Menelisik Genealogi Seni Video Dunia
Perkembangan seni video di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir sangat menggembirakan. Berbagai gelaran seni rupa telah memasukkan seni video sebagai bagian dari pameran seni kontemporer. Bahkan seni video telah masuk ke galeri-galeri komersial dan menjadi incaran para kolektor. Pada 2003, Ruangrupa Jakarta mengadakan OK.Video Jakarta Internasional Festival—bekerjasama dengan Galeri Nasional Indonesia—yang menjadi salah satu barometer perkembangan seni video di Indonesia. Melihat ke belakang, khususnya di Indonesia, kemunculan penggunaan medium video dalam karya seni rupa sudah dimulai oleh Teguh Ostentrik, Krisna Murti dan Heri Dono dalam karya instalasi mereka pada akhir 1980-an. Pada awal 1990-an, Heri Dono memakai medium video sebagai bagian dari seni rupa instalasinya ditandai dengan karya, Hoping to Hear from You Soon (1992). Kemudian Krisna Murti pada karya 12 Jam dalam Kehidupan Penari Agung Rai (1993) yang juga menjadikan video sebagai bagian dari karya instalasinya. Pada karya ini, Krisna Murti membenamkan beberapa monitor yang memuat video rekaman dokumentasi tentang penari tradisi asal Bali, Agung Rai.
Menurut Krisna Murti, seni video itu adalah jika pelukis menggambar dengan cat, seniman video melukis dengan medium video. Seni video bisa ditayangkan di mana saja mendekati penontonnya. Video memberikan ruang alternatif tontonan dalam seni rupa (Krina Murti: Kanisius, 1999: 47). Dalam sejarah perkembangan seni rupa moderen dunia, seni video adalah bagian gerakan sosial di ranah estetik oleh seniman pada tahun 1960-an. Teknologi media video digunakan oleh seniman sebagai perlawanan budaya (counter culture) terhadap dominasi media massa dan booming media televisi di Eropa dan Amerika. Tokoh-tokoh seperti Nam Jum Paik, Richard Sierra, dan Joan Jonas adalah generasi pertama perupa yang menggunakan video sebagai bahasa rupa.
Sebuah karya seni video, seyogyanya mencakup empat unsur pokok, yaitu unsur seni rupa, unsur interaksi, unsur tema serta unsur komunikasi. Dengan begitu, lewat tayangan video serta wacana pendukung lainnya akan terlacak semacam representasi intelektual dari senimannya, yang mengandung unsur fenomenal, sensibilitas, perasaan serta imajinasi, yang dirangkaikan secara informatif-deformatif (Krisna Murti: Kanisius, 1999: 95).
Pada tulisan ini saya tidak akan membahas perkembangan seni video di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Namun mencoba memberikan gambaran bagaimana seni video itu muncul pada periode awalnya, dari temuan video dokumenter WGBH Boston Public Television.
Pada 1973, WGBH Boston Public Television—lembaga penyiaran nirlaba di Boston, Amerika Serikat membuat sebuah serial tentang eksplorasi media baru yang bernama video art (seni video). Berkas serial sejarah awal video ini ditemukan dalam jejaring sosial, YouTube. Ada enam seri tentang seni video. Program ini memunculkan beberapa seniman video yang mengekplorasi medium dan yang masuk ke wilayah teknologi di mana sebelumnya terbatas.
Bagian I
Membicarakan seni video tidak lepas dari bagaimana perkembangan media massa pada era tahun 1960-an. Media televisi yang menjadi bagian integral dari fenomena teknologi video telah masuk ke ranah yang paling kecil yaitu rumah tangga. Benda ini hadir di tengah keluarga dengan reality show, opera sabun, iklan, filem televisi tengah malam, dan berbagai cerita-cerita lain dengan sampah-sampahnya. “Kotak Pembodohan” (Idiot Box) ini mempunyai peran menyampaikan gambar-gambar yang dipenuhi oleh imaji publik yaitu imaji semua orang ada di dalamnya.
Dari paradoksnya peran televisi ini, muncullah gerakan yang mengajak setiap orang untuk membuat medianya sendiri. Dimulai pada 1965, saat teknologi menemukan lompatan besar yaitu; penemuan portable video camera (kamera video jinjing)—di mana setiap orang dapat menjadi sutradara, kameraman, dan tentu kadang-kadang menjadi bintang sekaligus ia dapat melihat dirinya sendiri melalui teknologi ini. Pada 1960-an, muncul kelompok-kelompok seniman yang mencari alternatif tontonan yang berbeda dengan media televisi arus utama. Menurut mereka, televisi telah berdampak secara sosial pada tingkat yang mengkhawatirkan.
Melalui ekperimentasi teknologi, para seniman ini memunculkan imaji-imaji abstrak dalam video. Pada periode awal seni video, para seniman video banyak mengangkat persoalan yang biasa dengan bungkus yang kaya ide. Karya-karya seni video selalu berbicara tentang manusia dan teknologi. Penggabungan budaya media massa dan teknologi pada akhirnya memberikan lompatan besar dalam seni dunia. Karena lompatan besar inilah, video dianggap sebagai gelombang baru (the new wave) dalam seni.
Teknologi video hadir di tengah masyarakat yang sebelumnya menjadi penonton, kemudian mengubah mereka untuk dapat menjadi kreator tontonan. Dengan kemudahan teknologi, semua orang dapat melakukannya. Video dapat menjadi mainan, juga sebagai alat untuk mengekspresikan diri secara berbeda dengan bahasa rupa lainnya seperti lukisan dan patung.
Dari amatan di atas, dalam video pertama WGBH Boston Public Television ini mengatakan; kata kunci dari gelombang baru ini adalah “akses”—di mana masyarakat mempunyai kesempatan untuk melakukan sendiri apa yang mereka inginkan—yang selama ini sangat tidak mungkin diakses. Hal ini merupakan bentuk penyeimbang kekuatan komunikasi yang menyentuh wilayah ekonomi dan politik.
Bagian II
Pada video kedua, dijelaskan bentuk yang paling ortodoks dari seni video. Awal gerakan seni video, para seniman banyak menggunakan teknik feedback yang digabungkan dengan synthesizer. Melalui penggabungan teknologi ini, seniman video membuka kemungkinan penggabungan medium dengan seni pertunjukan dan seni musik. Bentuk-bentuk dan efek visual dalam teknik feedback adalah bentuk yang paling universal yang digunakan oleh seniman-seniman video dalam berkolaborasi dengan medium seni yang lain.
Teknik feedback adalah teknik yang menggunakan efek elektronis dari kamera dan monitor. Saat kamera dihadapkan ke monitor—yang terhubung dengan kamera—akan muncul imaji tanpa batas. Dengan menggunakan teknik zooming dan permainan fokus pada kamera video, muncullah efek feedback yang abstrak. Efek video feedback yang di dalamnya ada saling keterkaitan kamera, video, realitas dan ilusi ini dianggap sebagai misteri video.
Bagian III
Video ketiga menjelaskan bagaimana teknik feedback digunakan dalam karya-karya seni video yang menghasilkan imaji transendental dan mistis. Imaji-imaji ini memunculkan inspirasi dari berbagai seniman saat itu untuk menggabungkannya dengan fotografi, filem dan sebagainya. Dalam beberapa video, penggabungan teknik feedback dengan filem memunculkan imaji yang psikedelik.
Pada bagian lain, ada juga seniman yang menggunakan potensi optik dari kamera video. Seperti seniman video Frank Gillette, yang menggunakan gerak kamera, zooming, dan teknik fokus dalam membangun fantasi. Ada juga Steina Vasulka yang menggunakan teknik ambilan dekat ekstrem (extreme close up) pada kamera video dalam karya, Let It Be.
Bagian IV
Gerakan seni pada 1960-an memunculkan happening art—yang menjadi bahasa seni di luar kebiasaan—di mana karya dilihat bukan pada hasil akhir, namun dari proses karya itu sendiri. Karya-karya seni video dalam periode ini banyak menggunakan logika happening sebagai bahasa seni video. Video menampilkan proses perjalanan sebuah peristiwa menuju akhir. Karena itulah, seni video juga disebut sebagai seni berbasis waktu (time-based art) karena kata kuncinya adalah “proses.”
Pada video keempat ini juga ditampilkan ambiguitas kenyataan yang dihasilkan oleh karya seni video. Joan Jonas menampilkan logika ini dalam karyanya. Perempuan yang juga aktifis feminis ini menggunakan bingkai video dan kaca yang dihadirkan secara bersamaan. Jonas menyebutkan logika kenyataan tubuhnya seperti; mata sebelah kanan, mata sebelah kiri. Namun, dalam kenyataan video, ia bisa sangat berbeda, karena ia tidak lagi sama dengan kenyataan yang seharusnya –mata sebelah kanan juga dapat menjadi mata sebelah kiri.
Bagian V
Pada video kelima ditampilkan bagaimana video membalikkan realitas yang ada dalam seni lukis, patung dan filem. Dalam hal ini, dapat dilihat pada karya-karya Peter Campus—yang menggunakan teknologi komputer editing dalam karyanya. Teknik ini tentu sudah tidak asing bagi kita sekarang, namun tetap saja saat melihat video Campus, saya disudutkan pada pemutarbalikkan fakta melalui teknologi ini.
Pada karya video yang dihadirkan dalam dokumenter WGBH Boston Public Television, Campus berdiri menghadap sebidang kertas. Kemudian kertas itu disobek. Seketika tubuh Campus juga sobek oleh sosok dari balik kertas. Kemudian sang seniman masuk ke dalam kertas dan sosok (sang seniman sendiri) di balik kertas juga keluar dari sobekan yang sama. Ada dua realitas yang hadir bersamaan. Dengan teknik video, Peter Campus membalikkan pikiran kita tentang konsep kehadiran, ruang dan waktu.
Bagian VI
Pada bagian akhir video dari YouTube ini, disampaikan bagaimana medium video menghasilkan lanskap baru. Lanskap ini menampilkan bagaimana dunia virtual dan realitas digabungkan dalam sebuah pertunjukan. Pada karya video Ed Emshwiller, kenyataan yang dihadirkan melalui para penari (performer) digabungkan dengan efek video di atas panggung. Namun, dalam beberapa saat para performer menjadi virtual—masuk ke dalam lanskap yang terbentuk dari pola-pola abstrak yang dihasilkan video.
Dari enam bagian video ini, kita dapat membaca bagaimana genealogi seni video dalam perkembangan seni dunia—seni video secara muasalnya memang berbeda dengan seni yang lain. Ia hadir sebagai tanggapan terhadap kehadiran teknologi media, terutama televise, dan merupakan kritik terhadap dominasi media arus besar yang menyentuh persoalan ekonomi, budaya dan politik. Dengan latar belakang yang berawal dari sebuah gerakan perlawanan media, seni video menjadi cikal bakal dari seni media dan seni media baru (new media art) seperti yang sering disinggung dalam seni rupa kontemporer di Indonesia lima tahun terakhir.
Ade Darmawan—salah seorang pendiri Ruangrupa Jakarta—mengatakan dalam esainya, Infrastruktur Seni Media Baru?: “Perkembangan seni media akan selalu sejalan dengan penemuan-penemuan teknologi baru yang juga mempengaruhi kehidupan masyarakat kontemporer. Berbeda dengan medium seni lain yang berbasis materi seperti seni lukis dengan kanvasnya. Seni media baru (seni media) akan terus bergerak dengan pesat membuka diri untuk segala kebaruan gagasan seni dan teknologi yang ada di masyarakat (Apresiasi Seni Media Baru: Depbudpar, 2006: 87).
Video: The New Wave WGBH Boston Public Television sedikit banyak membantu kita dalam upaya mengapresiasi seni video. Cukup banyak seniman di Indonesia mencoba untuk membuat karya seni video, namun sering pula lupa pada kaidah medium itu sendiri. Karena teknologi video itu adalah sebuah kebudayaan yang berbasis media massa dan teknologi, maka untuk dapat menaklukkannya kita perlu tahu budaya teknologi video itu sendiri.