In Artikel

MENURUT SAYA, The Asthenic Syndrome—konon oleh kritikus Andrei Dementyev (sebagaimana dicatat Jonathan Rosenbaum) dianggap “…satu-satunya mahakarya sinema era glasnost…”1—adalah film Kira Muratova yang sangat kentara menunjukkan bentuk sinema prefabrik. Analisis akan hal ini dapat dilakukan, terutama, dengan memperhatikan struktur film yang diproduksi tahun 1989 tersebut, yaitu film-di-dalam-film: sebuah film pendek yang utuh lengkap hadir menjadi “bagian” di dalam semesta naratif The Asthenic Syndrome.

Saya memberikan tanda petik pada kata “bagian” karena nilai dari film pendek yang saya maksud terasa jauh lebih rumit daripada sekadar berkedudukan sebagai subcerita. Adanya film pendek “di dalam” film tidak mengindikasikan bahwa The Asthenic Syndrome berhenti hanya sebagai “cerita bertingkat” ataupun “cerita berbingkai”. Dalam hemat saya, keberadaan film tersebut malah membuat The Asthenic Syndrome lebih pantas disebut sebagai karya yang terdiri dari dua film yang masing-masing dapat berdiri sendiri. Tidak berada dalam hubungan yang bersifat hierarkis, keduanya merupakan segmen yang dijukstaposisi dengan kedalaman formal yang sama pentingnya, dan dengan kompleksitas naratif yang juga setara bobotnya. Film ini, dengan kata lain, adalah sebuah “dwinitas”.

Struktur film adalah ihwal penting yang pastinya akan kita bicarakan lebih lanjut di seri ulasan tentang film ini. Sebelum hal itu dilakukan, menarik kiranya jika kita meninjau dahulu substansi naratif The Asthenic Syndrome dan memeriksa keterkaitannya dengan konteks sosioekonomi dan sosiopolitik yang bergejolak di penghujung era Uni Soviet. Sebab, saking genialnya film ini, ada yang menyebut bahwa The Asthenic Syndrome “menutup zaman sinema 1980-an,”2 dan karenanya ia dianggap pula sebagai karya sinema pamungkas yang “menandai akhir dari era sinema Soviet dan masyarakat Soviet.”3 Demi mengelaborasi anggapan-anggapan itulah maka analisis kontekstual juga perlu disertakan untuk memahami subject matter film ini. Penggunaan perspektif sosiologis, saya kira, akan sangat membantu proses penafsiran kita atas isu yang diangkat dan dibingkai Muratova ke dalam dua cerita berbeda di film ini, yaitu isu tentang penderitaan psikologis yang dialami individu akibat ketidakterimaannya terhadap kondisi sosial yang mengecewakan.

Cerita segmen pertama adalah tentang ratapan agresif Natasha (diperankan oleh Olga Antonova), sepeninggal suaminya, yang berbuah anomi, kegilaan, dan perilaku yang dapat dinilai masokis. Sedangkan segmen kedua, ialah cerita tentang melankolia performatif Nikolai (diperankan oleh Sergei Popov) yang menggejala dalam bentuk apati gestural, morbiditas psikologis, kelumpuhan rasa, dan kelelahan yang berkepanjangan.

Kedua cerita tersebut tentu saja dapat dipandang sebagai konstruksi naratif yang merepresentasikan respon individual terhadap krisis sosial dari masyarakat yang tengah mengalami keterombang-ambingan ideologis dan kegamangan kultural pasca-pemberlakuan kebijakan restrukturisasi ekonomi dan transparansi politik negara adidaya yang berupaya mengakhiri Era Stagnasi-nya. Tapi lebih dari itu, ramuan naratif-formal The Asthenic Syndrome bisa dianggap pula sebagai bukti lain dari kepekaan estetik Muratova dalam merefleksikan fakta-fakta sosial. Hal ini sekaligus juga mendemonstrasikan bagaimana struktur filmis—yang memungkinkan konstruksi atas refleksi tersebut—difasilitasi oleh fungsi-fungsi ornamental sehingga menjelma menjadi ungkapan-ungkapan puitik.

***

DARI TOTAL durasi 2 jam 32 menit, 40 menit pertama adalah bagian yang mengisahkan dukacita mandalam Natasha, sedangkan 1 jam 52 menit sisanya adalah bagian yang menceritakan kejenuhan kronis Nikolai. Adegan yang menjembatani kedua bagian adalah sebuah peristiwa di dalam bioskop. Di adegan inilah nantinya penonton The Asthenic Syndrome akan menyadari bahwa kisah Natasha adalah film-di-dalam-film, yaitu film yang sedang ditonton oleh Nikolai dan orang-orang lainnya di bioskop itu.

Ditampilkan hitam-putih, narasi tentang Natasha diawali dengan sekuen berkabung. Setelah beberapa shot yang memperlihatkan adegan boneka rongsok (dengan bidikan close-up), lalu adegan tiga orang ibu yang berkhotbah soal pentingnya membaca Tolstoy, dilanjut adegan seorang bocah yang meniup bola sabun, dan adegan sekumpulan pekerja laki-laki yang menghibur diri dengan menyiksa seekor kucing, menyusullah kemudian serangkaian adegan penguburan jenazah di sebuah kompleks pemakaman sipil. Diiringi musik klasik gubahan Schubert,4 kita melihat figur-figur yang meratapi anggota keluarganya yang meninggal. Hingga akhirnya, kamera Muratova fokus pada sebuah adegan penguburan yang di dalamnya sosok si protagonis, Natasha, mulai diperkenalkan: ia tampak lelah dan lemas, tapi tetap berupaya berdiri (sambil dibantu oleh temannya) di samping jenazah suaminya yang akan segera dikubur. Latar musik berhenti seketika saat teriakan duka Natasha menggema mengisi adegan. Setelah berteriak dan terlihat mulai bisa mengendalikan diri, Natasha memperhatikan tingkah dua laki-laki yang bersenda gurau di tengah-tengah acara pemakaman. Tampaknya ia tersinggung karena hal itu; ia pun pergi meninggalkan acara pemakaman (padahal jenazah suaminya belum dikuburkan), membuat bingung semua orang.

Kemudian, adegan dalam bidikan lebar menampilkan beberapa orang kawan Natasha tengah berjalan menyusuri area makam, mendekati kamera, menghampiri Natasha. Dalam bidikan ini, kita juga melihat potret-potret wajah dari warga-warga almarhum yang dipajang di puncak-puncak bangunan kuburan. Setelah memaki semua teman-temannya, Natasha berjalan-jalan sendirian di area pemakaman; ia nyaris tersasar di tengah-tengah labirin yang terbentuk oleh pagar-pagar makam yang tinggi. Sementara itu, bidikan demi bidikan yang memperlihatkan potret-potret di kuburuan terus menyela-nyela sekuen, hingga sebuah bidikan statis memperlihatkan Natasha berdiri menghadap ke kamera, membelakangi belasan potret berpigura yang terpajang di dinding. Dari sini, sebuah peralihan halus terjadi: dari kumpulan potret di pemakaman ke kumpulan potret di studio foto. Rangkaian bidikan kamera yang memperlihatkan potret-potret wajah dari foto-foto yang biasanya digunakan untuk dokumen resmi (seperti dokumen identitas) pun menyusul kemudian. Taubman, mengutip Graham Roberts (1997), menyoroti sekuen ini sebagai bentuk perhatian Muratova yang tidak hanya “…membatasi dirinya pada studi soal politik tatapan di dalam sinema, tetapi juga tentang signifikansi tampilan [citra visual dari wajah] dalam masyarakat secara luas.”5

Sekuen berlanjut, menceritakan bagaimana Natasha kembali kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Dalam perjalanan pulang ke rumah, ia berperilaku agresif, menghina, dan menyerang orang-orang di jalan. Di kediamannya, ia berhenti mengurus rumah—bahkan dengan acuh tak acuh memecahkan perabotan di dapur dan mengacak-acak pakaian yang ada di lemari. Sekuen ini, lagi-lagi, disela-sela oleh bidikan kamera yang memperlihatkan potret-potret wajah. Kali ini, adalah potret mendiang suaminya Natasha. Frustrasi dengan kedukaannya, Natasha lalu tertidur di lantai hingga esok hari.

Natasha kemudian pergi ke rumah sakit, tempatnya bekerja, dan mengajukan surat pengunduran diri. Ia sempat terlibat adu mulut dengan kepala rumah sakit dan bersikap tak lembut kepada petugas kesehatan lainnya. Pada sekuen rumah sakit ini pun, kita beberapa kali melihat tingkah laku Natasha yang semakin menunjukkan ketiadaan empati dirinya terhadap orang lain dan keadaan sekitar. Keluar dari rumah sakit dan berjalan-jalan di tengah kota, agresivitas Natasha begitu mudah terpancing, bahkan hanya karena tubrukan bahu yang tak disengaja. Ia kemudian asal menyerang para pejalan kaki yang lewat; ia berperilaku nyaris seperti orang gila.

Suatu ketika di sebuah taman, ia menghampiri seorang gelandangan dungu dan menawarkan diri untuk berhubungan badan. Ia mengajak gelandangan itu ke apartemennya sendiri, mengabaikan keterkejutan tetangga. Namun, di awal kegiatan persetubuhan itu, Natasha tampak menyesal. Histeris, ia menghentikan kegiatan persetubuhan dan mengusir si gelandangan yang kebingungan dari apartemennya. Setelah peristiwa ini, Natasha mulai bisa kembali menguasai emosi. Ia mencoba membersihkan rumah yang sebelumnya berantakan gara-gara ulahnya sendiri. Dan di saat sedang merapikan pakaian, Natasha menyadari ada sesuatu yang terjadi di luar apartemen; ia pun melongok melalui jendela untuk memeriksa.

Bidikan tiba-tiba berganti: Natasha berdiri di atas mesin angkat derek (‘lift crane’) yang bergerak perlahan dari atas ke bawah. Setelah turun dari mesin derek itu, dan keluar dari komplek pembangunan, seorang perempuan memberhentikan Natasha, mengatakan padanya bahwa ada sesuatu yang mengotori punggung bajunya. Perempuan itu pun menawarkan diri untuk membersihkan kotoran yang dimaksud. Di momen tersebut, Natasha tidak berperilaku seperti yang ia tunjukkan di sekuen-sekuen sebelumnya. Ia justru tampak diam saja dan dengan tenang membiarkan perempuan tersebut menuntaskan kegiatannya.

Adegan membersihkan punggung itu kemudian diulang, tetapi pengulangannya tampil di atas sebuah layar tontonan. Layar itu dibidik oleh kamera dalam sudut ambilan yang miring. Bidikan berikutnya, yang memperlihatkan pancaran sinar proyektor, menjadi informasi bagi kita untuk menyadari bahwa latar naratif telah berpindah ke dalam bioskop, dan bahwa cerita tentang Natasha adalah sebuah film hitam-putih yang tengah ditonton oleh orang-orang di dalam sebuah bioskop. Film tentang Natasha diakhiri seiring munculnya dua orang yang berjalan di atas panggung, membelakangi layar tersebut. Dua orang itu adalah si perempuan yang memerankan tokoh Natasha dan seorang laki-laki yang memandu acara diskusi pascapenayangan film. Menjadi titik transisi antara film tentang Natasha (cerita segmen pertama) dan film tentang Nikolai (cerita segmen kedua), adegan bioskop itu—hingga ke adegan terakhir di film Asthenic Syndrome—ditampilkan berwarna.

***

DI DALAM BANYAK tanggapan terhadap The Asthenic Syndrome, segmen cerita Natasha, walaupun berdurasi lebih pendek, mendapatkan perhatian khusus. Yang membuatnya penting bukan hanya karena mengangkat isu dan subjek perempuan, tetapi juga karena gambaran radikalnya mengenai kesedihan dan perkabungan. Rentetan peristiwa demi peristiwa di segmen ini terasa begitu hina, rendah, tidak jarang tercela, dan sangat memalukan. Adalah wajar jika film ini kemudian dianggap kontroversial. Di hadapam rezim yang mengimpikan keharmonisan, kemajuan, dan keterpandangan hidup bernegara, karakterisasi Natasha dengan agresivitas berlebihan itu berisiko tinggi dinilai sebagai usikan, gangguan, dan pembodohan, bahkan penghinaan bagi utopia madani bangsa Soviet.

Ada pula interpretasi yang mengaitkan adegan penguburan jenazah suami Natasha sebagai simbolisasi “kematian Stalin” (lucunya, tampang jenazah itu memang rada-rada mirip Stalin6). Terlebih lagi, karena The Asthenic Syndrome diproduksi pada pertengahan era ketika kedigdayaan Uni Soviet semakin diragukan (dan negara ini sedikit demi sedikit mendekati masa pembubarannya), adegan pembuka di segmen ini pun ditafsir sebagai metafora tentang “pemakaman” Uni Soviet.7

Namun, menurut saya, kalau kita kembali kepada argumentasi yang didasarkan pada orientasi estetis sinema Muratova, segmen cerita Natasha pastinya sedang menyasar hal yang lebih kompleks daripada pemaknaan simbolik semacam itu. Dengan terus mengikuti prinsip-prinsip di dalam filsafat ornamentalis ala Muratova, kita akan bisa merasakan bahwa, di samping memang adanya kecenderungan untuk menghadirkan teka-teki yang terus mendorong arah interpretasi ke soal peratapan nasib Uni Soviet, apa yang sutradara film ini bicarakan bisa jadi bersifat lebih universal.

Persoalannya, apa yang saya pikir paling menarik dari penggambaran kisah Natasha yang “sangat hina” ini, seturut dengan pendapat Agata Pyzik, ialah daya gugah artistik Muratova yang begitu khas: ia dengan cerdik meramu ide tentang kenelangsaan psikologis dengan kenistaan biologis ke dalam sebuah konstruksi film yang tetap teatrikal.8 Istilah ‘teatrikal’ yang digunakan Pyzik dalam pendapatnya itu bisa saja merupakan kata kunci untuk meninjau bagaimana film ini dikonstruksi sebagai kritik atau olok-olok terhadap “realitas terteatrikalisasi” yang mencirikan kehidupan masyarakat di bawah rezim otoritarian, di mana segala hal diatur oleh negara. Akan tetapi, dalam konteks formalis, seharusnya, ‘teatrikal’ di situ perlu dipahami sebagai konsep khusus tentang gaya bahasa, yaitu yang mengacu pada bagaimana ekses-ekses dramatik dan “artifisialitas” pengadeganan sengaja digunakan sebagai elemen-elemen ornamental untuk mengejar bentuk dan efek grotesque: situasi ganjil ditonjolkan, menjadi bahasa utama, untuk merepih batas-batas puitik penggambaran alamiah belaka.

Selain itu, sebagaimana pendapat Taubman, Muratova juga merangkul pendekatan komedi hitam untuk menghancurkan benteng “kenikmatan naratif” demi tujuan terciptanya suatu syok (pada diri penonton).9 Di film ini, Muratova membingkai tabu: selain seksualitas dan ketelanjangan, kita juga melihat pelecehan, kegilaan, dan brutalitas. Gambaran kisah Natasha seolah menjadi semacam pernyataan yang pada satu sisi bersifat Artaudian—menantang pengertian konvensional sekaligus merangsang pemahaman baru dari rasa bersalah dan kekejaman10—tapi di sisi yang lain juga menggaungkan afirmasi Nietzschean—menunjukkan dan “merayakan” rasa keterpurukan paling bawah, yang barangkali dapat mengandaikan kelegaan, kalau bukan kebangkitan baru.

Penting untuk dicatat bahwa “membingkai ketabuan” atau “mengangkat isu tabu” merupakan kecenderungan umum dalam gelombang sinema chernuka yang berkembang di era Perestroika Uni Soviet 1980-an. Era “keterbukaan” yang digadang-gadang Gorbachev, seperti yang dicatat sejarah, malah membuka lebar kesempatan para seniman untuk menelanjangi masa lalu dan masa kini negara tersebut. Mencermati bingkaian yang ia pilih untuk The Asthenic Syndrome—di mana ketabuan juga kentara di segmen kedua film ini (kisah tentang Nikolai)—maka kita boleh saja menarik kesimpulan tentang posisi politik-kebudayaan (atau politik sinema) Muratova terhadap perkembangan Uni Soviet: Muratova kontrarezim. Akan tetapi, kita juga perlu mengingat bahwa “membingkai ketabuan” bukanlah hal baru bagi sutradara postmodern ini. Film-film yang lebih dulu ia produksi jauh sebelum era ini telah membuktikan keberanian dan radikalitas ekstremnya dalam membicarakan hal-hal di luar batas-batas norma sosial dan definisi-definsi yang ditetapkan negara. Dengan kata lain, dalam konteks praksis sinematik Muratova, ketabuan bukan lagi hanya semata-mata tema yang diangkat demi menelanjangi kebobrokan sistem sosial, ekonomi, dan politik. Yang menurut saya lebih tepat ialah, ketabuan baginya merupakan suatu hantaran ideologis untuk merealisasikan fungsi sosial pamungkas dari sinema.

Sehubungan dengan itu, kesadaran estetik Muratova yang perlu kita garis bawahi kemudian adalah pendefinisiannya atas film sebagai salah satu medium seni. Bagi Muratova, hina-dina kenyataan, seperti kesedihan, atau kehidupan yang kaos, jika ditegaskan ke dalam struktur bahasa yang baik, entah secara musikal ataupun ornamental, sejauh semuanya tersusun dengan tepat, akan memunculkan suatu kegembiraan—seni adalah sesuatu yang didalamnya kesedihan adalah juga kegembiraan.11 Kegembiraan di dalam kesedihan hanya akan disadari sejauh kesedihan itu diamati dengan seksama. Seni (secara khusus, dengan ornamentalitasnya) membuka lebar peluang pengamatan tersebut. Sinema, jika diberdayakan sebagai medium yang mempunyai fungsi katarsis, adalah realisasi dari aksi pemugaran realitas; dengan sinema kita mengungkap hal-hal autentik dari kehidupan sehari-hari, yaitu hal-hal yang “…seharusnya kita merasa terusik…”12 karena keberadaannya, dan ketergangguan itu niscaya tak terhindarkan tatkala kita benar-benar menyadarinya. Ada di segala zaman, terlepas dari apa dan bagaimana kekuasaan yang menaunginya, aspek-aspek keseharian yang selalu mengganggu itu tidak akan pernah hilang sampai kapan pun. Kita hanya sering kali tidak menyadarinya karena terbiasa mengikuti perspektif yang diakui dalam norma sosial dan politik penguasa. Gaya bahasa ornamental menawarkan detail-detail yang melaluinya kita bisa melihat dengan cara yang berbeda.

Jika kita perhatikan kembali konstruksi cerita dari segmen tentang Natasha ini, dapat disadari bahwa, meskipun diwarnai banyak tangisan, agresivitas Natasha nyatanya digambarkan tanpa mendramatisir unsur feminin. Muratova membangun montase-montase yang terbilang rinci memperlihatkan hal ini. Kita bisa menyimak contohnya di adegan pemakaman, atau di dalam apartemen saat kamera merekam ekspresi Natasha makan roti, atau di lingkungan rumah sakit di mana Muratova kembali menegaskan ketidakpedulian Natasha yang total terhadap apa pun. Perihal peran dan ekspektasi sosial, termasuk peran dan ekspektasi gender, seakan telah tertimbun jauh di bawah tanah gara-gara situasi kronis dari kekecewaan, demoralisasi, dan putus asa. Yang menyisa hanyalah daging yang “mati”, atau kondisi emosi yang “membusuk”.

“Manipulasi” penuh frustasi yang Natasha coba lakukan terhadap seorang laki-laki di pinggir jalan, contoh lainnya, dilakukan dalam perilaku yang nyaris seperti orang gila; dan kegilaan yang tergambar di adegan ini secara tidak langsung membuatnya menjadi subjek yang bebas dari ukuran-ukuran normatif yang biasanya menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Tapi, kegilaan itu juga membuatnya lepas dari jeratan stereotipikal tentang “heroisme” dan citra “perempuan tangguh” (dua prasyarat klise yang selalu diandaikan atau diharapkan ada dalam tema-tema tentang perlawanan perempuan).

Apakah penggambaran karakteristik Natasha, dalam hal ini, kemudian menjadi demonik? Saya pikir tidak. Kepribadian apatis Natasha yang menggejala sepeninggal suaminya justru memanifestasikan gugatan yang bersifat Aurtadian-cum-Nietzschean itu. Sementara demonisasi selalu berujung pada eskapisme dan penghakiman sosial, kejanggalan sikap dan “kematian rasa” Natasha di cerita ini adalah suatu kesementaraan yang menantikan pelepasan emosional. Pertanyaannya, pada titik mana pelepasan itu terjadi? Jawabannya ialah pada histeria terpuncak. Acap kali, memang, proses menuju histeria puncak inilah yang mengusik zona nyaman kita yang terlanjur terbiasa oleh wacana-wacana baku, wacana-wacana yang diinskripsi secara sosial oleh norma dan politik. Estetika Muratova menegaskan kesadaran tentang keniscayaan film untuk mengoperasikan—atau beroperasi di dalam—proses itu.

Dengan kerangka berpikir demikian, kita pun bisa mengurai mengapa dan bagaimana seksualitas di segmen ini, misalnya, tidak tampil erotis walaupun tetap menggelisahkan. Adegan Natasha yang akan bersetubuh dengan si gelandangan dungu memprovokasi pemahaman sensorial kita tanpa konotasi sensual sama sekali. Dalam arti, pengadeganannya memancing tanggapan biologis kita yang bisa jadi terusik oleh ketertekanan emosional dan jasmaniah yang tersirat dalam karakterisasi Natasha; ia merepresentasikan tubuh yang kehilangan rasa tapi tetap berupaya mencari jalan kembali di tengah-tengah keputusasaan dan disorientasinya. Tubuh dan perilaku memanifestasikan kegetiran, bahkan menjadi getir itu sendiri.

Dan seperti yang dapat dilihat kemudian, adegan tersebut hadir bukan untuk berbicara soal apakah gratifikasi fisik berhasil terpenuhi atau tidak, atau apakah hal itu tengah dipaksakan atau tidak. Foreplay dimulai dan berlangsung singkat tanpa berahi si protagonis, lalu seketika dihentikan, pun tanpa kekecewaannya terhadap situasi di mana berahinya gagal muncul. Ketegangan yang tercipta dari adegan ini terasa melampaui representasi klise kekerasan seksual. Pergulatan fisik setelahnya—aksi Natasha menendang dan mengusir si gelandangan—memicu pengertian lain dari kehinaan dan keterpurukan. Alih-alih untuk dirinya sendiri, atau untuk pasangan serampangannya itu, teriakan histeris Natasha di adegan ini—yang secara konstruktif menggemakan kembali teriakannya di tengah-tengah prosesi pemakaman (sekuen pembuka)—adalah kemarahan untuk sistem. Sementara histeria pada sekuen pembuka menghentikan sakralitas ritual kematian dalam kebingungan yang canggung, histeria di adegan ini mengakhiri kegetiran perilaku asusila pada kelegaan yang aneh—dengan tetap menyematkan unsur tragi-komedi di dalamnya—sehingga menjungkirbalikkan arti dari suatu tindakan yang oleh norma sosial biasanya dipandang nista. Ornamentalitas kenistaan ini, sebagaimana tukikan subversif dari estetika pesimisme, menggeser sensualitas sembari mengetengahkan empati tentang “tubuh” dan “perasaan” yang, pada akhirnya kembali kita sadari, selalu dihegemoni oleh patriarki. Histeria Natasha menghidupkan daya puitik dari yang getir.

Melalui gambaran tentang kondisi paling terpuruk semacam itu, Muratova agaknya ingin mengajak kita untuk turut merasakan—bukan sekadar mengerti tentang—despotisme sosial: suatu kezaliman sistemik, yang tak terlihat, yang di dalamnya peran dan ekspektasi mengenai gender tertentu terus-menerus ditetapkan dan didefinisikan, diulang-ulang, hingga menjadi klise. Visi estetik dari sinema ornamental ala Muratova, sebagaimana yang sudah kita kaji di ulasan-ulasan tentang film-film Muratova sebelumnya,13 adalah untuk menghancurkan stereotipe tersebut.

Pemikiran di atas akan kita elaborasi lebih jauh dengan melanjutkan peninjauan kita ke segmen kedua The Asthenic Syndrome.

Maka, kita kembali ke adegan di dalam bioskop: di situ, kita sudah mengetahui bahwa kenelangsaan psikologis Natasha ternyata hanyalah sebuah cerita hitam-putih yang mengecewakan penonton. Nikolai si protagonis kedua kita malah tertidur demikian pulasnya, padahal ruang bioskop sudah kosong, sementara pemeran Natasha (yang hadir pascapenayangan dengan niatan akan meladeni diskusi tanya-jawab), yang kadung malu karena ternyata filmnya tak diminati, sudah kabur ke balik panggung. []

Endnotes[+]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search