Jurnal Footage akan menampilkan seri wawancara antara Eric Rohmer dan Barbert Schoeder mengenai Isu Filem dan Kisah-kisah Moral. Terjemahan wawancara dalam bahasa Indonesia ini akan dirangkai menjadi tiga bagian, yang diterbitkan berdasarkan isu. Ini adalah bagian pertama dari seri wawancara Eric Rohmer dan Barbert Schoeder.
Pertanyaan pertama saya: mengapa filem lebih bercerita dibanding tulisan?
Saya menulis fiksi berawal dengan mengarang satu buku berjudul Elisabeth, yang kini sudah tak sesuai lagi karena sekadar soal tokoh bernama Elisabeth. Saya sebut buku itu kini Rumah Elisabeth. Ditulis dalam gaya amat filmis. Mungkin itu sebabnya buku tersebut mustahil difilemkan. Tapi setelah menulis Elisabeth, ilham saya lantas mengering —setidaknya pada gaya semacam itu— karena telah demikian mengilhami sastra Amerika, khususnya Faulkner. Saya berhenti mengagumi jenis sastra itu sampai lalu terseret pada para penulis lampau. Terpikat sastra Amerika, saya membaca novel karya Melville, Bartleby. Bartleby The Scrivener. Saya hidupkan imajinasi saya yang memberi saya pandangan baru, sesuatu yang sastrawi. Segenap imajinasi itu serempak muncul dalam apa yang dinamakan sebagai “Kisah-Kisah Moral”. Bagian pertamanya ditulis dalam gaya yang lalu disebut dengan nouveau roman [gaya baru sastra Prancis, antara lain oleh Margaritte Duras], yang rupanya disambut luar biasa oleh pengarang Jean Paulhan dan Marcel Arland di jurnal sastra N. R. F., meski kalangan penerbit merendahkan dengan menyebutnya “kuno”. Paradoksnya, fiksi-fiksi semacam itulah yang telah menginspirasi filem-filem saya karena sangat tidak filmis. Itulah paradoksnya sinema.
Keenam “Kisah-Kisah Moral” itu, atau sebagian saja yang ditulis kemudian?
Semua sama sekali belum dituliskan. Saya agak tambah-tambahkan. Yang pertama ialah The Bakery Girl of Monceau, dan yang terakhir, Love in the Afternoon. Lainnya ditulis dengan judul berbeda-beda. Satu judul yang tak berubah yakni Claire’s Knee. Agaknya, tokoh Claire terus menguntit saya sebab ia telah beralih ke dalam novel, yang berakhir dengan kemunculan Elisabeth tengah duduk membaca sambil satu ketika menggaruk lututnya. Agak lucu juga Claire’s Knee.
Entah kenapa, petualangan dimulai saat kita memutuskan membuat filem dengan pita hitam-putih 16 mm tanpa suara. Begitulah The Bakery Girl of Monceau.
Sebentar. Itu filem pertama saya. Filem yang sungguh lebih terbuka bagi gaya novel pertama saya, Le signe du Lion. Di dalamnya lebih banyak paparan, bukan percakapan, yang pada filem-filem saya kemudian berisi lebih banyak dialog, bahkan uraian luar-layar (off-screen). Tapi, tak seperti filem-filem Nouvelle Vague [sinema pemberontakan “Gelombang Baru” Prancis akhir 1950-an oleh Godard dan kawan-kawan] misalnya Le beau Serge dan Le Cousins-nya Chabrol, A bout du souffle-nya Godard atau 400 Coups-nya Truffaut, filem saya tak beroleh sukses. Artinya, tak ada produser yang menginginkan saya; untung saya bertemu kau, lalu mendirikan usaha produksi Les Films du Losange dan mulai melakukan shooting dengan kamera dan filem 16 mm.
Apa yang bisa kita katakan tentang The Bakery Girl of Monceau? Kisah pertama ini seakan membentuk segenap tema filem “Kisah-Kisah Moral” Anda: sang pria memilih antara dua wanita.
Benar. Tapi saya tak memakai The Bakery Girl of Monceau untuk membangun tema, sebab cerita itu telah dituliskan. Ketika saya selesai menulis semua buku itu, tak terpikir seluruhnya akan merupakan satu tema. Saya tak memperhatikan kesamaannya. Ia muncul belakangan kala saya membaca kembali semua dan memodifikasinya untuk filem.
Jadi, gagasan di balik The Bakery Girl of Monceau memakai tema fiksi untuk membuat filem pendek?
Ya, membantu. Saya punya ide yang samar-samar tentang The Bakery Girl of Monceau, namun saat menyadari tema ini, seterusnya saya telah terhanyutkan. Tema itu membantu saya dalam membentuk struktur cerita filem Love in the Afternoon sebaik-baiknya.
Jadi, apa yang bisa kita katakan tentang The Bakery Girl of Monceau?
Banyak hal. Saya amat ditangkup kenangan akan filem itu. Memang saya hanya seorang amatir. Saya editor Cahiers du Cinema [majalah pemikiran sinema, wadah kritis alamiah Nouvelle Vouge], dan pukul 6 petang hari, kau dan saya akan bertemu di toko kue yang kita pilih dekat kantor Cahiers, untuk melakukan shooting beberapa adegan. Kita telah menemukan toko kue itu. Saya bahkan tak terpikir bagaimana kita akan membayarnya, tapi kita sudah dibolehkan membuat filem di situ. Praktis, kita membuat filem itu tanpa uang. Semuanya amatir, kecuali Michele Girardon yang sudah bermain di filem Luis Bunuel —tapi dia bukan pemeran utama di filem saya itu. Pemeran utama wanita yakni gadis di toko kue itu, yang tak punya pengalaman akting. Kita memfilemkannya dengan kamera Bolex yang juga dipakai sutradara Jean Rouch waktu itu. Sebagian dari kameraman kita punya kerja yang menarik. Mereka fotografer, bukan sinematografer. Jean Michel Maurice bahkan seorang pelukis. Satu lagi yang nama belakangnya mirip nama depan kau: Bruno Barbey. Dia wartawan internasional dan fotografer yang piawai.
Mengapa Anda pilih Tavenier untuk mengucapkan suara saya di The Bakery Girl of Monceau. Apa karena suaranya terdengar lebih aristokratis?
Bukan soal itu. Jenis untuk ucapan luar-layar filem itu tak cocok dengan gaya bicara kau. Suara Tavenier terdengar lebih “sastra”. Karena ucapan di filem saya begitu “sastrawi”, saya rasa suaranya lebih dapat terpakai ketimbang suara kau. Saya merasa agak rikuh soal ini. Semoga kau tak marah. Saya tak yakin kau pun merasa nyaman melakukannya.
Saya ingat, versi pertama La collectionneuse bahkan lebih banyak terdapat uraian luar-layar (off-screen commentary). Terasa sekali filem itu sangat rumit.
Ya, hal itu lalu mempengaruhi saya karena dalam La collectionneuse, tokohnya sungguh orang yang blak-blakan, norak, bahkan genit. Tapi pada filem “Kisah-Kisah Moral” lainnya, hampir tak banyak lagi uraian luar-layar. Hanya dua kalimat dalam My Night at Maud; dalam Claire’s Knee malah sama sekali tak ada. Dalam Love In the Afternoon, ada sedikit di awal dan di tengah-tengah. Saya telah berhenti memakai uraian luar-layar.
Bagaimana menurut Anda dengan tambahan voice-over?
Ada beberapa hal. Pertama, mode pada masanya. Banyak terpakai di dalam filem, malah dalam filem Amerika, filem-filem detektifnya. Saya ingat satu filem Billy Wilder telah memakai voice-over. Itu satu. Voice-over juga membuat saya bisa mengkomunikasikan gagasan yang sulit diungkap dalam filem. Maka terasa, filem bicara lebih kurang lentur dibanding filem bisu, sebab filem bisu kemudian punya “teks tambahan” atau “cantuman teks” yang kini kita istilahkan “antar-teks” (intertitles). Segenap pemakaian itu, baik untuk dialog maupun uraian, menambah dimensi lain dalam filem. Bagaimana si tokoh utama memandang dirinya sendiri, dapat “dituliskan” di layar. Ini berarti, tindakan dan kata-katanya, tak selalu sesuai dengan uraian.
Ini menarik. Anda bisa lanjutkan ke hal lain, meski tanpa uraian luar-layar: menampilkannya sebagai apa yang penonton pikirkan, katakan dan lakukan, tidak selalu-
Menambah dimensi. Saya telah mengatur perpaduan ungkapan antara objektivitas dan subjektivitas ini tanpa melalui uraian luar-layar di filem My Night at Maud dan Claire’s Knee, di mana peran uraian menentukan bagi sang perempuan pengarang. Sang pengarang ingin menguji tokoh wanita dalam novel yang tengah ditulisnya dengan mengomentari tindakan tokoh pria. Juga di filem Love in the Afternoon. Saya telah sepenuhnya meniadakan uraian dalam filem-filem lain saya.
Dengan kata lain, telah terinteriorisasikan. Kemudian kita membuat Suzanne’s Career. Bagaimana asal mulanya? Apa itu juga satu dari fiksi Anda? Salah satu tokohnya mengingatkan saya pada Gegauff.
Ya, waktu itu saya baru bertemu novelis Paul Gegauff. Ia juga skenariowan yang kadang bekerja dengan Chabrol. Saya terkesan oleh kepribadiannya. Banyak sutradara seperti Chabrol pun demikian, karena kita melihat adanya “unsur dalam” itu di filem-filem Godard, semisal A bout du soufle dan sebagainya. Cerita filem Suzanne’s Career memang begitu “Gegauffian”. Begitulah pokoknya cara Gegauff memikat wanita-wanita yang ditemuinya.
Anda pakai itu sebagai tema dasar Anda. Bagi saya filem itu amat menyentuh, karena di akhir cerita, ia memenangkan tokoh wanita.
Ya, pada akhirnya tokoh wanita itulah yang menang.
Bisa Anda jelaskan arti “moral” pada rangkaian filem “Kisah-Kisah Moral” Anda? Selalu ada kemenduaan tertentu di sana. Tentu saja ini terpisah dari kaum moralistes abad ke-18. Ia harus dipahami dalam konteksnya.
Benar. Kenyataannya, “Kisah-Kisah Moral” merupakan judul untuk rangkaian fiksi pendek saya yang ditulis sebelum filem. “Moral” di sini berarti perilaku tokohnya terarah pada satu kode moral tertentu, yang mungkin sungguh miliknya sendiri. Misalnya dalam La collectionneuse, ia kode moral kegenitan.
Melalui itu, si tokoh pria bisa saja menimbang dirinya yang sungguh jelata dengan kode moral yang lebih borjuis.
Persis. Meski bagi saya, keterkungkungan kaum anti-konformis atas kode moral tokoh itu telah jadi klise zaman. Tapi bisa juga, “moral” di situ lebih terujuk pada…. suatu “dunia dalam” atau “dunia interior”…. Dengan kata lain, tak berdasar sendiri pada tindakan manusia. Akan saya jelaskan ini agak lain. Awalnya saya rasa filem-filem saya menyapa dunia sinema dengan muatan tertentu yang tak lain diungkapkan lewat monolog sang tokoh, dengan uraian voice-over, atau suatu diskusi. Dalam banyak filem, tokoh manusia tak pernah mendiskusikan ide-ide, baik ide moral maupun ide politis. Ternyata, bila diskusi demikian telah ditampilkan, seluruhnya selalu terdengar sumbang. Tapi saya merasa telah mengolahnya, karena yang paling menyenangkan saya dari seluruh filem-filem saya ialah adanya pengolahan untuk menghadirkan tokoh-tokoh manusia yang dengan penuh wajar mendiskusikan moralitas, bagaimanapun adanya moralitas itu, entah kode moral kegenitan dalam La collectionneuse, masalah religius dalam My Night at Maud, atau soal erotisisme dalam Claire’s Knee. Semua tokoh di situ diselubungi oleh arti “moral” pandangan umum. Saya bahkan mengolah suatu diskusi masalah politik, yang mungkin dibuat-buat— dengan sama wajar dalam filem The Three, The Major and The Mediatheque. Ada saat saya lebih mudah membicarakan politik karena cerita filemnya berlatar jauh di masa lalu, yakni dalam The Lady and the Duke.
Sumber wawancara Barbert Schoeder dan Eric Rohmer, “Moral Tales, Filmic Issues”, dalam kumpulan DVD filem Eric Rohmer, Six Moral Tales. Rekaman video digital wawancara ini terjadi pada April 2006, khusus untuk Criterion Collection. Transkripsi, penerjemahan dan penyuntingan oleh Ugeng T. Moetidjo.