In Artikel

Edvard Munch, karya Peter Watkins, awalnya diniatkan sebagai karya miniseri untuk televisi. Jaringan televisi pemerintah Norwegia (NRK) dan Swedia (SVT) mengomisikan pembuatan miniseri ini di tahun 1974. Masuknya filem ini ke dalam program penayangan di Festival Cannes 1976 dan rilis bioskop di Amerika Serikat di tahun yang sama telah menandai Edvard Munch sebagai sebuah karya sinema. Berbagai jalur distribusi itu menjadikan Edvard Munch memiliki beberapa versi. Bermacam versi filem ini bisa dilihat dari durasinya. Versi rilis layar lebar berdurasi 174 menit, sementara versi miniserinya, yang dibagi dalam tiga bagian, berdurasi 210 menit. Versi yang saya tonton adalah versi DVD yang dikeluarkan distributor Eureka! The Masters of Cinema Series, yang menyatakan dirinya sebagai karya sinema, ‘extended version’ dan berdurasi 221 menit, yang saya unduh secara tidak resmi melalui jalur distribusi peer-to-peer ilegal.

Pendekatan Edvard Munch terhadap kebenaran, baik itu yang faktual juga sinematik, perlu kita beri perhatian karena menurut saya strategi estetika yang digunakannya berbeda dengan filem-filem ‘biopik seniman’ yang sudah-sudah, terutama yang memang memiliki orientasi sinema populer. Saya ambil contoh Loving Vincent (Dorota Kobiela, Hugh Welchman, 2017). Vincent Van Gogh adalah seniman yang mungkin kehidupannya paling banyak diadaptasi dalam bentuk gambar bergerak, entah filem ataupun serial TV. Banyak dari adaptasi ini, sayangnya, hanyalah mengulang-ulang kisah ‘seniman nelangsa’ yang melarat dan tidak diakui publik saat hidupnya hingga ia berakhir dengan bunuh diri, lengkap dengan tambahan bumbu kegetiran bahwa karyanya saat ini dianggap mahakarya seni rupa Barat. Loving Vincent mengambil jalur serupa dengan menggunakan metode animasi rotoscope yang dikerjakan ratusan pekerja lukis untuk mereplika estetika Vincent Van Gogh ke dalam medium gambar bergerak, upaya yang menurut saya lebih cocok disebut trik jualan ketimbang eksplorasi estetik. Sangat berbeda dengan jalur yang diambil Maurice Pialat di filem Van Gogh (1991) yang menolak sensasionalitas peristiwa dan lebih memilih untuk menyoroti keadaan psikologis melalui keseharian di hari-hari akhirnya.

Edvard Munch (Peter Watkins, 1974).

Karya sebagai Dokumentasi Psikologis

Edvard Munch menceritakan kehidupan Edvard Munch dalam rentang waktu yang spesifik, mulai dari awal karirnya sebagai pelukis di Kristiania,Oslo, hingga menjadi pelukis mapan. Obsesi Peter Watkins tidak hanya memfilemkan Edvard Munch secara biografis dan kekayaannya. Lebih jauh lagi, Peter Watkins berupaya merangkum seluruh dinamika sosio-kultural yang terjadi di Eropa, khususnya di Norwegia, mulai dari pertengahan atau akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 melalui perkembangan estetika seni rupa dan kesusastraan. Edvard Munch berada di tengah-tengah hiruk-pikuk ini dan perkembangan estetika Munch dipengaruhi pula oleh gejolak kultural yang terjadi saat itu. Pertanyaan mengapa pada saat itu naturalisme menjadi kiblat wacana seni rupa Eropa menjadi persoalan pertama yang dihadirkan Peter Watkins.Pertanyaan itu langsung segera berkorespondensi dengan gambaran kondisi sosial yang timpang akibat dari revolusi industri dan respons seniman dalam melihat ketimpangan itu.

Landscape. Maridalen by Oslo, 1881.

Sebelum menetapkan hati menjadi seniman, Edvard Munch belajar di Oslo Engineering College untuk menjadi insinyur mesin. Namun ia keluar setelah setahun belajar dan lanjut di Royal School of Art and Design, di bawah asuhan langsung seniman naturalisme ‘babon’ Norwegia saat itu, Christian Krohg. Beberapa karya awal Munch memang menunjukkan pengaruh naturalisme, baik subjek maupun estetikanya seperti di Landscape. Maridalen by Oslo dan Old Aker Church. Gelombang modernisme seni rupa menjelang akhir abad ke-20 di Eropa turut memengaruhi skena seni Norwegia dan Munch berkontak langsung dengan karya-karya dari gerakan tersebut ketika berkunjung ke Paris, yang lalu memengaruhi pilihan estetikanya kemudian.

Edvard Munch (Peter Watkins, 1974).

Konflik antara Munch dan publik saat itu adalah konflik estetika, yang diawali dengan penolakan Munch terhadap estetika naturalisme. Filem ini tidak secara gamblang menjawab alasan penolakan tersebut. Namun, dari sepanjang filem berjalan, kita bisa melihat bahwa visi artistik yang ingin dicapai oleh Munch tidak bisa digapai oleh naturalisme; “I do not believe in the art which is not the compulsive result of Man’s urge to open his heart.”1 Yang artinya bahwa ekspresi terdalam dirilah yang bertanggung jawab atas lahirnya sebuah karya, dan karya Munch adalah upaya dalam menyuarakan kebatinannya. Hal tersebut jelas berbeda dengan mazhab naturalisme yang mencari kebenaran objektif dan terkadang menggunakan pendekatan saintifik dalam melihat dan melukiskan suatu fenomena sedangkan seniman adalah mediator kebenaran tersebut, bukan sumber kebenaran. Di buku hariannya, Munch juga menuliskan “In my art I attempt to explain life and its meaning to myself.”2 Yang berarti karya-karyanya adalah suara kalbu dari krisis eksistensi yang dia hadapi dan alami, sesuatu yang lebih dari sekedar representasi figuratif terhadap suatu peristiwa atau subjek.

Peter Watkins memperlihatkan transisi perubahan ideologi ini ketika dia sedang melukis The Sick Child. Pengalaman sekarat saat masih kecil juga saat melihat kakak perempuannya Johanne Sophie yang meninggal karena tuberkulosis ketika umur 15 tahun menjadi dorongan kuat baginya untuk menyelesaikan karya ini. Awalnya, Munch menggambar seluruh ornamen, dekorasi latar dengan detail, sesuai dengan apa yang terlihat oleh mata. Namun ketika menjelang selesai, dia timpa kembali detail itu dengan sapuan warna karena menurutnya, detail objek tersebut mendistraksi rasa kehilangan dan perjumpaan akan kematian. Dia ingin lukisan ini dengan langsung menghunus mata pemirsa dengan rasa ketidakberdayaan yang pernah dia alami sebelumnya. Dengan demikian, visi artistiknya tidak lagi memindahkan objektivitas yang diterima indera ke atas kanvas, namun lebih pada interpretasi pengalaman diri yang subjektif, ekspresif dan meluap-luap yang dituangkan melalui medium kuas dan cat minyak.

Lukisan The Sick Child sendiri menjadi salah satu tema yang paling sering diangkat ulang oleh Edvard Munch. Versi pertama dilukis tahun 1885-1886 dan yang terakhir, versi ke enam di tahun 1927.

Edvard Munch (Peter Watkins, 1974).
The Sick Child, 1885-1886.

Bagaimana Peter Watkins Memfilemkan Subjektivitas yang sangat Batiniah ini ke dalam Sinema dan Membahasakannya?

Peter Watkins mengandalkan tiga komponen untuk menghadirkan ‘efek’ subjektivitas dalam filem Edvard Munch; suntingan, penggunaan narator dan ‘kehadiran kamera’ sebagai bagian dari subjek yang tidak kasat mata.

Suntingan dalam Edvard Munch mungkin lebih mudah dipahami bila kita menggunakan teori fabula dan syuzhet. Teori yang berakar dari gerakan Formalisme Rusia. Di sini, saya merujuk pada terminologi dari Viktor Shklovsky. Secara umum, fabula dan syuzhet dapat diartikan sebagai cerita dan alur. Menurut Shklovsky, fabula, cerita, adalah bahan dasar dari sebuah kisah, sementara syuzhet, alur, adalah cara, susunan peristiwa dari cerita tersebut yang mana bisa kita dapatkan berbagai unsur-unsur sastrawi di dalamnya.3 Dalam konteks tulisan ini, fabula dan syuzet saya gunakan untuk memahami keberadaan dua jenis waktu, yang objektif juga subjektif, yang digunakan Peter Watkins di Edvard Munch.

Edvard Munch (Peter Watkins, 1974).

Garis besar cerita, atau fabula Edvard Munch cukup jelas; memperlihatkan kronologi perjalanan hidup Munch dari awal karirnya di Norwegia hingga menjadi wacana besar seni rupa di daratan Eropa. Namun, syuzhet dari kronologi ini yang menarik untuk dibahas. Fabula memberi posisi cerita biografis yang berjarak, jelas dan pasti, sementara syuzhet lebih kepada eksplorasi waktu yang berbaur dengan ingatan juga psyche Munch. Sehingga, penonton dipaksa untuk mengalami waktu yang sifatnya personal dan intim. Waktu yang seperti ini bukanlah belenggu yang terus bergerak maju, tapi psikologikal; yang distorsif, larut dengan sentimen dan sering kali berlalu mundur hingga sangat jauh ketika ia terpantik oleh suatu subjek atau peristiwa tertentu. Kilas balik waktu berselang begitu cepat dan beragam seakan terkesan acak, namun sebenarnya memiliki fungsi jelas untuk menghadirkan posisi subjektivitas dari diri Munch. Metode ini memang bukanlah yang paling radikal, bahkan di tahun 1974 sekali pun. Namun dengan cara inilah masa lalu yang pernah dialami Munch seakan terlihat selalu aktual dan mengkristal di karya-karyanya.

Edvard Munch (Peter Watkins, 1974).

Waktu yang terfragmen itu kemudian diikat oleh suara narator yang memiliki peran berbeda dengan narator pada umumnya. Narator membicarakan beberapa hal; di beberapa adegan, narator membacakan beberapa keping kalimat dari buku harian Munch untuk mendefinisikan apa yang terjadi dalam satu peristiwa tertentu, seperti pertemuan dan romansanya dengan Ny. Heiberg dan proses ketika menggambar Madonna yang diilhami dari seorang model lukisan bernama Dagny Juel-Przybyszewska. Namun di beberapa bagian, narator bertindak berbeda, seperti saat menjelaskan nasib beberapa anggota keluarga Munch yang mengalami penyakit mental dan mati muda, nasib anggota kolektif seniman dan sastrawan bernama Kristiania Bohemians yang mati tragis (Hans Jæger, sastrawan dedengkot utama Kristiania Bohemians memang menyerukan bunuh diri sebagai bentuk tertinggi dari kebebasan). Di beberapa segmen, narator juga menyebutkan kejadian di tahun tersebut yang seakan tidak ada kaitannya dengan Munch, seperti H.G. Wells yang menulis Time Machine dan penemuan psikoanalisis oleh Sigmund Freud di tahun 1895, penemuan senapan mesin oleh Sir Hiram Stevens Maxim dan Pearl Habour sebagai basis militer Amerika Serikat di tahun 1884, juga kelahiran Adolf Hitler di tahun 1889. Informasi tersebut berlalu begitu saja tanpa ada penjelasan lanjut. Namun menurut saya, ini adalah upaya Peter Watkins dalam menghadirkan kontinuitas peristiwa yang tidak terbingkai di filem. Edvard Munch adalah satu dari beberapa seniman modernis yang dikutuk oleh Nazi Jerman karena karyanya dianggap sebagai representasi degradasi peradaban manusia. Ketika Nazi Jerman menginvasi Norwegia, banyak karya Munch yang diambil paksa oleh Nazi Jerman dan Munch sendiri hidup ketakutan dalam pengejaran kala itu.

Gaya sinema Peter Watkins selalu menghadirkan kamera sebagai subjek yang juga turut berinteraksi dengan subjek yang terbingkai. Dalam Edvard Munch, interaksi ini terbagi dalam dua cara; pertama interaksi langsung, seperti ketika subjek berbicara tepat mengarah ke kamera dan interaksi melalui tatapan. Interaksi langsung memosisikan kamera sebagai lawan bicara dan seperti sedang berdialog. Sementara interaksi melalui tatapan hadir ketika subjek berada dalam suatu kondisi, seperti saat berinteraksi dengan subjek lain, lalu serta-merta mengarahkan matanya ke arah lensa seakan terganggu oleh kehadiran kamera itu; kamera sebagai pihak ketiga. Posisi kamera ketika interaksi langsung umumnya tetap, tenang dan dekat. Sementara interaksi melalui tatapan posisi kamera seperti mengintip; jauh, berjarak dan spontan. Mengarah ke siapakah tatapan tersebut? Apakah mengarah ke kamera sebagai subjek rekam, atau mengarah ke kita, penonton, seperti tatapan yang dilakukan oleh Anna Karina di Pierrot le Fou (Jean Luc Godard, 1965)?

Interaksi langsung di Edvard Munch (Peter Watkins, 1974).
Interaksi langsung di Edvard Munch (Peter Watkins, 1974).

Saya sendiri lebih beranggapan bahwa tatapan ini bukan hanya sekedar upaya estrangement (pengasingan), sehingga tatapan itu bukanlah tatapan yang hanya berguna untuk ‘menggoncang’ penonton dari kursi dan menyadarkannya dari keberadaan medium. Tatapan ini beroperasi untuk menghadirkan kamera sebagai bagian dari subjek organik yang tidak terlihat dalam filem, selain subjek yang berada di luar tembok keempat, yaitu penonton, seperti yang coba dihancurkan oleh tatapan Anna Karina. Mengapa demikian? Karena ada keaktoran yang juga dilakukan oleh kamera Peter Watkins. Tatapan yang berulang, juga tatapan yang saling berdialog mempertegas fungsi keaktoran itu. Kamera tidaklah hanya berfungsi sebagai aparatus perekaman, namun juga sebagai subjek hidup yang familiar, yang interaktif, yang berada di sekitar subjek yang terekam.

***

Tegangan antara subjektivitas dan objektivitas, yang muncul dalam diri dan karya Edvard Munch juga terefleksikan di Edvard Munch. Filem ini adalah salah satu contoh baik dalam melihat bagaimana pembuat filem menegaskan posisi estetikanya yang sejalan dengan subjek yang dibicarakan. Saya sendiri beranggapan, melalui filem ini, Peter Watkins berusaha mengatakan bahwa mustahil melepaskan karya seniman dari kultur dan milieu tempat dia hidup, seekstrem apapun subjektivitas yang hadir di karyanya. ***

Endnotes[+]

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search