Trauma terhadap tekanan kekuasaan dua negara fasis Jerman dan Italia dalam penyeleksian Festival Filem Venezia di akhir 1930an, Jean Zay, Menteri Pendidikan Prancis, memutuskan membuat festival yang diselenggarakan di Prancis. Pada waktu itu, tepatnya 1939, Luis Lumiere dikukuhkan sebagai presiden festival pertama, namun di tahun yang sama Jerman menyerang Polandia dan pernyataan perang melawan Jerman pun dideklarasikan sehingga festival terpaksa berakhir meski belum dimulai.
Pada 1946, Menteri Luar Negeri Prancis serta pemerintah kota Cannes mengadakan ulang festival yang sempat tertunda karena perang. Sebuah kasino tua menjadi saksi penyelenggaraan pertama festival ini. Uniknya, pemerintah Prancis dan Italia membuat perjanjian rahasia untuk mengadakan acara festival secara bergantian dalam satu tahun. Perjanjian rahasia itu menuai kritik. Dikatakan bahwa, “Prancis telah menyerah pada Italia.” Seiring waktu, kritik mereda dan festival filem Cannes menjadi salah satu festival bergengsi bagi penggiat filem dunia.
Tidak kurang gegapnya dengan Cannes, Festival Filem Berlin juga layak jadi perhatian. Festival ini lebih dikenal dengan sebutan Berlinale. Dibuka pada 1951, dan sejak 1978 diadakan setiap bulan Februari. Pada ajang festival ini, para pekerja industri filem, agen pencari bakat, distributor dan produser dari seluruh dunia berkumpul untuk saling bertukar informasi dan kesempatan.
Di benua Amerika, berbagai festival filem diselenggarakan dalam beragam cara. Salah satunya adalah Montreal World Film Festival, yang diadakan di Kanada. Festival ini memusatkan perhatian pada segala jenis filem dari pelosok dunia serta filem-filem buatan Hollywood. Disebabkan adanya pengetatan, pada tahun 2004, festival filem Montreal kehilangan penyandang dananya, Kementerian Kebudayaan dan Telefilem Kanada. Pencabutan dana itu sebagai imbas tindakan kontroversial pihak manajemen festival yang digawangi Serge Losique dan Danièle Cauchard. Pihak penyandang dana kemudian memutuskan untuk membuat festival baru dengan nama, NEW MONTREAL FILM FEST. Festival ini ditangani oleh Spectra Entertainment dan dikepalai Daniel Langlois. Namun festival filem Montreal Baru ini tidak bertahan lama. Ketidaksuksesan acara malam pengukuhan pada 2006, membuatnya terpaksa dibubarkan.
Para penggiat dan antusias filem di Indonesia pun sering mengadakan festival filem. Berbagai ajang festival audio visual seperti Festival Film Indonesia (FFI), Jakata International Film Festival (JIFFest), Kompetisi Film Pendek Konfiden dan juga Jakarta International OK. Video Festival digelar di negeri ini. Sebagai barometer kreativitas, maraknya penyelenggaraan festival tentu saja membanggakan. Di sini, kita bisa melihat bahwa Indonesia ternyata memiliki banyak bibit-bibit baru potensial demi memajukan jagat audio visual tanah air. Namun, maraknya penyelenggaraan festival perlu diamati secara kritis. Penyelenggaraan festival filem di Indonesia, baik yang bersifat nasional maupun internasional, seringkali tidak lebih dari sekadar acara arisan tahunan. Campur tangan media massa malah semakin menegaskan bahwa festival hanya dijadikan sebagai lahan bisnis menjanjikan.
Dalam beberapa tahun terakhir berbagai perubahan telah terjadi. Ajang festival dan kompetisi yang biasanya diselenggarakan oleh yayasan atau penggiat filem, kini banyak diselenggarakan pihak korporat. Hal ini membuat kita wajib bertanya, apakah kehadiran korporasi dalam penyelenggaraan festival mampu membawa semesta audio visual Indonesia ke fase yang lebih kreatif lagi. Sebab, terlepas dari kisah sukses dan gagalnya penyelenggaran festival, ajang semacam ini ternyata menyisakan masalah-masalah akut.
Dalam esai klasiknya, Andre Bazin pernah membuat peringatan bahwa ajang festival hanya digunakan untuk mengukuhkan kepentingan kaum ningrat. Di satu sisi, festival memang memacu kreativitas, namun di sisi lain, festival tidak lebih dari sekadar acara arisan tahunan tempat berkumpulnya para penggiat dan peminat filem tanpa ada kejelasan perspektif.
Di setiap acara festival selalu tersisip kompetisi, dengan kompensasi hadiah, baik uang maupun barang, kepada setiap pemenang. Jika pada masa-masa sebelumnya pihak korporasi hanya bertindak sebagai sponsor penyelenggaraan kompetisi, kini korporasilah yang menyelenggarakannya. Setidaknya ada dua program kompetisi yang memang memiliki kepentingan korporasi di dalamnya: Bodyshop dan Eagle Award Metro TV. Dua korporasi ini berperan penting dalam distribusi dan penilaian kompetisi. Yang satu bergerak di bidang produk kecantikan, sedang yang satunya lagi korporasi media massa elektronik.
Bodyshop menyelenggarakan kompetisi bertemakan AIDS, pemanasan global dan kekerasan domestik. Pemenang dibagi dalam empat kategori: pelajar sekolah menengah, kategori umum (amatir), filem terbaik dan pilihan penonton. Total hadiah tidak lebih dari 50 juta rupiah. Bisa saja kita bilang hadiah sejumlah ini merupakan bentuk pertanggungjawaban sosial korporasi (CSR), tapi jelas tidaklah sebanding dengan hasil karya yang baik. Belum lagi jika dibandingkan dengan masalah hak cipta dan distribusi yang dipegang penuh oleh penyelenggaranya, maka tentu jumlah ini sangatlah kecil. Dalam kompetisi yang diselenggarakan Bodyshop, semua karya peserta yang masuk dalam kompetisi dijadikan sebagai media kampanye korporasi, yang sangat tidak jelas arahnya. Sebab, perusahaan ini bergerak di bidang kecantikan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan kampanye soal AIDS, pemanasan global maupun kekerasan domestik.
Kompetisi filem dokumenter Eagle Award Metro TV tidak jauh berbeda dalam esensi. Kehadiran kompetisi filem dokumenter ini awalnya memberi warna baru pada dunia perfileman Indonesia. Tetapi korporasi tetaplah korporasi. Selalu mengambil keuntungan besar dari modal yang kecil. Andai saja kita membayangkan berapa keuntungan penyelenggaraan kompetisi dengan hasil yang diterima oleh para pekerja filem dokumenter amatir yang menjadi pemenangnya, tentu kita akan mengerutkan dahi. Perbandingan jumlah hadiah untuk para pemenang tidak setara dengan keuntungan yang diterima korporasi. Publikasi kompetisi ini menghasilkan miliaran rupiah dari iklan baik selama promosi maupun acara pengukuhan, sedangkan para pemenangnya hanya mendapat tidak lebih dari 100 juta rupiah total. Lebih jauh, semua hak distribusi dipegang penuh pihak penyelenggara. Dengan begitu pembuat filemnya hampir tidak memiliki hak apapun mengenai karyanya lagi.
Menyikapi hal ini, kita dapat membuat analisa bahwa selama ini yang menjadi akar permasalahan dalam festival adalah kompetisi. Kompetisi dalam festival merupakan subjek perdebatan, sebab kompetisi ternyata membawa keuntungan komersial. Dan, keuntungan komersial seringkali mengalahkan kreativitas, yang membuat kita tidak mampu bertarung dalam wilayah gagasan. Wajar bila kemandekan terjadi. Seperti dinyatakan oleh Alex Sihar pada pembukaan Kompetisi Film Pendek Konfiden, 9 November 2008. Sihar menyatakan bahwa saat ini jagat perfileman Indonesia sedang stagnan, disebabkan “tidak adanya sinkronisasi inisiatif antarkita.”
Kompetisi dalam festival filem memang penting di satu sisi. Tetapi, kompetisi seringkali membawa pekerja filem dalam posisi tidak diuntungkan. Untuk itu, kita perlu membuat konsep yang lebih setara dalam penyelenggaraan kompetisi. Kita memerlukan sebuah festival yang tidak hanya membawa keuntungan bagi korporasi, tetapi juga mementingkan nasib pekerja kreatif. Jika Alex Sihar menyatakan ketiadaan inisiatif antarkita, maka perlu dipertanyakan pula “kita” yang mana yang dimaksud. Bila para penyelenggara festival itu diibaratkan sebagai agen pencari bakat, maka tugas agen itu tidak hanya sekadar menemukan bibit-bibit baru, tetapi juga mampu menjaga keberlangsungan kreatif para pekerja filem. Mereka harus mampu pula memberikan akses yang dapat membuat para pekerja filem lebih kreatif dalam berkarya.