Dikutip dari Madjalah Zenith, No 11, Tahun I, November 1951, halaman 678-682
Cerita Ayahku Pulang atau Aku Bunuh Ayahku yang kemudian sebagai filem diberi nama “Dosa Tak Berampun” sebagai sandiwara sudah lama kita kenal. Tontonan ini mau meminta kesedihan hati kita. Kesedihan itu ternyata berhasil dibangkitkan oleh cerita itu pada banyak penonton.
Tetapi mata merah penonton yang cengeng belum bisa meyakinkan kita untuk menamakan Ayahku Pulang atau Aku Bunuh Ayahku sebagai hasil kesusastraan yang tinggi walau dari pihak Perfini sendiri kita mendapatkan keterangan bahwa cerita itu adalah hasil kesusastraan Jepang[1] yang sudah menjadi karya kesusastraan dunia karena banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa dan pernah difilemkan juga oleh perusahaan Amerika.
Cerita kemanusiaan dalam karya sastera itu memang renyah dinikmati oleh semua bangsa dan bentuk lain dalam filem tentu bisa memberikan cara pandang lain untuk dipertontonkan di seluruh dunia. Tetapi memfilemkan suatu cerita sandiwara yang berhasil (baik dalam seni maupun menjadi bestseller) berarti sama dengan mau menciptakan kembali suatu hasil seni dalam bentuk baru. Usaha seperti ini sudah banyak dilakukan orang seperti sandiwara-sandiwara Shakespeare oleh Arthur Rank. Suatu usaha yang tidak mudah kalau kita mau bersungguh-sungguh dan membuka keluasaan untuk dikritik.
Sampai kemudian muncul pertanyaan dalam diri kita: Sudahkah produksi filem di Indonesia ini sampai pada tingkat mau menghasilkan karya seni?
Filem adalah cabang seni yang berdiri sendiri dan tiap pembuatan filem bisa kita terima sebagai usaha untuk mencapai ke arah itu, dan dihitung dari banyaknya semangat baik yang ada, Perfini-lah yang paling banyak memberikan harapan. Setiap usahanya telah menunjukkan suatu kemajuan; hasilnya jauh di atas produksi perusahaan-perusahaan filem lain, tetapi belum juga kita sampai pada suatu pernyataan dimana kita bisa berkata: Inilah filem ciptaan Indonesia, kekurangannya masih terlalu banyak. Filem belum bisa memberikan suatu permainan narasi-narasi keseluruhan yang dinamis. Shot-shot masih banyak merupakan pemotretan-pemotretan biasa yang mati, kurang efek psikologi dari upaya pemaknaan, sehingga sering suasana tidak dapat dibangkitkan secara hidup.
Sekali-sekali kita lihat juga bagaimana kamera dipasang pada tempat yang benar, antara lain dalam adegan sewaktu Gunarto masuk ke dalam ruang dimana ayahnya sedang duduk di meja makan.
Kelumpuhan kamera dalam membangkitkan suasana sangat menyolok pada shot dalam masjid. Penonton tidak merasakan suatu suasana keagamaan dalam menyambut datangnya Hari Raya. Geleng-geleng kepala dan pijitan-pijitan pada biji-biji tasbih membangkitkan gelak yang riuh pada penonton –suatu kejanggalan yang mutlak. Pengambilan gambar sandal-terompah dan sepatu yang penuh berjejer di muka pintu masjid adalah model lama yang tidak berbau keagamaan sama sekali. Shot murah ini lebih lekas mengingatkan kita pada rasa mengejek atau kurang menghargai barang sendiri dari pada rasa keagamaan.
Tentang pemainnya, pada umumnya bisa dibilang kurang baik, masih terlalu banyak kelihatan bingung mencari sikap sehingga berada dalam keadaan berhenti atau kelambatan (statis). Berhentinya Gunarto dan orang-orang sekampung waktu mendengarkan si Dul memainkan harmonikanya masih tegang dan terasa dipaksakan.
Juga dalam filem ini (Dosa tak Berampun) kita belum sampai pada “kelembutan” gerak, baik dalam lukisan (beeld) maupun pada pemain –kelembutan seni yang dapat memisah batas antara khayali dan hakiki.
Di atas panggung, cerita Ayahku Pulang telah berulang kali dipertunjukkan dengan sukses. Klimaks yang dicapai dalam satu babak, dalam satu dekor, dapat membuat cerita itu cukup padu. Penonton tidak merasa perlu untuk melihat dan mencari apa-apa yang terjadi diluar babak itu. Yang penting adalah permainan watak dengan latar belakang sejarah pelaku masing-masing.
Tetapi kepaduan ini tidak mudah dicapai dalam filem. Apa yang dalam sandiwara sudah cukup dengan kata-kata saja, dalam filem harus diceritakan dengan lukisan. Dengan begitu, segala kekurangan dalam cerita sandiwara yang tidak begitu terlihat, dalam filem justru terlihat dengan jelas.
Dalam hal ini, cerita sandiwara Bunga Rumah Makan karangan Utuy T. Sontani[2] mempunyai persediaan-persediaan psikologi yang lebih lengkap daripada Aku Bunuh Ayahku. Romantik yang kita curigakan dalam Ayahku Pulang sudah menjadi suatu kepalsuan dalam Dosa Tak Berampun.
Untuk dapat meninggalkan rumahtangga yang rapi dengan dua orang anak dan istri (lebih-lebih kalau sedang mengandung) harus diberi cukup persiapan psikologi kepada si ayah. Kita merasa tidak cukup dikemukakan begitu saja dengan si ayah yang cuma senang main kartu dan digoda oleh seorang perempuan jalang saja. Pertanggungjawaban psikologi yang tidak diperlukan oleh si pengarang cerita sandiwara harus diisi kalau cerita itu mau dijadikan filem. Keterangan itu sangat kita sangsikan.
Kelemahan lain yang kita lihat menyolok mata dalam cerita Dosa Tak Berampun ialah problem yang secara berani dibuka oleh saudara Usmar Ismail (lagi pula inilah memang tragedi yang dimaksudkan oleh pengarang sandiwaranya), yaitu memusatkan perhatian pada sikap yang diambil oleh Gunarto dengan mengemukakan penderitaan-penderitaannya selagi kecil sebagai alasan untuk menolak ayahnya kembali ke rumah. Ia menolak ayahnya namun ia juga merasa ragu ketika ayahnya hendak bunuh diri, si anak (Gunarto) dihadapkan pada problem yang harus dipecahkan. Problem ini tidak dijawab secara berani pula oleh saudara Usmar Ismail. Disuruhnya saja ia berdiri di puncak batu karang, kaku seakan-akan mau menceburkan diri juga ke laut.
Keberatan kita ini terbawa oleh peristiwa yang sangat memberatkan timbangan psikologi Gunarto, yaitu perginya si ayah bunuh diri. Bagaimana seorang ayah dapat lekas membunuh diri kalau ia cuma ditolak oleh seorang saja dari anak-anaknya, sedang dua orang anaknya yang lain ditambah dengan istrinya sudah bersedia menerima sang ayah kembali.
Keputusan bunuh diri menurut pendapat kami sangatlah dipaksakan. Sebagai cerita Ayahku Pulang sudah membayangkan kepalsuan romantik yang jadi kentara dalam Dosa Tak Berampun.
Keraguan dalam memilih nama (Ayahku Pulang, Aku Bunuh Ayahku dan Dosa Tak Berampun) sudah menunjukkan bahwa filem itu harusnya digodok lebih lama lagi.
Sebagai suatu penemuan yang perlu dicatat ialah para pemain bocah, Buddhi dan Siswo. Scene-scene yang pendek dimainkan oleh Buddhi adalah napas-napas dalam filem yang hampir beku itu. Fungsi yang diduduki oleh Dul juga sangat menolong filem itu dari kekakuan sandiwara.
Dengan memperbaiki isi dan memasukkan lebih banyak gerak dalam lukisan-lukisan filem Dosa Tak Berampun akan dapat memberikan hasil yang lebih banyak menggembirakan.
[1] Berdasarkan naskah drama Kikuchi Kan yang berjudul Chichi Kaeru (1917). Kikuchi Kan atau Kikuchi Hiroshi, lahir 26 Desember 1888 di Takamatsu dan meninggal 6 Maret 1948 di Tokyo. Ia seorang dramawan, novelis, dan pendiri salah satu perusahaan penerbitan besar di Jepang. Sebagai seorang mahasiswa di Sekolah Tinggi Pertama di Tokyo. Di sekolah itulah ia berkenalan dengan novelis Ryunosuke Akutagawa dan Masao Kume. Kemudian, saat kuliah di Kyoto Imperial University, ia bekerja di majalah sastra Shinshicho (“Arus Baru Pemikiran”). Kisahnya “Mumei Sakka no nikki” (1918; “Buku Harian Seorang Penulis Tak Dikenal”) mengungkapkan keterusterangan iri hatinya atas keberhasilan mantan teman-teman sekelasnya. Ia hanya menulis hanya dalam rentang waktu 1917-1920, setelah itu ia berhenti. Tulisan-tulisan Kikuchi telah menunjukan suatu pemikiran yang spekulatif, dia lebih peduli dengan eksposisi daripada tema moralistik tertentu yang dinyatakan dalam gaya realis dan jelas. Cerita yang pernah dibuatnya, “Tadanaokyo gyōjō ki” (1918; “Di Bawah Pimpinan Paduka Tadanao”), Chichi kaeru (1917, “Ayahku Pulang”), dan Okujo no Kyojin (1916, “Orang Gila di Genteng”).
[2] Utuy Tatang Sontani lahir di Cianjur pada tahun 1920. Utuy awalnya menulis dalam bahasa Sunda, tetapi di bawah pemerintahan Jepang selama Perang Dunia 2 ia mulai menulis dalam bahasa Indonesia. Dia lebih suka menulis drama dan cerita pendek, dan protagonis dalam karya-karyanya selalu orang-orang miskin. Pertama dramanya Suling (1948) yang menggambarkan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Drama kedua Bunga Rumah Makan (pernah difilemkan oleh Dr. Huyung) (1948) menceritakan kisah tentang kerinduan pelayan hotel untuk kebebasan dan tidak bersedia untuk belas kasihan. Novel sejarahnya Tambera (1948) menyangkut dengan perjuangan anti-Belanda di abad ke-16 akhir dan awal abad ke-17. Setelah penyerahan kedaulatan, Utuy cukup kecewa dengan realitas sosial. Cerita pendeknya Orang-orang Sial (1951) mengungkapkan nasib tragis dari orang-orang kecil dan pejabat-pejabat pemerintah yang korupsi.
[/tab_item] [/tab]