In Wawancara

Jurnal Footage bekerjasama dengan Majalah online Indian Auteur (www.indianauteur.com) yang berbasis di Delhi, untuk mendistribusikan artikel terjemahan ber-Bahasa Indonesia. Indian Auteur juga akan mendistribusikan berbagai artikel dalam terjemahan berbahasa Inggris yang ada dalam Jurnal Footage. Pertengahan Agustus lalu, kami telah mempublikasikan perbincangan Jean-luc Godard dengan Fernando Solanas dalam Bahasa Indonesia. Kali ini, kami mempublikasikan diskusi Prabir Sen dengan Ritwik Ghatak—seorang maestro filem asal India yang mungkin masih asing di telinga pembaca Indonesia. Wawancara dipilih karena “seniman kiri” ini bicara banyak hal tentang filem dan relasinya dengan persoalan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan di India serta kawasan Bengali. Berikut hasil terjemahan Mirza Jaka Suryana, penulis dan editor Jurnal Footage.

Diskusi panjang penuh wawasan dengan Prabir Sen ini adalah satu di antara wawancara-wawancara akhir Ritwik. Baru-baru ini aku menemukannya dalam Ritwik Kumar Ghatak (disunting oleh Atanu Pal, Banishilpa, 1988 –sekumpulan esai dan wawancara Bangla). Aku belum pernah melihat versi Inggris wawancara ini baik cetak maupun online. Jika siapapun pernah melihat diskusi ini dalam bahasa Inggris dan/atau memiliki pertimbangan hak cipta, silakan kirim email kepada kami. Dan artikel ini akan dihapus. Hampir mustahil untuk menerjemahkan tragedi, hasrat dan rasa humor Ritwik, dan aku sungguh tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan. Untuk memperburuk masalah, sering sepanjang wawancara, ia bergerak mondar-mandir ke dialek bangal (Bangladeshi) dan hal itu mustahil untuk diceritakan dalam bahasa Inggris. Juga aku tidak mengubah kalimat dan fragmen di dalam kuotasi seolah-olah semua itu dalam wawancara asli bahasa Inggris. Dengan seluruh penyangkalan atas klaim pihak lain, mari kita mulai.

***

jukti2_lowres

Bagian 1: Filem-filemnya

Kenapa kau membuat filem?
kenapa filem? Sebab aku sungguh gila. Aku tidak bisa hidup tanpa membuat filem. Tidaklah kita harus membuat sesuatu? Jadi aku membuat filem-filem ini. Tidak ada alasan lain.

Saat kau bersiap membuat filem dan memilih subyek, apa yang kau cari dan lihat?
Rakyat. Aku melihat pada perjuangan dan kesengsaraan hidup kekinian. Dan mencoba untuk mengatakan itu “semampuku”. Satu-satunya perhatianku adalah laki-laki dan perempuan di negaraku. Aku tidak punya hal lain. Tidak soal apakah kompatriotku menerima atau menolakku. Satu-satunya subyekku adalah laki-laki dan perempuan. Apa lagi yang ku punya?

Apakah yang harus menjadi tujuan utama dalam membuat filem?
Tujuan utama membuat filem adalah berbuat baik pada umat manusia. Jika kau tidak berbuat baik bagi kemanusiaan, tidak ada seni yang menjadi karya seni sejati. Rabindranath mengatakan bahwa seni harus menjunjung tinggi kebenaran dan kedua pada keindahan (Dipanjan: merujuk pada Satyam dan Sundaram). Kebenaran ini datang dari persepsi dan meditasi sang seniman itu sendiri. Sebab kebenaran tidak pernah kekal dan tidak berubah dan sebab dunia ini selalu subyektif dan berubah, setiap orang harus sampai pada kebenaran personal dengan keseluruhan kedalaman pemikiran dan pemahaman hidup mereka. Orang harus menerima kebenaran itu hanya setelah benar-benar mewujudkannya. Seni bukanlah sesuatu yang dangkal.

Apa yang lebih penting bagimu dalam membuat filem, kisah atau kebaruan? Nilai sastrawi atau proses transformasi ke sebuah bentuk seni berbeda?
Aku tidak melihat perbedaan apapun antara keduanya. Semua soal perbedaan cara ungkap kehidupan manusia. Medium apa yang kupilih bukan soal sama sekali. Kecintaan terhadap umat manusia merupakan satu-satunya hal penting. Remeh-temeh keseharian, kerja keras tanpa otak—inikah kehidupan? Jika kau harus mencinta, kau harus memberi segalanya; cintai dengan seluruh hatimu. Aku tidak tahu jika aku sudah mampu melakukan itu.

Adakah hubungan kuat dan mendalam antara Meghe Dhaka Tara, Subarnarekha dan Komol Gandhar? Jika ada, bisa kau tunjukkan?
Jelas ada hubungan mengakar. “Meghe Dhaka Tara sungguh seseorang yang…bagian alam bawah sadarku. Komol Gandhar bagian kesadaranku.” Perkawinanku dengan perempuan ini sangat terikat erat padanya. “Dan Subarnarekha adalah karya yang sangat serius.” Bukan cuma kerja keras fisik, aku harus kerja keras secara mental untuk membuatnya mengalir. Aku tidak tahu apakah aku sukses, tapi, nyatanya aku bekerja keras.

Tapi hubungannya?
Hanya ada hubungan antara ketiganya. Dan itu adalah unifikasi kedua Bengal. Aku ingin meyatukan kedua Bengal. Aku mencintai keduanya…itulah yang aku katakan dan itulah yang akan kukatakan sampai akhir, sampai aku mati. Aku tidak peduli (mengenai segala hal)…aku tidak peduli soal uang. “Aku bisa memeranginya. Ritwik Ghatak bisa melakukannya di sini dan Dhaka.” Siapapun yang mau menendang pantatku, biarkan saja. tidak tidak peduli.

Di kebanyakan filemmu, kita bisa menerima kesakitan dan penderitaan yang muncul dari pembagian Bengal. Sudahkah partisi cukup penting dalam menentukan negara kita sekarang?
Jelas. Dan aku selalu sangat melawan itu. Bahkan dalam filem terakhirku (Dipanjan: Jukti, Takko Aar Gappo) aku rasa sudah menyerangnya. Aku bukanlah bagian dari setiap diskusi tentang unifikasi politik. Sebab aku tidak memahaminya dan aku tidak membutuhkannya. Tapi unifikasi kultural (aku sangat bergairah mengenainya)—sudah kukerjakan di kedua Bengal. Dan tidak ada yang melakukannya lebih ketimbang aku. Tidak ada seorang pun di sini tahu soal Bangladesh ketimbang aku. Cara yang tinggal dan bekerja di sana dan apa yang sudah kusaksikan (Dipanjan: merujuk pada pengambilan gambar Titas Ekti Nadir Naam di Bangladesh) di antara bocah lelaki dan perempuan Bengali itu—terutama para gadis—di Bangladesh, tak seorang pun di sini bisa menandingi atau menyaksikan hal tersebut. Mungkin aku akan pergi lagi ke sana setelah beberapa hari (Dipanjan: ia tidak pernah melakukannya). Tapi itu bukanlah soal. Soalnya—dan aku sudah mengatakannya dalam filem-filemku—apa yang membangkitkan amarah antara kedua Bengal adalah “pengkhianatan besar.” Hanya ada satu Bengal. Jika kita mencoba, kita bisa bersatu kembali sekarang atas dasar cinta dan kasih yang selalu ada di sana. “Dan hal itu sudah dipartisi seluruhnya dalam cara gila.” Hal ini merupakan sesuatu yang sangat artifisial dan tidak ada seorang pun yang punya hak untuk memaafkannya. Sekarang sejarah duapuluh lima atau duapuluh tujuh tahun telah berlalu. Sudah dilakukan, jadi kau tidak bisa menghindarinya. Tapi persoalannya, orang Bengali secara kultural tidak bisa dibagi. Satu budaya.

Aku ingat suatu saat kau pernah bilang, di gambar terakhir Subarnarekha, ketika paman (mama) Binu bicara pada Binu tentang sebuah dunia baru, ia berbohong. Pada konteks itu, kau menyebut bahwa kita tidak bisa menyarankan solusi-solusi baru saat kita selesai. Jika kau benar percaya itu, apa kau membuat filem hanya untuk kesenanganmu sendiri? Namun saat  kami melihat filem-filemmu, kami merasa sebaliknya.
Betul, betul, keduanya benar. Nyatanya adalah aku senang setelah melihat filem-filemku. Terpisah dari kesenangan, tidak akan ada seni. Tapi di saat sama kau tidak bisa melupakan tentang berbuat baik pada manusia. Bagaimana bisa kau bekerja menghasilkan karya tanpa kecintaan pada mahluk manusia? Kau harus cinta gila jika mau mencipta. Ya, itulah sisi lainnya. Tidak ada pertentangan antara keduanya. Kenapa harus aku mencintaimu saat menciptakan seni? Aku tidak melihat kontradiksi inheren.

Dalam konteks sejarah filem India, semua filemmu berdiri sebagai pengecualian. Namun meski di antara mereka, Jukti, Takko Aar Gappo berdiri terpisah. Apa yang kau pikirkan?
Aku tidak punya pendapat. Hal ini sungguh terserah orang lain. Aku ingin membuat filem dan aku membuatnya. Sekarang kaulah yang tentukan apakah semua bernilai. Bagaimana bisa aku tahu? Jangan pernah tanyakan (Dipanjan: dalam paragraf terakhir tinjauannya mengenai Ajantrik, Rosenbaum menyentuh tentang intensionalitas artistik) seorang seniman tentang karyanya sebab “ia selalu bias.” Tidak ada gunanya menanyakan hal itu.  Suka atau tidak, reaksinya milikmu sendiri. Beberapa orang akan kesal, beberapa akan senang. Kenapa harus aku khawatirkan?

Tapi kau telah berubah bentuk dalam filem ini…
Setiap karya seni itu berbeda. Bentuknya hadir melalui tema, filosofi dan refleksinya. Aku memilih bentuk yang aku rasa benar bagi temanya. Jadi tidak ada gunanya menanyakan perubahan bentuk. Kandungannya menentukan itu.

Apakah tidak terhindarkan bagimu untuk menggambarkan peran protagonis?
Ya, kupikir demikian. Sebab aku tidak merasa melihat siapapun di Kalkuta yang bisa mengungkapkan pemikiran dan kata yang aku coba kirimkan melalui tokoh itu. Aku tahu banyak setiap orang…maksudku mereka yang berakting. Tidak ada dari mereka yang bisa melakukannya. Serupa itu, kecuali Monidi (Dipanjan: Tripti Mitra),  tidak ada yang bisa melakukan peran istri. Ada banyak aktris, tapi itulah kenyataannya. Keduanya adalah satu-satunya peran serius—Monidi dan aku—dan jika kau bukan bekas komunis (Dipanjan: purono-tua/bekas?), dan jika kau tidak sampai pada perjuangan itu, mustahil bagimu melakukan peran tersebut. Kau bisa memaksa aktor-aktor itu berakting, tapi akan menjadi palsu. Aku berpikir soal Madhabi, tapi ia tidak bisa mengerti apa yang coba aku katakan. Satu ekspresi Monidi, di sisi lain, akan selalu melakukan tipuan itu. Hal ini disebabkan kami bergabung dengan partai komunis bersama dan kami berdua juga meninggalkannya sekitar waktu yang sama. Dan kami berdua tahu jalur miskin yang kami ambil untuk mencapai kondisi menyedihkan di Bengal ini. Jadi, tidak, aku tidak merasa orang lain bisa melakukannya.

My Lenin. Kami tidak pernah mendapat kesempatan menontonnya, bukankah di sana ada cara?
Itu…ada banyak persoalan di situ. Semuanya tentang…baiklah…Morarji Desai. My Lenin diambil oleh badan sensor di sini dan kemudian aku membawanya ke Delhi. Ini terjadi sebelum Kongres terpecah. Jadi aku mempertunjukkan filem itu dan atase kultural Polandia lepas kendali. Ia sangat paham Bangla. Ia tergila-gila mengenainya dan segera merencanakan untuk mengirim filem itu ke Polandia, Cekoslowakia dan Rusia. Lalu aku tahu kalau Morarji Desai telah berkirim surat dan Indira berkata padaku “Ritwik, filem ini dicekal!” dan aku bilang “Omongkosong! Kau harus melakukan sesuatu! Menggelikan!” kemudian Haksar Sahib yang seperti figur ayah bagiku, membawanya ke Morarji. Lalu gadis ini—siapa namanya, ohya, Nandini, sekarang ia di Orissa—memanggilku dan berkata “Ritwik, apa yang bisa kulakukan? Jalan terus dan lakukan apa yang kau suka.” Haksar Sahib juga keluar dari kamarnya dan mulai berkata “Isi me koi garbar nehi hai, apa yang salah dengan ini?” kemudian filem itu mulai terjual di Rusia dan beberapa negara sosialis lain ingin membelinya. Dengan uang itu, aku bisa membeli makanan untuk keluargaku pada waktu yang lama. Tapi pada akhirnya Morarji sungguh mencekalnya. Begitulah, Haksar dan Nandini berhasil memberiku sekitar tiga puluh ribu rupee dan juga nama buruk. Tapi setidaknya aku bisa membeli minuman sekarang yang akan membuat kesal istriku. Begitulah. “Inilah bagian hidupku, tak bisa diubah.” Aku bakar sebagian uangnya dan aku kembali, begitulah, “terbang ke Kalkuta.” Untuk memberi beberapa  uang pada istriku dan untuk berkata padanya—sekarang setidaknya untuk satu bulan, jangan ganggu aku. “Semua ini bahaya pekerjaan.”

ghatak

Bagian 2: Filem-filemnya

Sudah mulai berpikir soal filem barumu?
Ya, aku sudah berpikir sedikit tentang subyeknya. Sekitar satu setengah tahu lalu—atau mungkin setahun, aku tak pasti, aku ada di rumahsakit waktu itu—aku membaca di suratkabar kalau ada seorang gadis bernama Bishnupriya di desa dekat Nabadwip. Sekelompok pemecah kereta yang baru-baru ini menjadi neo-Kongres—senjata laras panjang dll.—mulai mengejar gadis itu. Satu-satunya kesalahannya adalah putri seorang Brahmin miskin dan tidak punya cara meninggalkan desanya. Dan ia begitu cantik. Jadi para penjahat ini—“dianggap sebagai neo-Kongres”—mulai menggodanya. Akhirnya mereka mengejar si gadis sampai ke pojokan dekat rumahnya. Lalu si gadis berkata “oke, biarkan aku masuk ke dalam rumah dan memakai sari yang bagus” dan mencoba kabur lewat pintu belakang, tapi para penjahat itu merangkulnya, membawanya ke hutan “dan mereka menikmatinya”—kelimanya, bergantian. Sementara itu seorang wartawan dari suratkabar Satyajug yang juga dari desa itu sampai di situ. Mendengar kedatangannya, mereka menyiram minyak tanah ke tubuh si gadis dan akhirnya membunuhnya dengan membakar tubuhnya. Aku akan membuat filem soal kisah ini. Aku sudah meminta Lokesh Ghatak untuk menulis naskah. Hal ini adalah fakta dan sudah diterbitkan di suratkabar—Satyajug membuat cerita besar soal ini.

Akankah ada hubungan dengan Bishnupriya, sang tokoh historis?
Ya, pastinya. Istri pertama Sri Chaitanya adalah Lakshmipriya yang mati digigit ular. Lalu ia menikah dengan adik istrinya dan itu terjadi saat itu sudah menjadi Sri Chaitanya Deb. Dan sebagaimana kau tahu, ia tidak memilikikeserupaan apapun—tidak ada seorang pun yang dekat dengan posisinya di abad kelimabelas Bengal. Nama istri keduanya adalah Bishnupriya. “Dan sepertinya keberuntungan,” Bishnupriya lain dari desa yang sama dibunuh. Tidak soal desa mana yang akan kau kunjungi, kau bisa mendengar lagu rakyat—“Sachi Mata go, aami juge juge hoi janomo dukhini,” kau akan mendengar ini di desa manapun di Bengal. Akan ada banyak rujukan silang. Aku sudah memberimu sketsa singkat bagi Lokesh, tapi ia belum memiliki rinciannya. Kau tahu, Naba Nyay baru saja dilahirkan di Bengali dan Nabadwip penuh dengan cendikia gemilang. Bukan satu, tapi ratusan. Semuanya berpendidikan tinggi dan sarjana-sarjana cerdas. Mereka sering duduk di sungai dan lalu perdebatan dan diskusi akan langsung dimulai. Nimai Sannyasi adalah salah satu dari mereka. Smarta Raghu Mani adalah yang terakhir dan pandita smarto terbesar—ia mengerjakan karya terakhir tentang Smriti. Aku akan mempertentangkannya semuanya—dan menempatkan mereka berdampingan. Kami harus menulisnya dengan baik. Nyay, Naba Nyay—sebuah kontribusi besar, hanya dari Bengal. Dan ia akan menyentuh apapun yang sedang terjadi di India kekinian. Itu saja. tidak ada guna bicara soal ini lagi.

Pernahkah kau berpikir membuat filem dari kisah-kisah yang ditulis Bibhuti Bhusan Bandopadhay dan Manik Bandopadhay?
Aku sangat ingin memfilemkan Chihna (Dipanjan: cerita pendek Manik Bandopadhay). Hanya jika aku bisa mengumpulkan uang, sebab kau tahu kau perlu para pengusaha ini. Tidak ada yang ingat lagi Chihna, tak seorang pun. Aku juga ingin mengerjakan Putul Nacher Itikatha. Aku juga begitu ingin mengerjakan Aranyak karya Bibhuti Babu saat diterbitkan dalam periodik Prabasi, tapi orang lain sudah mengerjakannya. Dan Jatrabadal-nya. Sudah baca? Kisah luar biasa. Aku tak tahu apakah aku mampu mengerjakannya sebab para pengusaha ini penghubung dan mereka selalu menciptakan masalah. Mereka tidak akan pernah mengerti.

Rabindranath?
Aku sudah menyelesaikan naskah Chaturanga karya Rabi babu dan aku lalu bicara pada produser. Aku beruntung dan seseorang sepakat untuk membiayainya—“seorang besar di bisnis filem.” Bishnu Dey, penyair, menyelesaikan segala hal untukku sebab orang itu adalah murid Bishnu Dey—Hemen Ganguly. Tapi pada akhirnya aku tidak bisa mengerjakannya.aku sungguh suka Chaturanga. Hampir seluruh novel Rabi rabu cukup menyeramkan—maksudku sangat berpengaruh, begitu?—tapi di Chaturanga, ia begitu istimewa. Luar biasa. Hanya ada empat novel Bangla asli dan karya tersebut salah satunya. Tokoh-tokoh Jyatthamashai, Sribilas, Damini dalam Chaturanga itu tak dapat dipercaya. Jadi aku mulai menulis dan naskahnya sudah siap tapi mendadak Hemenbabu meninggal. Apa yang bisa kami perbuat?

Yang tiga lagi apa?
Maksudmu di Bangla? Putul Nacher Itikatha karya Manikbabu, Chaturanga karya Rabibabu, Rajsingha karya Bankim Chandra—semua ini novel besar sejati—sungguhan.

Yang keempat?
Oh, Ganadebata karya Tarashankarda –teman lain yang meninggal. Itu saja. tidak ada lagi novel di sastra Bangla. Yang lain semuanya sampah—penerbit masih menjualnya dan semuanya tampak baik, tapi sungguh sampah. Barang yang dibaca perempuan setelah mengirimkan suami-suami mereka bekerja atau ke pasar. Hanya sebelum tidur siang, mereka mengambil bantal dan novel-novel itu dan lalu lelap. Itulah yang kita tuliskan saat ini dan begitulah mereka cocoknya (tertawa) Aranyak tidak terlalu mencapai tingkat keempat novel ini. Terlalu banyak penyimpangan. Cara penulisannya tak diragukan bagu, tapi memiliki kelebihan emosi. Keempat karya itu tepat. Sempurna. Dari perspektif penulis, tidak ada yang di atas mereka.

Maukah kau bicara sedikit soal pengalamanmu membuat filem—kejadian yang kau suka dan benci?
Ada banyak kejadian dan insiden seperti itu. Tidak ada gunanya bicara soal itu. Jika kau bekerja, masalah-masalah itu akan selalu ada di sana. Apa yang harus kukatakan? Orang-orang yang bersamaku dan di sekitarku, mereka akan membicarakannya. Kata terakhirnya adalah—ringkasnya—betapapun, aku masih bertahan. Aku bertahan (teriak).

Bagian 3: Inspirasi

Dalam seni pembuatan filem, siapa yang mempengaruhi atau mengilhamimu? Dan bagaimana ilham atau pengaruh itu meretas jalan ke dalam karya senimu?
Bukan cuma aku, semua orang di dunia yang merupakan seniman sejati, yang sudah mengerjakan karya sejati di Bengal atau di tempat lain, semua orang yang namanya pernah kau dengar—setiap orang itu diilhami oleh satu pribadi dan namanya adalah Sergei Eisenstein. Kita tidak akan mengenal “f” dari pembuatan filem jika tidak ada Eisenstein. Ialah bapak kami. Bapak baptis. Saat kami muda, tulisan-tulisannya, tesis, dan filem-filemnya membuat kami gila. Dan semuanya langka tersedia ketika itu. Kami harus menyembunyikan dan mengimpor karya-karya itu sangat hati-hati. Eisenstein—dan kau bisa tanya juga Satyajit Ray, dan “ia akan mengakui kalau orang inilah bapak kami.” Darinya, kami belajar menyunting—editing adalah kunci pembuatan filem. Lalu ada Pudovkin. Ia pernah ke sini pada 1949 dan aku cukup beruntung dapat bertemu. Partai memerintahkanku mengikutinya, menghabiskan waktu dengannya dan belajar darinya. Pudovkin mengatakan sesuatu yang menjadi landasan seluruh pendidikanku. Ia bilang: “filem bukanlah dibuat, pembuatan filem itu omong kosong—filem itu dibangun.” Bata demi bata, persis seperti membangun rumah. Begitulah caramu membangun filem, dengan menyunting satu gambar ke gambar lain. Ia dibangun, bukan dibuat. Dua pribadi ini dan lalu ada Carl Dreyer. Aku menonton filem-filemnya di Pune dulu sekali. The Passion of Joan of Arc. Aku sungguh kehilangan kendali setelah menonton filem itu. Dan ada satu lagi orang  yang harus kuakui menjadi guruku. Luis Buñuel. Merekalah guru-guru sejatiku. Oh, dan Mizoguchi. Setelah menonton Ugetsu Monogatari, aku “limbung,” maksudku aku langsung gila. Begitulah filem sejati! Semua hal tentang filem, aku belajar dari orang-orang ini.

Maukah kau bicara soal beberapa filem terbesar yang sudah kau tonton?
Filem terbesar—kau ingin aku menamainya? Battleship Potemkin. Tidak ada filem sehebat itu. Tidak ada. Adegan Langkah Odessa—tak seorang pun akan bisa mengambil gambar sehebat itu. Filem itu soal editing. Menggunting, menyunting. Gunting adalah filem—saat dibuang jauh, setelah seberapa banyak bingkaian secara persis. Keseluruhan filem bertgantung pada itu. Tidak seorang pun mencipta sesuatu sehebat Battleship Potemkin.

Bagian 4: Tantangan Pembuatan Filem dan Kritisisme Filem

Menurut pengalamanmu, hal apa yang paling sulit dalam pembuatan filem dan kenapa?
Menurut pengalamanku, hanya ada satu aspek sulit pembuatan filem. Hanya satu dan tidak ada yang lain. Dan hal tersebut adalah pembiayaan. Mengumpulkan uang dan mengaturnya adalah tantangan terbesar. Setelah itu, para pekerjaku, teknisi-teknisiku dan seniman-senimanku akan memberi nyawa mereka untuk mengerjakan satu karya seni hebat. Tapi mendapatkan uang dan mengaturnya itu sekadar rintangan. Bukan hal lain.

Kenapa begitu sulit?
Struktur sosial kita, apalagi. Jika aku harus membicarakannya, aku harus mulai bicara soal Marxisme. Si curang dan bajingan ini, mereka menyimpan seluruh uang dan mengambil peran dalam segala jenis kedangkalan dan kenakalan mereka. Mereka sungguh biangkerok. Jika kita bisa mematikan pemasar gelap ini, semua hal akan teratasi. Kau lihat sendiri, uang sebelas ribu crore[i] “putih” berputar di negara kita dan ada tigapuluh tiga ribu crore rupee di pasar gelap—hampir seluruh aliran dana di negara kita mengambil tempat di pasar gelap.

Dalam konteks produksi filem?
Bukan, aku tidak bicara sekadar filem—keseluruhan masyarakat kita, ekonomi telah diambil-alih oleh pemasar gelap dan uang mereka “dari segala sisi.” Dan bahkan pemerintah India sudah mengakuinya. Hari ini nilai sejati satu rupee, setelah penolakan terus menerus, telah jatuh menjadi—dan Chavan mengakuinya—tigapuluh enam paisa.[ii] Kenyataannya, nilainya hanya duapuluh lima paisa. Nilai satu rupee adalah duapuluh lima paisa. Rakyat tidak bisa makan disebabkan inflasi. Kelaparan ini jelas membahayakan keseluruhan sistem. Apa yang bisa kukatakan? Filem bukanlah benda istimewa. Semuanya hanya sekadar potongan kecil dalam keseluruhan teka-teki.

Saat memfilemkan karya sastra besar, kesulitan macam apa yang dihadapi seorang seniman?
Begini, tidak ada banyak sastra besar di negeri ini. Jika kau ingin membuat filem dari betapapun kecilnya, kau harus menjaga satu hal di benak. Sastra adalah satu bentuk seni dan filem adalah yang lainnya. Jadi saat kau membuat naskah dari karya sastra, kau tidak bisa hanya mengikut. Hal itu tidak benar. Yang primer dari sebuah filem itu visual—seni visual. Hal ini harus diingat. Suara itu sekunder. Ya, itu juga penting. Hal itu dapat membantu untuk menggerakkan citraan ke depan. Karya sastra di lain sisi dimaksudkan untuk bacaan. Saat kau membaca  karya sastra hebat, kau akan merasakan kesenangan—sesuatu yang lahir dari seleramu yang tersuling untuk kata-kata. Tapi “filem adalah seni pertunjukan.” Menyangkut penglihatan, pendengaran. Ada perbedaan langit dan bumi antara keduanya. Begitulah kau harus berubah. Jika penulis marah ke arah itu—ya, aku tidak bisa berkata-kata. Tapi kenyataannya adalah mereka sadar bahwa untuk menerjemahkan dari satu medium ke medium lain dan membuatnya bekerja, kau harus membuat perubahan.

Menurutmu celukan yang kita amati antara kelihaian artistik dan komprehensibilitasnya pada penonton filem rata-rata itu diminati secara keseluruhan?
Tidak, tidak. Tidak ada ruang bagi pertanyaan konyol semacam itu.

Kenapa kau bilang begitu? Terlepas dari segala hal, kau membuat beberapa karya bagus. Tapi mayoritas rakyat tidak memahaminya. Dalam situasi ini, bagaimana bisa kita mencoba menjembatani celukan ini dan membuat komunikasi terjadi? Tidakkah kita harus memikirkan soal itu—maksudku kita ingin audiens untuk mulai berpikir dan merenung …
Aku tidak peduli. Pertama, aku tidak hidup berdasarkan siapa yang menerima atau tidak karyaku. Dan kedua, pertanyaan-pertanyaan ini tidak berharga. Tanyakannya sesuatu yang masuk akal.

Menurutmu bagaimana kritikus memahami filem? Dan bagaimana kritikus di sini…
Peran kritikus itu sangat penting—sangat penting. Siapakah kritikus? Ia adalah jembatan antara seniman kreatif dan audiens. Tapi kita tidak punya kritikus seperti itu di negeri kita. Satu atau dua yang kita punya sudah menjual dirinya. Sebab suratkabar dan majalah komersial sudah membeli mereka, mereka tidak berani lagi menuliskan kebenaran. Mereka harus tunduk pada perintah sepanjang waktu. Dan aku tidak bisa meyakinkanmu betapa berharganya kritisisme itu. Bahkan aku tidak mau mencoba. Kau tahu, ketika George Bernard Shaw mulai mengkritik drama-drama Inggris—ia belum menjadi penulis drama—seluruh kota London memalingkan wajahnya. Begitulah tulisan sejati! Di sini tidak ada seorang pun yang berani menulis. Ada sedikit yang bisa melakukannya. Aku tahu beberapa orang. Saroj Sengupta—dulu ia menulis dengan serius. Ia ditendang. Dan ada orang ini—siapa namanya, ia dari Anandabazar…

Jyotirmoy?
Bukan, bukan, bukan.

N.K.G?
Bukan, bukan N.K.G. Ah, orang lain itu. “Aku lupa namanya.” Akan kuberitahu saat kuingat. “Inilah dua kritikus satu-satunya.” Dan Shyamlal yang sekarang redaktur Times India. Dulu ia kritikus filem. Lalu mereka memindahkannya dan menjadikannya redaktur. Ia meraih Padmashree atau sesuatu seperti itu tahun ini. Jadi beginilah faktanya. Di negeri ini, tidak ada seorang pun yang hormat pada kritikus. Sedikit orang baik yang ingin mengerjakan karya jujur yang serius tapi mereka dipindahkan begitu cepat. Dan apa gunanya membicarakan sisanya? Untuk mengkritisi filem, orang harus paham mediumnya dulu. Aspek filem dan rincian teknis berbeda perlu dipahami, bukan? Hanya mereka sendirilah yang bisa mengatakan seberapa banyak proses yang benar mereka dapatkan. Aku tidak akan berkomentar soal itu. “Aku tidak akan terlibat dalam segala permasalahan. Tapi intinya adalah, aku sudah memahami soal ini.” Ah! Orang itu, aku tidak bisa mengingat namamu. Ia yang terbaik di India..dari Anandabazar. Sekarang ia bersama Desh dan mereka tidak mengizinkannya menulis apapun.

Sebabrata?
Bukan, bukan Sebabrata. Sungguh aneh! Cara aku lupa nama-nama tertentu dari waktu ke waktu!

Seberapa penting medium filem dalam konteks pergerakan budaya?
Aku rasa filem itu medium yang sangat penting. Tapi dalam cara apa kita menggunakannya? Kita semua tahu apa yang sedang terjadi. Tidak ada gunanya membicarakan semua ini. Di negeri ini, filem telah menjadi sarana tolol hiburan murahan. Jadi, aku cukup khawatir tentang masa depan filem di negeri ini. Tapi, aku tidak memiliki gagasan apa yang akan terjadi di masa depan.

Sebagai industri, filem itu bermodal besar. Jadi berapa banyak pemberontakan yang bisa dilakukannya?
Menyeluruh dan mutlak. Tapi semua bergantung pada siapa yang membangun filem. Jika seorang seniman itu tidak memiliki ketakutan dan tidak memiliki kelemahan, ia bisa melakukan apapun. Dalam filem, mereka bisa menangkap perjuangan dan kemiskinan di seluruh semesta. Tapi apa yang bisa kita lakukan kalau mereka tidak bisa menjadi seperti itu? Dan biasanya mereka tidak bisa. Itulah sebab kenapa filem-filem kita menjadi sangat konyol.

Ritwik-Ghatak_10645ritwik3

Bagian 5: Kenangan akan Bimal Roy

Pada tahap awal karir filemmu, kau terlibat dengan industri filem Bombay. Bisakah kau cerita sedikit pengalaman itu?
Aspek industri yang mana?

Secara spesifik, kami ingin tahu tentang pengalamanmu bekerja dengan Bimal Roy.
Bicara soal Bimal Roy, aku harus berkata kalau aku mengaguminya. Seberapa hebat ia sebagai pembuat filem tidaklah penting bagiku. Bagian paling penting adalah kebesarannya sebagai mahluk manusia. Kau tahu, sepupuku (Rangada) Sudish Ghatak membawanya dari Dhaka sebagai asisten ketiga. Pada waktu itu aku masih murid sekolah dan tidak tahu menahu soal filem. Lalu Bimalda selalu membopongku dan membawaku ke New Theatres. Waktu itu kau tidak bisa membuka pintu dengan mudah dan si penjaga pintu begitu sangar dan tidak memperbolehkan siapapun dekat dengan set. Bukan karena hal itu telah berubah banyak. Omong-omong, ya, aku telah bekerja dengan Bimalda. Kemudian N.T. rontok perlahan. Setelah itu, Bimalda menyutradarai Tathapi di Bharatlakkhmi dan aku menjadi asisten utamanya. Bedeni yang jadi asistennya sebelum aku. Bahkan sebelum itu, Bimalda berpindah peran sebagai sinematografer dan menjadi sutradara di Udayer Pathey yang sebagaimana kau tahu, menjadi semacam pencipta kultus. Bimalda memelihara (Dipanjan: ia juga menjadi mentor Hrishikesh Mukherjee) dan begitu menyayangiku. Terserah kau untuk membicarakan dan mengkritisi karyanya, tapi aku tahu orang macam apa ia. Anjangarh setelah itu dst. Dulu aku berkeliling dengan Bimalda dan bekerja sangat keras. Itu saja. ia adalah teman keluarga, jadi apa yang bisa kukatakan lagi tentang dirinya? Apapun yang kukatakan akan menjadi “bias.” Berbicara tentangnya adalah berbicara tentang keluarga kami, sejarah diri kami.

Bagaimana Udayer Pathey membantu membalikkan arena filem Bengali kekinian?
Jika aku harus mengkritisi, maka…baiklah…dengan Udayer Pathey, Bimalda menyarikan filem Bengali dari kedalaman ke permukaan. Tapi kalau kau mendengar dialognya hari ini, mereka akan terdengar konyol dan di bawah standar. Hal itu dilakukan oleh Jyotirmoy yang mengembangkan bahasa ke suatu tingkatan yang tidak terdengar nyata. Bimalda melakukan lebih baik, sebagai contoh, “dengan jarum kecil”…(chhoto chhNucher dwara)

Bagaimana kita memerangi monster bernama kemiskinan?” (daridryer moto doityo)
Ya, semua “sampah” itu. Sungguh sampah. Itu dibuat oleh “si monyet” Jyotirmoy yang menyunting naskah dan menambahkan semua kembang-kembang.

Kenapa kau membuat julukan?
(tertawa) Miyaan, mereka semua teman-temanku. Mereka sungguh orang tak punya.

Bagian 6: Filem India: ragam topik

Bisakah kau bicara sedikit tentang kecenderungan dan arah filem-filem India sepanjang ketimpangan panjang antara Subarnarekha dan Jukti Takko Gappo?
Aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak menonton banyak filem (India). Apapun yang bisa sedikit kukatakan—dan secara bertahap menjadi lebih terikat dan terbatas—aku mencoba untuk melakukannya dalam Jukti Takko Gappo. Aku tidak punya apa-apa lagi untuk ditambahkan.

Adakah protes bermakna di filem India kekinian?
Pertama, mustahil untuk mengatakan apakah ada filem India memiliki protes bermakna di dalamnya atau tidak. Seperti yang sudah kukatakan, aku tidak menonton (banyak) filem India. Dan apapun yang sedikit aku dengar dari orang lain, aku pikir tidak ada protes sama sekali. Mereka ingin membawa rakyat pada sebuah arah yang sama sekali berbeda. Aku ingin memintamu membaca Münsterberg — aku tidak tahu apakah kau pernah membaca karyanya—Thoughts on Film. Tiada karya lain sebanding dengan karyanya yang menyokong “faktor mimpi” dan memiliki kata terakhir tentangnya—penipuan sempurna. Tak seorang pun di sini yang mungkin membaca buku-buku ini, tapi aku sudah. Aku harus membacanya. Aku rasa tidak seorang pun di negeri kita memiliki keberanian untuk bicara soal protes. Hanya Mrinal Sen yang telah mencoba sedikit, tapi aku tidak merasa karyanya cukup menancap dalam. Tujuan utama filem—bukan hanya sekadar filem, senia macam apapun—adalah untuk menggambarkan kesengsaraan dan perjuangan rakyat kita. Aku tidak tahu seberapa besar Mrinal mampu mengungkapkannya. Meski aku tidak berhak mengatakan hal ini sebab semuanya adalah teman-temanku. Tapi kenyataannya masih bahwa aku tidak bisa menamai satu seniman pun yang mampu melakukan ini dalam cara signifikan. Aku sendiri tidak bekerja dalam waktu yang lama, jadi aku tidak merasa aku harus berkata lebih dari ini.

Menurutmu, apakah yang harus menjadi prinsip di belakang skema pinjaman FFC? Haruskah sutradara baru menerimanya, atau haruskah veteran yang sudah mengerjakan beberapa karya baik yang dipilih?
Aku rasa ada kebutuhan menggabungkan keduanya. Kita haus menyokong anak-anak baru dan FFC harus melakukan apapun yang bisa mereka lakukan.”Itu menjadi satu bagian.” Tapi sutradara-sutradara lama yang ingin mengerjakan karya serius juga perlu mendapat sokongan. Semuanya memiliki tujuan sama, jadi kita tidak boleh melepas salah satunya.

Bagaimana kondisi produksi kekinian di India mencederai filem-filem kita?
Produksi dan distribusi tidaklah menyakitkan kita sebanyak pameran. Kau harus lebih awas tentang proses pameran filem ini. Kau harus coba memahami betapa kotor dan hancur pameran perdagangan di negeri kita. Aku sudah banyak bicara ini dan mencoba meyakinkan semua orang mulai dari pengusaha sampai birokrat. Kita perlu mengatur sistem pameran lebih baik. Kau tidak akan percaya betapa korup dan jahatnya orang-orang ini dan tidak ada guna membicarakan pengalamanku sebab tidak akan ada hasilnya. Ada masalah dalam bisnis distribusi juga, tapi situasinya tidaklah seburuk pameran perdagangan. Mereka itu pembunuh—seni dan ini-itu pada akhirnya bukan lagi masalah—dan mereka menghancurkan semua hal di seluruh negeri.

Apa kau optimis mengenai keadaan terkini filem-filem Bengali, dari perspektif artistik?
Itu pertanyaan sangat sulit. Aku sungguh tidak bisa menjawab ini secara langsung. Dari apa yang aku tahu tentang filem-filem Bengali, aku positif bahwa ada banyak bocah lelaki dan perempuan yang ingin berkarya secara serius. Tapi tidak seorang pun yang akan memberi mereka pekerjaan, atau akan membayar mereka atas kerja mereka. Dan sayangnya, kita dalam suatu bisnis yang membutuhkan lakh rupee untuk melakukan sesuatu. Kami (orang-orang tua ini) bisa menekan dengan sangat, dengan manipulasi dan skema. “bagaimanapun kami bertahan.” “Tapi anak-anak ini”—mereka tidak bisa. Kau paham? (tertawa). Aku tidak tahu siapa di antara mereka akan mendapatkan kesuksesan dari hal ini, tapi aku memang punya banyak harapan sebab aku punya keyakinan alamiah di masa depan. Aku sangat percaya bahwa satu atau lebih dari anak-anak ini akan bekerja lebih baik ketimbang aku, tapi tak seorang pun memberi mereka kesempatan. Mereka tidak menghasilkan banyak untuk makan dengan baik. Datang bersamaku ke studio para (lingkungan) dan kau akan melihat bagaimana miskinnya anak-anak ini. Aku tidak tahu bagaimana mereka akan membuat filem. Tapi jika salah satu di antara mereka bisa mengatasinya, mereka akan melebihi kami dan mengalahkan kami semua. Kami semua—Satyajit, Mrinal Sen—akan kalah dan aku mau kalah. Aku mau mereka melakukannya.

Secara umum, keberagaman yang kita lihat di filem-filem asing itu sungguh disayangkan hilang di filem-filem kita. Menurutmu bagaimana?
Aku tidak merasa ada banyak perbedaan antara filem-filem kita dan filem-filem mereka, secara umum. Tapi Mizoguchi, Ozu, Tarkovsky, Kakoyannis—filem-filem mereka membuatku gila. Leopoldo Torre Nilsson dan Dreyer membuatku gila. Aku tidak mau menyebut Kurosawa sebab aku merasa ia menjadi sangat terjual sekarang. Di antara sutradara Italia, aku menghormati Antonioni, terutama Fellini, Visconti dan Rossellini terutama. Tapi di antara semua sutradara hidup, Luis Buñuel adalah guru terhebatku.

Ada sedikit kawan-kawan berharga di Rusia. Kozintsev telah melakukan beberapa karya abadi. Hamlet—bisa kau percaya itu? Dan terakhir aku menonton—Ivan’s Childhood karya Tarkovsky—membuatku gila. Wajah ibu di adegan pertama—aku tidak pernah bisa melupakannya. Penggunaan kameranya telah membuatku berpikir banyak. Aku sudah menyaksikan sedikit hal secantik penggunaan gerak lambatnya yang cerdas itu.

Aku bisa berkata lebih banyak, tapi tidak dalam waktu dekat. Dalam seluruh hidupku, aku tidak akan lupa adegan Viridiana karya Buñuel di mana ia mencemooh Perjamuan Terakhir. Seorang gadis, tokoh utama, membawa sekelompok berandalan ke rumah dan menjamu makan malam. Mendadak, ia menggabungkannya dengan bingkaian Perjamuan Terakhir Da Vinci dan dalam satu ambilan gambar, menjelaskan bahwa keseluruhan dogma Katolik Roma itu palsu. “Inilah Buñuel.” Aku tidak merasa ada seniman yang lebih besar hidup di hari ini.

Seberapa besar penerapan musik potensial ke filem-filem India telah diwujudkan, menurutmu?
Filem pertama di mana penggunaan musik menggerakkanku adalah Shakuntala karya Shantaram (musik oleh Vasant Desai) dan kemudian Kadambari (musik oleh Hari Prasanna Das). Di antara filem-filem Bengali, aku suka sedikit filem-filem Debakibabu. Aku sangat menikmati musik Pather Panchali, tapi tema musik Ravi Shankar disalin dari lagu rakyat orang hitam Amerika berjudul Swan’s River. Selain itu, karyanya di filem itu luar biasa.

Aku tidak menonton banyak filem-filem Bengali dan Hindi, jadi aku tidak tahu apa yang sekarang terjadi dan bicara soal filemku sendiri itu sombong, tentunya. Masih di antara filem-filemku sendiri, satu yang memberiku kesenangan paling hebat dari perspektif musik adalah Komol Gandhar. Jyotirinda Moitra, sutradara musikku, musik klasik dan rakyat berjiwa Bengal yang digunakan baik di Bengal Barat dan Timur. Karyanya begitu indah dan membuatku bisa menonton filem ini dengan mata tertutup.

Bisakah kau berkata sedikit tentang kontribusi Pramatesh Barua bagi filem-filem Bengali?
Pramathesh membuka Studio-Barua pada 1928. Lalu ia membangun New Theatres bersama Tuan B.N. Sircar dan mulai membuat filem—terus berkelanjutan. Beberapa dari mereka sunguh cerdas dalam konteks zamannya. Beberapa filemnya laku keras, sebagiannya seperti bom dan hal itu tak terhindarkan dalam karir seniman manapun. Filem terbesarnya Grihadaha. Aku ingat pada hari ketiga pameran di teater Chitra, penonton merobek layarnya. Pada zaman itu, montase yang ia ciptakan untuk menggambarkan transisi Achala dari kota ke desa itu luar biasa. Ia orang pertama di India yang memperkenalkan penggunaan kamera subyektif. Kau akan memperhatikan itu saat kau menonton Uttarayan. Tida ada yang ingat filem –filem ini lagi. Semua orang cuma berpikir tentang filem-filem sentimental murahannya seperti Mukti dan Debdas. Sekarang beberapa pandita mengoloknya dengan memanggilnya Pangeran P.C. Barua. Mereka harus tahu lebih baik. Di zaman ketertutupan pikiran itu, setidaknya ia melakukan sesuatu yang berbeda. Kita tidak bisa memperjelas diri dengan menyangkal dan mengolok para pendahulu kita.

Bisakah kau berbagi pemikiranmu mengenai filem dokumenter?
Secara umum, filem dokumenter telah mengikuti dua kecenderungan utama. Pengaruh pertama adalah karya Robert Flaherty terutama penggambarannya soal kehidupan Eskimo di Nanook of the North, dan kedua adalah gerakan London’s Film Centre yang dipimpin oleh John Grierson. Seluruh dunia berhasil merealisasikan kekuatan dan potensi filem dokumenter disebabkan kedua pribadi itu. Di satu sisi, kau memiliki Moana, Louisiana Story dan Elephant Boy dari Flaherty, dan di lain sisi Night Mail dan Song of Ceylon dari British Film Board. Sutradara dokumenter besar moderen yang mengikuti langkah mereka juga layak mendapat penghormatan mendalam dari kita.

Juga apa yang dicapai Leni Riefenstahl selama era Hitler itu luar biasa dan jelas sulit ditandingi. Terang saja kita menemukan politiknya menjadi sangat berseberangan, tapi kemampuan estetikanya tidak bisa disangkal. Terlepas dari kejahatan Hitler pada 1936 selama Olimpiade Berlin, karya yang ia kerjakan dengan timnya sebanyak 36 kameraman itu luar biasa dan aku tidak merasa ada pembuat filem dokumenter lain yang sudah membuat filem sebesar itu dalam cara yang sangat terorganisasi.

Sudahkah kau ikuti prinsip pembuatan filem dokumenter spesifik? Bagiku, prinsip itu lahir dari kombinasi pengaruh Flaherty dan Grierson—bersejalan dengan apa yang ditampilkan Basil Wright dalam Song of Ceylon dan Night Mail. Aku mengagumi Wright.

Kau tahu, untuk mengambil gambar dokumenter, kau perlu cinta lebih besar bagi manusia. Kau tidak bisa mendapatkan apapun jika sebaliknya. Kebanyakan kalian menganggapku sebagai sutradara filem fiksi panjang, tapi silakan telisik secara mendalam dan ajukan pertanyaan pada diri kalian apakah aku pernah melakukan apapun kecuali mengungkapkan cinta bagi bangsaku. Pernahkah salah satu dari filemku diambil gambarnya dalam studio?

Bagimu, tidak ada perbedaan antara filem-filem fiksi dan dokumenterku. Aku tidak menganggap filem dokumenter sebagai bentuk seni terpisah—semuanya merupakan dokumen kehidupan manusia. Jika kau sungguh cinta bangsamu, kau tidak akan membedakan antara dokumenter dan fiksi. Aku tidak tahu banyak tentang filem dokumenter meski aku sudah membuat beberapa karena aku membuatnya untuk mencari nafkah. Aku tidak merasa punya sikap yang benar untuk membuat filem dokumenter dan aku menganggap hampir semuanya gagal. Jadi akan menjadi tidak tepat untuk berkata soal ini lebih lanjut.

Kami sangat menikmati karya dokumentermu, Puruliar Chhau dan kami jugamemperhatikan peran pentingnya dalam Jukti, Takko, Gappo. Apa yang melandasi di balik minat kuatmu dalam bentuk tari Chhau?
Chhau itu penting sebab ia mengungkapkan kedalaman dan kekayaan hidup Purulia. Jika kau mengunjungi Purulia, distrik termiskin di Bengal Barat, dan pergi ke dalam desa-desanya, kau akan menyaksikan betapa dalam kecintaan orang desa akan seni mereka. Ketika aku mencampurkannya, aku sungguh jatuh cinta. Saat melihat betapa bergairahnya mereka mencintai bentuk tarian dan betapa tekun mereka menciptakan topeng tari, aku sungguh tercengang. Kecintaanku pada mereka sungguh membuatku gila. Aku telah bekerja di sana tiga kali. Dokumenter pertama aku buat untuk pemerintah Bengal Barat. Setelah itu, ketika Philip Pierrot datang dari paris, aku membuat dokumenter lain yang berwarna untuknya dan terakhir, aku harus bekerja sangat keras untuk filem ini (Dipanjan: sekuen Chhau dalam Jukti, aar Gappo).

Kenyataanya adalah di sana selalu ada visi citra ibu yang bersembunyi di kepalaku. Salah seorang temanku berkata—“kau telah dimakan lahap oleh sang ibu (arketif).” Hal itu benar—aku selalu terobsesi dengan sang ibu. Kalau kau perhatian baik-baik, raison d’être koda sekuen Chhau itu adalah obsesi akan ibu.

Jukti002

Bagian 7: Bengal Timur (Bangladesh)

Tolong ceritakan kami pengalamanmu mengambil gambar di Bangladesh.
Kalau kau inginkanmu bercerita soal pengambilan gambar di Bangladesh, aku akan berubah menjadi diplomat. Hal itu melibatkan relasi politik antara kedua negara dan sungguh “menyentuh.” Secara spesifik, jika aku berkata sesuatu yang buruk terjadi di antara mereka, hal itu akan sangat melukai mereka dan membuat hubungannya makin buruk ketimbang sekarang. Jadi aku sungguh tidak ingin bercerita soal ini. Aku bisa bicara tentang “hal-hal baik” mengenai Bangladesh dan “bukannya hal-hal buruk.” Aktor dan aktris mudanya sungguh luar biasa—vitalitas dan energi mereka begitu kuat seolah mereka bisa mati untukmu. Kebanyakan teknisinya akan bekerja gila untukmu juga. Secara umum, rakyat Bangladesh sangat emosional dan saat mereka menerima seseorang sebagai bagian mereka, mereka akan melakukan apapun untuknya. Dan jika mereka tidak suka kau, mereka akan langsung menolakmu. Tidak ada guna membicarakan perlengkapan—situasinya benar-benar tanpa asa. Beberapa barang yang mereka miliki di sana sungguh bagus dan tidak akan kau temukan di Kalkuta, Bombay atau Pune (Dipanjan: Pune merujuk pada FTII [Film and Television Institute] di mana, dalam waktu singkat, Ritwik menjadi profesor tamu dan wakil-rektor). Bagaimanapun, perlengkapan sudah sangat dipelihara  secara buruk di mana kebanyakan mereka sungguh tak berguna sekarang dan aku sungguh bekerja keras memperbaikinya. Aku berubah menjadi seorang mekanis—apalagi yang bisa kulakukan?

Apakah dikarenakan kurangnya pengetahuan atau disengaja?
Sesungguhnya kurang pengetahuan. Juga kecenderungan mengambil suap—korupsi, secara umum—dan akhirnya kecerobohan dan ketidakpedulian sempurna. Sebagai contoh, suatu hari kami pergi mengambil gambar di suatu tempat sekitar 80 km dari Dhaka. Kami menyiapkan set dan semuanya siap jalan. Mendadak, salah seorang kameraman berkata padaku—“Dada, kamera ini tidak bekerja; pelat bukaan kameranya tidak bergerak dan aku tidak tahu apa yang salah.” Bukankah itu tanggungjawab perawat untuk menguji kamera di studio sebelum mengambilnya dan semua dari kami di sana? Begitulah, semua awak di sana dan kami menghabiskan begitu banyak uang, jadi aku harus melakukan sesuatu. Akhirnya aku membuka kamera dan menemukan bahwa satu pin di dalam kamera melengkung yang menghalangi pelat bukaan kamera. Lalu aku memperbaiki pinnya dan mulai mengambil gambar. Di lain hari, di suatu tempat sekitar 30 mil dari Dhaka, kami mengambil gambar dan aku menginginkan 180 derajat, tapi kameranya tersangkut di 120. Sebagaimana kau tahu, ada berbagai jenis kamera—Arriflex tipe dua punya bukaan bervariasi dan tipe satu punya bukaan tetap. Jadi kameraman ini datang padaku dan berkata—“Dada, kau mau memvariasikannya? Kau tidak bisa melakukannya; ini 120 dengan bukaan tetap.” Aku bilang—“Kau bercanda? Ini tipe 2b, kamera terbaik.” Jadi aku membukanya untuk melihat kalau itu “macet” dan lalu “aku aku memperbaiki, dan mengambil gambar. Masalah seperti ini! Dan sistem suara? Mengerikan. Sungguh teruk—semuanya berantakan sesaat setelah kau menyentuhnya. Mereka tidak melakukan perawatan yang baik atas segala hal. Namun, orang-orangnya luar biasa. Jadi beginilah situasi di Dhaka.

Apa reaksimu mengenai MuktiJuddha — perjuangan kebebasan?
Dulu aku sangat tergerak. Tapi sekarang tampaknya sangat berkebalikan (dari apa yang kuharapkan) terjadi. Aku merasa tidak seorang pun di sini memiliki hubungan lebih dengan Bangladesh seperti yang kumiliki dan itu utamanya disebabkan aku mengenal mereka dengan sangat baik secara pribadi dan dekat dengan banyak dari mereka. Kebanyakan bocah-bocah muktijoddhaa (pejuang kebebasan) itu beralih menjadi berandalan—berandalan biasa. Setiap rumah dipenuhi sten gun (senjata semi mesin), LMG dan revolver. Mereka telah sangat berubah. Suratkabar Kalkuta tidak menerbitkan kisah-kisah ini, tapi aku sering pergi kesana dan aku thau soal ini. Bocah-bocah yang dulu aku cinta sangat menjadi seperti ini. Dan “unsur baik” di antara mereka sangat menyedihkan—“apakah ini kebebasan kami, apakah ini yang kami perjuangkan? Apakah tigapuluh lakh pejuang gugur untuk ini?” selama perjuangan kebebasan, ada banyak kegairahan dan optimisme di udara ketika mereka berjuang melawan tentara Pakistan – redaksi). Aku di sana dan pernah mengambil gambar di tengah semua peristiwa itu. Dan aku pergi kesana sekarang dan menyaksikan dua pembagian ini—di satu sisi, kau punya garis keras (ruffian) dan berandalan (hooligan), dan di lain sisi frustasi dan kehilangan semangat.

Apakah fakta bahwa kau menghentikan pengambilan gambar Titas saat kau di Bangladesh hanya sebuah kebetulan?
Bukan, bukan kebetulan sama sekali. Bangladesh, sebagaimana kau tahu, adalah negara sungai dan hanya ada dua novel bagus Bengali di sungai-sungai itu—Padma Nadir Majhi karya Manik Badopadhay dan Titas Ekti Nadir Naam karya Adwaita Mallabarman. Inti persoalan adalah tulisan Manikbabu, sebagaimana kau tahu, yang sangat tajam dan tepat. Tidak ada yang bisa dikatakan orang mengenainya—tulisannya begitu terkendali dan ia bisa mengungkapkan banyak hal dengan sedikit kata. Namun, ia mengamati nelayan dan kehidupan mereka dari perspektif bhadrolok (orang kelas menengah). Ia tidak pernah bisa sampai ke…sesuatu memang tidak pernah cocok. Adwaita Mallabarman, di sisi lain, adalah orang Malo—seorang nelayan. Ia sedikit berbunga-bunga—ada banyak hal yang berlebihan—tapi ia punya pandangan orang dalam sebab ia adalah salah satu dari mereka dan rumahnya ada di desa Gokarna di mana aku mengambil gambar filemku. Ia satu-satunya sarjana dari desa itu—di antara orang-orang Malo. Jadi tulisannya mengenai kesenangan dan kesedihan, naik dan turunnya kehidupan mereka menusukkan kedalaman yang berbeda secara bersamaan. Orang harus menyuntingnya secara signifikan dan aku mungkin bisa mengatasinya, meski tidak terlalu yakin. Aku begitu tergerak saat membaca Titas saat pertama kali diterbitkan sekitar waktu yang sama ketika Adwaita meninggal karena TB. Sejak itu aku berpikiran untuk membuat filem dari karya tersebut, tapi tentu aku tidak bisa memasuki Bangladesh ketika Ayub Khan menguasainya. Sebagai komunis, aku tidak memiliki harpaan mendapat visa dan dengan begitu aku tidak bisa melakukannya. Saat itu, banyak orang memintaku mengambil gambar filem di sini di Bengal Barat dan itu tidak bisa kuterima. Sungai, tanah, perahu dan wajah-wajah—kau tidak bisa mendapatkannya di sisi perbatasan ini. Jadi aku sudah berpikir lama mengenai Titas, sejak awal. Adik perempuanku tinggal di Kumila, adik kembar perempuanku. Aku ada di Bangladesh sebagai tamu negara pada 21 Februari 1972 (Dipanjan: bhasha dibas). Satyajit juga bersamaku. Suatu hari ketika aku ada di tempat adikku, di penghujung program kultural, seorang pemuda Muslim mendekatiku dan bertanya kenapa aku tidak memfilemkan Titas. Dan di sana, aku berkata ya dan menegaskan pikiranku. Jadi ini bukanlah kebetulan; aku telah memikirkan soal ini sejak lama dan saat kesempatan datang, aku langsung merangkulnya.

Bagian 8: Politik Masa Lalu, IPTA[iii]

Sekarang aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan mengenai kehidupan profesionalmu. Kapan dan bagaimana Marxisme dan politik mulai menarikmu?
Aku mulai berhubungan dengan RSP saat aku di tahun pertama kuliah. Segera setelah itu, IPTA mulai memberi pengaruh besar padaku dan kedua kejadian itu membimbingku mempelajari Marxisme. Mempelajari literatur Marxis dan tulisan mengenainya yang bersejalan dengan akting teater—sekitar 1944-45, meski aku tidak terlalu yakin tentang tanggal pastinya.

Lalu kau menjadi bagian IPTA sejak itu?
Ya, aku terlibat dengan IPTA sejak itu.

Sekitar tahun berapa kau menjadi bagian dari komite elit?
itu terjadi pada 1948. Aku menjadi sekretaris pada 1948 dan berhenti pada 1953.

Bukankah itu sebelum kejadian partai dicekal?
Ya, sedikit sebelum pencekalan.

Drama mana yang kau pentaskan selama tahun-tahunmu di IPTA? Dan siapa yang menyutradarainya?
Aku menyutradarai semuanya. Di antara drama-dramanya, Jwala, DalilDalil itu yang pertama—Officer dan Bhanga Bandar adalah empat drama yang aku bisa ingat saat ini.

sNaako?
Ohya, sNaako. Ada lebih banyak lagi, tapi aku tidak bisa ingat.

Kau ingin mengatakan sesuatu tentang apa yang menggerakkanmu menulis Jwala dan Dalil?
Dalil? Aku datang ke Kalkuta dari Rajshahi pada 1948. Oh…mari kita tidak membahasnya (Dipanjan: partisi). Persoalan pentingnya adalah aku dipaksa untuk datang ke Kalkuta dengan membawa ibuku. Dan lalu aku harus menyaksikan rombongan “pengungsi.” Baiklah, aku tidak tahan kata-kata itu—aku mengigil kapanpun aku mendengar kata-kata seperti “pengungsi,” “pencari suaka.” “Masalah…kebanyakan.” Jadi, aku menulis Dalil. Lalu aku menjadi sekretaris IPTA dan juga direktur Central Squad. Menulis drama seperti juga menyutradarai dan berakting di dalamnya merupakan kerja penuh-waktu bagiku. Suatu hari P.C. Joshi—waktu itu ia ada di Allahabad—menulis surat padaku. Ketika itu aku tinggal dengan abangku (Sejda) di jalan Harish Mukherjee. Itu tahun 1951 dan di sana dulu ada suratkabar bernama “Indian Way” disunting oleh P.C. Joshi. Sebagaimana kau tahu, ia adalah sekretaris jenderal (CPI) sebelum itu dan ketika B.T. Ranadive menendangnya keluar, keadaan menjadi begitu buruk bagiku dan istriku. Begitulah…sial. Tidak ada guna membicarakan semua itu—anak-anak sekarang tidak tahu apapun soal ini dan mereka tidak akan paham. Jadi di surat itu, PCJ memintaku untuk “mengambil-alih tugas Bengal” sebagai koresponden. Ketika itu ada gelombang bunuh diri besar-besaran (di tengah-tengah para pengungsi) yang terjadi di Kalkuta dan aku melaporkan serangkaian tajuk “Suicide Wave in Calcutta” pada sekuen tigapuluh satu bunuh diri itu.  Kemudian menjadi cukup terkenal setelah hal itu diterbitkan, tapi jurnalisme dan pelaporan tidak terlalu memuaskanku sebab aku tidak bisa mengungkapkan kemarahan dan frustrasiku secara kuat—aku belum berurusan dengan filem waktu itu. Jadi dari karakter-karakter dalam laporanku itu, aku memilih enam dan menulis drama Jwala yang merupakan “sebuah dokumenter.” Aku menulis drama itu dan bermain di dalamnya. Aku bekerja bersama banyak pemuda-pemudi menjanjikan. Pada saat itu kejadiannya di Kalkuta…sekarang bahkan lebih mengerikan, sungguh mimpi buruk. “Pada saat itu Kalkuta sedikit banyak kota yang lebih baik.”

Siapa lagi yang bermain di Jwala?
Kali Banerjee, Gita Dey, Mamtaj, dan gadis lain bernama Mamata…

Chattopadhyay?
Ya dan ada gadis lainnya. Dan Gyanesh dll. …

Bukankah Bijanbabu bagian dari ini waktu itu?
Tidak. Kita sedang bicara soal 1951-52. Setelah aku tidak berakting untuk sementara waktu. Dan lama setelah itu suatu hari Tiny Chatterjee yang sekarang direktur jenderal di All India Radio, berhubungan denganku. Aku memang menyutradarai Jwala untuknya, tapi tidak terlibat—suaraku tidak di dalamnya. Kemudian keponakanku Phalgu mengerjakannya dalam bahasa Hindi untuk radio Patna. Phanishwar Renu yang baru-baru ini memenangi penghargaan Rabindra mengerjakan penerjemahannya. Istrinya adalah seorang Bengali dan ia juga berasal dari Munger, jadi ia hampir seorang Bengali dan tahu bahasanya dengan baik. Phanishwar dan keponakanku bertetangga dan mempunyai kelompok teater. Terjemahan itu disiarkan dari radio Delhi juga. Tapi…mari tidak kita membahasnya. Sekarang semuanya lebih dapat diterima, ketika itu “tidak dapat diterima.” Sangat sulit menerimanya, sekarang keadaan menjadi lebih…

Jauh sebelum Jwala, kau pernah menyebut bahwa kaun ingin mengerjakan Trishna?
Jangan mengangguku, teman. Aku seorang pemabuk, jadi biarkan saja aku terus minum. Kenapa kau tidak lagi menulis drama? Aku tidak mau. Dengar, aku tidak memiliki hasrat untuk menulis.

Baiklah, apakah kepergianmu dari IPTA sukarela?
Ya, tentu saja.

Sekarang (Dipanjan: merujuk pada kedaruratan India 1975-77) kami sangat merasakan kebutuhan bagi organisasi semacam IPTA dan masyarakat penulis anti-fasis. Terlepas dari kebutuhan itu, organisasi serupa tidak muncul…Apa yang bisa kukatakan? Saat gerakan anti-fasis dimulai, ada kelompok kuat bernama PWA (progressive writers’ association) dan IPTA lahir di bawah dukungan PWA. Perlahan kami menjadi reguler di kedua organisasi itu di mana kami berbagi alamat yang sama—Jalan Dharmatala 46. Kami sering bekerjasama dan ketika itu sangat penting bagi kami melakukannya. Aku sependapat bahwa kita membutuhkan organisasi hari ini. Aku sangat merasa bahwa disebabkan aku lebih kurang berhubungan baik dengan Delhi dan aku memang melihat struktur kekuasaan di sana dibentuk dalam cara yang sangat fasis. Tapi aku tidak tahu pola pikir anak muda sekarang; aku tidak thau keteguhan mereka. Jika ada pemuda dan pemudi seperti itu, maka iya, aku sungguh yakin mereka harus melakukan sesuatu yang serupa terutama jika kau melihat pada apa yang dilakukan CIA dsb. di Delhi belakangan ini. Aku tidak mau mengambil nama siapapun—dan ada beberapa orang yang cukup terkenal dan kuat yang terlibat dalam semua ini—tapi aku tahu masing-masing dari mereka. Jadi iya, tidak ada keraguan bahwa ada kebutuhan mendesak bagi gerakan serupa, tapi sayangnya kecuali para Naxalite,[iv] pemuda hari tampak tidak terlalu peduli.

Tidakkah kau menjadi terlalu bersimpati terhadap mereka?
Kepada siapa? Naxalite? Ya, aku memang sedikit bersimpati.

Tidakkah itu di luar aturan?
Tidak, kenapa begitu? Aku sangat tidak bersepakat dengan politik, opini dan ideologi mereka, tapi kejujuran mereka? Aku sangat menghormatinya. Aku tidak melihat orang lain. Para pemuda dan pemudi ini—aku bersepakat bahwa mereka sungguh salah-arah seperti yang kutunjukkan di filemku (Dipanjan: Jukti, Takko aar Gappo)—dan integritas mereka tidak paralel. Mereka tidak mau apapun untuk mereka sendiri. Tidak bolehkah aku menghormati itu? Aku harus menghormatinya.

Bagian 9: Tanggungjawab sosial dan politik seniman

Biasanya seniman itu individualistik—menurutmu apa alasan di baliknya?
Seorang seniman menjadi sangat individualistik mungkin tidak lagi sesuai dengan zaman sekarang. Mereka harusnya lebih…sadar sosial. Tapi aku tidak terlalu paham kenapa seniman sekarang menjadi begitu marah dan menggila. Aku tidak terlalu paham dari perspektifku. Ada pertanyaan menjadi demokratis dan aku tidak berpikir mereka mencoba seperti itu. Aku berkeliling ke seluruh negeri dan aku perhatikan para pemuda dan pemudi ini dan pada titik ini, mereka tidak terlalu…dll.

Pernahkah kau berpikir untuk menjadi individualistik?
Aku? Bahkan aku tidak pernah mempertanyakannya. Aku individualistik dari awal hingga akhir. Individualismeku adalah fakta, tapi hal itu tidaklah harus diambil untuk melawanku atau karyaku. “Aku terus menerus menjadi individualistik.” Tapi, miyaan, kenapa itu harus berhubungan dengan segala hal? “Hidup, ya, seperti itu!” Aku sudah menjadi bagian dari banyak kesusahan dan ketidakadilan, tapi aku tidak pernah menyakiti siapapun. Tidakkah kau mengerti, miyaan?

Seberapa dalam seorang seniman harus dilibatkan dalam politik?
Ini bukanlah pertanyaan hanya untuk seniman. Dalam masyarakat ini—masyarakat berbasis kelas—setiap individu harus dilibatkan dalam politik. Bukan cuma seniman, semua orang. Tapi itu bukan berarti seorang seniman harus menjadi pengusung slogan. Kau tidak bisa menjadi seniman dengan slogan murahan; seorang seniman harus bekerja dalam rasa dan kepekaan. Politisi bekerja di tingkatan permukaan—slogan, teriakan, protes keras dsb.—tapi aku tidak merasa seni bertahan ketika seniman berlaku hal yang sama.

Menurutmu seniman punya tanggungjawab sosial?
Tentu saja. setiap orang yang menghindari atau mengklaim untuk menghindari tanggungjawab sosial juga memenuhi tanggungjawab sosial tertentu dengan membantu kelas atas dan bajinagan penguasa. Setiap orang itu jelas memenuhi tanggungjawab sosial tertentu.

Jadi dari perspektif ini, apa tanggungjawab utama seniman negara kita?
Untuk mengabdi pada rakyat negeri kita. Lebih jauh, tanggungjawab utama dan tertinggi itu sama persis—mencintai rakyat, mengabdi pada mereka dan bicara pada mereka—dan hal itu harus diungkapkan dalam cara artistik. Itu saja, tapi bukan pengusung slogan.

Ada banyak contoh kalau beberapa seniman sungguh terkucil dari politik. Apa di balik itu, atau…
Mereka tidak terkucil dari politik. Aku sudah menjawabnya. Mereka semua berpihak, tapi menempatkan diri sebagai—“Aku tidak berkomitmen.” “Orang tidak bisa menjadi tidak berkomitmen. Kau akan berada di pihak ini atau itu.” Jadi tidak ada dari mereka yang apolitis, mereka semua hanya menjadi penipu dan menyakiti rakyat.

Tigapuluh tahun lalu, komitmen ini lebih kuat di antara para seniman. Ia telah dilemahkan secara signifikan sejak itu dan menjadi hampir tidak ada. Apa reaksimu?
Aku memang punya reaksi keras. Mereka berlaku seperti ini hanya karena ada kecenderungan meningkat menemukan jalan pintas menjadi terkenal dan berhasil. Kita sedang bicara soal ini, bukan? Dalam esainya mengenai Shakuntala, saat menggambarkan zaman Kalidasa, Rabindranath berkata—“betapa waktu menjadi begitu rendah dan menyedihkan sejak saat itu”—dan ia menjadi lebih buruk. Dalam suatu cara, rasa moral kita membusuk dan semua orang menjadi lebih tidak bertanggungjawab. Gejala-gejala kebusukan ini mengarah pada keruntuhan pasti. Aku rasa semuanya akan runtuh, tapi di saat sama aku positif bahwa sesuatu yang baru dan kuat akan hadir dari proses ini. Mungkin sepanjang waktu putraku atau mungkin sepanjang waktu cucuku. Aku tidak merasa apapun bisa terjadi di waktu hidup kita. Jadi kau tidak perlu mengelompokkan seniman secara terpisah—mereka bagian dari keseluruhan proses.

Seberapa banyak tanggungjawab pembusukan ini bersandar dalamdiri pemimpin politik kiri?
Mereka memikul tanggungjawab penuh, tapi tak seorang pun ada di sisi kiri lagi. Semuanya berpindah ke kanan. Jadi aku tidak yakin siapa yang kau rujuk sebagai pemimpin politik kiri. Mereka bahkan tidak eksis. Perhatian utama para pemimpin adalah untuk emngantongi lebih banyak uang untuk mereka sendiri dan keroco-keroco mereka dan bagaimana membuat nama dan gambar mereka terbit di suratkabar. Tidak ada yang peduli soal rakyat India. Jadi bagaimana mungkin aku memberikan tanggungjawab kepada para pemimpin itu? Seperti sudah kukatakan, sesuatu mungkin muncul dari beberapa bocah-bocah Naxalite…

Menurutmu di masa lalu paling dekat, katakanlah duapuluh tahun terakhir, ada beberapa kesalahan yang dibuat oleh partai komunis dan kepemimpinannya di gerbang kultural—kesalahan yang membimbing pada pembusukan komitmen ini?
Jelas, ada kesalahan besar yang membuatku berhenti jadi anggota partai. P.C. Joshi mungkin punya banyak kesalahan, tapi ia punya pemahaman mendalam tentang hal ini. Dan ia sering mengajukan keberatan pada masing-masing komrad saat kesalahan-kesalahan ini dibuat. Istriku Lakkhmi adalah seorang komrad dan menjadi sekretaris komite Shilong dulu sekali. PCJ mungkin sudah melupakannya, tapi bajingan itu—ia hampir sekarat—menulis surat padanya beberapa hari lalu. Kapanpun aku pergi ke Delhi, ia akan mengundangku ke rumahnya. Dan ini bukan hanya untukku dan Lakkhmi, ia akan meminta semua komrad secara pribadi. Ia orang yang menghancurkan Gandhi di konferensi Allahabad. “Mohandas Karamchand Gandhi benar-benar habis oleh P.C. Joshi.” Dan orang itu ditendang dari partai oleh sebuah klik—aku tidak akan menyebut nama komrad-komradnya—individu tertentu. Itu terjadi pada Agustus 1948 di Konferensi Wellington yang diselenggarakan di Taman Wellington dan diberi tajuk “Kongres Kedua.” Para pemimpin partai mepeas tanggungjawab mereka sejak saat itu dan jelas tidak ada guna membicarakan seberapa besar mereka mengacau.

Bagian 10: Tanggungjawab sosial dan politik seniman

Kita sedang melalui mimpi buruk ini (Dipanjan: merujuk pada kedaruratan) sekarang, tapi kita tidak sungguh-sungguh melakukan protes atau berdiri menentangnya. Menurutmu bagaimana?
apa yang bisa kukatakan? Situasinya buruk dan kau bahkan tidak tahu setengahnya soal ini. Aku sudah menyaksikan semua secara langsung—terlalu banyak waktu—dan aku punya semua kontak. Tapi apa yang bisa kulakukan untuk menentangnya? Aku mencoba melakukan apapun yang bisa dalam cara berbeda meski sedikit. Aku bukan politisi, jadi aku tidak bisa menggerakkan rakyat atau mengatur segala hal. Apapun yang bisa kulakukan tidak akan berguna—persoalan ini tidak bisa dipecahkan oleh seni.

Menurutmu bagaimana kita bisa mencegah penyebaran budaya rendag? (apasanskriti)
Pertama, aku temukan kata apasanskriti itu sungguh mengerikan (Dipanjan: penggunaan khusus kata Bengali ini tanpa padanan tepat dalam bahasa Inggris menyebabkan hedonisme, secara umum, nilai yang dimaksudkan oleh penghakiman ini tidak terlalujauh dari kesepakatan moral). Kau tidak bisa benar-benar mempersalahkan ketersesatan para pemuda hari ini secara pribadi atas kegiatan jahat mereka. Seluruh masyarakat telah jatuh dan sekarang mencapai tahapan yang tak seorang pun dari kita tahu bagaimana menghentikan kebusukannya. Kau harus sampai pada akar yaitu realitas ekonomi masyarakat kita yang berbasis kelas ini. Para pemuda dan pemudi tidak mendapatkan pekerjaan—di Kalkuta sendiri ada tujuh puluh ribu lulusan insinyur yang menganggur—dan mereka tidak punya pekerjaan lain. Jadi bocah-bocah ini menjadi berandalan dan mengambil peran dari kegiatan kriminal—apalagi yang kau harap? Lebih jauh, sistem kekeluargaan sudah hancur. Di masa lalu, ada cint atau penghormatan atau sesuatu yang serupa itu bagi orangtua seseorang. Sekarang yang bisa melihat jelas hubungan-hubungan itu membusuk dan itu menjadi bagian dari keruntuhan total—seluruh hubungan kemanusiaan disapu bersih. Dan beginilah masyarakat runtuh. Jadi di titik ini untuk melakukan sesuatu melawan ini…jadi kita bisa mencoba dan mengatakan apa yang harus kita katakan, tapi aku tidak merasa hal ini akan banyak membantu.

tidakkah kita bisa memulai gerakan kultural proletariat serupa dengan yang telah telah dimulai IPTA?
Jika kau bisa menyatukan kelompok anak-anak muda, hal itu mungkin. Kenapa tidak? Tapi kau membutuhkan darah segar—kita semua harus menjadi sangat tua dan tidak mampu melakukan apapun lagi.

Pada tingkat tertentu berhubungan dengan ini, dalam Jukti, Takko, aar Gappo, ada sekuen di mana kau berkata “Kemerdekaan 1947! Pooh!”. Apa arti penting kalimat ini?
Kepentingannya bersandar pada fakta bahwa, pada 1947, para pemimpin Inggris sedang kehilangan kuasa. Mereka sedang ada dalam masalah besar. Aku tidak pasti seberapa banyak kau tahu soal ini, tapi aku tahu pasti apa yang terjadi. Pertama, keseluruhan ekonomi mereka runtuh untuk membiayai perang. Tanpa Amerika, mereka akan tamat, “semua pahlawan itu” akan tamat—Churchill dkk. Kemudian di lain sisi, mereka harus menghadapi situasi Subhash Bose[v] yang mengarah pada pemberontakan besar di seluruh negeri. Aku dulu sering berkeliling negeri. Bahkan jika aku meninggalkan Bangladesh, maksudku Bengal Barat di belakang, bagian lain dari negeri ini terutama Madhya Pradesh—dan aku sedang berada di Madhya Pradesh, di Raipur dan Nagpur—bergetar dengan gairah. Apa yang akhirnya diraih Subhashbabu adalah masalah lain, tapi reaksi yang ia bangkitkan di tengah-tengah orang India, rakyat jelata India, itu kuat. mereka sungguh sangat marah waktu itu dan lalu datang Quit India Movement 42.[vi] Setelah itu, pemberontakan marinir di Bombay yang disusul oleh pemberontakan Angkatan Udara—dan tak seorang pun yang tahu soal ini sebab hal tersebut benar-benar ditutup oleh Inggris. Keseluruhan landasan kekuasaan Inggris di India goyah. Jika kita terus berjuang, berteriak dan mengorbankan lebih banyak lagi jiwa untuk beberapa tahun lagi, mereka akan dipaksa meinggalkan India. Tapi cara para pemimpin kita membuat kesepakatan—sebuah pakta dengan Mountbatten untuk merengkuh kekuasaan—mengkhianati keseluruhan sejarah perjuangan kemerdekaan nasional kita. “Gandhi menentang hal itu.” Tapi “kelompok lebih tinggi dari perjuangan pembebasan nasional” tidak bisa menunggu lebih lama untuk menempatkan diri mereka di pucuk kekuasaan. Aku sudah berbicara—berteriak lebih tepatnya—mengenai pengkhianatan ini sepanjang hidupku dan akan terus melakukannya. (Dipanjan: dalam sebuah wawancara dengan Leonard Mosley, Nehru berkata—“kami lelah dan kami akan mendapatkannya tahun ini juga. Beberapa dari kami bisa tahan dengan kemungkinan masuk penjara lagi—dan jika kami harus berdiri demi India bersatu sebagaimana yang kami harapkan, penjara jelas menunggu kami. Kami melihat api menyala di Punjab dan mendengar pembunuhan. Rencana Partisi menawarkan jalan keluar dan kami mengambilnya.[…] Kami berharap bahwa Partisi hanya sementara, bahwa Pakistan itu ditakdirkan untuk kembali bersama kami.” [The Last Days of British Raj, h. 285])

Bagian 11: Shantiniketan, Rabindranath dalam kesadaran nasional

Kami ingin tahu mengenai pengalamanmu di Shantiniketan.
Kebanyakan pengalaman penting dan paling diingat dari Shantiniketan berhubungan dengan Ramkinkar Baij.[vii] Kau tidak perlu menulis soal petualangan lepas kendali dan mabuk-mabukan kami dan bagaimana kami dulu lepas dari penangkapan begitu saja. (Dipanjan: dokumenter terakhir Ritwik yang tak selesai adalah tentang Raminkar dan dalam sebuah kebetulan menyedihkan, novel terakhir yang tak terselesai—dan barangkali karya terbaik—dari Samaresh Basu,[viii] Dekhi Nai Phire, juga berdasar pada kehidupan Ramkinkar).

Apa kau punya kontak personal dengan Rabindranath?
Rabindranath sering mengunjungi Amrakunja di pagi hari. Kuliah-kuliah paginya—aku tidak tahu kenapa itu belum diterbitkan—sungguh luar biasa dan begitu pula penampilan karismatiknya, kehadiran magnetisnya. Aku tidak bisa berkata lebih dari itu.

Apa kau hadir di prosesi pemakamannya?
Di hari kematiannya, aku sedang berada di rumah kami di Bakulbagan—adik perempuanku dulunya muridi di Sekolah untuk Perempuan Beltata. Di sana aku mendengar kematiannya. Segera saja aku berlari dan sudah ada banyak kerumunan. Aku bergabung dengan mereka dan mengikuti mereka sepanjang jalan.

Bagaimana perasaan atas ketidakhadirannya dalam pemikiran kita di tingkat nasional? Apa yang masih bisa didapat kultur demokratis progresif darinya?
Semuanya. Aku tidak tahu apa kau ingat, salah satu komrad kami—aku tidak akan menyebut namanya—“mengutuk Rabindranath” dan menghancurkan nama baiknya dengan menjuluki “RabindraGupta” di sebuah majalah Marxis. Ini terjadi selama periode Ranadive.[ix] Kami semua diperintah untuk tidak (membacanya) dan mereka sering menjulukinya—“borjuis ini dan borjuis itu”—dalam cara yang menjijikkan. Aku dulu menjadi guru bagi seorang gadis mahasiswa bernama Ila yang merupakan adik Shobha Sen.[x] Sesaat setelah aku menyebut “RabindraGupta,” ia langsung marah besar. Rabindranath ada di dalam darah kami, kita tidak bisa pergi kemana pun tanpa dirinya. Tidak soal aspek seni yang mana yang kau bicarakan, ia ada di sana. Lihat saja pada reaksi gadis itu—Orang Bengal tidak bisa hidup tanpa dirinya. Kita tak seharusnya membicarakan ini—bagi setiap seniman Bengali, seniman apapun…(ia sangat penting).

Tapi tidakkah kau akan mengakui bahwa ada kecenderungan untuk benar-benar menyangkal dirinya dalam banyak tingkatan? Oleh karena itu, jika kau bisa menunjukkan beberapa contoh dari karya-karyanya…?
Aku bisa tunjukkan banyak. Sekarang, di sini. Aku tidak punya bukunya, tapi aku memang tidak perlu buku. Namun, untuk meyakinkan orang tentang Rabindranath dengan mengutip contoh itu sungguh memalukan dan kemerosotan. Rabindranath adalah Rabindranath—barangkali hanya ada tiga atau empat seniman yang sebanding dengan kebesarannya dalam sejarah dunia kita. Coba baca Sabhyatar Sankat di mana ia menulis sebelum kematiannya dan kau akan paham. Bajingan yang mengutuknya itu sungguh tidak berharga. Sampai akhir, ada satu kalimat yang akan terukir selalu di benakku—“untuk kehilangan keyakinan atas umat manusia ada sebuah dosa” dan dengan begitu, aku tidak akan kehilangan keyakinan itu. Ia berkata bahwa ada setiap alasan untuk hilang keyakinan, tapi ia tidak akan melakukannya sebab itu sebuah kejahatan. “Krisis peradaban”—ada terjemahan Inggrisnya juga, baca saja. apalagi yang harus kukatakan? Rabindranath adalah samudera dan aku tidak bisa mengecilkannya hanya dengan beberapa kata. Jadi jika kau pernah menemukan bajingan melecehkannya, katakan atas namaku kalau aku akan menggebuknya sampai mereka tak berdaya.

Bagian 12: Musik Klasik

Siapa musisi klasik yang paling mempengaruhimu? Dan bisakah yang berbagi sedikir ingatan dan cerita tentang dirinya?
Orang itu—guruku yang mengawaliku dan mengajariku bermain Sarod—adalah seorang lelaki gila. Beberapa tahun lalu, ia tinggal di Maihar sebab ia merupakan musisi utama (darbari) Maharaja Maihar. Aku pergi ke sana untuk menyutradarai dokumenter atas nama Akademi Sangeet Natak dan lalu aku belajar banyak darinya sebab aku sering mendengarkan ingatan-ingatannya.

Ia lari dari rumah saat berusia delapan. Gurunya adalah abangnya, Aftabuddin Saheb—maestro pemain seruling dan seorang pengikut Baul[xi] dan juga penghamba Kali.[xii] Semua ini aku dengar dari Allauddin Saheb sendiri yang sering membuka dirinya padaku sebab ia begitu mencintaiku. Di masa kanak-kanaknya, ia mempelajari maktab dan dalam perjalanannya, ada pura Kali. Sebagai bocah Muslim, ia tidak pernah diperbolehkan memasuki pura dan sering dipukuli oleh resi Brahmin. Di malam hari, abangnya sering mengikat kakinya dengan tali pada sebuah kayu dan suatu malam, ia kabur dari rumah.

Setelah datang ke Kalkuta, ia sering tidur di Nimtala Ghat dan akhirnya berhasil meraih kesempatan di teater Star. Adalah sekitar waktu itu saat para pelacur dan wanita panggilan menjadi aktris-aktrisnya. Pekerjaannya adalah memainkan seruling dan ia mendapat lima rupee dalam sebulan. Lalu ia pindah ke Udaipur dan mencoba bertemu Wazir Khan—pemain Sarod terhebat di masanya. Awalnya, Wazir Khan benar-benar mengabaikannya—kita sedang berbicara periode yang sudah seratus tahun berlalu, era yang sangat berbeda—tapi akhirnya ia membuat rencana. Ia rebah di jalanan di depan kereta Wazir Khan dan tidak bangun sampai Wazir Khan bersepakat untuk mengajarinya. Saat itu musik adalah sebuah rahasia besar, tapi aku menyaksikannya sedikit.

Lalu, Wazir Khan akhirnya menyerah dan berkata—“baiklah, kenapa tidak kau menjadi budakku dan melakuan semua pekerjaan rumahku?” Allauddin lalu mulai melakukan semua pekerjaan rumah tanpa pernah menyentuh instrumen. Setelah dua tahun, Wazir Khan mengakui kalau Allauddin layak menjadi muridnya dan pelajaran pun dimulai yang berlangsung selama empatbelas tahun. Saat Wazir Khan akhirnya memberi izin bagi Allauddin Khan bermain—sebagaimana kau tahu, ustadz perlu memberimu izin terbuka sebelum kau tampil di manapun, sebagai contoh, guruku mati sebelum memberiku izin, jadi aku tidak pernah bermain di manapun kecuali di depan istri dan anak-anakku dan itu juga aku sudah menyerah; aku sudah membuang Sarod milikku—Khan Saheb kembali ke desanya di Brahmanbaria.

Suatu hari saat ia berlatih di tepi sungai Titas, ia mencoba membantu kelompok bocah-bocah lingkungan untuk menemukan bola mereka di dalam Mesjid dan saat melakukannya, ia jatuh dan tangan kanannya patah. Semua dokter menyerah untuk memperbaikinya karena sudah benar-benar patah, tapi ia kembali ke Maihar dan selama berhari-hari, hanya berdoa di depan Chamunda Kali tanpa makan dan tidur, dan tangannya secara bertahap mulai sembuh. Aku hanya mengulangi apa yang ia ceritakan padaku. Jadi, tangannya masih cedera berat dan ini adalah tangan kanannya, tangan untuk memainkan Sarod. Ia mulai belajar ulang semua hal dengan tangan kirinya dan akhirnya menjadi musisi terbaik India. Keteguhan dan kekuatan mentalnya sungguh luar biasa. Aku bisa terus bicara tentang dirinya selama berjam-jam dan tidak akan pernah berakhir sebab ia adalah guruku dan aku…Ustadz Haafiz Ali Khan adalah pemain Sarod hebat lain. Vilayat itu tanpa tandingan. Saat ia sedang bersemangat, hanya Ali Akbar Khan dalam penampilan terbaiknya yang mungkin bisa menandinginya. Ravi Shankar itu hanya sebatas penampil, tapi mereka adalah musisi-musisi sejati. Di antara para seniman yang hidup—aku bicara tentang para vokalis sekarang—aku sangat mengagumi Bhimsen Joshi.

Bagian 13: Masyarakat Filem

Ada kecenderungan di antara audiens masyarakat filem untuk hanya menonton filem-filem porno tanpa sensor. Bagaimana kita menolak godaan ini dan menghentikan apa yang sudah menyakiti gerakan penting?
Kau tidak bisa melakukan apapun sebab beberapa monyet ini—maafkan perkataanku—hanya tertarik pada soal itu. Dan jika mereka memintanya, kau akan mempertunjukkan filem-filem itu sebab kau berpikir mengembalikan modal. “Masyarakat filem sudah menjadi bisnis yang lain.” Kau perlu “mengkritisi” hal ini dan sungguh-sungguh membencinya, tapi kau tidak melakukannya. Negeri ini ada dalam kemerosotan. Aku seorang pemabuk—dan aku tidak menyembunyikan kenyataan; kebanyakan orang tahu betul aku ini pemabuk—jadi biarkan saja, tapi kau harus menjadi lebih keras dan agresif. Kau tahu, aku—dan juga Satyajit—tidak pergi untuk menonton pemutaran masyarakat filemmu lagi sebab filem-filem yang kau tunjukkan tidak bisa ditonton oleh orang beradab. Aku tidak mau menunjukkannya pada istri dan putriku. Kau harus melawannya. Aku tidak bisa. Aku sudah mengeluarkan diriku dari persoalan ini. Kau tahu apa yang ada di tanganku dan cuma itu yang bisa kulakukan, tapi pemutaran masyarakat filem dan audiensnya, kau harus…

Kami menanyakan ini untuk membantu kami memahami kenapa hal ini terjadi…
Tidak ada yang harus dipahami, atau dicermati. Kau hanya perlu berhenti mempertunjukkan filem-filem itu. Apa yang menurutmu sudah kau lakukan?

Apa yang harus menjadi alternatif agenda masyarakat filem kalau begitu?
sebagai tambahan untuk mempertunjukkan filem-filem bagus, kau akan membutuhkan diskusi, rangkakerja dan seminar teratur yang bisa membantu merangsang selera bagus. “Hanya itu.” Tapi pertama kali, berhenti mempertunjukkan filem-filem mengerikan itu. Semua sungguh tidak masuk akal. Yang paling utama Mizoguchi, kita perlu mendapatkan semua cetakannya, lalu dari Italia, Perancis…Bahkan dari Inggris, Lindsey (Anderson) mengerjakan beberapa karya bagus. Tarkovsky dari Rusia, Wajda dari Polandia, Shirley Clarke dari Amerika—“semua akan berlangsung selama setahun.”

Subarnarekha (1965), 1/13

Subarnarekha (1965), 2/13
}
Subarnarekha (1965), 3/13

Subarnarekha (1965), 4/13

Subarnarekha (1965), 5/13

Subarnarekha (1965), 6/13

Subarnarekha (1965), 7/13

Subarnarekha (1965), 8/13

Subarnarekha (1965), 9/13

Subarnarekha (1965), 10/13

Subarnarekha (1965), 11/13

Subarnarekha (1965), 12/13

Subarnarekha (1965), 13/13

– – – – – – – – – – – – –

Catatan Redaksi

[i] Crore: unit pengukuran. Setara sepuluh juta atau seratus lakh (seratus ribu).

[ii] Paisa: unit keuangan Bangladesh, India, Pakistan dan Nepal, setara dengan seratus rupee.
[iii] Indian People’s Theatre Association (IPTA) merupakan asosiasi seniman teater kiri yang bermarkas di Kalkuta, Bengal Barat, India. Dibentuk pada tahun 1942. Tujuan pendiriannya adalah untuk membawa kesadaran kultural di tengah-tengah rakyat India. IPTA merupakan sayap kultural Partai Komunis India.
[iv] Naxalite: anggota kelompok revolusioner bersenjata yang merupakan pendukung komunisme Maois di subkontinen India.
[v] Subhash Chandra Bose dilahirkan 23 Januari 1897 dan dianggap mati pada 18 Agustus 1945, meski hal ini dipertentangkan. Ia dikenal sebagai Netaji (pemimpin terhormat). Salah satu pemimpin paling kuat dalam gerakan kemerdekaan India.
[vi] Quit India Movement (Bharat Chhodo Andolan atau Gerakan Agustus [August Kranti]) adalah gerakan penolakan kepatuhan rakyat yang diluncurkan di India pada Agustus 1942 sebagai tanggapan atas panggilan Mohandas Gandhi untuk kemerdekaan mendesak. Gandhi berharap untuk membawa pemerintah Inggris ke meja perundingan. Hampir seluruh pemimpin Kongres Nasional India, dan bukan hanya pada tingkatan nasional, dipenjarakan kurang dari 24 jam setelah pidato Gandhi, dan sejumlah besar pemimpin Kongers menghabiskan waktu di penjara sepanjang sisa Perang Dunia II.
[vii] Ramkinkar Baij (20 Mei 1906- 2 Agustus 1980) adalah seorang pematung India, dikenal sebagai Pionir Pahatan Moderen India. Ia adalah salah seorang dari seniman India yang memahami bahasa seni moderen Barat dan menggunakan itu dalam pahatannya. Ia dianggap sebagai bapak moderenisme dalam seni di India.
[viii] Samaresh Basu adalah seorang penulis Bengali yang tinggal di Kalkuta, India. Ia lahir pada 11 Desember 1924 (1331 dalam kalender Bengali) dan menghabiskan masa kanak-kanaknya di Dhaka, Bikrampur [sekarang Bangladesh]. Ia meninggal pada 12 Maret, 1988.
[ix] Bhalchandra Trimbak Ranadive (19 Desember 1904 – 6 April 1990), dikenal luas sebagai BTR. Merupakan politisi komunis India dan pemimpin serikat buruh.
[x] Shobha Sen adalah seorang aktris teater pasca kemerdekaan India.
[xi] Baul adalah kelompok musik mistik dari Bengal. Baul terbentuk dari sekte relijius sinkretis dan musik tradisional. Baul mempunyai kelompok heterogen, dengan banyak subsekte, tapi keanggotaan mereka umumnya berisi Hindu Wishnu dan Muslim Sufi. Bisa diidentifikasi dengan pakaian dan instrumen musik mereka. Tidak ada yang tahu muasal mereka. Namun, karya puisi Rabindranath Tagore dan Rabindra Sangeet memiliki pengaruh besar bagi musik mereka.
[xii] Kali, juga dikenal sebagai Kalika adalah dewi Hindu yang berhubungan dengan energi abadi. Nama Kali berasal dari kala, yang berarti hitam, waktu, kematian, dewa kematian. Kali mewakili gambaran istri Dewa Siwa.


Tentang Ritwik Ghatak

Ritwik Kumar Ghatak lahir di Dhaka, Bengali Timur (sekarang Bangladesh) pada 4 November 1925. Dia dan keluarganya pindah ke Kalkuta pada tahun 1943 untuk menghindari bencana kelaparan di kampung halamannya. Pengalaman sebagai pengungsi ini banyak menginspirasi karya-karyanya. Pada 1971, Bangladesh memisahkan diri dari India yang sangat menyakitkan Ritwik, yang juga sangat berdampak pada karya-karyanya. Seniman ini adalah salah satu penulis/seniman Bengali yang sama besarnya dengan Satyajit Ray dan Mrinal Sen. Ayahnya bernama Suresh Chandra Ghatak adalah seorang hakim distrik yang juga seorang penyair dan dramawan. Ibunya adalah Indubala Devi. Ritwik adalah bungsu dari 11 bersaudara. Kakaknya, Manish Ghatak Nya adalah seorang penulis radikal di zamannya, seorang profesor bahasa Inggris dan seorang aktivis sosial yang aktif terlibat dengan gerakan IPTA. Istrinya bernama Surama, adalah seorang guru.

Ritwik Ghatak menulis naskah drama pertamanya Kalo (The Dark Lake) pada 1948. Pada tahun 1951, Ghatak bergabung dengan Asosiasi Teater Rakyat India (IPTA). Ia menerjemakan naskah-naskah Bertolt Brecht dan Gogol ke bahasa Bengali. Pertemuan pertama Ghatak dengan dunia filem terjadi pada tahun 1950 saat ia menjadi aktor dan asisten sutradara pada filemnya Nemai Gosh, Chinnamul. Karya-karya awal Ritwik Gathak banyak menggabungkan unsur teater dan sastra yang digabungkan dengan teknik dokumenter. Ia juga banyak terinspirasi oleh teater-teater rakyat, dan tentu menggunakan bahasa Brechtian dalam filemnya.

Filem yang paling terkenal dari Ghatak adalah Meghe Dhaka Tara (The Cloud-Capped Star, 1960), Komal Gandhar (E-Flat, 1961) dan Subarnarekha (Golden Lining, 1962) yang merupakan Trilogi tentang Kalkuta. Filem-filem ini bercerita tentang pengungsi dan penuh kontroversi.

Pada tahun 1966, Ritwik Ghatak pindah ke Pune dimana ia sempat mengajar di Film and Television Institute of India (FTII). Ritwik adalah seoarang alkoholik dan mempunyai kesehatan yang buruk. Filem terakhirnya adalah Jukti Takko Aar Gappo (Reason, Debate And Story, 1974).  Ritwik Ghatak meninggal pada 6 Februari 1976.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search