In Artikel

Menengok kembali jejak panjang sejarah peradaban, kemajuan mesin selalu terkait dengan kuasa. Kemajuan di bidang pelayaran dan navigasi mendorong terjadinya ekspansi negara-negara Eropa ke tanah-tanah baru di Asia dan Afrika. Ini menandai gestur awal cikal-bakal monopoli dagang dan penjajahan politik. Hingga periode revolusi industri di negara-negara Eropa dimulai pada pertengahan abad ke-18, mereka membawa mesin-mesin baru ke tanah jajahannya atas nama pembaruan. Mesin menyimbolkan kebaruan dan superioritas teknologi Barat di hadapan bangsa jajahan, menggusur cara-cara lokal lainnya ke pinggiran.

Kamera, sebagai teknologi rekam yang berasal dari Barat, pada awalnya masuk ke negara-negara jajahan sebagai lensa untuk menelisik pribumi sebagai objek. Namun, ketika kaum pribumi menggenggam alat tersebut, mereka berkesempatan untuk mengungkapkan persoalan lokal dengan bahasa yang lokal pula, sesuatu yang tak dapat dilakukan oleh mata Barat. Tengoklah filem Ajantrik (1958) yang disutradarai Ritwik Ghatak. Saat filem ini rilis, kemerdekaan India menginjak usia 11 tahun. Negara belia itu masih bergulat dengan permasalahan ekonomi, budaya, dan sosio-politik yang diwariskan oleh kolonial. Ada pertanyaan besar tentang bagaimana mereka harus menyikapi kompleksitas tersebut sebagai negara merdeka, sembari menyambut perubahan-perubahan yang terus terjadi. Ghatak menyadari permasalahan ini, dan menawarkan kritik tajam melalui imajinasi tentang mesin yang jenaka dan organik.

Ritwik Ghatak adalah sutradara asal Bengal (kini Bangladesh) yang lahir tahun 1925 di kota Dhaka. Ia sempat aktif di Indian People’s Theatre Association (IPTA), sayap budaya dari Partai Komunis India, hingga ia dikeluarkan pada tahun 1955. Selama menjadi anggota, ia cukup kritis dengan partai tersebut, bahkan merilis esai On the Cultural ‘Front’ sebagai kritik atas kondisi statis dalam front kebudayaan partai. Dalam berkarya, pendirian ini tampak dalam komitmennya membuat filem yang dekat dengan kehidupan rakyat kecil. Ajantrik (judul bahasa Inggris: The Unmechanical; The Pathetic Fallacy) merupakan filem kedua yang ia sutradarai. Filem ini diadaptasi dari cerita pendek yang ditulis oleh Subodh Ghosh, dan menjadi salah satu karya unggul dalam Venice Film Festival pada tahun 1959.

Ajantrik menceritakan lika-liku keseharian Bimal (Kali Bannerjee), seorang supir taksi yang beroperasi dengan mobil kesayangannya yang dinamainya Jaggadal. Bimal menganggap Jaggadal manusia dan memperlakukannya seperti seorang kekasih—ia diajaknya bercakap-cakap, berfoto bersama dengan fotografer profesional, dan dirawat dengan sepenuh hati, meskipun mahalnya biaya perawatan Jaggadal yang tak sebanding dengan kondisinya yang reyot sering kali membuatnya harus berpuasa. Di pangkalan taksi, Jaggadal kalah populer dibandingkan mobil-mobil lain yang baru dan berkilauan. Obsesi Bimal ini ditertawakan dan dikhawatirkan oleh orang-orang di sekitarnya, namun ia tidak menghiraukan mereka. Hanya Sultan (Shriman Deepak), seorang bocah kecil, yang setia menemaninya dan tampak ingin tahu tentang hubungan Bimal dengan Jaggadal. Filem ini menyorot perjalanan Bimal dengan beragam penumpang yang ia antar, hubungannya dengan Jaggadal, dan orang-orang di sekitarnya; berlatarkan lanskap alam dan lingkungan pedesaan di Bengal tempat Bimal tinggal.

Khasanah Sosial dan Sistem Transportasi

Filem ini dibuka dengan seorang calon mempelai pria dan pamannya yang mencari taksi menuju perkawinan si calon mempelai di Jhalpur. Mereka terdampar di suatu kota antah-berantah karena salah naik gerbong kereta. Sementara, jalan di Jhalpur terlampau berbahaya, sebab harus melewati sungai di tengah cuaca yang memburuk. Hanya Bimal supir taksi yang mau mengantarkan mereka, meskipun dengan menggerutu. Kita pun berjumpa untuk pertama kalinya dengan Jaggadal; sebuah Chevrolet tahun ‘20-an yang pintunya copot dari engselnya begitu dibuka, dengan tirai yang compang-camping serupa kain lap, dan terpal yang sobek besar. Jaggadal nyaris tidak dapat distarter, berjalan dengan ugal-ugalan, dan mogok saat harus menyebrangi sungai. Namun tak disangka-sangka, akhirnya mereka tiba juga di tempat tujuan.

Setelahnya, gambar berganti ke Bimal yang sedang mengemudikan Jaggadal sendirian, dengan pantulan pohon di kaca mobil. Jaggadal, melintasi jalanan yang membelah lanskap alam. Bimal, bertanya pada mobil kesayangannya yang mulai menderu, “Kau haus? Ya, nafasmu mulai pendek. Tunggu sebentar lagi.” Kamera kembali menangkap lanskap, kali ini dari jauh, menangkap pantulan mobil yang berkendara sepanjang sungai. Pada suatu titik, ia berhenti, dan Bimal turun dari mobil untuk mengambil air. Kita diperlihatkan dari dekat bagaimana Bimal mendekat untuk mengisi air aki. Masuknya air ke dalam pipa kap mesin diiringi dengan bunyi menggelegak, menyerupai orang minum air.

Lima belas menit pertama filem dimanfaatkan dengan sangat efektif untuk membekali penonton dengan poin-poin penting sebelum melanjutkan menonton filem. Penonton disajikan kontras antara pengalaman horor kedua penumpang saat naik taksi yang lusuh dan tempias di tengah hujan badai; dengan gambar-gambar romantis Bimal mengendarai mobilnya di alam pedesaan yang cerah. Dualitas watak Bimal diperkenalkan di sini; yang tampak tertutup dan penggerutu saat menghadapi orang lain, namun lembut saat hanya berdua dengan mobilnya. Motivasi Bimal untuk tetap mengantarkan penumpang meskipun cuaca dan medan sedang sulit juga dapat dikaitkan dengan informasi di adegan-adegan selanjutnya, bahwa tampilan Jaggadal kurang menarik dibandingkan taksi-taksi lainnya, sehingga Bimal kerap kali menjadi pilihan terakhir bagi para penumpang yang hendak memesan taksi.

Lingkungan sekitar pangkalan taksi menjadi lokasi yang penting di filem ini. Tempat tersebut tidak hanya memiliki nilai ekonomi dan transportasi, namun juga nilai sosial. Di salah satu adegan pertama yang memperkenalkan lokasi tersebut, kamera mengikuti langkah Sultan yang keluar dari rumahnya, lalu berjalan di belakang taksi-taksi yang sedang berjejer. Kamera menangkap beragam kios dan bengkel kumuh, dengan orang-orang yang sedang beristirahat dan bekerja di dalamnya, diiringi suara keramaian. Orang-orang yang terekam kamera kadang berkesempatan untuk tampil, kadang tidak. Ada yang menjadi bagian dari kerumunan, namun ada pula yang menjadi figur-figur dalam cerita dengan identitas yang jelas. Kita dapat mengenali orang-orang yang disorot kamera, seperti para supir taksi, montir, tukang foto, barisan pastor-pastor, pengemis dan polisi. Dalam beberapa adegan, tampak seorang perempuan yang selalu diledek oleh Sultan, membuat kehadirannya di lokasi menjadi suatu rutinitas. Tekstur masyarakat setempat digambarkan sedemikian organik, mengingatkan kita pada filem-filem Neorealisme Italia yang menjejak—tentunya dengan isi dan rasa yang berbeda. Di pangkalan taksi, ditampilkan juga bagaimana lingkup sosial merespon keanehan Bimal dengan ledekan, tertawaan, hingga secara fisik mengusili mobil tersebut. Selain Sultan, hanya si Montir yang bersimpati kepada Bimal, dengan membantu menyediakan suku cadang bagi Jaggadal, menasihatinya saat obsesinya dengan Jaggadal sudah kelewat batas, dan mengarahkan beberapa penumpang kepada Bimal.

Taksi sebagai mode transportasi terhubung ke dalam sistem transportasi antar kota yang jauh lebih besar. Mengikuti perjalanan Bimal dan Jaggadal, kita dapat melihat berbagai kejanggalan dalam sistem tersebut. Mulai dari kedua penumpang di awal yang salah naik gerbong karena ingin menikmati fasilitas kelas satu, infrastruktur jalan yang belum dibangun seluruhnya, kereta yang tak pernah berangkat tepat waktu, dan sebagainya. Adegan yang cukup mengundang tawa adalah ketika Bimal harus mengangkut sepuluh penumpang dalam mobilnya yang bobrok demi memenuhi setorannya. Sistem transportasi dalam filem ini tidak diregulasi secara sentral, melainkan disiasati sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Meskipun dengan cara yang terkadang ganjil, setiap orang pasti akan sampai pada tujuan mereka.

Jaggadal dan Estetika Mesin

Keberadaan Jaggadal pun cukup mewakili keganjilan tersebut. Ke-”hidup”-annya hadir dengan kuat di dalam filem, tak hanya digambarkan melalui perlakuan Bimal terhadapnya, namun melalui visual dan bunyi-bunyian yang dihasilkannya. Ghatak menggunakan ruang bereksperimen sebebas-bebasnya untuk menghidupkan Jaggadal. Setiap sudut mobil dimanfaatkan untuk menghasilkan interaksi visual yang intim dan menarik. Salah satunya adalah saat seorang perempuan yang menumpangi taksi tersebut merobek terpal mobil agar dapat melihat pemandangan langit yang menurutnya indah. Poin visual lain yang menarik adalah memasukkan perspektif Jaggadal ke dalam filem. Kerap kali gambar-gambar lokasi, orang, dan percakapan yang terjadi di sekitar Jaggadal dibingkai oleh tubuh mobil, sehingga kesan yang dimunculkan adalah pengambilan gambar tersebut didasarkan pada “tatapan” Jaggadal.

Audio juga menjadi aspek yang dipermainkan dalam menghadirkan wujud Jaggadal. Selain bunyi menggelegak di awal filem, ada pula derum saat mobil distarter, knalpot merepet, rem yang mendecit, mesin yang mendesis, tubuh yang berkeriut—elemen-elemen bunyi otomotif menjadi performatif saat digunakan sebagai respon terhadap interaksi Bimal. Bunyi-bunyi tersebut berubah menjadi bahasa. Bunyi Jaggadal yang tadinya bersifat diegetic dapat sewaktu-waktu disulam ke dalam bunyi non-diegetic saat berpadu dengan scoring musik tradisional India yang berkesan jenaka. Keduanya menghasilkan musik latar tradisional dengan sentuhan mekanis, yang menentukan warna filem dari awal hingga akhir.

Paduan audio dan visual menuju suatu estetika mesin tampak konsisten dari awal hingga akhir filem. Estetika ini menjadi dominan saat kondisi Jaggadal mulai menurun dan Bimal harus memperbaikinya sendiri. Mulai dari adegan Bimal bercakap-cakap dengan si Montir diiringi bunyi mesin di latar belakang, hingga adegan reparasi mobil itu sendiri. Mesin-mesin Jaggadal direkam dari dekat sekali, dilepas satu per satu hingga bagian dalamnya dapat terlihat, dan diutak-atik oleh Bimal. Jaggadal pun akhirnya kembali hidup, dan kehidupan tersebut ditandai oleh deru mesin yang begitu familiar bagi warga-warga sekitar pangkalan taksi. Begitu juga dengan adegan mogoknya Jaggadal untuk yang terakhir kali, saat mobil itu menaiki tanjakan sambil membawa muatan batu-batu besar. Kematiannya ditandai dengan musik latar dinamis dan pergantian gambar dari tampak luar Jaggadal, kemudian menampilkan bagian-bagian dalam mesinnya yang mendadak berhenti berputar, berasap, berhenti menyembur, dan kapnya membanting tertutup. Setelah itu, suara mesin berhenti, mobil mundur perlahan-lahan tanpa suara, sebelum suara mesin mati di ujungnya.

Pembentukan estetika mesin dalam filem ini menciptakan intensitas dramatik seputar hidup-mati Jaggadal, menumbuhkan empati penonton terhadap sebuah mobil. Maka, di adegan terakhir saat Jaggadal dibongkar dan diangkut sebagai besi tua, suara-suara besi yang dipukul dan dicopoti terdengar lantang dan penuh kekerasan, nyaris tidak manusiawi bagi penonton yang telah memiliki empati terhadap si mobil. Di saat-saat terakhir, filem ini dengan lihai membingkai kepergian Jaggadal dengan penuh hormat; bunyi keriat-keriut yang mengiringi gerobak yang mengangkut Jaggadal. Mobil itu berlalu di tikungan, menyisakan debu, sementara kamera bergerak menangkap simbol salib di pemakaman belakang rumah Bimal.

Mengungkap Mesin dalam India Pascakolonial

Di salah satu adegan, Sultan sempat menanyakan asal-usul Jaggadal kepada Bimal. Ia juga menanyakan asal-usul Bimal sendiri, yang kemudian tidak dijawab. Adegan tersebut dilanjutkan oleh montase transisi yang menggambarkan lanskap pabrik, lengkap dengan tanah lapang dan cerobong asap di kejauhan. Tampak kereta gantung yang berfungsi menjadi transportasi bagi bahan baku yang hendak dipindahkan. Adegan tersebut terasa ganjil diselipkan sebagai transisi, di antara transisi-transisi lainnya yang selalu menampilkan pemandangan alam, atau menampilkan Jaggadal berlalu di jalanan tandus. Namun, adegan ini bisa ditelisik lebih lanjut sebagai upaya Ghatak untuk mengaitkan relasi Bimal dan Jaggadal kepada relasi manusia dan mesin. Asal-usul Jaggadal si mobil butut adalah masuknya mesin-mesin ke India yang diawali dengan mesin-mesin industri dan transportasi.

Proses industrialisasi di India yang berawal di masa kolonial merupakan konsekuensi dari monopoli perdagangan dan pemerintahan kolonial. Industrialisasi ini ditentang oleh Mahatma Gandhi, mengutip salah satu tulisannya di harian Young India, 13 November 1924: “Yang saya tentang adalah obsesi terhadap mesin, bukan mesin itu sendiri. Obsesi terhadap yang mereka sebut ‘uang penghematan tenaga kerja.’ Orang-orang menghemat tenaga kerja hingga ribuan orang dipecat dan dibiarkan mati kelaparan di jalan. Saya ingin menghemat waktu dan tenaga, bukan untuk segelintir manusia saja, namun untuk seluruh manusia.”1

Dalam catatan Ghatak mengenai Ajantrik dalam buku Cinema and I, ia mengakui bahwa perasaan antagonisme terhadap mesin ini telah lama tertanam dalam psike bangsa India, namun semangat ini tidak konsisten dengan apa yang ada di kenyataan. “Dengan teknologi yang baru kami miliki, kami masih belum punya cara untuk mengintegrasikan masa depan ke dalam warisan kami. Yang harus kami hadapi saat ini adalah integrasi emosional di era mekanik.”2

Ini menjadi catatan bahwa proses industrialisasi tidak universal, sangat terkait dengan lokalitas dan budaya masing-masing wilayah. Aspek emosional terhadap mesin kemudian ditelisik Ghatak melalui relasi Bimal dan Jaggadal, yang bertolak belakang dengan relasi supir-supir taksi lain dengan mobil mereka. Estetika mesin yang dibahas di bagian sebelumnya pun menjadi kunci bagi relasi emosional ini, di mana teknik pembuatan filem dapat menumbuhkan relasi emosional tersebut. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana menavigasikan relasi manusia dengan mesin dari sudut pandang India?

Dalam beberapa adegan, Jaggadal kerap kali dijukstaposisikan secara unik dengan lingkungan di sekitarnya. Dalam adegan-adegan perjalanan, ia digambarkan menyisir pemandangan alam: padang rumput, pinggir sungai, maupun jalanan tanah yang ditumbuhi pepohonan di sisi-sisinya. Sebongkah mesin asing yang semestinya tidak berada di sana. Namun, bisa jadi kita para penonton telah memaklumi pemandangan tersebut sebagai sesuatu yang kita lihat sehari-hari. Di beberapa menit pertama di awal filem, Bimal harus berhenti mengendarai mobilnya, menunggu sapi-sapi menyeberang. Ini jadi menarik, mengingat sapi dianggap hewan yang suci oleh umat Hindu. Jukstaposisi lain antara Jaggadal dengan spiritualitas adalah saat Bimal mampir ke kuil sebentar. Di pintu kuil, ia ditawari sebuah patung dewa kecil oleh penjual patung. Saat ia kembali ke halaman kuil, ia mendapati Jaggadal sedang dilempari lumpur oleh anak-anak kecil yang sedang bermain.

Perjumpaan tersebut berbeda dengan adegan perjumpaan Bimal dengan suku Oraon yang sedang melakukan ritual mereka. Suku ini hidup di pedalaman Bengali Barat, menganut kepercayaan Sarnaisme yang memuja alam semesta, dan hidup dari hasil pertanian. Ghatak pernah membuat dokumenter tentang suku Oraon, dan baginya kepercayaan mereka memiliki semangat yang serupa dengan keterikatan Bimal pada Jaggadal.3 Dalam filem, warga suku Oraon tampak terbuka dalam menerima kedatangan Bimal, hingga kemudian membantunya mendorong Jaggadal kembali ke jalan raya. Relasi ini diciptakan melalui jukstaposisi shot: antara klakson Jaggadal dan terompet tradisional; dan antara gerobak kayu di sudut ruangan dengan adegan Jaggadal sedang didorong melintasi jembatan. Pada sekuens yang kedua, sebuah kereta melintas di bawah jembatan tersebut. Seorang gadis suku Oraon sedang duduk di bagian belakang mobil menghadap ke jalan, seperti sedang duduk di gerobak. Sementara, kedua pria yang ikut mendorong mobil Jaggadal hanya menumpang sampai stasiun, karena mereka hendak bekerja untuk perkebunan di Bhutan dan Assam (wilayah timur laut India).

Melalui kontras antara sikap anak-anak di kuil dan masyarakat suku Oraon, Ghatak menghadirkan gambaran laku masyarakat saat berinteraksi dengan unsur kebudayaan modern. Latar sejarah kebudayaan dihadirkan sebagai pengetahuan yang menubuh pada masyarakat India, namun di sisi lain, masyarakat turut berinteraksi dengan pengaruh-pengaruh modern sehingga kebudayaan di suatu masa akan selalu berevolusi menjadi sesuatu yang baru. Dalam kedua adegan, terjadi benturan antara budaya animisme dengan “animisme baru”, yakni kepercayaan akan adanya roh dalam mesin, yang tumbuh menjadi sebentuk fetisisme komoditas. Keduanya dilatari oleh semangat yang sama, yakni hasrat emosional terhadap objek yang disakralkan. Namun, kultur tersebut bercampur dengan logika modern yang menciptakan batasan “waras” dan “gila”, menciptakan garis pemisah antara masyarakat dengan Bimal. Dalam masyarakat suku Oraon, batasan tersebut lebih luwes terhadap Bimal. Terjadi interaksi budaya yang menarik ketika si gadis memperlakukan mobil Bimal seperti gerobak, di mana teknologi modern diperlakukan dengan cara yang lokal. Migrasi kerja kedua pria lainnya juga dapat dilihat sebagai pertemuan antara alam sebagai cara hidup dan agraria sebagai industri.

Nuansa dalam filem ini menjadi hidup saat Ghatak menggunakan lensanya untuk bersikap terbuka terhadap keberagaman dalam interaksi-interaksi yang ada. Relasi manusia dengan modernitas dijabarkan secara puitik sebagai jalinan yang kompleks: ia tidak bisa ditolak mentah-mentah maupun ditelan bulat-bulat. Obsesi Bimal terhadap Jaggadal memang ditampilkan secara komedik dalam filem ini, namun posisi Bimal bukan untuk ditertawakan. Bimal memandang Jaggadal sebagai sesama subjek, dan bahkan estetika mesin yang diciptakan filem ini pun mengarahkan penonton untuk memandang Jaggadal secara empatik. Hal ini berkebalikan dengan kultur industri modern yang memandang relasi manusia-mesin sebagai subjek-objek. Filem ini menunjukkan kritiknya kepada kultur tersebut melalui para pengemudi taksi di sekitar Bimal yang begitu mudah mengganti mobilnya dengan yang baru. Sikap konsumtif ini ditumbuhkan oleh relasi subjek-objek yang tidak lagi memandang nilai objek melalui fungsinya, melainkan nilai ekonomi dan nilai gengsi yang dimilikinya.

Di sisi lain, ketergantungan Bimal pada Jaggadal juga digambarkan sebagai peristiwa menyedihkan, yang rupanya tak lepas juga dari perangkap konsumerisme. Saat Bimal bangkrut, bahkan harus berpuasa untuk mengongkosi reparasi Jaggadal, ketergantungan ini telah sampai pada tahap di mana mesin justru mengeksploitasi manusia. Relasi eksploitatif ini bukan sesuatu yang serta-merta muncul dengan kehadiran mesin, namun juga hadir sepanjang sejarah masyarakat India dalam sistem religi maupun masyarakat yang berkasta.

Melalui filem ini, Ghatak menjabarkan studi antropologisnya terkait perjumpaan masyarakat India dengan modernisme; bagaimana dialektika terjadi antara kedua sisi, berakar dan saling menyilang, menjadi suatu jalinan kompleks yang saling mempengaruhi, dan selalu memperbarui dirinya. Di adegan terakhir, Bimal terkejut karena mendengar suara Jaggadal. Ternyata, sumber suara tersebut berasal dari klakson bekas Jaggadal yang dimainkan oleh anak kecil. “Kelahiran kembali” Jaggadal justru menjadi titik penyingkapan realitas bagi Bimal, bahwa ketergantungannya terhadap Jaggadal sungguh kekanakan. Kelahiran kembali berarti merefleksikan masa lalu, dan memperoleh pengertian baru dari sudut pandang kini. Barangkali, upaya-upaya reflektif ini dapat menelurkan siasat baru untuk menghadapi tantangan zaman, sebagaimana saya yang sedang menoleh 62 tahun ke belakang untuk menulis esai ini. *

Endnotes[+]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search