada jumlah masyarakat yang besar.
Dilihat dari sudut ini, filem juga lebih membutuhkan pengupasan atau pembicaraan yang bersifat populer, sasarannya langsung pada lapisan masyarakat yang besar. Marilah kita coba mengatakannya dengan kata-kata lain agar lebih jelas apa yang dimaksudkan.
Filem adalah barang produksi dan barang produksi ini adalah barang dagangan. Karena itu ia juga tergantung dari keadaan pasar, atau ia dekat sekali hubungannya dengan keadaan pasar. Pembuatan barang dagangan kalau ia ingin mendatangkan keuntungan haruslah memperhitungkan permintaan pasar. Disinilah letak kekuatan filem, tetapi di sini pula letak kelemahannya.
Kelompok masyarakat yang paling besar sering dikatakan sebagai kelompok yang tidak memiliki selera, hal itu terjadi di masyarakat yang dibentuk oleh filem. Kelompok ini mempunyai ukuran sendiri karena kekuatan dalam kuantitas dan ia pun menjadi seperti seorang raja, tetapi raja yang masih bocah. Salah satu tujuan pokok yang mau dicapai oleh kebudayaan sekarang ialah menjadikan raja yang kuasa itu dewasa. Sebab selama raja itu masih seorang bocah segalanya dapat terancam. Salah satu kegagalan peradaban manusia di masa-masa silam ialah karena raja yang berkuasa itu belum memiliki kekuasaan penuh sehingga nilai-nilai yang dapat dicapai oleh kegiatan orang-seorang maupun oleh golongan, tidak mendapatkan penjagaan yang sepatutnya dari yang kuasa itu.
Lapisan besar dari masyarakat Indonesia yang menjadi pasar bagi barang-barang dagangan yang berbentuk filem itu adalah masyarakat yang masih rendah sekali tingkatan pemahamannya terhadap hasil-hasil peradaban Barat. Sejarah filem di negeri kita juga masih terlalu baru sehingga pasarnya belumlah mencapai setengah dari yang diinginkan. Walaupun demikian, dalam beberapa tahun terakhir ini nyata sekali pertumbuhan pasar filem itu.
Hal ini terutama disebabkan oleh pembuatan filem-filem yang berbahasa Indonesia, baik buatan dalam negeri maupun yang datang dari Malaya. Filem-filem dari Mesir dan India juga sudah terlihat di sini, mendapat pasar di negeri kita, tetapi yang paling berkuasa masih tetap filem-filem yang datang dari Amerika. Rekor yang dicapai oleh Amerika ini selain karena soal teknis, psikologis, juga karena memasukkan teks yang berbahasa Indonesia.
Dengan menggunakan teks Indonesia sesudah bangsa kita menjelma menjadi bangsa yang merdeka, tegaslah bagaimana barang dagangan itu menyesuaikan diri dengan permintaan pasar. Tetapi teks bahasa Indonesia adalah tuntutan nasional, jadi adalah suatu perbuatan yang sehat, bersifat membangun. Kejelekan-kejelekan atau hal-hal yang merugikan berada di bagian-bagian psikologis filem-filem itu.
Seperti telah disebutkan tadi, filem adalah barang dagangan yang menyesuaikan dirinya dengan permintaan pasar. Pasarnya adalah lapisan masyarakat yang kita umpamakan tadi dengan seorang bocah. Apa saja yang diminta oleh si bocah itu dilayani dengan royal. Tujuannya ialah mencari untung sebanyak-banyaknya. Barang dagangan seperti ini adalah barang dagangan yang jahat, sama dengan madat yang merusak itu. Inilah sebabnya mengapa pemerintah lalu membentuk satu badan sensor yang bertindak sebagai pengawas si bocah itu. Kalau dilepaskan begitu saja kepada pedagang-pedagang filem, niscaya apa yang akan terlihat di layar putih di Indonesia ini akan ada banyak sekali gambar-gambar yang akan membuat terlena saja.
Pedagang-pedagang seperti itu tidak mempunyai rasa tanggung jawab sedikitpun terhadap hidup manusia. Ia adalah musuh bagi kemanusiaan dan penjahat nasional. Walaupun kapitalis-kapitalis filem di Amerika, Mesir, Malaya dan dalam negeri sendiri tidak akan lekas kita namakan musuh kemanusiaan dan penjahat nasional, namun pembuatan-pembuatan filem di Indonesia masih jauh dari pada semestinya.
Masih payah kita mencari-cari sifat mulia pada mereka, lebih lekas mereka menunjukkan diri seperti tukang kelontong yang menjajakan barang mainan kepada anak-anak kita. Mereka tidak memikirkan bagaimana akibatnya jika barang mainan diberikan kepada si bocah. Ataukah si pedagang itu sendiri masih bocah, belum mempunyai kesadaran tentang arti pendidikan. Hal ini barangkali masih kita tolerir tetapi tidak terhadap luar negeri. Lebih-lebih terhadap Hollywood karena mereka sangat jelas memposisikan diri dengan memperhitungkan dan menganalisa keadaan pasar. Tindakan mereka sangat penuh dengan kesadaran.
Lapangan pembuatan filem di Indonesia masih sangat baru. Terlihat sekali dalam teknik yang belum dikuasainya. Para pelaku filem masih belajar pada tingkatan yang pertama. Oleh karena itu segala kekurangan-kekurangannya sangat terlihat. Dengan kata lain, para pelaku filem belum begitu pandai memainkan montase gambar untuk menyembunyikan gambar-gambar bersifat buruk. Lagi pula akan lebih mudah bagi kritikus atau sensor untuk menggunakan guntingnya karena bahasa yang digunakan dalam filem adalah bahasa Indonesia. Kejelekan-kejelekan atau pengaruh yang jelek dari suatu permainan gambar dapat terlihat dengan jelas. Tidaklah mengherankan kalau kawan-kawan di sini sering mengeluh mengatakan bahwa sensor lebih tajam guntingnya terhadap filem buatan mereka daripada filem Amerika yang alur montase atau teknik filemnya lebih baik sehingga tidak membuat langsung terlihat keburukan maksudnya.
Filem adalah barang dagangan yang harus diawasi dan kemahiran teknik atau keahlian dalam pembuatannya juga sering berupa kelicikan untuk menutupi sifat-sifat jahat yang ada padanya (sifat-sifat yang terlalu menurut kepada permintaan pasar) hendaknya juga dijadikan faktor untuk menimbang dalam menyensor filem-filem Amerika. Kekurangan kelicikan kawan-kawan dalam negeri hendaklah menjadi sebab kekalahan mereka dalam menghadapi sensor. Sebab dengan begini, secara tidak langsung kita menyuruh atau kita membantu kegiatan untuk lebih licin dalam soal teknik.
Teknik filem tidaklah boleh dijadikan teknik untuk menutupi kekurangan-kekurangan filem sebagai barang dagangan dalam masyarakat yang kapitalis, tetapi ia harus dikembalikan pada asalnya ialah untuk mengangkat mutu filem itu sendiri. Semoga dengan uraian yang singkat dan sederhana ini dapatlah kita melihat betapa beratnya perjuangan si hati kecil kebudayaan itu yang mempunyai kesadaran tanggung jawab.
* Jurnal Footage menerbitkan kembali tulisan M. Balfas yang pernah terbit di majalah Aneka, No. 16/Tahun III/1 Agustus 1952. Redaksi melakukan penyelarasan bahasa tanpa mengurangi dan menambahkan isi dan makna tulisan.