In Artikel

Matahi, seorang laki-laki pribumi di sebuah pulau Pasifik Selatan bernama Bora-bora, jatuh cinta kepada gadis pribumi bernama Reri. Suatu hari, Hitu, seorang pemuka suku yang diutus oleh pemimpin seluruh pulau, datang untuk membawa Reri sebagai pengganti perempuan suci yang telah mati. Matahi akhirnya harus terkena tabu, karena ia tidak bisa memiliki Reri demi menghormati seluruh masyarakat. Matahi tidak ingin kehilangan Reri, ia kemudian menculiknya dari Hitu. Mereka berdua pergi jauh, ke sebuah wilayah untuk menghindari tabu. Mereka kemudian bersembunyi di sebuah wilayah koloni Prancis yang masyarakatnya cukup makmur karena menghasilkan mutiara. Di wilayah koloni tersebut juga terdapat tabu menyelam pada sebuah wilayah lautan yang bermutiara. Karena wilayah tersebut terdapat ikan hiu yang pernah memangsa penduduk setempat. Matahi dan Reri bahagia dengan kehidupan baru mereka, namun Reri masih menyisakan rasa takut karena khawatir Hitu akan menemukannya. Hitu akhirnya menemukan Reri, dan menyatakan bahwa jika dirinya tidak menyerahkan diri dalam tiga hari, maka Matahi akan mati. Reri menyembunyikan pertemuannya dengan Hitu dari Matahi. Secara diam-diam, Reri berusaha membeli tiket kapal untuk mereka berdua agar dapat meninggalkan kepulauan menuju daratan. Namun uang mereka tidak cukup membeli tiket. Matahi kembali melanggar tabu menyelam di wilayah yang terdapat mutiara dan ancaman ikan hiu untuk mendapatkan uang. Ia kemudian nekat menyelam di wilayah lautan bertanda ‘Tabu’ tersebut. Matahi lolos dari hiu dan maut, Ia mendapatkan mutiara hitam yang mahal. Kemudian  ia pulang dengan bahagia untuk menemui Reri. Namun Reri telah dibawa Hitu. Ia lalu nekat mengejar Hitu yang membawa Reri dengan berenang mengarungi lautan. Namun, ia gagal, dan harus mengalami maut di tengah lautan.

TABU-1931

Kisah di atas merupakan cukilan narasi dari filem, Tabu (1931) oleh F.W. Murnau. Percintaan Matahi dan Reri bisa diinsyafi sebagai sebuah narasi yang cukup di-Eropa-kan oleh Murnau, dalam menggambarkan masyarakat Poiynesia, Pasifik Selatan. Kesadaran cinta Matahi terhadap Reri mungkin terlalu personal, karena selain meruntuhkan bangunan kepercayaan komunal masyarakat (tabu), kisah percintaan tersebut mengingatkan kita akan kaidah tragedi yang terdapat dalam kisah percintaan Romeo and Juliet. Apa yang dilakukan oleh Murnau dalam Tabuo pada dasarnya adalah usaha universalisasi gambaran masyarakat pribumi Polinesia. Bentuk tragedi yang terdapat pada narasi filem, semacam bentuk yang mengalahkan ide. Karakter Matahi yang ingin mendapatkan kebebasan dari tabu penghalang cintanya kepada Reri, pada dasarnya merupakan bentuk kesadaran Matahi, bukan sebagai pribumi. Istilah tabu itu sendiri memang berasal dari kebudayaan masyarakat Polinesia, berkaitan dengan pelarangan yang bersifat sakral. Persoalannya memang bisa dilihat dari perspektif, yang secara etik adalah objektifitas (outsider) dan secara emik (insider) adalah bagaimana simbol dimaknai oleh para masyarakat pribumi. Namun tragedi yang dibangun Murnau sungguh-sungguh ingin menghadirkan ‘Romeo dan Juliet’ masyarakat Polinesia, yang tidak lebih sebagai kehadiran Eropa.

Unversalisme Murnau dalam mendeskripsikan masyarakat Polinesia dalam karya ini berdampak pada imajinasi geografis, yang menganggap bahwa masyarakat yang berada di wilayah pedalaman macam Polinesia identik dengan kesadaran geografisnya. Sehingga, identifikasi terhadap entitas masyarakat Polinesia dalam film ini tidak lebih dari praktik memperlakukan masyarakat ‘dipedalamkan’ yang direpresentasikan dalam ungkapan imajinatif dalam visual filem. Pada adegan awal terlihat beberapa kaum laki-laki dan wanita pribumi pualu Bora-bora sedang bermain di air terjun. Pada ambilan jauh kamera, tampak latar panorama eksotisme alam air terjun, kemudian datang beberapa laki-laki dan perempuan pribumi bermain air. Posisi kamera mengarahkan latar panoramik yang seakan menjadi panggung, kemudian aktor para kaum pribumi memainkan peran yang sebenarnya, sebagai identitasnya sendiri, yakni kaum pribumi Polinesia. Pada adegan tersebut, para pribumi lak-laki dan perempuan yang sedang bermain-main di tengah eksotisme alam. Imajinasi geografis Murnau mengidentifikasikan sang tokoh, kaum pribumi identik dengan latar alamnya. Semua ambilan kamera tampak tertata, dan latar panoramik diposisikan sebagai panggung. Entitas masyarakat Polinesia pada adegan awal filem jelas diperlakukan secara positivistik, sehingga para aktor kaum pribumi tampak diramu secara rinci sebagai proses artistik untuk memenuhi semangat universalitas Murnau.

Dalam filem ini, Murnau menggunakan aktor yang memang berasal dari masyarakat pribumi Polinesia. Penggunaan penduduk pribumi sebagai aktor dalam filem lebih dilatari semangat mendapatkan ‘keaslian’ kisah oleh Murnau. Alih-alih penggunaan aktor yang diperankan masyarakat pribumi Polinesia tersebut tidak lepas dari intervensi plot dan kendali sutradara yang cukup dominan. Pada adegan upacara ritual sebagai manifestasi dari sistem kepercayaan masyarakat pribumi pulau Bora-bora Polinesia, terlihat bagaimana adegan ketika pengukuhan Reri sebagai pengganti perempuan suci menggunakan pendekatan ekspresionisme Jerman. Hitu, satu di antara tokoh antagonis dalam adegan upacara pengukuhan Reri,divisualisasikan dalam ambilan medium. Fokus pada wajah Hitu terkena bayang-bayang pepohonan yang tertimpa sinar matahari. Gaya ekspresionisme Jerman Murnau dalam Tabu, tampak sebagai praktik universalisasi yang termanifestasi dalam ambilan wajah Hitu yang ekspresionis. Upacara pengukuhan Reri yang terdapat dalam adegan ritual masyarakat pribumi Polinesia, mengandung bias-bias Eropa. Hal tersebut terdapat pada visualisasi wajah ekspresionis Hitu yang tampak seperti di-Jerman-kan. Padanannya adalah, konteks ekspresionisme Jerman adalah konteks psikologi masyarakat industri yang mengalami krisis moral pasca Perang Dunia pertama. Sedangkan Hitu merupakan identifikasi satu di antara tokoh spiritual masyarakat pribumi Polinesia yang dekat dengan kesadaran magis terhadap alam. Tentu terdapat jarak kesadaran antara ekspresionisme dan magisme terhadap alam.

Ekspresionisme Jerman juga tampak pada visualisasi wajah Hitu, ketika sedang melihat Reri di tempat persembunyiannya. Adegan ini mungkin lebih ‘Eropa’. Bagaimana Hitu menjadi momok bagi Reri yang telah melanggar ketetapan pada sistem kepercayaan masyarakat pribumi. Karakter Hitu sebagai momok terlihat pada adegan ketika Hitu tiba-tiba muncul di tempat persembunyian Reri di malam hari. Visualisasi wajah Hitu tampak bagai horor dengan ambilan wajah Hitu melalui pengelolaan cahaya dan gelap yang menerpa wajahnya di malam hari. Yang menjadi persoalan adalah konstruksi tabu yang dibangun Murnau dalam filem ini. Tabu merupakan bagian dari sistem kepercayaan masyarakat pribumi perihal pelarangan suatu kegiatan dan tindakan tertentu, yang pelanggarannya berdampak pada sanksi moral atau spiritual. Pada kasus filem Tabu, Murnau, sanksi lebih dekat sebagai horor serta momok Hitu yang mengejar Reri dan Matahi untuk menjalankan keputusan spiritual dalam kaidah sosial masyarakat pribumi Polinesia.

cena-de-tabu-1931---ultimo-filme-de-murnau

Representasi masyarakat Polinesia oleh Murnau dalam filem Tabu masih menyisakan stereotipe yang dilekatkan pada suatu entitas kebudayaan masyarakat tertentu. Praktik universalisasi Murnau dalam menggambarkan masyarakat Polinesia melahirkan sebuah bentuk imajinasi geografis. Stereotipe ‘pedalaman’ pun tak terelakkan ketika Murnau memuat adegan tentang keseharian masyarakat Polinesia. Pada adegan ini, ditampilkan beberapa lelaki dan perempuan masyarakat pribumi sedang bermain di alam Polinesia. Adegan dimulai ketika beberapa orang perempuan berlari bersama orang laki-laki yang mengejarnya. Ambilan jauh menampilkan latar panoramik dengan para aktor pribumi yang sedang bermain-main dengan keindahan alam. Adegan ini tentu tampak ‘diatur’. Visualnya juga bersemangatkan romantik. Respon manusia terhadap alamnya memperlihatkan kesadaran yang berjarak dengan alam, seakan manusia yang merespon naturalisme bersifat kanak-kanak. Konstruksi yang dibangun Murnau dalam adegan ini adalah identifikasi manusia yang identik dengan latar alamnya, sehingga stereotipe ‘pedalaman’ tak terhindarkan bagi penduduk pribumi Polinesia dalam visualisasi pada adegan ini.

Eropa sebagai pusat, sehingga imajinasi geografis yang ‘mem-pedalam-kan’ masyarakat pribumi di Polinesia tidak terhindarkan. Walau kemudian temuan antropologis melahirkan istilah ‘relativisme kebudayaan’ seperti diungkap Franz Boas, sebagai jembatan untuk memahami alam pikir masyarakat pribumi, konsep itu justru memperkuat Eropa sebagai standar kebudayaan bagi masyarakat lainnya. Karena yang menjadi dasar pembanding adalah kebudayaan Eropa (objektifitas).

Kebudayaan satu dengan kebudayaan yang lain tentu memiliki basis fundamental yang khas dan kontekstual, yang tidak bisa diperbandingkan apalagi ‘meliyankan’. Pada filem Tabu, idealisasi kebudayaan oleh Murnau terhadap masyarakat Polinesia begitu kuat.  Semangatnya adalah ‘keaslian’, yang bisa dibaca sama dengan ‘keanehan’ karena ada latar standar kebudayaan. Penggunaan para aktor yang dimainkan penduduk pribumi tidak lepas dari semangat ‘keaslian’ tersebut. ‘Pengliyanan’ melahirkan deskripsi tentang suatu kebudayaan entitas masyarakat tertentu hanya pada tampilan luar (artifisial). Pada filem Tabu, praktik ‘pengliyanan’ lahir dari semangat mengungkapkan ‘keanehan’ masyarakat di pedalaman dengan tampilnya beberapa adegan upacara masyarakat pribumi dalam pengukuhan Reri sebagai perempuan suci, sistem mata pencaharian yang berbasis ekologis, gaya berpakaian dan lain sebagainya.

Murnau memang sangat Jerman. Pengaruh ekspresionisme Jerman pun cukup kental diaplikasikan dalam praktik visual pada filem Tabu ini. Pada adegan seorang pribumi laki-laki sedang duduk di sebuah batu dekat air terjun, merupakan pengaruh tradisi ekspresionisme terhadap sinema Jerman yang memang berasal dari lukisan. Ambilan medium kamera, dengan memanfaatkan pencahayaan yang jatuh pada objek, serta sisi gelap pada objek menjadikan ambilan pada gambar adegan pribumi yang duduk di atas batu menjadi ekspresionisme lukisan. Pose seorang pribumi laki-laki pada adegan ini pun dipengaruhi oleh gaya pahat dalam tradisi ekspresionisme Jerman. Semangat ekspresionisme yang terdapat pada beberapa adegan karya Tabu ini semakin memperkukuh Eropanisasi visual dalam merepresentasikan masyarakat Tahiti pada karya sinema. Yang mungkin jarang menjadi perbincangan adalah persoalan etika dalam mengeksplorasi masyarakat pribumi Tahiti pada karya-karya visual. Intervensi dan kendali Murnau sebagai sutradara dalam filem Tabu terhadap akting para aktor yang dimainkan oleh para penduduk pribumi. Hal ini memperlihatkan konstruksi masyarakat Polinesia dalam cara pandang Eropa.

Sejarah sinema dalam menarasikan masyarakat pribumi pada mulanya memang berawal dari semangat dokumentasi oleh kaum Eropa. Kecenderungan dokumentasi memang tidak lepas dari semangat ‘keaslian’ untuk merepresentasikan suatu entitas masyarakat yang dianggap ‘di luar’ atau ‘berbeda’ dengan kaum Eropa. Kebutuhan dokumentasi dalam memvisualisasikan penduduk pribumi adalah semangat publikasi yang disampaikan kepada masyarakat Eropa, berdasarkan imajinasi geografis. Sehingga konstruksi yang tersampaikan kepada masyarakat Eropa tentang para penduduk pribumi lebih kental nuansa tentang masyarakat yang ‘liyan’, yang ‘aneh’ dan eksotis. Di Nusantara sendiri, kolonialis Belanda melakukan visualisasi penduduk pribumi yang memiliki tradisi khas –sebagai kebutuhan pamflet pariwisata agar para pelancong Eropa mau datang ke Nusantara yang eksotis.

review_tabu

Setidaknya, filem Tabu menyisakan dua gaya yang berbeda dalam mendeskripsikan masyarakat pribumi Polinesia. Murnau melibatkan Robert Flaherty sebagai orang yang berpengalaman dan intens dalam memproduksi filem di masyarakat Polinesia. Namun Flaherty berseberangan dengan Murnau. Robert Flaherty merupakan tipikal keselarasan hidup dengan masyarakat pribumi. Moana (1926) merupakan deskripsi masyarakat Polinesia yang cukup dokumenter mengikuti kehidupan para penduduk pribumi. Sedangkan Murnau adalah tipikal pencari universalitas, mengonstruksi dan mengintervensi suatu entitas adalah sah bagi Murnau, atas nama objektifitas dan kebenaran –dan mungkin seni.

Sebagai medium, kamera memang bukan sesuatu yang egaliter. Sialnya, manusia di belakang kamera jauh tidak egaliter lagi. Polinesia adalah wilayah koloni Prancis, yang tentu memudahkan Murnau untuk bisa membuat proyek filemnya. Implikasi proses representasi pada kamera bisa memiliki dampak bias, dan bahkan etika, ketika kamera berhadapan dengan manusia. Kecenderungan naturalisasi yang dimiliki oleh kamera, juga diikuti oleh semangat ‘keaslian’ para pemakainya.  Dalam kaidah literatur, nilai etnografi mengalami krisisnya ketika dihadapkan pada keberadaan sang penulis yang berada di ambang ‘kepenulisan’ dan ‘kepengarangan’. Kepenulisan memiliki implikasi deskripsi terhadap suatu entitas masyarakat tertentu berdasarkan semangat objektifitas dalam kaidah sebab akibat.

Literatur memang tidak sedang membuat realitas ulang. Kamera memiliki kemampuan untuk menciptakan realitas ulang.  Pergulatan tentang representasi memang jadi tidak lepas dari konstruksi budaya.

Timur adalah karir tak terelakkan. Paul Gauguin (1895), yang hadir lebih dulu dari Murnau (1929), pun menyebut Tahiti (Polinesia) sebagai Eropa yang membebaskan dirinya.  Masa Gauguin di Tahiti memang tahap menengah kolonialisme. Namun Gauguin tampaknya lebih peka dari Murnau. Ia menyebut Tahiti telah dieropakan, Batas-batas Tahiti baginya adalah perusahan-perusahan Eropa. Namun tetap saja, gairah Gauguin adalah mencari primitifisme masyarakat Tahiti, sebuah imaji geografis kaum orientalis yang haus mencari ‘keaslian’.

TABU1

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search