Filem apa yang paling kamu ingat?
Fiksi dan dokumenter: filem. Sampai waktu dua tahun lalu ketika saya keluar kamar untuk menonton filem The Mirror, karya Jafar Panahi, saya merasa telah teringatkan pada kategori untuk jenis-jenis filem yang sekian lama ternyata turut mendiamkan perkiraan saya. Jika saya bicara tentang filem, maka yang saya maksud adalah filem cerita. Jika yang saya maksudkan filem lain, maka saya perlu tambahkan kata untuk jenis lain itu, misalnya filem bisu atau filem dokumenter. Tanpa itu, percakapan tentu bisa mengalami salah paham. Bicara mengenai filem pada dasarnya ialah bicara berdasarkan seluloid. Mencintai seluloid adalah menerima ilusi-ilusinya dengan mata terbuka, sepanjang prosesi ritual selama ruangan digelapkan sampai lampu kembali dinyalakan. Judul filemnya sendiri memantulkan aspek sinematis yang dikandungnya: narasi realitas dan narasi rekaan yang saling tercerminkan, dengan cermin besarnya: sinema.
Jadi, filem yang paling kamu ingat?
Begitulah, sama sekali saya tidak mengira struktur ilusivitas sebuah filem bisa begitu saja takluk oleh unsur-unsur citraannya sendiri. Padahal unsur-unsur citraan yang membangun ilusivitas itu berlangsung selama penguatan strukturnya. Kenyataan ini terjadi akibat perubahan internal oleh pergeseran momen yang tiba-tiba dari rancang pencitraan utama. Pencitraan utama itu adalah sebuah skema dari fiksi naratif, sementara momen sudah beralih ke dokumenter naratif. Maka kemudian narasi dan pencitraan mestinya berlangsung di luar rancangan. Tetapi filem ini ternyata tidak betul-betul di luar rancangan karena oleh kebetulan-kebetulan yang menguntungkannya, skema fiksi naratif filem ini persis sebangun dokumenter naratifnya. Meski demikian tetap saja sebagai akibatnya, kendali atas waktu di dalam menyusun bingkai demi bingkai citraan yang semula tidak lagi menentukan untuk merekam seluruh pengambilan gambar yang sudah mulai bergerak meninggalkan durasi fiksi ke durasi dokumenter. Skenario telah tereduksi. Dan filem lalu terpecah ke dalam dua sub durasi. Karena tetap ada satu durasi tunggal di atas dua sub durasi itu, pencitraan pada keduanya tetap tidak berubah, tetap utuh dan padu, namun peralihan momen yang telah memilah durasi tunggal itulah yang menyebabkan, dalam hal ini, citraan-citraan kebenaran sudah dianggap memasuki wilayah durasi citraan yang difiksikan. Dan fiksi sinematik pun tunduk pada kekuatan fakta. Pasalnya sudah sejak awal sejarahnya, sinema dipercaya telah merebut realitas ke dalam citra-citra. Bukan tidak sengaja seringkali sebuah filem perlu mencantum kata-kata ‘based on truth’. Perhatikanlah, ‘berdasar kebenaran’! Kalimat yang dulu tidak pernah ada. Masalahnya, citra-citra realitas itu kemudian mengalami kemerosotan nilai karena industri sinema telah membentuk realitas sebagai citraan-citraan itu sendiri. Dari pembentukan semacam inilah filem cerita mengukuhkan ilusi-ilusinya.
Jadi betapa pun riskannya visualitas itu, Anda atau saya, tentu mesti lebih percaya pada citraan dokumenter daripada sebaliknya. Dampak dari perangkaian citra-citra ke dalam ketersusunan spesifiknya memang amat berpengaruh untuk terus-menerus mempertahankan intensitas proyeksi citraan yang terstruktur dari kilasan-kilasan materi yang sudah terseluloidkan, tapi juga terutama oleh citra yang terotentifikasi meski semata-mata merupakan hasil pencitraan, manakala itu semua dimanfaatkan guna menopang tiap-tiap kilasan agar stabil pada strukturnya. Faktor dasar dari bentukan otentik adalah sifat tak terpiuhkannya, entah oleh waktu yang mendahuluinya maupun oleh waktu yang menantinya dalam bentangan durasi. Maka terhadap citra dari detik waktu yang lampau atau terhadap citra dari detik waktu yang akan dilaluinya, ia tidak memiliki keterikatan rasional atas representasi di dalam proyeksi sebuah narasi. Dalam proyeksi dokumenter, masing-masing citra bentukan adalah mandiri dalam detik waktunya sendiri. Sementara citra-citra dari sebuah filem cerita akan saling mengambil ruang yang terbentang dalam durasinya sehingga masing-masing citra itu –yang hanya berfungsi selama terus berada dalam ikatan rangkaian tersebut– dengan sendirinya tidak pernah berada di dalam detik waktunya sendiri. Satu kilasan citra kereta api dalam Tokyo Monogatari–nya Ozu atau Pak Prawiro–nya D. Djajakusuma dengan kilasan citra kereta api (sampai-sampai pada sudut pandang atap gerbongnya, dalam latar yang juga mirip –lanskap sawah dan gunung) dalam Moeder Dao (dokumenter tentang Indonesia tahun 1912-1933)–Vincent Monnikendam, memproyeksikan pandangan itu: pada dua filem yang disebut pertama, kilas citra kereta api terpaut oleh ruang yang akan ditempatinya di dalam waktu/durasi dan hanya dengan begitu citra tersebut dapat dilihat sebagai ungkapan sinematis, ruang tempat bentuk itu beroleh arti berdasarkan skema pokok cerita. Pada Tokyo Monogatari atau Pak Prawiro, layar memperlihatkan gerak bolak-balik kereta dari sisi kanan/kiri ke sisi kiri/kanan layar untuk merealisasi skenario kepergian dan kepulangan tokoh utama dengan tetap menjaga alur pergerakan gambar. Citra dari alur pergerakan gambar-gambar dalam filem fiksi diciptakan untuk tak saling bertentangan. Bila gerak ke kiri adalah suatu kepergian, maka gerak ke kanan harus merupakan kepulangan. Tetapi kereta api dalam Moeder Dao, oleh garis struktur dokumenternya sendiri tidak mempersoalkan alur pergerakan gambar sehingga citraan di dalamnya dapat mungkin diartikan dalam keterbebasannya dari jalinan bingkai demi bingkai di dalam waktu/durasi. Sangat tidak mudah menjelaskan situasi ini karena selalukah bingkai demi bingkai citraan dalam filem dokumenter akan tertarik ke dalam posisi semacam itu? Tidakkah citra-citra terekamnya masing-masing mengandung unsur koheren dengan tuturan sinematisnya?
Jadi, sekali lagi, filem apa yang paling kamu ingat?
Acuan untuk menjelaskan peliknya kesalingterjalinan citraan dalam ketiga filem tersebut, sejauh ini kita boleh mengganggap bahwa citraan kereta api dalam Moeder Dao landas gambarnya adalah satu kesan akan citra, yang hanya mungkin diterangkan maknanya melalui fungsi sarana, sedangkan dalam karya Ozu atau Djajakusuma kereta api merupakan sebentuk tanda akan citra, yang hanya mungkin dipahami maknanya melalui hubungan antar citra. Kereta api Ozu bukan ingin memperlihatkan keadaan nyata akan segenap gambaran yang terproyeksikan –sebuah negeri pada suatu masa tertentu, misalnya– melainkan seperti juga halnya kereta api Pak Prawiro dimaksudkan untuk menyampaikan isyarat-isyarat bagi penceritaan. Secara khusus, pencapaian estetis akan bahasa sinema dalam Tokyo Monogatari atau Pak Prawiro betapa juga lebih merupakan tujuan dalam dirinya sendiri dibanding fungsi untuk merepresentasi kenyataan/kebenaran sebagaimana pada Moeder Dao. Tidak mungkin memisahkan citra dari tanda yang hendak diungkapkannya. Filem cerita merupakan sebuah dunia tempat materi-materi yang tercitrakan bergerak, berjalin dan mengartikan diri dalam keterhubungan tak langsung akan makna, kecuali dengan lebih dulu menjadi tanda. Tanpa memaklumi proses ini, penerimaan kita akan citra-citra tersebut bisa kehilangan dimensi ilusivitasnya dan lantas menjadikan diri kita sebagai subjek pelihat yang sadar, sekaligus menjauhkan kita dari pengalaman dengan filem itu.
Kamu ingat filem dengan tukang cukur?
Jelasnya, masing-masing citra dari suatu filem dokumenter bisa serta-merta merupakan bahan bagi diskursus sosial-politik misalnya, sedangkan dalam hal filem cerita, masing-masing citra harus tersusun dulu sebagai sebuah organisme supaya isyarat-isyaratnya layak untuk diartikan. Di luar sistem itu, kita tak punya wewenang untuk mengandaikan bahwa kilas citra kereta api Tokyo Monogatari atau Pak Prawiro dapat mengantar pemikiran kita mengenai keadaan nyata permasalahan sosial. Kembali pada soal filem The Mirror itu, representasi dokumenter naratif terbaurkan dengan representasi fiksi naratif dalam keterkaitan saling mengisi antar citraan. Gambar-gambar dalam sub durasi pertama dengan gambar-gambar dalam sub durasi kedua dapat saling mengartikan makna keterkaitan representasinya. Indikasi atas proses terjadinya peristiwa-peristiwa di dalam sub durasi kedua bisa saling terintepretasi dengan adegan-adegan pada sub durasi pertama, begitu juga sebaliknya. Konsep akan terpilahnya apa yang visual sebagai fiksi dan apa yang visual sebagai dokumenter, untuk The Mirror mencerminkan sekaligus ambigunya representasi kenyataan dalam seluloid.
Filem apa yang kamu ingat?
Saya sisihkan buat sementara hampar taman pekarang, yang melalui ranting-ranting dan dedaunan pokok mangganya menembus jendela kamar saya menjadi sebingkai pemandangan menakjubkan hampir tiap pagi atau malam, bersama secara teratur dentangan lonceng pintu kereta dan derum laju gerbong-gerbong listrik penuh manusia mengirim getaran ke kamar sambil melatari keindahan yang mela-munkan itu. Ternyata struktur pembangun ilusi dalam sebuah filem bisa cukup rapuh. Pada The Mirror Jafar Panahi ini bangunan cerita di dalamnya mengalami semacam internalisasi oleh apa yang pelan-pelan merayap sebagai tangkapan kebenaran. Teori tradisional selu-loid dokumenter mula-mula dan terakhir adalah pada dasarnya kita mempercayai penglihatan kita akan bayangan atas yang asali dan bukan pada yang semata-mata mencerminkannya, sebagaimana filem cerita bertindak demikian. Jadi persepsi sadar kita menyisihkan sementara waktu sebentuk penglihatan ilusi. Keheranan ini agak aneh sebab genre seperti halnya filem Iran itu memang seolah tidak memerlukan bangunan ilusif oleh karena ia tak bermaksud menarik diri terlalu jauh dari kenyataan. Namun sekali lagi ini adalah tetap sebuah filem. Bagaimanapun juga, kenyataan di situ hanya telah dilihat melalui lensa perekam. Dan ilusi tetap merupakan kekayaan bagi penciptaan sinema.
Dari daya-daya optis kameralah kita memperoleh semacam ingatan-ingatan. Dan ilusi-ilusi yang tercipta di dalamnya berperan besar dalam mengenalkan kembali kesadaran kita untuk percaya kepada sesuatu yang tak hanya kelihatan, melainkan juga di belakangnya: gerak tersembunyi di balik citraan. Dan karena ilusi-ilusi ini hidup di dalam konsep pe-rekaan, ketika salah satu darinya dibuka, citraan-citraan pada peng-lihatan seolah-olah telah terbebas dari ilusi-ilusinya. Bisa dibayangkan bagaimana akan kacaunya tanda-tanda dari citraan itu bila ruang datar layar tempatnya memainkan makna diperlakukan seperti realitas di lapangan memungkinkan. Tanpa memahami kuatnya efek dari daya representasi kenyataan dalam seluloid, kita takkan pernah menyadari bahwa ‘pantulan rekaan’ akhirnya selalu akan menjadi ‘realitas yang terepresentasikan’. Potensi dari daya representasi itu tercitrakan melalui terbukanya ilusi-ilusi sebagai unsur pembentuk struktur ‘pantulan rekaan’, seperti yang sudah disebut sebelumnya. Di samping merupakan unsur, ilusi-ilusi itu sendiri pada waktunya, selama durasi filem berputar telah mengubah sendiri fungsi asal-nyanya menjadi kuasa representasi terhadap penglihatan. Proses mekanis terjadinya sebuah filem sejak katup kamera mulai terbuka hingga hasilnya terproyeksikan dapat menerangkan bagaimana tiap masing-masing elemen pencitraanya berjalinan di bawah kekuatan-kekuatan ilusi. Dalam hal ini bermainnya kuasa ilusi melalui citraan dapat dilihat pada satu ambilan pendek The Immigrant Charlie Chaplin yang dipakai dalam Au revoir les Enfants-nya Louis Malle. Kuasa ilusi –diperantara oleh gaya inter-teksnya– telah membaptis perumpamaan atas filem The Immigrant hanya secara khusus dalam filem Au revoir… itu sebagai sebuah teks tentang impian kebebasan manusia –tokoh siswa Yahudi itu– dari tekanan politik dehumanisasi Perang Dunia II di satu kota kecil di Prancis. Kenapa saya artikan impian untuk perkara di atas, tak lain karena teks tentang kebebasan itu hanya berlaku sebagai interelasi teks antara tokoh utama dengan filem The Immigrant yang ditontonnya, terutama persis pada bagian saat tugu Liberty di pulau Ellis terlihat dari kapal pengungsian. Jalinannya bisa diterangkan seperti ini: periode ketika filem Au revoir… dibuat dan sekitar tahun itu pula waktu saya menontonnya, sudah bukan lagi merupakan masa dari latar kejadian filem itu dengan sekitar waktu pembuatan The Immigrant. Rentang waktu inilah yang membuat The Immigrant lalu memiliki makna simbolik citraannya, di dalam kaitannya dengan gaya atau metode inter-relasi teks bagi karya sinema. Dengan lain kata, hadirnya filem di dalam filem telah me-mungkinkan berlangsungnya suatu proses interpretasi pembacaan kembali makna, terhadap fakta potensial filem yakni di atas sega-lanya, semua yang terekam oleh kamera pada awal dan intinya merupakan ‘kehadiran di dalam dirinya sendiri’, sebelum konsep-konsep representasi terpetakan dalam proyeksi tercanggih kameranya saat memproduksi citra-citra.
Carl Dreyer dalam Vivre Sa Vie?
Sekira saya, ambilan potongan shot-shot filem dokumenter hanya digunakan dalam filem fiksi sejauh untuk menempatkan persepsi estetis ke dalam posisi dramatik pada sifat-sifat existence rekaan filmis itu. Cukup banyak contoh untuk hal ini, Hiroshima Mon Amour, salah satunya. Dengan sangat indah, persepsi kita diminta untuk mengembara dari dua tubuh pasangan yang saling berdekap, menyu-suri frasa dua kota, “Paris… “ –dalam lafal sang pria– dan “Hiroshima… “ –dalam lafal sang wanita– ke kebungkaman suasana sisa-sisa hancurnya sebuah kota dalam hitam-putih dokumenter Hiroshima. Margarite Duras mendilemasi filem ini karena melepaskan bayangan-bayangan pada citra fiksional keluar dari pantulannya (ambilan dekat kedua tokoh yang betul-betul semata berarti tubuh oleh fokus ambilan dekat kamera) dengan menemui potret puing-puing runtuhan tiap saat pada lafal “Hiroshima…” sedangkan “Paris…” sebatas kata yang diucapkan. Ekspresi sinematik filem ini terdiri dari tiga ruang penci-traan representasional: tubuh pria dan wanita, murni materi estetis individual sutradara / Pencitraan Hiroshima adalah representasi dokumenter / Lafal “Paris…” adalah representasi teks. Seluruhnya, Tubuh – Hiroshima – Lafal, adalah naratologi filmis Hiroshima Mon Amour.
Kamu ingat filem dengan taksi?
Orang-orang transmigran itu mengobrol dalam bahasa Jawa, mengritik program tansmigrasi pemerintah, sekitar tahun 1980-an. Ladang garapan mereka adalah la-tarnya. Kamera telah di sem-bunyikan di balik daun-daun di atas pohon, sepertinya. Perca-kapan bebas merupakan sara-nanya. Sekitar tahun itu pula monopoli wacana sukses program transmigrasi dikontrol oleh pemerintah lewat media tunggal TVRI-nya. Filem dokumenter ringkas D.A. Peransi, Kemarin, Hari Ini, dan Esok itu adalah satu narasi perlawanan terhadap kendali hegemonik media atas politik kebenaran lewat citraan. Televisi versus seluloid. Birokrasi lawan individu kreatif. Saya ingat pernah mencari lagi artikel wawan-cara Peransi dengan Joris Ivens sampai suatu hari saya menonton sekesan panorama kotanya: sudut-sudut Amsterdam sesaat men-jelang dan dalam hujan. Payung-payung dan jas hujan bersibukan di jalan-jalan. Para warga kota membungkuk di bawah gelap langit dan awan. Inilah keajaiban gaib seluloid: kota nampak indah namun terasa demikian berat dan menekan, sangat terbayang suasana eksistensial.
Kota. Fiksi atau dokumenter: video. Seni kota adalah gaya hidup. Pantulan dari konsumsi artistik di lingkungan masyarakat kota dengan segenap produksinya. Semua kota adalah pusat budaya sejak selu-ruh zaman sebab ia memproduksi gaya hidup dan tata sosial. Sistem-sistem pembentuk pandangan jelujurnya tetap sama hanya represen-tasi yang dihasilkannya yang berubah. Istilah-istilah dalam periodisasi seni diciptakan sepenuhnya dalam lingkup kota. Seni dan sejarahnya demikianlah adanya sejak dulunya, dan kian menguat dalam masa moderen, memang hanya telah bermain di lingkungan masyarakat perkotaan dengan kelas menengah terdidik sebagai penggerak, pelaku dan pengembang materi-materi artistik. Dari sanalah sekaum terpelajar yang menempatkan diri di depan masyarakat, melancarkan argumen-argumen dan mewujudkan bentuk-bentuk serta bahasa ungkap untuk merepresentasikan situasi kota. Kota dalam pan-dangan –dan karenanya menjadi milik– para bangsawan. Hanya sedikit saja kota pernah direpresentasi secara mengerikan. Selebih-nya pada umumnya adalah Tapi lalu masa jaya kanvas dan seluloid segera akan tergeser. Zaman dan ruang betul-betul tengah bergerak ke arah perubahan besar representasi. Panorama kota berubah. Perspektif kamera pun berganti. Tang-kapan atas citraan menjadi sama sekali berbeda. Betapa di zaman lampau kamera membidik panorama kota dengan irama liris, seperti selalu mau terkesan untuk dikenang.
Masa kontemporer kita telah membuat segala panorama kota dalam kamera video seperti lekas berlalu, sementara, dan terlalu sesaat. Representasi tak lagi mungkin merengkuh keseluruhan melainkan serpihan-serpihan. Lebih di masa kini representasi harus mengalami kehilangan detil-detil dan hanya mendapati bagian-bagian kecil, sepotong inset, atas dunia keseluruhan. Citra pemandangan kota yang dulu terlihat monumental, kini terasa lembek dan cair dengan tergantikannya beragam rupa pemandangan kota yang seolah dekat oleh kesan bermiripannya namun seringkali amat kurang elegan. Sedemikian pentingnya kota dalam khasanah video fiksi dan video dokumenter di masa sekarang karena tampaknya perubahan zaman tengah bersimpati pada yang jelata dan dangkal. Wacana ide dari masa lalu selama ini ternyata dianggap sudah bersikap menindas yang biasa-biasa saja, yang serba rendahan dan serba terpinggirkan sehingga kini tampaknya mereka sedang melancarkan balas. Melawan dominasi representasi akan yang besar, yang serba tinggi dan yang serba aristokratis, hasrat-hasrat seni kontemporer kita saat ini berpihak kepada pemakaian bahasa representasi sehari-hari dan kepada bentuk-bentuk ungkapan yang bersifat kebanyakan sejalan dengan produk-produk temuan teknologi video yang bertebar ke arah banyak orang.
Usai sudah masa terwakilinya kelas masyarakat yang pernah amat menikmati pencitraan diri dalam kanvas-kanvas dan seluloid moderen lewat figur-figur kharismatis, anggun, tampak berkuasa, dan tentu saja hedonis. Citra-citra representasional macam itu mungkin akan tetap muncul di masa sekarang, namun pasti de-ngan sedikit gangguan akan yang massal dan dangkal. Tapi zaman saat modernitas masih merupakan kekuatan yang menentukan ekspresi-ekspresi artistik dengan kompleksitas dan kepelikan bahasa ungkap, kamera dan seluloid kala itu amat eksklusif berada di tangan segelintir milik sehingga hanya dari merekalah, kecenderungan gaya dan bentuk-bentuk seni dirayakan bersama nilai-nilai agung per-adaban dan budaya. Sebaliknya video, bersifat jamak, mudah tergan-dakan, juga karena sifat lunaknya, mampu mengubah pemandangan kota menjadi terlihat ringan dan betul-betul terjangkau oleh indera kita. Tindak perenungan, yang dulu pernah mengintensikan perasaan mendalam tak terkatakan yang luar biasa, pecah oleh gemuruh dan riuh jalanan. Siapa saja kini dengan gampang boleh melayangkan pandangan dengan kamera di tangan menyusuri serbaneka pelosok-pelosok peristiwa dengan kadangkala menemukan kejutan pada kejadian yang terlalu biasa.
Suatu kali, seorang tanpa pengalaman Sao Paulo, Mumbai, dan tentu juga Jakarta, dalam representasi karya video kontemporer secara spesifik tidak memperlihatkan situasi yang berbeda akan kehadirannya. Apakah tekanan sosial telah membuat pribadi-pribadi dalam representasi video menjadi tampak serupa? Saya berusaha mengingat kembali video-video dokumenter yang cu-kup mengesan pada diri saya oleh akar soalnya tentang citra sebagai bentuk-bentuk dasar yang mencangkok pemahaman di benak kita melalui jelujur rangkaian hasil rekamannya. Los Super Amigos (52 menit, bagian kedua dari enam seri video dokumenter tentang Mexico City, 2002, karya Linda Bannink, Aldo Guerra dan Diego Gutierrez) menampilkan protagonis Juan V. Escobar, seorang usahawan kecil papan reklame dan spanduk. Gambar tangkapan kamera adalah se-perti lumrahnya filem dokumenter: statis, dan memfokuskan pada potret dokumenter yang diarahnya. Akan tetapi sorot kamera video ini menunggu dengan sabar sambil membiarkan alasan peristiwa-peristiwa berlalu di depan kios itu. Kita akan tahu kemudian bahwa video dokumenter ini bukan tidak mempersiapkan rekaman-rekaman gambarnya. Ada perhitungan atas saling sinambungnya citra yang terekam. Dengan latar belakang pekerjaan mengganti merek usaha ‘Rotulos’ mereka sebagai mural penghias kios oleh dua pekerja reklamenya, satu demi satu perhitungan atas citra-citra itu mengalir: terlihat misalnya sesudah adegan kecil menendang-nendang bola, maka gambar berikutnya adalah permainan bola di lapangan kampung tempat biasanya Juan Escobar melampiaskan hobi bermain bolanya; lalu juga muncul selewatan tiga orang rombongan pengamen musik jalanan, sebelum akhirnya permainan musik mere-ka dipakai sebagai penutup dokumenter ini. Bila juga dicermati, akan dapat ditarik hubungan timbal balik antara lukisan mural kios itu dengan wajah orang-orang yang tampil dalam dokumenter ini. Asal-usul mereka yang bukan jenis kreol, tapi campuran darah Indian dan posisi soisal sekarang seperti mau dipertanyakan kembali, kalau bukan dimaklumi, lewat lukisan mural bukit-bukit dan padang kaktus berwarna cerah itu. Jadi semacam ingatan akan peradaban pertama mereka.
Saat saya mencoba memahami lebih jauh video dokumenter ini, saya pergi ke depan komputer tempat kesembilan video dokumenter tentang Jakarta ini tersimpan. Tidak ada prosesi ruang gelap untuk menontonnya. Saya menonton seluruh video ini sambil mengingat semua objek citra yang begitu biasa dan sehari-hari, juga gaya pencitraannya tentang kota tempat saya suka menghabiskan waktu di jalan. Kesembilan video dokumenter ini melemparkan pandangnya ke ruang luar kehidupan kota. Ke kawasan yang hanya melibatkan situs-situs sosial tempat kita melakukan transaksi antropologis komunikasi massa jauh dari kamar kita sendiri. Taksi, elemen-elemen interiornya, dan hujan yang malam. Maka dalam pada itu tak bisa ditolak pula berbekasnya rekaman dari gambar-gambar entah filem manapun. Costa Gavras, sesudah tidak lagi membuat filem semacam Z itu, suatu kali dalam satu produksi Hollywoodnya pernah membuat sebuah shot hujan yang menirai kaca-kaca jendela mobil dari interiornya bersama tanya-jawab tokoh ibu dan anak seputar Yahudi dan rasisme. Atau bagaimana kalau Night On Earth saja?
Kamu ingat filem yang dengan taksi?
Jadi sungguh peran serta subjek telah dipersempit ke dalam lokali-tasnya. Kota dan fiksi. Mungkin dengan filem. Mungkin dengan video. Di antara itulah Absence karya Masayuki Kawai merupakan satu ekspresi video yang sarat kritik melalui renungan tentang batas-batas subjek per pribadi dalam latar kota-kota besar yang mengungkung kedirian. Secara amat problematis, Kawai membagi tiga perantara yang menghempaskan manusia dalam angkuhnya ideologi-ideologi arsitektural gedung-gedung besar yang lahir dari raksasa bernama sejarah-sejarah. Bahkan dengan mengutip teks Rosa Luxemburg untuk Bab III karya ini, ‘Absolute Absence’, ia menghadirkan proses terakhir tiada dari tubuh sang individu yang lenyap ke dinding dalam sebuah gedung setelah sebelumnya pada Bab II, ‘Absence of Revolution’ ia mengambil nukilan suara dari filem Maurice Lemaitre, Le Soulevenment de la Jeunesse (1968) yang dijudulinya ‘Sound of May Revolution 1968’ sambil tangkapan kamera menggelakinya dengan tampilan etalase-etalase produk pencantikan badani dalam lorong ala Barok yang menghimpit ‘si aku perempuan’ dengan pengambilan bolak-balik tampak depan dan belakang tubuh. Sementara di Bab I, ‘Absent Lanscape’, dengan teknik manipulasi editing, sosial urban Tokyo mengawali tawar-menawar yang berat dan menekan antara tubuh pribadi yang perempuan dengan ruang besar massa yang mau menenggelamkannya sebelum nantinya ia betul-betul terdominasi ke dalam arsitektur-arsitektur erektif. Arkaisme simbolis terhadap tubuh perempuan dan palus-palus gigantis betul-betul termanifestasi dalam video fiksi Kawai yang mengagumkan ini.
Saya lalu kembali ke representasi urban kota dalam ‘Video Dokumenter Tentang Jakarta’ dan tertegun pada tayangan ‘papan reklame ilegal’ semen-tara sumber-sumber citraan dari rekaman ingatan saya mengiangkan maklumnya: saya sekadar melakukan indikasi, sekurangnya untuk menerangkan berkelebatnya rupa-rupa citraan yang terlanjur me-ngendap di bawah sadar pengetahuan saya; sayang, bahwa saya telah mengenali Divine Obsession buatan Volko Kamensky, 1998, meski dengan cara yang begitu berlainan, untuk menganggap percakapan dalam telepon-telepon pada Kamensky itu bersetimpal dengan ruas-ruas gagasan mengenai obsesi manusia akan Kebaka-an yang dalam filem pendek itu bahkan diperlihatkan sampai-sampai memantul ke dalam pembuatan banyaknya taman lingkar marka jalan di sebuah kota.
Percakapan telepon dalam Divine Obsession hanya berkisar pada argumen-argumen teknis dari tiga orang arsitek sebagai nara sumber tentang mengapa sebuah kota demikian terobsesi untuk membangun taman lingkar (Jakarta paling punya empat saja, Bunderan HI, Bunderan Tugu Tani, Tugu Pemuda di Ratu Plaza dan Bunderan Air Mancur Jl. Thamrin). Sekitar 21 ambilan gambar taman lingkar yang dibidik dari dalam mobil yang terus berjalan sambil mengitari seluruh taman lingkar ternyata mengoperasikan lebih jauh referensi mengenai mak-na lingkaran dalam semesta kehidupan manusia yang amat erat tautannya dengan ilmu pengetahuan dan kepercayaan religi. Hingga semenjak pengaruh Abad Tengah dalam sejarah Eropa, sebelum dunia resmi dinyatakan sebagai bumi yang bulat, ia masih sebuah lingkaran yang datar. Dalam teks Dante Divine Comedy, terdapat sketsa lingkar bumi yang menggambarkan semesta bahwah tanah sebagai Neraka, lalu di tengah adalah dunia tempat tempat Purgatori, dan teratas adalah Paradiso. Dapat dilihat betapa dalam sebuah filem pendek –sebagai cikal bakal bagi pengungkapan estetis videotek– meski dengan kapasitas ringkas waktunya pun bisa demikian kaya dalam mengenangkan impulsi-impulsi manusia melalui akibat-akibat langsung ilmu pengetahuan versus reliji sebagai sistem-sistem besar yang telah berperan menentukan hajat hidupnya sepenuhnya dengan perantara masalah sepele taman lingkar dari sebuah kota kecil tempat para manusia itu juga biasa melewatkan waktu hidupnya dengan hal-hal yang kecil dan lumrah. Ya, sejarah-sejarah besar kebudayaan mereka sama sekali turut ikut bermain di sini. Dan kita, beroleh apa-kah untuk citra-citra yang begitu lepas-lepas dan tak punya tautan historis dengan naungan besar kebudayaan itu? Seturut arus perubahan zaman di masa sekarang, kita benar-benar hanya memiliki kondisi nyata dari tercacah-cacahnya kota dalam citraan-citraan yang diproduksi serempak dari niaga besar dunia. Sembilan video dokumenter ini setidaknya merupakan bagian dari serpih-serpih produksi citraan mendunia yang hinggap di sebuah kota dunia ketiga bernama Jakarta.
Sepanjang awal hingga tengah tahun 2001 di Ruangrupa, sebelas perupa kota, lima diantaranya para perupa asal Durban, Amsterdam, Belgia dan Buenos Aires bekerja dengan memanfaatkan hasil-hasil rekaman video yang menelusuri ragam sudut sosial urban Jakarta. Alexander Sudheim dan Walter van Broekhuizen misalnya, mendasarkan proses berkaryanya dengan mengacu pada hasil tangkapan kamera video digital untuk objek-objek produksi seni rupa urban: stiker-stiker khas ekspresi masyarakat kota yang ter-tempel di hampir semua jenis transportasi umum Jakarta (lihat jurnal Karbon Ruangrupa edisi ke-2, April 2001). Di sini, sejenis video dokumenter itu pun menampilkan jejal kemacetan jalan-jalan kota dengan metromini, bajaj, mikrolet, kereta rel listrik yang seluruhnya tak satu pun bersih dari situasi urban kota: orang-orang ber[ter]gelantungan, ber[ter]desakan, ber[ter]jejalan, sebuah potret dari kelas kebanyakan dan jelata yang meramaikan ruang massa kota, di mana sebagian kawasan khususnya seringkali juga dipisah ke dalam kehormatan politik, preseden buruk untuk fasilitas angkutan umum warga negara setianya, masyarakat banyak itu. Apakah representasi urban kota hanya akan selalu berhenti pada penggambaran jubelan keramaian dan yang kebanyakan itu? Di manakah tempatnya seorang pribadi menyikapi diri dalam ruang privatnya kecuali dengan tetap mengonsumsi produk-produk citraan di kamarnya sendiri sekali pun? Niaga besar dunia akan dengan senang hati mengirimkannya hingga masuk ke kamar Anda. Anda cuma tinggal sedikit menata ruang huni Anda menjadi seko-tak urban interior se-bagai tempat Anda memperoleh pe-muasan citra-citra itu. Tapi seorang dari Buenos Aires telah memotret dan bicara tentang Monas untuk konstelasi sosial po-litik mengenai Indonesia. Sebastian Diaz Morales mema-kai bajaj sebagai pa-danan spesifik untuk urban Jakarta di samping betul-betul menggunakan arti politis frasa Monu-men (Tugu/Tonggak) Nasional (Bangsa). Di situ nama-nama yang bermain di dalamnya kelak akhir-nya berfungsi sebagai individu tak dikenal di sembarang kota pelosok-pelosok dunia bertahun-tahun kemudian se-perti ketika orang-orang yang diketahui nama-namanya dari credit titles jelas tidak terindentifikasi hubungan sosio-emosionalnya dengan seorang penonton lagi.
Kota di dalam representasi visual masa sekarang terasa betul sebenarnya tetap menghindar dari efek seketika realitas begitu katup kamera video terbuka: posisi layar datar untuk proyeksi ambilan gambar atau proses editing adalah pilihan bagi jawaban mengelakkan sifat langsung jadi dokumenternya. Dibandingkan dengan Shoki (video, 3 menit) atau Amsterdam (video, 1 menit), Mexico City (video, 5 menit) –semuanya video dokumentasi karya Linda Bannink– walaupun tetap dengan membiarkan kerja diam kamera untuk menghasilkan gaya dokumenter murni, namun horison bidikannya ditarik ke dalam extreme close shot sambil merekam efek perspektif dua dimensional pada layar hingga hasilnya tidak meru-pakan suatu ‘dokumentasi jarak jauh’ melainkan ‘dokumentasi yang mendekat ke lensa mata’. Video ini mengungkap fakta akan ruang hampa layar tayang yang termanipulasi oleh sifat-sifat volumetrik karena kapasitas kamera dalam merekam gerak objek. Satu pe-nempatan yang mau mengingatkan kembali pada hakikat dua dimen-sionalitas ruangnya. Dengan kata lain, kota bisa dipandang dengan cara bagaimana mekanisasi video diperlakukan, dibentuk, dan dipo-sisikan tanpa memanipulasi hasil-hasil terekamnya, sekaligus mengeliminasi kontak otomatis dokumenternya. Pilihan lainnya adalah tek-nik proses pembelahan lapis-lapis citra –karena video tidak tersusun dari 24 bingkai per detik– untuk menghasilkan proyeksi artistik ideasional seperti diperlihatkan dalam Tryptich (video 10 menit-nya Robert Arnold). Selayar gambaran sebuah sudut kota sejak pagi ke pagi dalam rekaman camera still: citra yang terproyeksi lalu terbelah menjadi tiga bagian dengan manipulasi optis lewat dua pokok pohon yang vertikal memilah satu layar utama citra menjadi tiga ruang yang bersisian, yakni bagian kiri, bagian tengah, dan bagian kanan, yang masing-masing merupakan ruang layar sendiri-sendiri, ingat, untuk satu layar proyeksi. Seiring bergeraknya menit durasi video, dimensi waktu pada tiap-tiap bagian ruang itu pun berubah. Saya baru melihat pencapaian teknis semacam itu pada video ketika setiap citra sudah tidak lagi dihitung dalam 24 bingkai per detik. Jadi masing-masing citra dalam video sebenarnya lebih mirip sebuah sel gambar dengan sekian banyak kemungkinan pembiakannya secara membelah diri. Jika satu citra merupakan sebuah sel per detik durasi di mana ia lalu membelah diri, dapat dibayangkan berapa jumlah fakta yang dapat dihitung dalam limabelas menit durasi. Kian cerai-berainya realitas inilah saya kira ujud ekspresi seni di masa mendatang, yang sekarang prosesnya tengah berlangsung. Dan video, hingga saat ini, masih merupakan kemungkinan terakhir sebuah medium untuk mengisyaratkan telah berubahnya seluruh fenomena terhadap tindakan-tindakan budaya di dalam pandangan mutakhir yang tampak kian menjauh dari bentuk oleh ramainya pawai peristiwa. Lalu lalang orang sudah hilang, saya lalu masuk pekarang dengan membuka gerbang. Filem yang kamu ingat?
[/tab_item]
[tab_item title=”EN”]
(Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item]
[/tab]