Filem yang secara perdana dirilis sebagai pembuka pada penyelenggaraan Jakarta International Film Festival (Jiffest) 2009 ini telah ramai ditonton orang meski belum genap seminggu. Antusiasme penonton sangat terasa untuk menuntaskan rasa penasaran tentang sekuel filem Laskar Pelangi ini. Lalu apakah ada yang kejutan dari filem ini?
Filem yang diproduksi secara kolaboratif antara Miles Production dengan Mizan Production ini merupakan sekuel dari filem terdahulu, Laskar Pelangi, dengan tetap mengambil latar di Belitung era tahun 1980-an. Namun menurut Riri Riza, sekuel filem Sang Pemimpi jauh lebih kompleks. Filem ini bercerita dengan susunan peristiwa-peristiwa kecil yang perlahan membangun kisah besar antara Ikal, Arai dan Jimbron dalam menjemput mimpi mereka. Lebih dari itu, kompleksitas yang dimaksud sutradara filem ini berbicara kepada penontonnya tentang kesenjangan sosial dan ketidakadilan pemerataan ekonomi yang merupakan permasalahan yang kerap terjadi di masyarakat. Gaya adaptasi Riri di Sang Pemimpi memberikan ia peluang untuk membuka kemungkinan visualisasi dan suara. Pesona alam Belitung tergambar jelas dalam setiap adegan yang sering dimunculkan dan juga bagaimana bahasa gambar dapat memberikan daya susup ke penontonnya tentang relasi yang tidak terlalu timpang antara pribumi Melayu dengan etnis Tionghoa.
Kesibukan kota Manggar tergambarkan lazimnya kota pelabuhan yang padat dan dinamis. Penggambaran kota Manggar dengan segala aktifitasnya memberikan bobot sebagai kota dengan nuansa kosmopolitan. Adegan di mana Ikal, dkk. berkejar-kejaran dengan pihak sekolah (Pak Mustar yang tak lain adalah Kepala sekolah SMA Manggar tempat Ikal, dkk. bersekolah) memperlihatkan denyut nadi kota Manggar yang benar-benar sibuk. Riri menegaskan kompleksitas Sang Pemimpi dalam adegan kejar-kejaran ini. Sebelumnya, Sang Pemimpi dibuka dengan adegan Ayah Ikal mengayuh sepeda dengan mengenakan safari. Adegan ini menyiratkan sebuah penggambaran pulau Belitung yang mempesona dan hening. Sepanjang ayuhan sepedanya, sepanjang itu terlihat pulau Belitung yang masih belum terjamah dan belum banyak pembangunan di sana-sini. Meskipun telah berdiri Perusahaan Negara Timah, namun tidak memberikan arti apa-apa terhadap kesejahteraan hidup masyarakatnya.
Di sebuah sudut rumah sewa di Bogor, Ikal kembali mengenang kisah-kisahnya selama SMA bersama dua orang sahabatnya, Arai dan Jimbron. Arai, seorang sahabatnya, pergi meninggalkan dirinya sendiri kurang lebih tiga tahun lamanya. Riwayatnya pun entah diketahui berada, tapi yang pasti, Ikal sangat geram atas ulah sahabatnya itu. Kekesalannya memuncak dengan membuang segala artefak peninggalan mereka termasuk peta dunia pemberian Bang Rokib, seorang pelaut yang mereka kenal baik di pelabuhan Manggar yang kemudian menghantarkan Ikal dan Arai ke Jakarta. Tatkala Ikal ingin membuang berkas-berkas di sebuah jembatan gantung, tiba-tiba sekelompok anak SMA berlari-lari riang di jembatan itu dan bingkai beralih ke memori Ikal semasa SMA di mana adegan berlari-lari membuat penonton ikut terseret ke dalam susunan cerita berikutnya. Di sini sutradara mengembangkan kekuatan suara dengan suara latar dari Ikal sebagai penegas atas visualisasi ke masa-masa SMA. Dalam sulih suara, Ikal menjelaskan elemen-elemen yang ada dalam bingkaian gambar seperti aktifitas kota pelabuhan Manggar, tempat ia bersekolah di SMA Manggar, tempat ia mengaji, orang tua asuh Jimbron, Pendeta Geovanny yang senantiasa mengantarkan Jimbron mengaji dan Tai Kong Hamim, guru mengaji mereka yang galak serta pengenalan beberapa karakter dalam filem ini seperti guru eksentrik Pak Balia, Zakiah Nurmala sang pujaan hatinya Arai.
Kompleksitas yang ditawarkan Riri tidak seperti cerita di novelnya. Ada beberapa elemen penting yang diinformasikan di novel tidak ditampilkan di filemnya. Eksplorasi Riri dalam menginterpretasikan novel ini kurang begitu renyah dan terkesan meminimalisir pelbagai anasir kompleksitas yang dihadapi oleh masing-masing tokoh di filem ini. Formula yang dibuat Riri untuk menvisualisasikan kompleksitas Ikal, Arai, dan Jimbron berjalan di tempat. Cerita pun menjadi datar, kurang menggigit, padahal ada beberapa bagian yang merefleksikan rona kehidupan miskin di Belitung. Adegan Mak Cik yang meminta beras kepada keluarga Ikal adalah bagian terpenting bagi proses perenungan dan dialog kepada penonton tentang gambaran mental orang papa. Kisah Mak Cik dan putrinya, Nurmi, yang selalu bersama biola kesayangannya, adalah prototipe dari kompleksitas permasalahan sosial di Belitung yang merana akibat kebijakan pembangunan yang salah kaprah. Dalam hal ini Riri tak mampu mencapai kompleksitas yang dihadapi Mak Cik dan Nurmi dengan bahasa sinematiknya, padahal persoalan yang dihadapi adalah sebuah pergulatan eksistensial terutama apa yang dialami oleh Nurmi yang harus merelakan biola kesayangannya ditukar dengan beras meskipun hal ini tidak terjadi lantaran kemurahan ibu Ikal yang mengatakan kepada Mak Cik, “Jangan sekali-kali kau pisahkan Nurmi dari Biola ini, Maryamah. Kalau berasmu habis, datang lagi ke sini.”
Memang Sang Pemimpi dinisbahkan kepada Arai sebagai tokoh sentral baik di novel maupun di filem, tetapi Arai adalah wakil dari keserawutan kondisi masyarakat Belitung ketika itu. Problem krusial yang dihadapi masyarakat Belitung secara pas ditujukan kepada Arai. Ia adalah potret dari anak-anak yang harus menelan pahit kehidupan di usia yang sangat belia. Tema-tema kehilangan, kepedihan, masa lalunya yang pilu adalah tema yang akrab bersamanya. Sepayah apapun yang ia alami tak membuatnya gentar dan Arai tetap menjadi sosok anak yang cerdas, energetik, genial, pantang menyerah, keras hati, dan selalu berpikiran positif dalam menghadapi kesulitan yang ia temui. Di filem ini, karakter Arai sama persis seperti di novel dan kepiawaian akting pemeran Arai kecil dan Arai remaja sudah dapat memenuhi karakter tersebut, terkecuali karakter Arai dewasa yang diperankan oleh Nazril Irham yang kapasitas aktingnya masih kurang eksploratif. Di semua tokoh-tokoh yang memerankan Sang Pemimpi dapat mengeksplorasi kemampuan aktingnya meskipun beberapa pemeran adalah pendatang baru yang dengan cepat dapat beradaptasi secara profesional sebagai pemain filem. Mathias Muchus, Rieke Dyah Pitaloka dan Zulfanny tetap bermain di filem ini dengan masih memerankan karakternya masing-masing. Beberapa aktor profesional ikut terlibat di sini, seperti dua aktor watak yang masing-masing memerankan Ikal dewasa (Lukman Sardi), dan Penyair Landung Simatupang (Pak Mustar) serta akting perdana Nugie dan Nazril Irham di layar lebar. Nugie sukses memerankan tokoh Pak Julian Balia sedangkan Nazril Irham belum maksimal memerankan karakter Arai yang genial itu.
Tawaran yang disampaikan Riri melalui filemnya ini masih terpusat pada problematika Ikal, Arai dan Jimbron sebagai anak remaja yang mengalami masa pubertas, persoalan hidup yang mereka alami dan dunia bermain ketiga tokoh di filem tersebut. Ada beberapa yang kurang menjadi perhatian sutradara filem ini seperti isu-isu mengenai Perusahaan Negara Timah yang kurang mendapat porsi signifikan, kesenjangan sosial yang terjadi antara elit PN Timah dengan penduduk setempat yang masih tetap saja memprihatinkan. Di novel, dirincikan mengenai kebiasaan para elit PN Timah dalam mengisi waktu luang dengan bermain golf kontras dengan gambaran miris anak-anak Melayu yang bekerja mendulang timah bahkan ada yang sampai di bagan tengah laut.
Gambaran kelam jalinan relasi timpang antara PN Timah dan masyarakat pribumi di mana kerusakan lingkungan dan kesenjangan sosial yang merampas hak tanah ulayat adalah isu yang patut diterjemahkan untuk masuk ke dalam bingkaian sinematik sutradara sebagai basis pijakan dalam menyikapi hal-hal demikian. Ini memperlihatkan posisi sutradara yang kurang tegas. Gambaran-gambaran tatkala Ikal, Arai dan Jimbron bekerja pontang-panting baik sebagai caddy golf, kuli ngambat, menyiapkan ratusan gelas teh dan kopi untuk para abdi negara dan profesi-profesi lainnya di filem ini ditampilkan sebagai bagian wajar dalam mencapai kesuksesan yang mengiringi mereka kelak. Padahal tidaklah sesederhana itu. Semestinya, secara filmis dapat diperkuat kepada penonton tentang profesi yang mereka jalani ini sebagai bentuk pembangunan yang tak pernah berpihak atau tegangan antara harapan dan kepiluan para pendulang timah yang mengais-ngais di tanah mereka sendiri. Di filem ini, gambaran mengenai pengerusakan lingkungan akibat eksploitasi timah menyebabkan terkontaminasinya ekosistem tak diinformasikan kepada penonton secara utuh. Hanya sepenggal lalu. Padahal informasi ini menjadi penting di samping petualangan ketiga bocah yang tak kalah seru dan tak kalah rumitnya dengan lanskap sosial, politik dan ekonomi di pulau Belitung. Kompleksitas persoalan itu adalah satu bangunan utuh dari apa yang diinginkan dalam kisah Sang pemimpi. Di sini, Riri Riza mengalami ambivalensi dalam membicarakan isu yang digugat di novel ini. Betapa tidak, nasib buruk hampir dirasakan oleh semua orang Melayu di sini dan ambivalensi itu terlihat dalam banyak pengambilan gambar pulau Belitung dari segi eksotisme dan nuansa panorama alamnya yang indah di samping aktifitas padat di kota pelabuhan Manggar yang seperti disebut di atas sebagai pusat kosmopolitanisme di pulau Belitung bagian timur.
Berbeda dengan novelnya, di filem Sang Pemimpi figur Pak Julian Balia ditempatkan menjadi guru sastra an sich, tidak sebagai kepala sekolah SMA “bukan main” yang di filem ini diganti dengan nama SMA Manggar. Figur kepala sekolah justru jatuh pada Pak Mustar meski ia bukan kepala sekolah yang diceritakan di novel. Pak Mustar, baik di novel maupun di filem digambarkan dengan sosok antagonis atau mungkin terkesan antagonis meskipun ia sebenarnya suri tauladan bagi semua pihak. Ia menerapkan disiplin keras pada setiap muridnya termasuk metode pembagian rapor yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh profesor pendidikan sekalipun. Betapa tidak, metode yang ia terapkan terbukti ampuh dalam memacu prestasi siswa di mana 10 besar ditempatkan pada posisi bangku deretan paling depan. Semua orangtua murid dikumpulkan di aula dengan nomor kursi besar-besar, sesuai ranking anaknya. Metodenya memang terbukti efektif untuk memompa prestasi belajar di mana metode yang diterapkan dapat menjadi kebanggaan sekaligus memalukan bagi orangtua masing-masing siswa. Di majelis pengambilan rapor inilah muka orangtua murid dipertaruhkan. Di sini, Ikal dan Arai berada dalam 10 besar sebagai anak-anak Melayu garda depan. Maka tak mengherankan tatkala pembagian rapor, ayah Ikal yang juga wali murid Arai dengan safari empat kantong kebesarannya lengkap dengan berbagai atribut untuk memenuhi undangan pengambilan rapor. Di filem ini, secara sinematik sudah mewakili sosok ayah Ikal dalam pengambilan rapor dengan safari kebesarannya berjalan melintasi berkilometer jauhnya menuju ke sekolah Ikal dan Arai.
Julian Ichsan Balia adalah figur penting dalam menjemput mimpi Ikal dan Arai dalam meraih cita-citanya. Melalui tangan dinginnya ia pekikkan gelora kepada murid-muridnya. Trio Ikal, Arai dan Jimbron terkena sihirnya yang pamungkas dan Pak Balia dengan segenap auranya memancarkan mimpi-mimpi ambisius anak-anak Melayu yang terasa sebatas mimpi-mimpi yang muskil untuk menginjakkan kaki di altar suci Universitas Sorbonne, Paris yang dengan mantap ia tuliskan di papan tulis. Pada adegan ini, Nugie secara meyakinkan berhasil memerankan karakter Pak Balia sebagai ambtenaar idealis.
Penuh derita sekaligus harapan karena tak kuasa berhenti mencinta seorang gadis primadona SMA Manggar, Zakiah Nurmala sang pujaan hati Arai. Dengan berbagai cara ia tempuh untuk mendapatkan secuil perhatian Zakiah. Di novel dipaparkan usaha yang dilakukan Arai untuk merebut hati Zakiah. Tak terhitung lagi syair-syair, bunga-bunga, surat cinta dan meminta petuah bijak bestari kepada Bang Zaitun, pria flamboyan yang kondang dalam dunia percintaan, semua usaha tersebut dipersembahkan pada Zakiah Nurmala namun disinilah kegigihan dan keteguhan jiwa Arai tergambarkan. Sama halnya dengan karakter Pak Balia yang dibawakan Nugie dengan sangat baik, karakter Arai dalam menggapai cintanya kepada Zakiah Nurmala minus tanpa cela. Ahmad Syaifullah yang memerankan Arai rupanya sukses pula memainkan peran Arai. Karakter Bang Zaitun yang sangat flamboyan secara meyakinkan mampu diperankan oleh Jay Widjajanto. Di filem ini, peran Bang Zaitun dengan aksen khas pimpinan orkes Melayu mampu dituangkan oleh Jay Widjajanto dalam bingkaian sinematik Sang Pemimpi. Sama halnya dengan novel, di filem ini pun karakter Bang Zaitun memberikan sebuah tradisi kelisanan orang Melayu yang mungkin tak bergema lagi. Perbincangan yang terjadi ketika Arai dan Ikal meminta petuah cinta sangat khas Melayu dengan tampilan atributif kesusastraan Melayu yang tak terlepas dari syair, pantun, dan berdendang. Jika di novel digambarkan usaha Arai tak hanya berlangsung sekali mendendangkan tembang ke depan rumah Zakiah, di filem hanya cukup sekali eksekusi pengungkapan cinta melalui tembang yang ia dendangkan. Bedanya, jika di novel Arai melantunkan syair-syair lagu Ray Charles, I Can’t Stop Loving You, maka di filem ini ia mendendangkan tembang-tembang Melayu. Dalam hal ini, Riri mengambil posisi yang pas sebagai gaya adaptasi novel di mana ruang untuk melakukan visualisasi dan suara tersampaikan dengan tepat sebagai pesan sosio-kultural sutradara untuk menyampaikan tradisi kebudayaan Melayu kepada penonton.
Filem ini ditutup dengan adegan Ikal dan Arai merantau ke Jakarta untuk kuliah dengan menumpangi kapal Bintang Laut Selatan. Tujuan mereka ke Jakarta adalah Ciputat, namun mereka tersasar sampai di Bogor. Jimbron, sang sahabat, tak ikut dalam misi mereka ke Jakarta dan hanya memberikan sepasang celengan kuda kepada Ikal dan Arai. Di filem ini sangat disayangkan adegan perpisahan hanya dihadiri oleh Ibu-Bapak Ikal, Pak Mustar, Pak Balia dan Laksmi gadis pujaan hati Jimbron saja, tidak seperti di novelnya. Acara perpisahan mereka di pelabuhan Manggar dihadiri lengkap oleh orang-orang terdekat di antara mereka seperti sahabat-sahabat SD (anggota Laskar pelangi), Jimbron, penjaga sekolah, puluhan kolega sesama kuli ngambat, Taikong Hamim, Bang Zaitun, Pendeta Geovanny, A Kiun, dll.
Di Bogor mereka berdua pontang panting bertahan hidup. Ikal bekerja sebagai tukang fotokopi sampai pegawai pos yang di awal cerita filem ini Ikal dewasa menuturkan kenapa ia tak mempercayai tukang pos karena pengalaman traumatisnya. Pengalaman inilah yang membuat Ikal tak mempercayai pos karena salah kirim pernah menimpa Ayahnya yang tak jadi mendapatkan kenaikan pangkat. Tuturan di filem ini, Ikal dan Arai kuliah di Universitas Indonesia (UI) di mana adegan wisuda berlangsung dengan mengepalkan toga ke udara. Padahal di novel tertulis justru Zakiah Nurmala yang sama-sama kuliah di UI sedangkan Arai menghilang meninggalkan Ikal sendirian di Bogor sebelumnya untuk kuliah di Universitas Mulawarman dan dipertemukan kembali pada tes wawancara beasiswa S2 ke Eropa. Akhirnya mereka berdua berhasil meraih mimpi untuk menginjakkan kaki di altar suci Universitas Sorbonne. Mereka berdua pun pulang ke Belitung dengan gelar Sarjana. Di Belitung mereka saling mengunjungi sanak famili, kerabat, teman-teman termasuk kawan karibnya Jimbron yang keranjingan bukan kepalang. Di Belitung dua anak ini menanti surat keputusan beasiswa dan akhirnya mereka diterima beasiswa S2 di Universitas Sorbonne. Lain halnya di filem, cerita di atas dipadatkan. Kelulusan beasiswanya diterima oleh ayah dan Ibu Ikal di Belitung tanpa mereka pulang kampung dan Ikal dan Arai pun sampai di Brussel, Belgia menikmati butiran salju tanda pertama mereka menginjakkan kaki di Eropa. Di akhir adegan ini secara jelas filem ini akan diteruskan pada sekuel yang ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi, Endensor.
Filem Sang Pemimpi tak berhasil memberikan kejutan pada penonton seperti sekuel sebelumnya, Laskar Pelangi, yang utuh memberikan kejutan secara psikologis maupun kultural kepada penonton. Ritme filem Sang Pemimpi berjalan datar dan fluktuasi yang digambarkan di novel kurang tersampaikan dengan baik pada versi adaptasinya. Tawaran akan kompleksitas Sang Pemimpi tidak mampu disajikan di filem ini. Filem Sang Pemimpi sibuk pada urusan yang bersifat romansa saja dengan iringan gerak tubuh masyarakatnya terutama Ikal dan Arai yang jatuh pada lamunan asmara untuk sejenak melupakan kepedihan hidup yang mereka lakoni. Problem-problem krusial tampaknya terparkir dulu dan tak tersampaikan di filem ini secara utuh sehingga penonton asyik masyuk dengan runutan cerita filem Sang Pemimpi dengan derai tawa menontonnya. Banyak elemen-elemen yang krusial untuk disampaikan di filem ini kurang dieksplorasi oleh sutradara/penulis skenario filem ini tentang lanskap pulau Belitung yang terasa sangat tidak adil dalam kebijakan pembangunan sehingga melahirkan krisis sosial.
Baik novel maupun filemnya terlepas dari konteks kompleksitas permasalahan di pulau Belitung secara jelas memberikan kandungan pesan bahwa “Kita tak’kan pernah mendahului nasib!” teriak Arai. “Kita akan sekolah ke Prancis, menjelajahi Eropa sampai ke Afrika! Apa pun yang terjadi!”. Terbukti obsesi akbar mereka didengar Tuhan dan tentu saja ada metode atau perlakuan yang sangat logis untuk mencapainya sehingga penonton tidak dibuai dengan runutan kisah hidup mereka selain campur tangan Tuhan adalah mereka berdiri di atas kemampuan sendiri untuk berikhtiar dengan sungguh-sungguh seperti apa yang dilakukan oleh Arai di filem ini yang menghilang selama tiga tahun dalam rangka penelitian di pedalaman Kalimantan untuk proposalnya mendapatkan beasiswa S2 di Eropa. Bukankah logis cara tersebut? penonton pun akan mengamini jikalau ikhtiar yang dilakukan oleh kedua anak Belitung ini masuk akal.