Matsumoto Toshio adalah lulusan Universitas Tokyo, 1955. Ia perintis dokumenter avant-garde, filem eksperimental, multimedia, dan videoart di Jepang. Di dalam maupun di luar negeri, telah mempresentasikan filem-filem pendek eksperimentalnya mulai dari Song of Stones (1963) hingga Traces of Memory (1987), dan karya videoart mulai dari Regeneration (1971) hingga Disguise (1992), serta filem panjang eksperimental sejak Funeral of Roses (1969) sampai Dogra Magra (1988), dan telah banyak meraih penghargaan. Menerbitkan banyak buku mulai dari Eizo no hakken (1963) hingga Eizo no yankyu (‘Pursuit of the Image’, 1992). Saat ini adalah profesor dan dekan Fakultas Seni pada Universitas Senirupa dan Desain Kyoto, serta Ketua Perhimpunan Ilmu Pengetahuan dan Seni Gambar Jepang.
Karya-karya Filem Eksperimental, 1961-1987
The Weavers of Nishijin (1961)
The Song of Stone (1963)
Mothers (1967)
For the Damaged Right Eye (1968)
Ecstasis (1969)
Gerow: Ketika akhirnya Anda menjadi pembuat filem, saya dengar aslinya Anda ingin jadi pelukis. Bisakah Anda bicara soal hubungan antara sinema dengan lukisan, dan mengapa Anda memutuskan karir di bidang filem.
Matsumoto: Ya, saya suka lukisan. Saya sudah melukis sejak sekolah menengah pertama, tapi Jepang sangat miskin waktu saya baru akan memasuki kuliah di awal 1950an. Menjadi pelukis berarti Anda tidak makan. Meski demikian, saya ingin melukis, tapi orangtua saya sangat menentang keinginan saya masuk sekolah seni dan berkata mereka bisa membiayai ujian atau uang masuk sekolah seni. Di hari-hari itu, tidak ada pekerjaan paruh-waktu seperti sekarang, jadi tidak ada jalan bagi saya untuk melakukannya sendiri. Maka saya tidak jadi ke sekolah seni dan memasuki kursus medis di Universitas Tokyo sebab saya tertarik pada otak dan masalah-masalah skizofrenia.
Sekalipun saya tak perlu memperpanjang ketidaksukaan itu, saya pikir hidup saya hanya satu kali dan saya ingin mengejar seni. Tanpa setahu orangtua saya. Di tengah jalan, saya beralih jurusan ke seni dan sejarah seni pada fakultas sastra. Bagaimanapun juga, Tokyo tidak pernah benar-benar punya kelas ajar manapun cara melukis, jadi saya belajar teori dan sejarah seni di kampus dan belajar melukis secara otodidak. Dalam studi saya sendiri itu, untuk pertama kalnya saya belajar bahwa ada sinema avant-garde di Eropa tahun 1920an yang secara visual begitu erat terhubung dengan seni kontemporer yang menyentak saya laksana kilat entah dari mana. Meski saya tidak bisa menonton filem-filem ini di Jepang, saya amat keras terdorong oleh buku-buku dan artikel-artikel asing mengenainya. Saya merasa bahwa ini, kawasan di mana isu-isu seni dan sinema berkelindan, adalah apa yang sedang saya cari selama ini.
Tentu, saya suka filem dan menontonnya sejak saya di sekolah menengah pertama dan atas. Malahan saya diperlakukan bak penjahat cilik dan dua kali ditangkap polisi Shinjuku karena mabal. Jadi, saya jatuh cinta sekali pada filem, dan saya minta teman saya yang punya tiket terusan –ayahnya menjalankan bisnis bioskop– meminjamkannya ke saya. Saya akan pergi sekolah sampai siang dan langsung ke Shinjuku untuk menonton filem-filem, mendatangi tiap pemutaran perdana di bioskop dari ujung ke ujung. Menonton setiap pemutaran perdana filem-filem di Shinjuku berarti saya menonton hampir semua yang baru beredar.
Gerow: Baik yang Jepang maupun yang mancanegara?
Matsumoto: Ya, semuanya, termasuk filem-filem lama di gedung-gedung repertori (museum filem). Dalam setahun saya tonton ratusan –saya kecanduan filem. Tapi saya bakal hanya bikin filem sendiri –seperti sudah saya bilang– saat saya berkenalan dengan dunia filem eksperimental. Sebelumnya, saya suka sinema hanya sebagai penonton– baru belakangan ingin membuatnya sendiri. Pas akhir sekolah menengah atas dan awal kuliah lah filem-filem Neorealis Italia muncul di Jepang, sekaligus mempengaruhi saya. Saya terperangah oleh cara yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya. Bagiamana omongnya, ya? Saya merasa harus sungguh berpikir lebih serius soal macam sinema yang bisa benar-benar menyatukan realitas dengan ekspresi dan menyelami pikiran manusia.
Jadi titik awal saya adalah Neorealisme Italia serta eksperimentalisme-avant-garde dan dokumenter. Semua itu sangat membuatku bergairah, tapi di situlah muncul masalah. Meskipun saya menemukan kebebasan dari dunia yang jauh, dunia imajinatif avant-garde yang mempesona, ia cenderung terkungkung dalam dunia tertutup. Sementara itu di sisi lain, dokumenter yang secara amat erat terhubung dengan realitas, tidak akan pernah benar-benar membidik sepenuhnya kondisi mental internal dan terlalu bergantung pada konteks waktu sehingga mereka akan tampak kuno jika konteks waktunya berubah. Saya heran, apakah titik bentur antara batasan dan titik tegas dari kedua bentuk ini tidak bisa menciptakan rangkai topik baru bagi sinema. Dengan begitu, titik awal saya adalah untuk menelisik –berpegangkan Guernica-nya Alain Resnais– bentuk sinema yang terbayangkan ini.
Metastasis (1971)
Expansion (1972)
Maka itu bagaimanapun, hal terdasarnya ialah betul-betul membenamkan kaki seseorang pada watak hakiki medium sinematik: mutu dokumenternya dan rasa realitasnya. Mungkin kini ada banyak gambar yang bisa kita hasilkan tanpa kamera, dengan tidak menyadari –selama membuat filem dengan kamera– adanya realitas di depan kita. Problem pertama ketika memulainya ialah untuk mendekati segitiga hubungan antara realitas objektif itu, dunia ekspresi, dan manipulasi subjektif pembuat filem.
Bagaimanapun, karena saya tidak belajar produksi semasa kuliah, saya rancangkan sebuah tujuan untuk coba mengejar apa-apa yang umum dipelajari di empat sekolah filem selama satu tahun usai keluar dari kampus. Untuk melakukannya, saya berencana berpatungan di satu perusahaan filem skala menengah tanpa pembagian kerja yang jelas, sebuah tempat di mana saya bisa berperan di semua segi pembuatan filem dari awal sampai akhir, dan dengan begitu menguasai landasan produksi. Perusahaan yang saya masuki pemikiran begitu bernama Shin Riken Cinema. Samasekali tidak ada yang menarik dari perusahaan tersebut, tapi ini cukup bagi saya untuk meraih teknik dasar pembuatan filem. Bahkan, saya bisa terlibat di semua segi produksi filem, dari awal perencanaan sampai penyelesaian filem. Di luar kerja, saya banyak mendengar, membaca, dan menonton: saya meminjam filem-filem dan menganalisa, mempelajari cara pembuatannya. Dengan cara itu, saya belajar selama waktu setahun apa yang diajarkan pada kursus penyutradaraan di Universitas Nihon, lalu setahun kemudian mulai membuat film-filem.
Filem pertama saya Silver Ring (“Ginrin”), direncanakan dan diproduksi bersama Yamaguchi Katsuhiro dan Takemitsu Toru –yang barusan mendiang– saat Takemitsu masih belum dikenal. Filem itu nyatanya adalah filem Humas, tapi cukup dianggap avant-garde. Filem itu sangat dipuji sebagian kalangan seni dunia dan kira-kira sepuluh tahun lalu, saat Pompidou Center membuat retrospektif avant-garde Jepang 1950an, komisionernya bahkan meminta itu dipertunjukkan. Seorang panityanya ke sana-sini mencari-cari itu, tapi perusahaan pembuatnya sudah lenyap tak berbekas dan tak ada siapa pun yang tahu lagi, meski itu cukup bernilai. Saya kira karya musik konkret garapan Takemitsu barangkali yang pertama pernah dipakai dalam sebuah filem di Jepang. Oleh karenanya, itu tak ternilai sehingga sayang sekali negatifnya sudah hilang.
Filem karya saya berikutnya ialah sebuah dokumenter berjudul Caisson (“Senkan,” 1956). Di satu tempat pesisir bernama Hachinohe di Aomori, ada situs pembangunan di mana orang-orang akan bikin fondasi gedung di dalam sebuah peti kemas saat memakai tekanan tinggi guna menjauhkan air laut. Ketahuilah, para penggarap konstruksi di bawah tekanan hebat di dalam peti itu terserang bermacam penyakit seperti jantung. Kerja brutal ini dilakukan orang-orang Korea maupun petani menganggur Jepang utara yang datang buat kerja. Filem ini memusatkan pengamatannya pada tempat semacam itu.
Filem selanjutnya juga dokumenter, Children Calling Spring (“Haru o yobu kora,” 1959)1 yang dibidik di desa pegunungan Kotamadya Iwate dan di kecamatan kota tua Tokyo. Ketahuilah, sebagian menyebut Kotamadya Iwate, Tibetnya Jepang di masa itu. Langka ada tenaga kerja lapis bawah masyarakat kota, sebab anak-anak lulusan sekolah menengah pertama sekitar Iwate bakal ditarik ke kota jadi kuli panggul. Alasannya, hidup susah mereka bisa tahan jenis kerja begitu. Saya filemkan dokumenter soal hubungan antara kedua desa tani itu berpijak pada lapis terbawah kehidupan kota dengan memakai perlambangan “sewa golongan” sebagai pintu masuk.
Tapi ada masalah di depan saya saat saya memfilemkan karya ini. Soalnya ketika itu, dokumenter yang baik diartikan terutama sebagai karya yang bersubjek menyentuh dan lalu kontroversial secara sosial-politik. Dengan kata lain, karya itu bernilai informasi bahkan sebelum filemnya dibidik. Tapi ada satu pertanyaan, seberapakah nilai di luar filem menciptakan dengan sendirinya sebagai sebuah filem. Ada masalah yang menggusarkan saya soal ini. Saya bertanya, bagaimana orang bisa menetapkan nilai karya pada daya ekspresif dengan realitas sinema sebagai sinema itu sendiri, selain bersandar pada perbandingan antara filem dan realitas. Sejauh filem dikurung sebagai sarana atau alat representasional penyebar realitas, ia bisa menjadi jurnalisme atau proganda tetapi bukan seni. Pada titik tertentu sejalan tuntutan kita akan emosi artistik terhadap filem, kita mesti menghadirkan sejelasnya nilai sinema itu sendiri sebagai realitas yang lain. Jika itu tidak dilakukan, maka ketika peristiwa sosial atau perjuangan politik jadi kurang terlihat di ranah pandangan masa kini, dokumenter menuju kejatuhannya sendiri. Dan kala masalah-masalah sosio-politik kembali terjadi lagi, genre ini bakal diminati lagi. Akhirnya, saya dapati hal itu mengganggu.
Misalnya, kita mungkin sudah amat tergetar dengan Neorealisme Italia sebagai titik awal sinema pasca perang, namun ketika dunia pasca perang cepat pulih ekonominya, termasuk Italia, Neorealisme Italia berlari menuju jalan buntu. Dalam kurun resistensi semasa perang, drama kehidupan yang disorong sampai batasnya itu dibiarkan rebah di atas landasan masyarakat, sebuah keadaan di mana orang yang mencoba hidup sebagai manusia dibunuh, dan sebaliknya mereka yang mencoba bertahan, harus mengkhianati rekan-rekan sejawat. Seusai perang, kelaparan dan kemiskinan yang merajalela bisa langsung kita mengerti hanya dengan menontonnya saja. Di masa ketika persoalan paling menekan demikian di dunia dihadapi seseorang, pegangan aktualitas telanjang semacam itu menciptakan hubungan langsung terhadap pengalaman realitas komunal secara keseluruhan. Tapi saat apa yang disebut sebagai pemulihan ekonomi dimulai dan bahwa kemiskinan atau hidup sederhana tidak lagi langsung terlihat, Neorealisme Italia tak lagi sepenuhnya merengkuh kenyataan baru ini serta menghasilkan karya yang bagus. Orang berkeras betul pada yang aktual, fenomena yang divisualisasi dapat dicari dan posisinya dianggap sebagai tempat mereka bisa mencapai pertentangan-pertentangan sosial dari luaran, bak mengulang anggapan kasat-matanya kemiskinan di masa lalu atau begitulah memang di daerah pinggiran pada masa itu.
Tapi sekadar sanggup meraih kontradiksi sosial dengan cara itu, terus terang saja, agak aneh. Nyatanya, tidak bisa kita katakan pertentangan-pertentangan itu lenyap hanya karena perkembangan ekonomi –masih banyak kemiskinan. Sekarang kita bisa berkata orang sudah dapat makan dan punya sandang, atau kota-kota sudah kembali dibangun, tapi jika kita tidak coba merengkuh munculnya pertentangan kecil seperti kemiskinan atau kehampaan emosional maupun spiritual, kita tak bisa bertatap muka dengan zaman baru, bukan? Saya terus-menerus berpikir soal ini di masa itu. Di sinilah persisnya saya pertanyakan, tidak perlukah bagi dokumenter untuk peduli pada subjektivitas yang bisa menampakkan apa yang tak terlihat. Dalam arti itulah, saya rasa dokumenter dan avant-garde harus dihubungkan pada momen penolakan mutual.
Mona Lisa (1973)
Andy Warhol – Re-production (1974)
Phantom (1975)
Gerow: Tentu, saat Anda menghadapi masalah, Anda coba memecahkannya dengan filem-filem Anda sendiri. Tapi lebih lanjut, Anda pun berupaya menjumput isu-isu ini dalam tulisan Anda. Tampaknya di masa itu, banyak pembuat filem seperti Oshima Nagisa di Shochiku Nouvelle Vague terlibat dalam debat-debat di jurnal filem –dengan posisi sekaligus sebagai kritisi dan pembuat filem yang di masa itu cukup lazim.
Matsumoto: Itu karena tidak ada kritik dalam dunia filem yang mengakui gagasan besar sebuah zaman, di samping banyak hal mencemaskan soal industri yang pembuat filem tidak bisa tinggal diam. Khususnya, dalam hal Jepang, ada perkara tanggungjawaban perang. Ya, pembuat filem-filem propaganda kebangsaan seiring dibuatnya upaya-upaya peperangan, saat kedatangan Amerika seuasi perang, dalam sekejap saja mulai membuat filem-filem demokratis. Ini aneh, sebab pembuat filem itu berkarya tanpa melalui tahap-tahap konflik batiniah, tanpa memperlihatkan tanggungjawab pribadinya terhadap perang. Baik semasa dan seusai perang, para pelaku ini membuat filem-filem menurut kecenderungan umum yang berlaku pada masyarakat dan pemerintahan, tanpa dengan mendalam memeriksa posisi pribadi mereka di dalam karya. Dalam perfileman khususnya, tidak ada yang dengan sendirian mengejar tanggungjawab pribadinya semasa perang.
Sifat itu langsung mengakibatkan filem-filem demokratis pura-pura lupa soal masa lalu penyebab hancurnya sinema Jepang pasca perang. Itu bahkan sebabnya, dalam pemahaman masalah realisme, tak ada perbedaan antara realisme filem-filem kemiliteran penggugah sentimen perang dengan realisme filem-filem demokratik pasca perang. Hanya topik atau subjeknya saja yang berubah. Demi mengungkap penyelewengan ini dan menciptakan isu perubahan terhadap sinema Jepang, diperlukan pernyataan yang bertolak dari susunan ekspresi dan kesadaran dasar. Saya lantas menulis kritik sebab tidak ada yang melakukan. Semua serba saya lakukan: filem, kritik, teori, mobilisasi, dan organisasi. Karena tidak ada yang mengorganisir pemutaran, saya lakukan juga itu. Semuanya.
Sampai masa itu, kebanyakan dokumenter dibuat dengan dukungan serikat buruh maupun organisasi Partai Komunis. Jika kita berpikir akan mengerjakan yang berbeda, kita harus membentuk bagan dukungan yang sama sekali lain sebab tidak ada yayasan bagi pembuatan dan pemutaran filem-filem macam itu. Terpaksa kita mulai dari situ. Persis seusainya masa kemerosotan itu maupun Perjanjian Keamanan AS-Jepang, saya membuat filem dokumenter Nishijin2 dengan dukungan khalayak penonton filem “Masyarakat Penonton Sinema Dokumenter Kyoto.” Tentu dengan sadar memahami itu golongan sayap kiri meski belum lagi bisa disebut organisasi politik.
Saya rasa mereka lah perintis tumbuhnya penonton baru dan punya gambaran filem yang ingin mereka tonton sendiri. Sebagai rancangan prakarsa, saya mengajukan sesuatu seperti sudah saya bicarakan dan mendapat setuju mereka untuk melihat Nishijin Kyoto dengan tujuan memberi bentuk pendalaman terhadap situasi, hal yang ruwet dan berat diungkapkan. Saya tidak bermaksud memaparkan tempat yang disebut Nishijin atau perhimpunan itu, selain memberi bentuk pada suara-suara penantian yang pekat, sunyi, tak tersuarakan di bawah Nishijin. Saya hilangkan apa yang disebut sebagai subjek “tak lazim” atau momen-momen penting dan memilih bentuk sinema puisi yang selalu terus menumpuk gambar-gambar menantang. Ada berbagai pendapat soal hasilnya, tapi kenyataan filem itu memenangi Singa Perak di Festival Filem Dokumenter Sedunia Venesia, turut menjelaskan cara langkah-langkah berikut saya.
Selanjutnya, filem The Song of Stones (“Ishi no uta,” 1960). 3 Di situ saya juga sengaja mulai dari posisi menolak nilai informasi materi. Subjeknya batu, bukan? Batu adalah batu. Lebih jauh, karya ini dimasukkan ke dalam filem yang pernah dibidik ke dalam fotografi lalu ditata ulang. Dengan begitu, filem ini dua kali terlepas dari sinema. Dalam banyak kejadian, batu hadir melambangkan kematian, tapi pemecah batu di tambang batu Shikoku, saat memecah batu dan menghaluskannya, mereka bukan berkata, “Batu itu lambat-laun terbentuk sendiri”, tapi, “Batu itu lambat-laun menjadi hidup.” Saya kaget mendengar itu: ini seperti sebuah filem saat sedang produksi. Jika sebuah filem dimulai pada tempat terjauh dari sinema –yaitu, dari kematian sinema– yang mulai bernafas, maka bisakah kita katakan ia sudah “menjadi hidup?” Dengan pemahaman ini, tema filem adalah untuk melampaui –dalam ungkapan metaforiknya– hening sunyi batu-batu dan sinema dengan rasa frustrasi dan kehampaan di zaman itu dan mencoba meniupkan nafas kehidupan pada keduanya.
Saat filem itu dipertontonkan di Festival Filem Tour di Prancis, pendapat terbagi-bagi. Pada waktu itu, Georges Sadoul –Sadoul penulis Histoire generale du cinema [Sejarah Umum Sinema] itu– menuliskan tinjauannya di La Lettres Francaise. Anda tahu filem Les Visiteurs du soir-nya Marcel Carne? Filem itu dibuat di akhir perang dan menampilkan setan yang bisa disamakan dengan Nazi. Setan ini mengubah segalanya jadi batu lalu menjadi penguasa dunia. Ia bahkan mengubah sang pahlawan dan kekasihnya jadi batu kala keduanya berpelukan, tapi saat setan mendengar lebih seksama, ia mendengar suara sejoli itu. Filem ini lantas berakhir dengan ketidakberdayaan setan mengubah hati sejoli itu menjadi batu. Kata Sadoul filem saya mengingatkannya pada adegan terakhir Carne tersebut. Dengan bagus ia menulis, dari kesunyian batu-batu sebagai lambang kematian sampai ke detak jantung kehidupan, The Song of Stones [“Senandung Batu-Batu”] adalah filem paling menyegarkan di festival filem itu dan ia mendukung karya ini. Saya masukkan ke filem, ucapan “batu menjadi hidup” sang pemecah batu, meski rasanya, orang yang paham akan bisa mengira tanpa saya harus terlalu menjelaskannya.
Tapi dalam hal ini, dunia yang diungkapkan sepanjang filem tidak perlu ditempatkan ke dalam hakikat masing-masing foto. Dunia filem hanya muncul dalam aturan main subjektif pembuat filem yang menentukan cara penyuntingan dan pengaturan bahan-bahannya. Saya merasa, lewat The Song of Stones, saya mampu tunjukkan seseorang hanya bisa menemukan nilai unik sinema dengan bantuan keputusan-keputusan semacam itu. Saya juga mampu menemukan semacam pembuka, sejenis ungkapan yang mentransendensi keyakinan di dalam fakta-fakta lalu menghampiri kenyataan batiniah di mana orang tidak bisa asal tunjuk. Dengan begitu di dalam pengertian ini, dokumenter dimulai dari satu cara yang bukan samasekali tidak berbentuk bagi saya.
Atman (1975)
Everything Visible Is Empty (1975)
Gerow: Dalam buku Anda Eizo no hakken (“The Discovery of the Image”),4 Anda menulis bahwa pertanyaan dokumenter adalah pertanyaan soal metode. Membaca itu dan menonton Nishijin dan The Song of Stones memperkuat kesan saya kedua filem itu secara teknis sangat tinggi, terutama penggunaan montase, misalnya dalam repretisi ambilan gambar berliku-liku pada Nishijin. Bukan cuma montasenya, tapi juga penggunaan suara. Pertanyaan saya, bisakah Anda ceritakan sedikit soal isu bentuk dan metode, soal montase dan penggabungan gambar dengan suara –yaitu, soal tujuan Anda dengan teknik di zaman itu.
Matsumoto: Saya menulis soal ini dalam buku, tapi pada waktu itu kecenderungannya adalah menentang dokumenter dan fiksi sebagai genre, bersama dengan kritikus Iwasaki Akira dan Imamura Taihei mengambil sisi yang berbeda dalam perdebatan soal keunggulan fiksi atau fakta. Tapi saya merasa perdebatan soal fakta lawan fiksi ini tidak begitu renyah: apa yang penting adalah bagaimana menelisik hubungan trilateral atara seniman, dunia nyata, dan filem. Bukankah apa yang paling menggairahkan soal sinema adalah kenyataan bahwa ia menghilangkan divisi biner antara fakta dan fiksi, antara objektif dan subjektif? Jika Anda menanyakan saya, fiksi itu bagaimanapun merupakan tata penciptaan dengan memotong dan mengatur objek dari sudut pandang tertentu. Dalam pengertian itu, fiksionalitas dibutuhkan untuk mendampingi kreasi, dan saya pikir metode dokumenter menggenggam pemahaman aktual hanya sejauh ia mencoba merumuskan tata itu sebagai realitas terbuka.
Genre-genre klasik bisa menawarkan standar bagi ukuran persepsi sementara, tapi itu pun mulai diragukan dan sudah berubah. Itu sebabnya saya menentang pembagian sinema ke dalam semesta yang amat berbeda-beda berdasarkan genre. Ketahuilah, gerakan semacam Shociku Nouvelle Vague [Gelombang Baru Shociku] muncul di awal 1960an, dan saya pikir gerakan itu berbagi soal demi upaya melampaui genre. Ada anggapan umum bahwa perubahan kepentingan tidak beragam seturut genre, tapi berupa isu besar yang dibebankan pada sinema itu sendiri di tengah-tengah perubahan besar zaman. Fakta bahwa Oshima Nagisa, Yoshida Yoshishige, Shinoda Masahiro –kala itu ketiganya adalah asisten sutradara– serta dokumenteris baru seperti Hani Susumu dan saya sendiri membentuk sebuah kelompok dan menawarkan gerakan kritis di akhir 1950an dalam majalah Eiga Hihyo (“Kritik Filem”) berbicara banyak pada kita soal kecenderungan masa itu. Itu sebabnya pertanyaan soal tempat seorang berkarya atau apa genre karyanya bukanlah soal utama. Itu soal kedua atau bahkan ketiga.
Gerow: Ketika itulah Anda amati gaya Mothers (“Hahatachi,” 1967) –filem Anda setelah Song of the Stones– tampaknya tak seradikal karya filem Anda sebelumnya.
Matsumoto: Benar. Semasa Song of Stones, saya tandas digantang industri dan sama-sekali tidak bisa membuat filem. Itu sebabnya saya bikin beberapa proyek untuk TV di awal 1960an. Di masa itu, stasiun televisi belum memapankan kode-kode budaya televisual sendiri, sehingga seniman di luar industri TV seperti Terayama Shuji, Tanikawa Shuntaro, dan mendiang Abe Kobo serta Inoue Mitsuharu punya kesempatan membuat satu program. Begitulah Song of Stones, tapi setelah itu saya bermasalah dengan stasiun soal gaya filem ini seharusnya. Ini lalu menjadi seakan larangan bagi saya terlibat studio TV manapun serta ketidakmampuan membuat filem maupun program TV apapun selama tiga setengah tahun berikutnya. Tanpa pilihan lain, untuk sementara saya menyutradarai teater bersama Gekidan Seihai.
Ini berarti Mothers adalah peluang awal saya selama itu untuk membuat filem. Andai kesulitan saya berulang, mungkin saya takkan lagi membuat filem. Ya, begitulah masalahnya, pada pokoknya saya tidak boleh bertindak keterlaluan. Apalagi penyokong ingin saya membuat karya yang bisa meraih penghargaan di festival filem manca negara. Saya tak bisa janji filem itu menang penghargaan, sebab niatnya berbeda, tapi memang saya katakan saya tidak mau penyokong semena-mena terlibat pada isi sebab filem-filem yang berpeluang menang adalah filem-filem yang tidak bau penyokong. Jika saya dibebaskan berkarya, saya akan bikin filem bagus yang wajar tapi berpeluang meraih penghargaan. Tapi kalau saya langsung dengan gaya radikal ke manca negara, mungkin bakal sulit menang penghargaan. Memaklumi itu, saya berkata dalam hati jangan terburu-buru, mula-mula saya harus memantapkan diri dulu di dunia filem. Maka saya buatlah filem liris gampang cerna, dengan gaya sinema puitis.
Tapi semasa maklum itu, saya mempermasalahkan Perang Vietnam dan diskriminasi kulit hitam, berpijak pandang pada kaum ibu dan anak-anak seluruh dunia, serta memfilemkan terjadinya pertentangan Timur dengan Barat, Utara dengan Selatan, atas dengan bawah. Mujurlah –entah kalau tak bisa dibilang begitu– hasilnya adalah hadiah utama pada Festival Filem Dokumenter Sedunia di Venesia 1967. Maka setidaknya saya melunas janji, dan ternyata karya ini memberi saya peluang membuat filem lain semisal Funeral of Roses (“Bara no soretsu,” 1968). Atau For My Crushed Right Eye (“Tsuburekakatta migime no tame ni,” 1968) yang memakai tiga proyektor dan saya ingat pernah tayang di Festival Filem Yamagata. Jadi, kalau Mothers tidak pernah menang penghargaan, tak mungkin saya bisa melangkah sampai tujuan.
Gerow: Saya sangat terkesan For My Crushed Right Eye waktu menontonnya di YIDFF ’93, terutama aspek menantang pada bentuknya. Karya ini kurang lebih tampak menggambarkan sebuah objek ketimbang sebuah era. Apa makna 1968 atau 1960an bagi Anda? Dan bagaimana Anda mencoba mengungkapkannya dalam filem?
Matsumoto: Anda benar. Memandang ulang 1960an keseluruhan, saya pikir inilah masa perubahan tersignifikan –selain masa 1920an– di abad kedua puluh. Masa ini, lebih dibanding lainnya, merupakan pergeseran paradigma dalam cara pandang dan berpkir, dalam kepekaan dan nilai. Ini benar menyeluruh termasuk dalam seni dan dokumenter: semua baku ukur lama sudah tidak sahih. Saya pikir, fakta tidak banyaknya pergeseran memasuki kerangka baru yang mengakibatkan begitu kuatnya ketertekanan, tidak hanya di Jepang, tapi juga di banyak tempat di dunia. Itu sebabnya, protes kampus 1968 tersebar dari Naterre cabang Universitas Paris ke sepenjuru dunia bak api menyambar. Saya rasa, fakta saling terkaitnya fenomena yang merebak sedunia macam ini mencerminkan hakikat sinkronik tertentu. Pada akhirnya, dalam susunan karya buatan masa perang dan pasca perang, kondisi kebebasan baru ini mewujud sendiri pada banyak bidang dan menghidupkan konflik. Inilah masanya diastropisme struktural tahun-tahun 1960an. Ada perubahan besar sosial-politik, selain juga pencarian nilai amat luar biasa, yang saya yakini menjalar ke bidang seni dan budaya.
Hasil besar di tengah ini semua adalah terangnya fakta bahwa semua itu merupakan bagian dari sistem kelembagaan. Sebagai misal, itu berarti cara pandang atas benda-benda berubah seturut sudut pandang –ia tidak ditentukan sejak awal. Contohnya, bahkan hukum perspektif dalam lukisan adalah pola penerimaan ruang yang dirumuskan dari cara melihat benda-benda yang dimapankan ke dalam titik balik sosio-historis tertentu di Barat; jelasnya, ia pun merupakan sistem kelembagaan. Dalam cara itulah, bahkan mode dan bentuk ekspresi dalam seni, termasuk sinema, pada akhirnya tampak sebagai diciptakan secara kelembagaan. Malahan, begitu sistem kehilangan peristiwanya, bentuk-bentuk ini ternaturalisasi; proses ketika seni mulai memandang alam saat kelaziman maupun inersia (kekolotan) merupakan norma yang tetap dan dengan sendirinya merupakan sebuah sistem.
Begitulah mulanya saya pikir. Juga soal bagaimana melangkahi sistem ini. Sebagai masalah politik, sistem bukan cuma kekuasaan penekan dalam bentuk nyata represi politik. Kekuasaan juga mensistematisasi pikiran, perasaan, seni dan budaya kita dalam cara-cara yang tak terlihat. Jika kita tidak menyadari ini dan mengguncang landasannya, kita tidak bisa memindahkan struktur kekuasaan dalam arti yang nyata. Itu sebabnya, usai kurun pasca-perang ketika banyak hal ditempatkan dalam hantaman langsung dinamika politik otoritas versus anti-otoritas, kita bakal kian dikendalikan oleh makin banyak hal yang tak nampak seperti kesadaran, perasaan, sudut pandang, maupun nilai manusia. Saya pikir hal terdahsyat yang dihadapi seni ialah bagaimana caranya bakal menyadari ini dan berkarya demi melemahkan sistem sebagai bentuk kekolotan adat.
Filem-filem yang menggugah dan membangkitkan kesadaran akan distorsi internal semacam itulah yang mengubah dengan sendirinya kondisi sinema –saya rasa inilah bentuk perjuangan seni melawan otoritas. Dalam arti ini, ada signifikansi luar biasa pada fakta tak cuma filem, tapi gerakan seni avant-garde 1960an yang secara umum mendorong desistematisasi ungkapan artistik, seniman, penonton, dan sistem budaya visual menyeluruh, termasuk kondisi yang isyaratnya menjadi sangat tidak peka pada tanggungjawab atas perang yang saya persoalkan mulanya. Ya, disposisi menuju sistematisasi itu kuat mengakar, sehingga isu ini sudah menetap bersama kita sampai sekarang tanpa mudah pemecahannya.
Enigma (1978)
White hole (1979)
Gerow: Setelah itu Anda beralih ke filem cerita fiksi sejak Funeral of Roses, yang baru-baru ini saya tonton. Di masa itu banyak sutradara, khususnya lepasan Iwanami Productions seperti Kuroki Kazuo dan Higashi Yoichi memasuki dunia filem fiksi. Juga Anda, tapi masalah apa yang Anda hadapi saat memulai filem cerita sesudah pengalaman Anda di filem dokumenter atau eksperimental?
Matsumoto: Ya, pertamanya adalah Funeral of Roses keluaran 1969, tapi ini bukan seolah saya ingin beralih ke filem fiksi atau bakal sanggup berkarya pada sinema niaga. Sebaliknya, menilik secara umum, bentuk komodifikasi sinema sebagai satu-satunya yang dibangun oleh dunia konvensional adat dan kekolotan, takkan meniatkan saya menjadi sutradara profesional studio. Tapi artinya dalam hal saya ialah, karena saya ingin membuat sejenis filem eksperimental, yang dramatis dan belum pernah ada, dengan sangat provokatif saya menembaki dunia filem fiksi bak gerilyawan. Maka dalam proyek ini, maksud kreatif saya ialah mengganggu bagan bersifat penyerapan dari dunia mendua yang memilah fakta dengan fiksi, lelaki dengan perempuan, objektif dengan subjektif, mental dengan badan, keterbukaan dengan ketertutupan, dan tragedi dengan komedi.
Tentu subjek-subjek yang saya ambil adalah kehidupan kaum sejenis dan gerakan mahasiswa –karena dibuat sekitar waktu yang sama dengan For My Crushed Right Eye, materinya mungkin serupa. Tapi dalam arti bentuk, saya lucuti struktur narasi sekuensial dan kronologisnya, lalu menata yang lampau dan yang kini, yang realitas dan fantasi ke dalam poros waktu seperti dalam lukisan kubis, mengadopsi bentuk fragmen dan kolase yang saya kutip dari sastra, teater, lukisan, serta musik lama dan baru dari Timur maupun Barat.
Sementara saya tak begitu menyadari ini di masa itu, upaya ini terkait konsep pascamodern yang muncul kemudian. Dengan satu cara, bentuk penolakan akan dunia tata tertib dari hukum mendua perspektif yang saya bicarakan adalah cara untuk mulai mempertanyakan moderenitas. Beranjak ke arah itu, moderen dalam masalah saya sudah runtuh di sejenjang fiksi pada titiknya beroleh telaah menyeluruh. Lebih daripada mengkritisi yang moderen berlandaskan yang pramoderen, konsep pada Funeral of Roses ialah menguraikannya dengan menelisik sampai ke akarnya.
Masa itu merupakan pertarungan politik yang mengerikan soal pembaruan Perjanjian Keamanan AS-Jepang pada 1970, sehingga saya mengkritisinya dengan membuat filem semacam ini. Saya dihujat, tapi pada pikir saya, tak sudi saya menujukan pesan soal Perjanjian Keamanan 1970, selain melempar ramalan saya tentang gerakan lebih besar yang bukan duniawi, dalam nilai dan pola persepsi yang kelak melemahkan moderenitas itu sendiri.
Gerow: Berbicara soal pascamoderen, mungkin bisa kita katakan masalah di awal 1960an adalah filem-filem sayap kiri masa itu terpusat pada dunia eksternal tanpa menyoalkan subjektivitas internalnya sendiri, lalu di era pascamoderen terutama di Jepang, kita melihat soal sebaliknya pada kebangkitan filem-filem catatan harian dan personal. Seakan terlihat definisi masalahnya sendiri sudah berubah. Filem-filem personal ini –kritiknya kadang saya dengar– ketimbang mendorong semacam integrasi dunia eksternal dan internal seturut teori Anda, kini malah dipusatkan keterlaluan pada interioritas.
Matsumoto: Saya pikir juga begitu. Itulah sebabnya, meski anak-anak yang membuat filem catatan harian sebagai bentuk dokumenter subjektif saya anggap penting, saya tidak membuatnya. Salah satu alasannya, eksistensi tradisional “Aku-novel” atau “watakushi shosetsu” di Jepang serta bahayanya filem-filem semacam ini akan terpaut sejenis individualitas tertutup. Jika mereka menaut diri secara buruk, ini bisa menenggelamkan mereka dalam dunia tertutup yang langka akan Sang Lain serupa otaku.5
Saya bertanya-tanya andaikan kecenderungan ini tidak mencapai batasnya. Jelas, individualitas aslinya menggapai kepentingan dalam arti menentang yang “privat” ke semacam “publik” yang memiliki aturan dan pelembagaan yang tadi dibicarakan. Saya mendukung penentangan atas publik seragam dan individualitas dalam rangka menghancurkan publik terhomogenisasi, meskipun ini mengganggu saya manakala individualitas itu menjadi semacam otaku.
Alasan lainnya berkaitan dengan paham “Aku” Descartes, “Aku berpikir maka Aku ada,” si “Aku” dalam cogito moderenis menetapkan dirinya lewat penentangannya terhadap dunia. Jadi, ada masalah dengan “Aku” yang tidak meragukan “diri”-nya dengan apa yang disebut sebagai “Aku-filem” (watakushi eiga): sang aku tak pernah mempertanyakan “Aku”-nya. Sebab ia tidak mencoba menisbikan diri melalui hubungan dengan dunia luar, yang perlahan-lahan menjadikannya diri-sempurma –sebuah harmoni pra-mapan. Kesetiaan pada pengakuan diri ini terpaut dengan semacam mitos individualitas moderen. Dalam pengertian ini, ia begitu terlampau optimis. Kecenderungan itu sendiri kukuh bertahun-tahun lalu dan menjadi sekadar sistem yang lain.
Ki or Breathing (1980)
Connection (1981)
Gerow: Jika Anda bandingkan karya-karya Anda pasca 1960an dengan filem-filem di masa itu juga, transformasi macam apa yang Anda terima? Misalnya, terdapat isu teknologi dengan introduksi peralatan baru seperti video sekarang.
Matsumoto: Saya sudah melirik teknologi di saat masih jarang orang menggunakannya sebab ia merupakan bagian dari apa yang eksternal pada “diri” yang barusan saya bicarakan, hal yang belum teraba kesadaran manusia. Saya terpukau oleh kemungkinan dinamis dari eksternalitas tak dikenal ini, interaksi manusia dengan mesin ini, dapat memecahkan dunia pribadi moderen.
Tapi seperti itu jugalah sinema pada mulanya. Bentuknya seperti novel, berulang-ulang Anda membaca tiap kata dan kalimat dari skenario, semacam kesadaran yang mengatur segalanya. Tapi dengan filem, terutama dokumenter, lebih ada peluang bahwa informasi akan sontak muncul dari luar kesadaran dan ketegangan bisa dihidupkan oleh pembuat filem yang secara langsung menanggapinya. Pada proses tersebut, bagan kerja pribadi dimulai dengan meragukan dan mengembangkan saat mana teknologi pun melakukannya. Bagaimanapun, selama sepuluh tahun terakhir, teknologi visual sudah pesat berkembang dan semua orang termasuk juga kucing tetangga terserap ke dalam “sindroma efek.” Jadi sekarang saya membelakangi fenomena homogenisasi ini.
Jika saya ditanya berbuat apa, seandainya saya manfaatkan perkara Dogra Magra (“Dogura magura,” 1988) saya geser fokusnya guna melakukan eksperimen dalam konteks, eksperimen dalam membongkar sistem kontekstual melalui pemahaman atau penafsiran manuia terhadap dunia. Manakala manusia menciptakan gambaran dunia dalam dirinya sendiri, ia melakukannya lewat cerita. Ia selalu menarasikan dunia. Persepsi dibangun dalam bentuk “X adalah Y,” dan bentuk deskriptif itu, pada akhirnya, adalah narasi. Ini takkan berubah selama manusia punya bahasa. Tapi masalahnya, cara membangun konteks ini ialah dikonvensikan, yang dengan mudah mengurung hubungan antara diri pribadi dunia ke kandang hukum perspektif. Contohnya, ketika orang diberi lebih dari satu bahan informasi, dia lalu membuat cerita asosiatif berdasar kaitan bahan-bahan tersebut. Ada satu bagian pada pameran game saat dipertunjukkan sebuah gambar bit per bit dan kita mesti menebaknya, seperti misalnya foto Menara Tokyo atau L’Arc de Triomphe. Dalam hal ini, orang coba membandingkan dan menafsirkan pecahan informasi itu dengan narasi yang dikenalnya. Metode ini terperangkap ke dalam bentuk dan pengetahuan yang mulai dialir semata-mata lewat medium tak bergerak.
Kita harus lebih berbuat mengganggu pola persepsi, pola berpikir, maupun pola perasaan yang sudah terotomatisasi dengan cara ini. Saya melakukan sejumlah eksperimen sejak 1970an hingga 1980an untuk mendeotomatisasikan bidang visual. Tapi ketika teknologi gambar begitu pesat untuk membuat kita bisa menggambar apapun, secara visual kita menjadi terbiasa dengan hal ini. Itu sebabnya sekarang masih sedikit adanya dampak yang menyegarkan. Karena ini, masalahnya adalah struktur penafsiran narasi yang memaknai atau menafsirkan dunia sudah sedemikian tersistematisasi saat orang tidak bisa menerima hal lain yang tidak terjangkau. Kita harus mendesistematisasikan hal itu.
Dogra Magra menawarkan “pelintiran” pada penonton saat mereka mengira semuanya sudah bisa ditebak lalu saat mereka berubah persepsi dan mengira paham, filem ini membalikkannya lagi. Ia memelintir penonton ke sana ke mari –ini bukan itu bukan. Penonton menerkanya berdasar pengalaman, pengetahuan, dan ingatannya. Tapi karena tokoh di filem ini hilang ingatan, ia gagal memastikan jati-dirinya. Penonton pun memahami denyut kesadaran tokoh utama dan terpelintir olehnya. Harapan saya, dengan pengalaman terpelintir itu, penonton dapat menyadari penerimaan mereka akan suatu hal.
Shift (1982)
Sway (1985)
Gerow: Dengan tatacara ini, mungkin orang kehilangan bentuk penerimaan realitas konvensional atau rasionalnya dan mungkin berhadapan dengan apa yang Anda gambarkan di Eizo no hakken sebagai “realitas telanjang.” Apa Anda merasa teknik begini betul-betul terpengaruh surealisme?
Matsumoto: Pengaruhnya mungkin besar, sebab semasa muda saya berkepentingan dipengaruhi surealisme.
Gerow: Saya jadi terpikir, kemungkinan pengaruh lain Formalisme Rusia seandainya ada. Seturut Shklovsky, seni adalah alat pengubah persepsi mapan atas dunia dan yang mengungkapkan realitas yang jarang kita lihat.
Matsumoto: Memang begitu. Saya pelajari Formalisme Rusia proposisi ketika orang dapat melakukan de-otomatisasi persepsi pada benda-benda melalui teknik defamiliarisasi. Tentu saja setelah itu, semuanya ini bersintesa dengan teori pada paruh abad kedua puluh sebagaimana juga berlaku pada berbagai pengalaman, pengetahuan, dan ingatan seni, meski saya pikir semangat surealisme dan formalisme Rusia yang menyusun rujukan atas pembentukan diri saya di masa awal masih meninggalkan bekas mendalam.
Engram (1987)
catatan:
1. Diputar di Yamagata International Documentary Film Festival ‘91.
2. Diputar di YIDFF ‘93.
3. Diputar di YIDFF ‘93.
4. Matsumoto Toshio, Eizo no hakken: Avan-gyarudo to dokyumentari (Tokyo: San’ichi Shobo, 1963). Eizo no hakken merupakan salah satu karya tulis soal filem paling berpengaruh di Jepang pada 1960an.
5. Kata baru Jepang merujuk pada seorang amat terobsesi pada wilayah kepentingan yang cenderung mengambil-alih penuh hidupnya. Satu citraannya ialah “kutu” komputer pengabdi di buku-buku komik, senjata, video games, dan lain-lain.
Artikel ini diterjemahkan dari hasil wawancara Aaron Gerow bersama Matsumoto Toshio. Dialihkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mirza Jaka Suryana.
This article is taken from the interview of Aaron Gerow with Matsumoto Toshio. Translated into Bahasa Indonesia by Mirza Jaka Suryana
Source: www.ubuweb.com