In Artikel
[tab] [tab_item title=”ID”]

Sudah dari zaman Yunani klasik, seni digunakan sebagai alat edukasi  maupun sebagai alat politik, seperti seni program musik melalui cerita mitos bagi pendidikan anak, dan program musik untuk membangun semangat dan keberanian para prajurit. Sejak zaman Yunani klasik pula seni sudah mulai membawa ideologi tertentu, seperti pandangan yang menekankan ‘harmoni’, keutamaan keberanian, dan pelarangan terhadap seni yang mengumbar ‘keluh-kesah’.

Olympia Part Two: Festival of Beauty (1938)

Olympia Part Two: Festival of Beauty (1938) oleh Leni Riefenstahl

Filem adalah bentuk seni yang paling penting, demikian ungkap Vladimir Lenin. Potensi revolusioner filem disadari betul sebagai kemampuannya menjangkau khalayak luas masyarakat.  Andre Bazin pun menyatakan filem adalah seni yang fungsional karena mengandaikan adanya penonton. Daya sosiologis pada filem ini, telah disadari betul oleh para pelaku politik untuk mengembangkan gagasan ideologi tertentu dalam mempengaruhi massa penonton. Filem sebagai alat propaganda, tidak saja memiliki kemampuan  menjangkau khalayak luas, namun juga lebih sebagai bagaimana realitas dan peristiwa dihadirkan melalui visual adalah sesuatu yang sentrifugal terhadap kehidupan nyata.

Dokumenter adalah bidang sinema yang sangat memainkan peran terhadap kontruksi aktualitas dari suatu peristiwa yang berlangsung. Kelahiran dokumenter propaganda bisa dianggap sebagai satu khasanah di dalam beberapa bidang sinema  yang memberikan sumbangsih penting terhadap sejarah estetika sinematografi. Propaganda sebagai usaha mempengaruhi penonton untuk mendapatkan efek tertentu adalah bagaimana melihat cara kerja sinema dalam mengkonstruksi realitas berdasarkan basis ideologi tertentu. Teknifikasi atau strutur bahasa gambar dalam sinema, mampu membuat konstruksi realitas berdasarkan sebuah ideologi teetentu. Pengertian propaganda dalam dokumenter ini, setidaknya tidak semata-mata dimaknai sebagai konten yang bersifat politik belaka, namun juga bagaimana ideologi politik juga berpengaruh pada estetika, bahkan sebaliknya.

Sosialisme dan Fasisme merupakan dua ideologi modern yang sangat produktif dan kental memainkan seni sebagai propaganda politiknya. Paham sosialis yang ingin membuka selubungan kesadaran kapitalis sebagai bagian dari kepanjangan tangan kepentingan kaum borjuis, sinema dokumenter sosialis adalah perwujudan dari skema ‘dialektika marxian’ dalam mengungkap selubung magis dari realitas ke arah kesadaran yang revolusioner. Demikian pula halnya dalam ideologi Fasisme, sebagai sebuah ideologi yang sangat kental mencirikan dirinya sebagai sesuatu yang estetis, adalah bagaimana penggambaran visual adalah sebuah ‘dimensi tertutup’ tentang paham fasisme itu sendiri.

Walter-Benjamin (1892 - 1940)

Walter-Benjamin (1892 – 1940)

Walter Benjamin menganggap bahwa semua karya seni memiliki kecendrungan politis. Ia adalah produksi dari kesadaran yang dimungkinkan, berasal dari renungan pengetahuan pada situasi keadaan sosial tertentu, perilaku dan moral, serta seperangkat harapan dari kehidupan manusiawi. Namun karya seni membutuhkan jejaring waktu agar bisa tampak, sedemikian hingga produk kesadaran yang muncul tidak sepenuhnya nampak dalam karya seni. Dalam revolusi teknis, perubahan signifikasi teknologis dan yang mana cara melakukan sesuatu dimungkinkan muncul. Filem sebagai sebuah kelahiran teknologi  bagi Benjamin adalah sebuah ‘kesadaran akan realisme baru’. Benjamin sendiri menganggap bahwa filem adalah teknologi dalam pengertian bentuk (form) dan isi (content). Sebagai bentuk, adalah bagaimana teknologi dapat di susun berupa montase, close-up dan sebagainya, dan sebagai isi bagaimana teknologi filem mampu memperluas kehidupan yang mana filem banyak menggambarkan ruang-ruang sosial.

Konteks menampatkan judul ‘Dokumenter Propaganda’ sesungguhnya lebih usaha melihat topografi bidang sinema dokumenter dalam menjangkau peristiwa-peristiwa politik dalam kerangka ideologi tertentu. Dalam hal ini, bagaimana estetika sinema melayani sebuah ideologi tertentu melalui sebuah peristiwa, atau bahkan sebaliknya, justru bagaimana suatu peristiwa yang harus melayani sebuah estetika dalam kerangka ideologi tertentu.  Sudah barang tentu, dokumenter propaganda telah membuat sekian  eskapisme terhadap para penontonnya, dan telah turut serta memberikan sumbangsih dan campur tangan jalannya sejarah perubahan sosial yang ada selama ini.

Filem dan propaganda mungkin bisa dimaknai secara sosiologis, karena jangkauan filem yang mampu merambah banyak manusia dan geografis. Lebih lanjut, filem juga bisa dimaknai sebagai perihal yang psikologis, karena memuat sekian image yang memiliki pengaruh berbeda terhadap tangkapan penonton. Bagi Pudovkin sendiri, filem bisa dimaknai sebagai ‘guru terbaik’, karena tidak hanya memberikan pelajaran kepada pikiran semata, namun juga memberikan pengaruh pada seluruh tubuh penontonnya.  Namun sinema dan propaganda bisa jadi adalah hal yang berbeda, karena memperbincangkan perihal tentang ‘ada’ (ontologis) itu sendiri. Sinema bisa dimaknai sebagai bahasa, yang pada dirinya sendiri bisa jadi memuat sekian ideologi tertentu yang mempengaruhinya. Sinemalah yang cukup menentukan propaganda apa yang sedang berlangsung dalam sebuah dokumentris, karena sinema itu sendiri adalah bahasa. Dalam konteks dokumenter propaganda kali ini, setidaknya pembacaan ‘sinema’ menjadi titik tekan yang cukup penting untuk diperbincangkan, karena berurusan dengan bagaimana cara mencapai pengaruh bagi penonton yang diharapkan oleh sang pembuat filem dokumenter. Lagi-lagi, perbincangan dokumenter propaganda kali ini adalah memuat pengertian propaganda secara estetis dalam sinema dokumenter, dan sumbangsih sinema dokumenter propaganda bagi perkembngan estetika sinema dunia.

Sergei Eisenstein; Kontruktivisme Sinema Rusia

Seniman bukanlah sebuah ilham yang visioner, namun lebih pada keterampilan seniman mengolah dan menggunakan material dan medium untuk sebuah karya. Tidak jarang istilah artistik enginering (artistic engineering) bisa atau sengaja dilekatkan pada dan oleh para seniman sinema Rusia. Selain istilah artistik enginering yang melekat pada pengertian sutradara dalam sinema sosialisme, juga adalah memaknai sang sutradara sebagai seniman adalah melayani dan pekerja bagi cita-cita revolusi yang termuat dalam ideologi.

Sergei Eisenstein (1898 - 1948)

Sergei Eisenstein (1898 – 1948)

Montase sebagai bahasa yang khas dalam sinema sosialisme pada periode 1920 an, adalah pengaruh-pengaruh dari memandang seni sebagai sesuatu yang tidak lepas dari konteks sosialnya. Tidak ada seni yang bersih dan mandiri dari konteks sosialnya. Dalam tradisi konstruktivis Rusia pada dasarnya adalah, bagaimana tingkat keilmiahan menjadi kepekaan estetika dalam mengkalkulasi dampak bentuk (form) bagi tangkapan para penontonnya. Pada karya-karya Eisenstein, banyak memperlihatkan bagaimana peristiwa diurai melalui montase yang mengkonstruksi kausalitas materialis. Atau pada sutrdara sejawat Eisenstien, Dziga Vertov yang membangun montase demi mengurai selubung magis dari peristiwa dalam kenyataan.

Kelahiran montase memang tidak luput dari semangat konstruktivisme yang seringkali disandingkan pada karya-karya seni yang banyak mengidentifikasi mesin-mesin industri. Istilah montase (montage) itu sendiri berasal dari bahasa Perancis, yang bisa diartikan sebagai kumpulan bagian-bagian ke dalam sebuah mesin[i]. Hal ini sangat terkait dengan ideologi sosialisme yang memiliki basis pengertian ‘rakyat’ sebagai entitas proletar (kelas buruh), adalah entitas yang melekat pada dinamika kaidah industri. Sedemikian hingga membayangkan para individu dalam pandangan sosialisme adalah satuan-satuan yang tergabung dalam bangunan besar masyarakat industri. Seturut dengan ideologi sosialisme tersebut, membayangkan seni bagi kelas buruh dalam basis industri mesin, kontruktivisme menekankan kesatuan dan perkembangan secara organik dari bagian-bagian sebuah mesin besar sosialisme. Dalam hal ini,  kontruksi itu sendiri adalah kalkulasi dari reaksi-reaksi partikular yang digunakan sebagai alat edukasi. Dalam kaidah ini, konstruktivisme banyak menyandingkan antara rancangan abstrak dan fungsi-fungsi praktis, seperti  image simbolis dengan gerak kelas buruh dalam satu kesatuan montase.

Tidak jarang pengaruh konstruktivisme yang mempengaruhi sinema montase Rusia, memiliki kesan yang formalis dalam membangun estetikanya. Bisa jadi pemaknaan formalis bisa diandaikan sebagai disiplin ideologi dalam menerapkan estetika dalam filem. Bagi formalisme Rusia sendiri meyakini bahwa, seni mematuhi prinsip yang berbeda dibandingkan dengan yang dilakukan jenis objek yang lain, dan tugas teori adalah mempelajari bagaimana karya seni yang dikonstruksi bisa menghasilkan efek-efek tertentu bagi tangkapan penonton (kelas buruh). Dalam hal ini, Formalisme Rusia secara tersirat telah mengandaikan tugas seni adalah sebagai alat pendidikan dan propaganda. Demikian pula ketika formalisme Rusia dalam memandang seni bukanlah sebagai objek pada umumnya, namun objek yang memang memiliki prinsip-prinsip yang dapat memberikan pengaruh pada kesadaran manusia. Sedemikian hingga, filem sebagai alat edukasi, dan sinema sebagai bahasa kritis dalam mengungkap kesadaran akan realitas, adalah satu kesatuan dokumentris yang bersifat propaganda.

Oktober (1927)

Filem Oktober Sergei Eisenstein merupakan kisah tentang perjuangan kaum buruh dalam merevolusi kekuasaan di Rusia pada tahun 1917. Secara subyektif memasukkan Oktober sebagai sebuah bidang sinema dokumenter propaganda, karena pertimbangan aktualitas sejarah dalam narasi filem, serta beberapa penggunaan footage berdasarkan newsreel seputar situasi atau tokoh dari Revolusi Oktober di Rusia.

Oktober(1927)

October (1927) oleh Sergei Eisenstein


October (1927) oleh Sergei Eisenstein

Beberapa kalangan menganggap bahwa Oktober  tidak mengandung intelektualitas bagi massa, bahkan beberapa kalangan menyebutkan filem ini terlalu formalis, sehingga mengalami penolakan pada awalnya. Namun ada juga beberapa pakar menganggap bahwaOktober justru kaya akan pengalaman, karena menghapus epos sejarah menjadi sebuah dialektika materialis tentang revoulsi sosial. Eisenstein banyak memasukkan montase-montase tentang gerak kaum buruh dalam merebut kekuasaan Tsar berdasarkan dinamika pergerakan kaum buruh pabrik sebagai konsekuensi dari dialektika meterialis.

Oktober merupakan  montase-montase tentang sejarah dari peristiwa penting Revolusi Rusia pada tahun 1917. Sebagai sebuah revolusi yang konon sebuah sumber menyebutkan bahwa  revolusi tersebut yang tidak memakan korban, Oktober pada dasarnya bukan sebuah epik yang menghadirkan ‘kepahlawanan’ individu, kecuali kepeloporan seorang Lenin yang memberikan ilham bagi gerak kolektif sosial kelas buruh. Seluruh kaidah narasi pada Oktober dibangun melalui montase materialisme dialektis, yang mana peristiwa dihadirkan melalu kerja industri dan pergerakan buruh dalam merebut kekuasaan Tsar.

Eisenstein mengembangkan dirinya dari transoformasi montase para pendahulunya (Kuleshov dan Pudovkin). Ia menganggap bahwa dasar dari montase adalah konflik sebagai penerapan paham marxisme pada montase sinemanya. Dalam hal ini adalah bagaimana montase mampu menangkap konflik yang ada dari sebuah peristiwa atau narasi. Pada Oktober, montase tersebut diungkapkan melalui bidikan-bidikan tentang simbolisasi kekuasaan Tsar yang dikesinambungkan dengan amarah kelas pekerja. Atau gerak para kelas buruh yang bergerak merebut kekuasaan yang dikesinambungkan dengan bidikan tentang roda mesin yang berputar. Eisenstein banyak mengungkap bidikan-bidikan yang bermuatan konflik dalam montase-montase pada karya Oktober, sebagai konstruksi sejarah Revolusi Oktober.

Pada Oktober, secara gamblang adalah propaganda tentang kelas buruh yang berhasil merebut kekuasaan Tsar pada Revolusi Oktober 1917 di Rusia. Segi propaganda oleh Eisenstein tidak sekedar menarasikana sejarah pergerakan kaum buruh dalam merebut kekuasaan Tsar, namun ia juga mengungkapkan nalar kesadaran yang berlaku ketika kaum buruh memenangkan Revolusi Oktober tersebut. Nalar kesadaran inilah yang menjadi titik pijak dalam montase sinema Eisenstein, yang mana kausalitas sejarah dijelaskan melalui kaidah materialisme dialektis marxian,dan kaum buruh menjadi basis perubahan serta dasar dari narasi dokumentris pada Oktober ini.

Que Viva Mexico, 1930

Que Viva Mexico merupakan satu di antara karya personal Eisentein tentang pengalamannya di Meksiko. Secara politis,  Meksiko adalah negeri yang telah berhasil melakukan revolusi sosialis pada tahun 1910. Secara tidak langsung, Que Viva Mexico adalah sebuah karya yang dikerjakan sebagai sebuah simpati atau solidaritas ideologi Eisenstein terhadap negeri Meksiko tersebut. Negeri Meksiko pada dirinya sendiri merupakan khasanah kebudayaan masyarakat dan alam yang memiliki bentuk yang khas pada kala itu, sehingga membawa simpati bagi para seniman surealias untuk banyak merujuk kebudayaan Meksiko sebagai prototipe kebudayaan masyarakat yang mampu mengkritik rasionalisme Eropa. Andre Breton, salah seorang pelopor gerakan surealisme menyebutkan bahwa Meksiko nyaris sebagai inkarnasi dari surealisme.

Que Viva Mexico (1930) oleh Sergei Eisenstein

Que Viva Mexico (1930) oleh Sergei Eisenstein


Que Viva Mexico (1930) oleh Sergei Eisenstein

Kisah pada Que Viva Mexico sesungguhnya adalah perjalanan Eisenstein di Meksiko yang dihadirkan melalui montase tentang kebudayaan, kisah personal, serta alam di Meksiko. Kisah-kisah tersebut diuraikan melalui dialektika alam dan kebudayaan, serta semangat kelas petani, sebagai perwakilan dari kelas buruh dalam terminologi sosialis dalam konteks masyarakat Meksiko. Persuasi yang dihadirkan pada Que Viva Mexico adalah dengan menghadirkan kebudayaan masyarakat Meksiko, sebagai kebudayaan yang memiliki kesadaran dialektis terhadap alam dan kebudayaan masyarakatnya.

Que Viva Mexico juga sempat menghadirkan realisme sosialis gaya Diego Rivera sang pelukis Meksiko. Seperti beberapa bidikan pada filem yang memuat adegan orang yang berhadapan dengan kaktus raksasa, atau seorang wanita yang berjalan di tengah kastil raksasa, dan seterusnya. Figur-figur alam, macam kaktus, atau figur-figur gedung macam kastil yang besar, adalah gambaran dan karakter yang disinambungkan dengan kehidupan masyarakat Meksiko. Gambaram kekuatan masyarakat Meksiko sebagai entitas yang memiliki kekuatan dan potensi revolusi di metaforkan melalui gambaran alam dan bangunan tersebut. Konstruksi gambaran masyarakat Meksiko yang disinambungkan dengan alam dan kebudayaan masyarakat ini, adalah karakter gambaran masyarakat sosialis yang khas yang terdapat pada situasi masyarakat feodal atau Amerika Meksiko. Sedangkan pengertian montase marxian pada Que Viva Mexico, bisa dilihat ketika montase Eisenstein yang menguraikan tentang kesadaran peran kaum perempuan Meksiko dengan situasi feodalisme di Meksiko, atau gambaran tentang para matador yang menjinakkan para banteng di kolesium.

Leni Riefenstahl; Estetika dan Teater Sejarah

Seni fasis pada dasarnya berpijak pada seni yang ideal, serta mengungkapkan kultus akan keindahan. Sedemikian hingga, kesempurnaan dan persisi-persisi terhadap bentuk menjadi perihal yang cukup penting dalam melihat seni fasis. Secara estetis, seni fasis adalah semacam seni yang tertutup karena semuanya mengacu pada ideologi fasis, Nazi. Semua perwujudan artistik  seakan mengacu, merujuk dan melayani  ideologi Nazi. Hannah Arendt  menyebutkan bahwa fasisme semacam “segala sesuatu yang terorganisir” (alles ist organisier bar).

Leni Riefenstahl (1902 - 2003)

Leni Riefenstahl (1902 – 2003)

Filem menjadi alat propaganda yang tak luput dari ambisi fasis untuk mengkonstruksi citra fasisme dihadapan massa dan dunia. Proyek dokumenter Adolf Hitler sang pemimpin fasis kala itu, adalah bagaimana filem menjadi alat propaganda dalam membenamkan ideologi fasisme di benak masyarakat massa Jerman. Fasisme memandang ‘ide’ di atas segala-galanya. Sedangkan manusia adalah turunan dari ide itu sendiri. Bagi Hitler dan juga Joseph Gobbels sendiri, menganggap bahwa ide yang sederhana dan diulang-ulang adalah sesuatu yang efektif bagi ingatan massa. Bahkan sesuatu yang bisa diulang-ulang itu adalah ‘kebenaran’ itu sendiri. Dalam karya Leni, atau bahkan dalam mise en scene pada gambar dokumentris Keagungan Kehendak dan Olympia, banyak menampilkan bidikan-bidikan yang terkesan diulang-ulang, terutama simbol-simbol atau panji-panji Nazi.

Joseph Gobbels sendiri sebenarnya lebih meletakkan kekuatan Radio (senjatan ke delapan) sebagai sarana propaganda yang paling efektif ketimbang film. Ia menganggap bahwa film adalah sarana yang murni hiburan, sedemikian hingga ia tidak banyak mengharapkan film sebagai sarana yang menggambarkan ideologi Nazi. Penggunaan filem sebagai alat propaganda oleh Gobels, tidak lepas dari acuannya melihat karya Sergei Eisenstein The Battleship of Potemkin, yang meraih sukses besar sebagai sebuah karya propaganda.

Keagungan Kehendak (Triumph of The Will, 1934)

Keagungan Kehendak, bukan sekedar diandaikan sebagai gambaran tentang Hitler yang mengendalikan bangunan besar Nazi Jerman, seperti yang banyak kalangan menduga hal demikan. Karya yang mengkisahkan tentang kongres Partai Nazi di Nuremberg pada tahun 1934 ini, sesungguhnya bisa ditafsirkan sebagai visi dari “sejarah objektif”, termasuk didalamnya menghadirkan seorang Hitller adalah bagian dari visi estetis dan bukan sama sekali sebagai visi moral dari visi fasisme secara keseluruhan. Sedemikian hingga, Keagungan Kehendak tidak lain gambaran objektif dari ideologi fasis Jerman dalam ungkapan-ungkapan estetis visual. Boleh jadi gambaran kehebatan dan kekejaman Hitler secara faktual merujuk pada gambaran Hitler karena perihal estetis, dan justru bukan sebaliknya.

Triumph of the Will (1934) oleh  Leni Riefenstahl

Triumph of the Will (1934) oleh Leni Riefenstahl


Triumph of the Will (1934) oleh Leni Riefenstahl

Leni mengangungkan Hitler (baca: fasisme) melalui sarana kamera dan editing, sedemikian hingga apa yang dilakukan oleh Leni sebenarya bukanlah penambahan fakta dari sebuah peristiwa yang didokumentriskan. Dalam hal ini, pengertian propaganda sebenarnya justru bukan penambahan atau penempelan peristiwa yang semata-mata sebagai kebutuhan menipulasi dalam membangun “mulia dan agungnya kehendak” dari karya Keagungan Kehendak. Estetikalah yang menjadi satu-satunya alat yang bekerja dalam membangun keagungan dari sosok Hitler, sebagai sebuah perwakilan dari kehendak massa dalam membangun Jerman Raya.

Ada beberapa hal yang bisa dimaknai dalam melihat karya Keagungan Kehendak ini, yakni bagimana pengaturan kamera semata-mata demi menggapai bingkai (frame) yang murni menghadirkan keluhuran manusia dan benda-benda. Bingakian ini merupakan bagaimana usaha kamera mencapai suatu gambar yang bersifat ‘spiritual’. Walau dalam realitas sesungguhnya, kongres Nazi di Nuremberg adalah situasi politik partai yang bersifat teaterikal melalui rancangan pawai, panggung rapat dan lain sebagainya, di tata sedemikian rupa sebagai sebuah peristiwa politik yang sakral. Joseph Gobels, sang agitator sendiri merancang tata lampu pada pidato Hitler di malam hari untuk mendapatkan efek-efek ‘sakralitas’ dan ‘keagungan’ dari peristiwa politik pada kongres Nazi tersebut.

Kemudiaan bingkaian kamera pada karya Keagungan Kehedak adalah usaha membentuk realitas menjadi sesuatu yang figuratif. Melalui montase yang di susun sedemikian rupa, gambaran Hitler sangat mewarnai realitas partai Nazi, sebagai sosok yang memberikan ilham dan kepemimpinan. Nyaris, hampir semua peristiwa dalam karya dokumenter ini adalah penanaman paham fasisme sebagai sebuah ideal realitas. Namun Leni sendiri menyatakan bahwa “Semuanya adalah asli (genuine). Dan tidak ada kecendrungan berkomentar untuk nalar yang sederhana yang mana seluruhnya tidak ada penafsiran. Ini adalah sejarah—sejarah murni.” Bisa jadi, penggambaran Hitler pun adalah sesuatu yang “murni”, sebagai kehendak objektif dari sejarah, dalam hal ini memandang totaliterisme sebagai disiplin estetis dari ideologi Nazi yang di anut, dan bukan kehendak personal.

Jika merujuk pada kosa kata ‘kehendak’ (will) pada judul Keagungan Kehendak, hal ini terkait dengan simpati Leni terhadap gagasan Friedrich Nietzsche (1844-1900). Namun tidak demikian dengan Hitler, yang menganggap bahwa Nietzsce hanya sebagai seniman, dan bukan filsuf. Hitler lebih bersimpati pada filsuf Jerman sebelum Nietzsche, yakni Arthur Schopenhauer (1788-1860). Perbedaan makna ‘kehendak’ antara Nietzsche dan Schopenhauer adalah antara kehendak sebagai sesuatu yang optimis oleh Nietzsche dan kehendak sebagai sesuatu yang pesimis oleh Schopenhauer. Pemikiran tentang kehendak itu sendiri, oleh kedua filsuf tersebut adalah kritik terhadap rasio yang nota bene adalah basis dari modernitas. Manusia adalah produk rasio, namun tidak bagi Schopenhauer, karena manusia adalah produk dari kehendak. Berangkat dari pengertian kehendak dalam konteks pemikiran fasisme, maka Keagungan Kehendak secara tidak langsung adalah penggambaran ideologi fasisme yang ambisius dalam membangun atau mengagungkan ideologi mereka.

Olympia (1938) 

Olympia merupakan karya Leni Riefenstahl tentang peristiwa Olimpiade musim panas di Berlin pada tahun 1936. Filem ini terbagi dua bagian, bagian pertama berjudul Festival of Nations, dan bagian kedua  Festival of Beauty. Menurut Susan Sontag, Olympia merupakan arah vertikal dari sebuah perwujudan ideologi fasis dan Keagungan Kehendak adalah arah horisontal dari pandangan fasisme.

Olympia (1938) oleh Leni Riefenstahl,

Olympia (1938) oleh Leni Riefenstahl


Olympia part 1: Festival of Nations oleh Leni Riefenstahl

Olympia adalah penggambaran tubuh dalam ideologi fasisme. Dalam konteks ini, pengertian tubuh adalah sebagai ide, yakni merujuk pada gagasan tubuh pada pemikiran klasik di Athena.  FilemOlympia merupakan politik tubuh dalam ideologi fasis. Pada adegan awal bagian pertama Olympia, dengan jelas memperlihatkan pengertian tubuh melalui penggambaran visual tentang tubuh melalui simbolisasi gunung Olympia dan kota Athena. Gambaran tubuh pada pandangan Athena klasik adalah merujuk pada pemikiran Platon yang tidak memisahkan tubuh dan jiwa. Walau ada beberapa pendapat yang secara umum menganggap bahwa tubuh terpisah dari jiwa dalam pemikiran Platon, namun seturut dalam konteks pandangan fasisme dalamOlympia, tubuh adalah perwujudan dari ide dan jiwa itu sendiri. Namun Olympia adalah penggambaran tubuh adalah tubuh ‘yang satu’, yakni tubuh yang sempurna dan persisi. “Tubuh adalah tanda (semion) dari jiwa”

Pada bagian Festival of Nation pada Olympia adalah penggambaran tubuh sebagai perwakilan suatu masyarakat. Dalam konteks ini, masyarakat direpresentasikan sebagai tubuh, yang mana dokumentasi seputar beberapa pertandingan dan semangat tubuh memanangkan pertandingan adalah representasi dari gambaran suatu masyarakat. Bagian ini juga menggambarkan bagaimana sebuah negara direpresentasikan oleh seorang atlet yang sedang bertanding dalam sebuah olah raga di Olimpiade.

Walau bisa jadi Leni Riefenstahl adalah seniman yang tidak tertarik pada politik, namun ketertarikannya terhadap objek bisa menjadi sesuatu yang organis dalam praktik politik fasis kala itu.  Gambaran tubuh pada dirinya sendiri bisa kita lihat pada bagian kedua Olympia, Festival of Beauty. Gerak dan persisi tubuh merupakan keindahan yang dihadirkan oleh Leni melalui dokumentasi dan bingkaian gerak tubuh yang sedang melakukan sebuah olah raga tertentu. Citra terhadap tubuh terlihat jelas dari bagian kedua Olympia ini. Semua bidikan beserta bingkaian gambar pada bagian kedua Olympia ini, adalah penggambaran sempurna dari tubuh sebagai representasi dari pandangan fasisme tentang tubuh.

Pada dasarnya estetika fasis tidak berhubungan dengan rasis dalam pengertian diskriminasi ras. Hal ini terkait dengan pandangan tubuh dalam estetika fasis adalah sesuatu yang dianggap memiliki gambaran yang sempurna, dan bukan ras. Sedemikian hingga, walau pengertian tubuh yang sempurna oleh Hitler adalah gambaran ras Arya, namun politik sensor yang berlaku dalam estetika Leni Riefenstahl adalah bukan dilekatkan pada ‘anti Yahudi’, namun lebih pada ‘tidak adanya tubuh yang cacat’ yang dihadirkan pada karya dokumenter Leni Riefenstahl.  Terbukti pada penggambaran dokumenter Olympia, juga memuat kemenangan-kemenangan pertandingan yang dimenangkan oleh ras yang berasal dari luar Jerman. Bahkan karya ini juga memuat kemenangan pertandingan bergensi olimpiade, pertandingan lari 100 meter, yang dimenangkan oleh atlet berkulit berwarna, Jesse Owens.

Joris Ivens;Kepercayaan terhadap Kekuatan Artistik

Joris Ivens, seorang sutradara dokumenter asal Belanda, yang meyakini bahwa seni harus dekat dengan dinamika kehidupan nyata. Ia menganggap bahwa dokumenter adalah jenis filem yang konsisten terhadap gambar ketimbang karya fiksi. Baginya, seni yang mangacu pada keindahan akan membawa pada kehancuran, sedemikian hingga filem harus berhubungan dengan kehidupan dan pergerakan sosial.  Seni dokumenter merupakan bidang sinema yang dekat dengan kehidupan. Hal ini bisa dilihat ketika dokumenter adalah perihal merekam orang-orang dan peristiwa di lokasi kejadian. Hal inilah yang bagi Ivens, seni dokumenter merupakan antitesa dari filem fiksi, karena dokumenter memperlihatkan bagaimana kehidupan dihadirkan dalam karya sinema.

Joris Ivens (1898 - 1989)

Joris Ivens (1898 – 1989)

Ivens menganggap bahwa film dokumenter seharusnya bisa menjadi motivasi suatu perasaan, bukan sebagai sebuah sebuah ungkapan sastrawi bagi  keindahan materi semata, tetapi juga sebagai rangsangan sebuah tindakan dan  sebuah reaksi.  Pengertian filem dokumenter oleh Ivens dalam konteks ini adalah, bagaimana sinema mampu memiliki peran sosial politik dalam menghadapi situasi keterbelengguan sosial masyarakat. Visi-visi propaganda dalam karya dokumenter Ivens terlihat cukup jelas, dari gambarannya tentang fungsi sosial sebuah karya dokumenter. Konsistensi dan pilihan Ivens terhadap karya dokumenter merupakan semangat seni sinema yang dianutnya dalam menghadapi situasi kebudayaan

“Seorang pembuat film dokumenter bukanlah pembual, yang dapat mengelabui kebenaran”, demikian ungkap Ivens.  Ilham kebenaran dalam dokumenter oleh Ivens, ia dapat dari semangat membuat dokumenter yang berasal dari sang pembuat yang selalu berada langsung pada sebuah persoalan dan kenyataan.  Memang selalu ada ideologi di balik sebuah intepretasi terhadap kenyataan yang direpresentasikan dalam sebuah karya dokumenter, namun Ivens menganggap bahwa keberhasilan sebuah karya dokumenter terletak pada sejauhmana kepercayaan khalayak penonton dalam dirinya sendiri, sebagai hasil dari kepribadian sang pembuat dokumenter dalam memilah dan memilih kenyataan yang direkam sebagai bagian penting dari kenyataan, tanpa harus melampaui kenyataan tersebut. Hal yang berbeda jika menyandingkan visi dokumentris Ivens tersebut dengan karya-karya Leni Reifenstahl.

Ivens menganggap bahwa ada dua tugas dari seni sinematografi, yakni mereka yang berbasis pada image sebagai rangkaian momen yang statis dari image yang bergerak, dan mereka yang berbasis pada gerak (movement) itu sendiri melalui pengorganisiran dari sekian banyak image. Ivens menganggap sinematografi yang berbasis pada gerak adalah sesuatu yang subtil, karena image yang statis merupakan kaidah fotografis dalam sinema. Namun Ivens tidak mengandaikan pengertian gerak sebagai sesuatu yang mekanis, namun gerak yang lebih pada kepekaan artistik seperti irama. Begitu juga, Ivens tidak mengandaikan irama dalam pengertian seni diluar sinematografi, atau irama yang berasal dari luar sinema. Ivens memaknai irama sebagai irama sinematografi pada dirinya sendiri, semacam kesinambungan gagasan dan emosi.

Kepercayaan kepada sinema secara an sich oleh Ivens, secara konsisten juga ia maknai dalam memperlakukan pengertian dokumenter sebagai sesuatu yang mampu mengungkapkan objek secara terbuka dan jujur. Sedemikian hingga, Ivens berusaha membedakan pengertian dokumenter sebagai sebuah newsreel atau sekedar reportase. Karena secara konsisten ia meyakini sebuah rancangan sinematografis dalam menggambarkan sebuah objek yang didokumentriskan, objek pada dirinya sendiri yang menunjukkan kesinambungan mereka dalam ruang dan waktu.

Tanah Spanyol (1937)

Karya Tanah Spanyol berkisah tentang perlawanan rakyat terhadap kaum fasis di Spanyol. Kisah tersebut diurai oleh Joris Ivens melalui dua montase besar, yakni kisah perlawanan dan semangat masyarakat membangun sebuah irigasi. Dua montase besar ini sesungguhnya adalah bagaimana Joris Ivens memadukan antara gambaran keseharian masyarakat Spanyol kala itu yang sedang bercocok tanam, didialektiskan melalui sebuah montase ideologis melalui kisah perlawanan rakyat melawan kaum fasis.emJoris Ivens;Kepercayaan terhadap Kekuatan Artistik

The Spanish Earth (1937) oleh Joris Ivens

The Spanish Earth (1937) oleh Joris Ivens


The Spanish Earth (1937) oleh Joris Ivens

Karya Tanah Spanyol semacam drama aktual yang diambil dari peristiwa-peristiwa yang hadir di lapangan. Metafor-metafor Ivens dalam Tanah Spanyol adalah bidikan keseharian para petani yang sedang berusaha membuat irigasi bagi lahan pertanian, yang dikesinambungkan dengan bidikan peristiwa perlawanan kaum sipil melawan pasukan Fasis. Dua sekuen peristiwa tersebut dimontasekan sebagai rumusan dialektika semangat perjuangan politik yang berhubungan dengan perjuangan domestik di wilayah ekonomi. Seperti pada adegan tentang para truk yang sedang bersiap menuju peperangan yang dikesinambungkan dengan adegan air yang mengalir untuk irigasi sawah.

Ivens tidak memisahkan antara dokumentasi ideologis berupa perang sipil di Spanyol, dengan keseharian masyarakat Spanyol yang sedang membangun irigasi bagi pertanian. Secara tidak langsung, Ivens mencoba menghadirkan sebuah dialektika politik adalah juga seiring dengan dialektika keseharian masyarakat. Montase-montase peperangan yang disinambungkan dengan bidikan para petani yang berjuang membangun irigasi, adalah penggambran dari dialektika tersebut. Basis dari drama tentang peperangan dan keseharian petani Spanyol yang sedang membangun irigasi adalah melalui montase.

Ivens merupakan sutradara yang sangat setia dengan gambar dan kemampuan artistik pada sinematografi. Setidaknya apa yang diungkapkan oleh Ivens tentang dokumenter yang murni berfokus pada gambar, menjadikan bidang dokumenter adalah bidang sineme yang cukup penting sebagai kepeloporan sinema sebagai bahasa gambar. Semangat ini, sekaligus sebagai konsistensi Ivens dalam menanggapi kehadiran karya fiksi Hollywood yang notabene adalah penggunaan sarana suara untuk menciptakan ilusi yang tidak kritis terhadap para penonton.  Beberapa adegan pertempuran yang berlangsung pada Tanah Spanyol, tidak menggunakan suara yang persisi atau sejajar dengan gambar. Memanfaatkan suara sebagai perihal yang sinematografis adalah semangat Ivens untuk mengemas perihal artistik filem yang murni karena pencapaian estetika sinema ketimbang bidang seni yang lain. Hal ini diperlihatkan Ivens melalui adegan pemboman di sebuah desa, yang mana penggunaan suara bukan lagi merujuk pada sesuatu yang mimesis seperti diperlihatkan pada realisme Hollywood.

Justru sesungguhnya dengan memanfaatkan kodrat yang termuat dalam sinema, rekaan-rekaan gambar dapat memperlihatkan sebuah proses dan dinamikFilem adalah bentuk seni yang paling penting, demikian ungkap Vladimir Lenin. Potensi revolusioner filem disadari betul sebagai kemampuannya menjangkau khalayak luas masyarakat.  Andre Bazin pun menyatakan filem adalah seni yang fungsional karena mengandaikan adanya penonton. Daya sosiologis pada filem ini, telah disadari betul oleh para pelaku politik untuk mengembangkan gagasan ideologi tertentu dalam mempengaruhi massa penonton. Filem sebagai alat propaganda, tidak saja memiliki kemampuan  menjangkau khalayak luas, namun juga lebih sebagai bagaimana realitas dan peristiwa dihadirkan melalui visual adalah sesuatu yang sentrifugal terhadap kehidupan nyata.a peristiwa yang di urai. Ivens tentu sadar akan tersebut, seperti yang ia perlihatkan dalam banyak penggunaan-penggunaan montase yang ia pakai dalam karya dokumentrisnya. Ivens merupakan sutradara dokumenter yang cukup mengerti akan arti seni dalam merekam peristiwa-peristiwa aktual. Sehingga bahasa dokumenter Ivens dalam mengkisahkan peristiwa sosial politik justru bukan sekedar dalam pengetrian propaganda secara an sich.  Seperti yang kritisi sinema Perancis, Andre Bazin nyatakan “…realism in art can only be achieved in one way—through artibOlympiafice[ii]. Namun Ivens mengemasnya melalui seni dokumentris yang menarik, ketika membangun latar sebuah peristiwa secara sinematografis.

Selain itu, Joris Ivens merupakan sutradara tidak menceritakan kesengsaraan manusia oleh manusia, namun lebih menginsyafi perjuangan dan pergulatan manusia atas nasib yang melingkupinya. Karya-karya Ivens merupakan kesaksian sinematografis terhadap perjuangan kaum tertindas, sebagai sebuah kesaksian yang bisa dianggap lebih memiliki makna kultural dan metafisis, ketimbang kesaksian-kesaksian lainnya.  Menurut sejarawan sinema, Georges Sadoul “He is a a great documentarist not only because of the poetry of his images and their rhythmic constructions, but also because he has been, in every sense of the term, a man of his times[iii].  Hal ini bisa kita lihat dalam Tanah Spanyol, yang mana militansi dan perjuangan melawan pemerintahan fasis, tidak digambarkan sebagai narasi yang menyedihkan, namun melalui montase semangat para prajurit yang disinambungkan dengan kisah para petani yang berhasil membangun irigasi bagi pertaniannya.

Komsomol (1934)

Karya Komsomol merupakan kisah tentang para pekerja yang sedang mengerjakan sebuah proyek pembangunan industri di bawah program kepemimipinan sosialis Rusia pada masa Stalin.  Gambaran-gambaran semangat para kelas buruh dalam membangun sebuah industri, dinarasikan melalui gambar montase dalam konstruksi kolektivitas para kaum pekerja. Ivens lebih mengungkapkanya secara kronologis, tentang  kronologis dan penyingkapan peristiwa melalui semangat kolektif para pekerja yang sedang membangun sebuah industri. Konteks dokumenter propaganda Ivens pada Komsomol adalah, bagaimana sebuah peristiwa disingkap melalui ideologi sosialis yang berbasis pada kolektivitas para kelas buruh dalam membangun industri.

Komsomol (1934) oleh Joris Ivens

Komsomol (1934) oleh Joris Ivens


Komsomol (1934) oleh Joris Ivens

Kisah dokumentris tentang 200 ribu pekerja di Magnitogorsk, Ura ini, tetap mencirikan penggambaran personal seorang Joris Ivens. Ivens menggambarkan tanpa seorang tokoh, aktor, termasuk didalamnya juga tidak mencirikan sebuah kepemimpinan sosialis sebagai basis montasenya. Beberapa bidikan seperti seorang pekerja yang meniup seruling ditengah para pekerja yang sedang membangun, adalah penggambaran personal dari seorang Ivens sebagai sutradara yang bersimpati pada ideolgi sosialis.

Ivens menganggap bahwa realitas bukanlah hal yang statis, dan bahan baku sinematografinya adalah realitas lapangan itu sendiri. Sedemikian hingga, semangat membawa ideologi sosialis Ivens adalah membawa realitas ke arah yang lebih prograsif. Ivens mengungkapkan realitas yang tidak statis tersebut melalui alat kamera, sebagai bagian dari kemajuan artistik yang dihasilkan oleh sinema. Peristiwa-peristiwa kelas buruh yang sedang membangun industri di Ural pada Komsomol, adalah sebuah episode tentang bagaimana kamera mampu menyingkap selubung statis pada penokohan individu melalui penggambaran penokohan secara kolektif. Komsomol adalah usaha mendinamisir peristiwa tentang para pekerja yang sedang membangun industri oleh Ivens. Lagu mars para kaum buruh turut memberikan warna dinamika dari peristiwa yang coba dikisahkan oleh Ivens secara progresif. Demikian pula usaha membuat beberapa adegan kecil tentang para pekerja yang sedang giat membangun. Hal ini tidak lepas dari semangat Ivens untuk membuat dokumenter menjadi sesuatu yang sekedar sebagai newsreel atau reportase dari sebuah peristiwa.

Penutup

Seperti halnya sinema dalam sosialisme yang  berada dibawah naungan realisme, hal yang sama juga sebenarnya berlaku pada sinema fasisme juga mendasarkan seninya pada realisme. Namun realisme fasis, lebih mengagungkan ‘idealisme’. Hal yang berbeda dalam pandangan realisme pada sinema sosialis yang mendasari dirinya pada ‘moral’ dan keberpihakan pada kelas buruh. Dua arah realisme ini, tentu memiliki cara pandang realisme yang berbeda di antara sosialisme dan fasisme. Walau banyak kalangan menganggap kedua paham ini adalah paham totaliter, yang mana seni adalah sebagai alat propaganda, namun yang pasti kedua paham tersebut menganggap bahwa propaganda adalah usaha untuk memberikan pengaruh kepada massa agar mendapatkan dampak-dampak tertentu.

Bisa dikatakan bahwa dalam ideologi sosialisme, pengertian tubuh adalah sesuatu yang kolektif, sedangkan pengertian tubuh dalam ideologi fasisme adalah sesuatu yang ‘individual’. Pada karya-karya Eisensitein dan Joris Ivens, penggambaran tubuh sangat jelas yakni tubuh kelas pekerja yang kolektif . Sedangkan pada karya-karya Leni Riefenstahl pengertian tubuh adalah sesuatu yang individual, yakni tubuh yang persisi dan sempurna seperti penggambaran tubuh pada pemikiran Athena. Selain itu, pengetrian tubuh dalam karya-karya sosialisme, seakan penggambaran tubuh yang menyatu dengan semangat industri, tubuh menjadi semacam satuan-satuan ‘skrup’ sosial industri, yang bekerja demi cita-cita sosialisme. Kemudian pengertian tubuh dalam karya fasisme, diperlihatkan bahwa tubuh adalah sesuatu yang tunggal dan ideal, atau tubuh adalah ide.

Dalam melihat bagaimana sebuah karya dokumenter melayani sebuah ideologi adalah hal yang cukup menarik. Sumbangsih estetika yang pernah diperlihatkan oleh para sutradara sosialisme dan fasisme sesungguhnya masih bisa kita rasakan sampai hari ini. Bagaimana montase bisa memainkan peran dalam mengkonstruksi realitas dalam gambara bergerak, dan bagaimana Kehendak Kuasa Leni Riefenstahl adalah keagungan visual melalui pergerakan kamera, dan pengambilan berbagai sudut gambar yang di bidik secara serempak. Khasanah sinema dokumenter propaganda adalah sesuatu yang masih menarik kita bahasa, khususnya perihal ketika estetika melayani ideologi…


*Dikembangkan dari tulisan Katalogus Doc Files Forum Lenteng, Dokumenter Propaganda

[i] Susan Sontag. “Fascinating Fascism”, dalam Under The Sign of Saturn. 1980: hlm. 126

[ii] Andre Bazin. Cinematic Realism and The Italian School of the Liberation, dalam Andre Bazin and Italian Neorealism. (Editor Bret Cardullo). New York: 2011.  Hlm 38.

[iii] Goerge Sadoul. Dictionary of Film Maker. Los Angels: 1972,  hlm. 124
[/tab_item] [tab_item title=”EN”] (Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item] [/tab]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search