Jurnal Footage menampilkan seri wawancara antara Eric Rohmer dan Barbert Schoeder mengenai Isu Filem dan Kisah-kisah Moral. Ini adalah bagian terakhir dari seri wawancara Eric Rohmer dan Barbert Schoeder.
Ciri lain filem Anda ialah musik, yang agaknya sangat terbatas dipakai dalam “Kisah-Kisah Moral”. Sedangkan Le signe du Lion lebih penuh musik karena filem itu sendiri tentang seorang pemusik.
Saya membuat komposisi musiknya dengan musisi berbakat, Louis Saguer. Satu sonata cello mirip sonata Bartok yang mengesankan saya amat mendalam. Pilihan komposisi musik saya lebih untuk mengisi pra-hadirnya musik. Saya berniat mengisi musik sepanjang filem, tapi harus oleh pemusiknya sendiri –terimakasih saya padanya– karena, di satu adegan, saat tokoh utama turun ke jalanan yang sangat riuh, dia berkata, “Jangan gunakan musik di sini. Bising jalanan ini sudah sangat indah.” Saya turuti sarannya, sehingga hasilnya, musik di sini jadi sangat sahaja. Dalam “Kisah-kisah Moral”, saya ingin sekali –khususnya pada La collectionneuse– menciptakan suara sekitar yang memikat. Serupa palet [piring cat lukis] kaya warna: suara-suara cengkerik….. kicau burung dan sebagainya. Tapi ternyata, banyak pula bunyi mesin, apalagi pesawat-pesawat capung melintas di tempat kita syuting. Begitulah akhirnya: demi alasan keuangan, tapi juga alasan yang lebih tinggi, sebab pesawat-pesawat itu sungguh tak tertahankan….. Kami mengganti suara latar dengan suara-suara cengkerik di lokasi ditambah suara kicau burung. Saya betul-betul melakukan pengamatan tentang burung-burung di daerah itu saat bulan Juli, dan saya betul-betul memperolehnya dengan tepat . Saya bisa menghafal nama semua burung itu, meski sekarang sudah lupa.
Ya, saya ingat Anda berhubungan dengan ahli ornitology dan kicau burung, sehingga tiap kicauan burung di La collectionneuse akurat.
Persis. Kita tak bisa sembarang memakai kicau burung. Ada burung pelatuk kuning maupun burung asli kawasan situ. Selama musim panas, burung-burung asli berkicau hanya saat-saat tertentu. Meski begitu, saya tahu bising pesawat-pesawat itu menarik pula bila dipakai sedikit mungkin. Jadi saya pakai lagi suara bising pesawat itu selama adegan-adegan erotik, yang telah berjalan baik sekali.
Anda mengungkapkan lagi masalah perekaman suara langsung di filem tanpa suara langsung.
Misalnya, saat si tokoh utama menatap ingin mencium Haydee, ini saatnya pesawat melintas. Ada lagi momen lain serupa. Ini upaya guna membangun berbagai kekayaan suara sekitar yang sudah semestinya menggantikan musik. Ada cerita lucu. Saya perlu musik untuk teks dalam sekuen. Di rumah kau ada tambur Afrika entah Polinesia. Ya, ya, ya….
Saya katakan, “Saya ingin musik yang biasa, mungkin cuma perkusi. Kita tak perlu komposer.” Sepertinya ada musisi kawan Haydee yang sudah menulis musiknya tapi saya tidak suka. Terlalu njelimet. Saya bilang, “Saya mau yang lain dari ini,” dan mulailah saya menabuh kendang, dan seketika kau mulai berayun kaki. Kita lalu merekamnya. Saya serahkan hasilnya ke editor saya dan berkata, “Saya mau seperti ini, tapi tanpa pemusik.” Kata Jaquie, “Ini hebat. Kita pakai ini saja.” Maka kami pertahankan.
Ide itu justru bertentangan dengan pengisian musik, apalagi musik telah dipakai untuk memanipulasi emosi.
Ya, saya sudah sering bicara soal itu. Musik jadi jalan-keluar yang mudah. Musik memberi makna suatu citraan, tetapi citraan dan suara mestinya membuktikan sendiri segenap maknanya. Saya selalu tekankan suara sekitar untuk sebuah filem. Saya telah pakai itu pada filem La collectionneuse sebab tanpa suara langsung, kecuali pada filem-filem lain– yang dengan baik telah dilakukan pengolahan suara. Para penata-suara yang pernah bekerja dengan saya, sebagian saja yang tertarik dengan suara latar. Dalam keadaan tertentu, penata suara yang awal tidak terlalu akrab dengan suara latar sehingga saya harus merekamnya sendiri. Saya dan pekerja filem membawa alat-rekam [tape-recorder] kecil, UHER, yang bagus sekali merekam suara latar di lokasi. Alat itu tidak terlalu jernih atau sebaliknya. Soalnya, sering saat penata-suara tak bisa berbuat apa-apa, kerapkali rekaman itu terlalu berlebihan, sedangkan suara “kejauhan” bisa lebih baik diolah.
Ada pandangan umum di ranah kritik filem –kritik terakhir demikian fana, mungkin telah berubah– yang menyatakan bahwa karya Anda “terlalu Prancis”, “terlalu sastrawi”. Bahwa Anda mutlak menampilkan suatu keengganan pada segi visual, bingkaian [frame], dekupase [pemotongan] dan sebagainya, atau bahwa Anda sangat terpengaruh seni lukis oleh karena segenap unsur visualnya begitu penting bagi karya filem Anda.
Ini kerap selalu menyakitkan saya: betapa orang buta akan semua ini. Paradoksnya, saya malah menyebut “Filem-filem saya adalah filem bisu”. Ketika saya menonton filem-filem saya tanpa suara– saat dalam koreksi warna, filem-filem itu ditayang tanpa suara. Saya sadar betapa ini amat mengesankan. Filem-filem tersebut memiliki makna yang berbeda-beda daripada maknanya dengan suara. Filem bisulah pengantar saya kepada sinema. Saya sampai pada sinema sudah kemudian. Saya tak menemukan sinema di bioskop-bioskop dulu di masa itu, makna zaman akhir 1930-annya. Saya mendapatinya di sinematek, yang menayangkan filem-filem bisu tua yang masih disebut sebagai “sandiwara radio”. Sekadar memperhalus keterlibatan. Semacam itulah. Hanya luapan dialog tanpa menjadikan filem itu “sastrawi” maupun “teater”. Dialog dalam filem, sepenuhnya lain dari dialog dalam teater. Ia spesifik dalam sinema. Saya selalu berkata “filem bisu adalah filem paling berbicara dari semua filem”. Filem-filem D.W. Griffith sangat mengandung luapan dialog tertulis. Pertanyaan abadinya: Apakah filem lebih dekat pada novel ataukah drama panggung? Tergantung filemnya. Salah bila dikatakan bahwa novel– Di permukaan, novel tampak lebih dekat sepanjang dialognya tetap berlangsung. Dialog dari satu novel bisa dengan baik dipindahkan ke dalam filem, yang dalam drama panggung akan lebih sulit. Tapi saya rasa, cerita aktual novel lebih sukar diadaptasi ke dalam filem. Barangkali sudah hak keduanya untuk menjadi satu novel panjang. Imbangan logis bagi filem bukanlah novel, melainkan novela, novelet, atau cerita pendek.
Seperti novela 60 halaman Marquise of O.
Ya, saya menyimpan skenario utuhnya 60 halaman. Saya sering menonton filem yang tak novel tapi mencoba jadi novel. Filem begitu agak mengganjal bagi saya. Secara inspirasi, saya menemukan hal yang lebih menarik dari gagasan Ekspresionisme Jerman. Setidaknya, kaum pasca-Ekspresionis Jerman 1920-an, telah menciptakan genre filem yang disebut Kammerspiel atau “kamar teater” karena satu kesatuan tempatnya. Contohnya filem Murnau, The Last Laugh, mengandung kesatuan tempat dan waktu. Filem itu berlokasi di satu hari dalam satu tempat, sebuah hotel. Saya –bukan satu-satunya dalam kalangan filem Prancis– amat dipengaruhi Kammerspiel. Ada satu sutradara Prancis yang samasekali tak suka Nouvelle Vauge karena dia perintis generasi pembuat filem meski saya tak pernah menyukainya. Hormat saya yang tulus selalu saya tujukan kepadanya karena saya menemukan keindahan dalam karyanya. Saya bicara tentang Marcel Carne, pengagum karya Murnau dan Kammerspiel. Carne menciptakan filem-filem yang menghamparkan batas singkat waktu dan sering berakhir saat baru saja mulai. Saya manfaatkan teknik manipulasi ini sebaik-baiknya. Dalam Kisah-Kisah Moral– Saya berpikir tentang sebuah momen. Tidak, tidak selalu. Tapi sebagian besar dari rangkaian filem Comedies and Proverbs saya, berakhir di titik tempat yang sama ketika baru saja mulai. Tapi perbedaan rasa dengan di dalam filem-filem Carne, ialah pada filem saya itu tak ada semacam fatalisme maupun pesimisme. Filem-filem saya lebih bersifat optimis. Pada intinya, yang luar-biasa dalam Kisah-Kisah Moral ialah tokoh wanitanya yang tak berarti bagi sang pria, yang di bagian akhir telah menghancurkan kebebasan dan meninggalkan si wanita. Sungguh ada perbedaan rasa di dalamnya.
Unsur Tragedi Yunani itu –di luar kepentingan dramatik– telah menempatkan adegan dalam ruang yang tunggal. Dalam filem, kita bisa menyebut Rio Bravo. Tapi kita mencari yang lebih mengandung perasaan seperti dalam sinema Ekspresionisme Jerman.
Memang. Saya pikir menarik saat kita mencoba– mengungkapkan perjalanan waktu di dalam filem, meski sering terasa agak dibuat-buat. Lebih mudah di dalam novel: kita bisa menuliskan, misalnya “Tiga tahun kemudian….”. Di dalam filem, kita harus eksplisit mengungkapkan atau menuliskannya sebagai teks. Saya tak mengatakan semua orang harus begitu, tapi saya pribadi merasa lebih enak dengan cerita yang lebih singkat, dengan satu kesatuan waktu, yang seakan mengambil satu tempat– Intinya, gagasan ini sepenuhnya dapat berasal dari satu lokasi tunggal. Saya katakan “gagasan”, artinya gagasan untuk suatu mise-en-scene. Dalam menempatkan suatu latar, saya berpikir, “Saya bisa pakai ini, saya bisa pakai itu dan seterusnya.” Ini mengilhami saya. Saya tak berniat pindah lokasi.
Sekarang soal Claire’s Knee: ada dua anekdot kesukaan saya, tentang alam dan musim. Skenarionya mengisyaratkan ada saat kita menginginkan bunga-bunga mawar bermekaran, dan di saat lain, ingin buah-buah ceri telah siap petik, sehingga kita mesti segera menjadwal syuting demi ketepatan momen saat buah-buah ceri telah ranum dan bunga-bunga mawar siap untuk dipetik.
Bagaimana Anda bisa mengatur saat mujur ini?
Itu bukan kemujuran. Kebanyakan filem saya mudah dibuat, kecuali yang berdasarkan fiksi-fiksi yang belum ada. Kala menulis ceritanya, saya menulis dengan segala yang telah saya sua. Saya menulis fiksi seraya mengitari mawar-mawar dan ceri-ceri. Saya menerka-nerka kapan ceri-ceri itu meranum, dan jawaban saya ialah pada akhir Juni dan awal Juli. Di dataran tinggi, buah ceri cepat meranum daripada di dataran rendah. Maka di jadwal syuting, saya jadwalkan adegan pada awal Juli. Begitulah.
Kecuali Anda telah menanam rumpun mawar.
Tidak, rasanya itu kata-kata Brialy [Jean-Claude Brialy, aktor utama Truffaut untuk 400 Coups dan sebagainya]. Rumpun mawar telah siap tanam. Saya sekadar menerka kapan bermekaran.
Konon ceritanya, Anda harus menanam di tempat tepat dan menghitung tepat saat mekarnya.
Mungkin saja begitu, tapi hasilnya akan sama. Rumpun mawar memang sudah di situ, dan saya rasa tempat itu menarik untuk filem. Jadi tanya saya, kapan mawar akan mekar.
Agar sempurna, suatu pemandangan akan cocok dengan aspek ratio 1.33 karena gunung dan danau akan menghampar sepenuh layar. Bagaimana menurut Anda aspek rasio 1.33, dan mengapa ini teramat penting untuk Anda, karena seringkali kami berang untuk bisa menonton filem-filem Anda dalam aspek rasio itu.
Kala saya membuat Kisah-Kisah Moral, waktu itu hanya ada satu format. Format-format baru, seperti 1.66 atau 1.85, yang biasa disebut “widescreen” [layar lebar], belum ada. Format-format itu tidak ada– Sebentar, tidak benar, karena saya telah mengambil gambar filem pertama saya Le signe du Lion dalam format 1.66. Format itu ada.
Itu pilihan Anda sejak awal–
Saya rasa lebih menarik dibuat dalam 1.33.
Itu format filem-filem bisu yang Anda kagumi.
Format itu sama, kecuali permukaan ruangnya. Pada proyeksi filem dengan suara, akan ada selotipan hitam yang kembali membentuk rasio 1.33. Jadi rasionya sama. Di Prancis, filem diproyeksi dengan 1.66 sehingga saya bisa perhitungkan itu. Saya lihat banyak sutradara filem lebih memilih 1.66 ketimbang 1.33. Saya tak suka. Saya katakan alasannya. Pertama, alasan sederhana, format ini bisa membuang banyak hal. Tidak menawarkan ruang luas, malah ruang sempit. Misalnya, saya ingin memfilemkan sosok tangan. Jika formatnya tak agak tinggi, kita bisa memfilemkan sekaligus, baik wajah dan tangan, saat tokohnya bicara seperti ini, [memperagakan gaya bicara, tangan dekat pada wajah], tapi saat dia seperti ini [gaya bicara, tangan tenggelam dada di bawah wajah], hal yang juga menarik, kedua tangan akan tak terlihat dalam ambilan gambar. Seperti tadi juga kau katakan, saya lebih ingin bisa melihat apa-apa di bawah wajah tokoh itu, misalnya saat sedikit terlihat ada suatu dataran tinggi, dia akan memandang dataran tinggi itu. Dataran tinggi itu –tak hanya gunung, tapi juga yang lain, pohon-pohon, rumah-rumah, misalnya– akan hilang dalam format yang, bagi saya, terlalu lebar, kecuali kalau bukan– daratan yang tak cukup tinggi. Setahu saya ini tak bagus. Bagi saya penting sekali filem ditayangkan dalam aspek rasio aslinya. Itu berarti 1.33, bukan 1.66 yang rupanya sudah tidak lagi dipakai. Sekarang ada format yang mengerikan buat saya, 1.85. Jika aspek rasio ini diproyeksikan dalam 1.85, sosok-sosok tokohnya tentu tampak terpotong. Entah bagaimana ini masih terjadi selain di TV saat filem-filem Charlie Chaplin ditayangkan dengan kepala Tramp terpotong! Keterlaluan. Mestinya filem-filem semacam itu ditayangkan dalam format aslinya. Benar juga agaknya, mulai filem-filem pada “Kisah-Kisah Moral” –bukan, “Comedies and Proverbs”–saya mencegah agar filem-filem saya yakin bisa ditayangkan dalam 1.66 tanpa masalah.
Tapi dalam “Kisah-Kisah Moral”, filem-filem itu tak bisa ditayangkan dalam 1.66.
Bisa. Saya salah tadi saat berkata filem-filem itu tak bisa ditayangkan dalam 1.66. Claire’s Knee kerap ditayangkan dalam 1.66, dan tidak apa-apa. Tapi memang sebaiknya 1.33, karena kita akan bisa betul-betul melihat pegunungan.
Filem Anda kerap dibuat di satu lokasi yang spesifik karena lokasi itu juga turut menentukan dalam filem.
Saya punya banyak kepentingan untuk latar, dan saya rasa mestinya hal itu beragam. Saya pikir itulah yang paling berubah-ubah. Kita bisa menemukan kesamaan dari tokoh-tokoh dan ceritanya, tetapi latar selalu berubah. Dalam hal ini, saya mengambilalihnya dari Balzac [Honore de Balzac, sastrawan penting realisme Prancis abad 19]. Cerita-cerita Balzac selalu sama atau nyaris sama. Soal intrik. Namun para pelaku yang membuat alur intrik itu tidak sama, latarnya juga selalu berbeda-beda. Saya rasa pemirsa menyukai latar beragam. Seperti ketika saya membuat serangkai filem, kita mesti membedakan latar-latar itu. Nah, lokasi telah menginspirasi saya. Sebelum menulis skenario, saya akan mendatangi satu lokasi. Misalnya, saat filem Claire’s Knee selesai ditulis, latarnya belum. Filem itu berlatar daerah pinggiran Paris meski saya sudah mencobanya dengan kota Paris. Saya ingin lanskap yang baru, atau setidaknya kurang dikenal, tidak biasa, yang lebih menawan. Saya berpikir akan memfilemkannya di satu kawasan yang sudah dikenal keindahan alamiahnya sekaligus warganya tak tertarik pada sinema atau festival-festival filem.
Putra salah satu direktur kawasan liburan itu punya usaha yang berpusat di Annecy, menawari saya untuk membuat filem di vilanya, yang lalu saya dekorasi sebagai rumah pribadi. Jika diamati betul-betul, kita bisa lihat tak ada kamar tidurnya. Rumah itu tak tampak seperti rumah pribadi. Bagaimanapun, saya telah mengatur untuk mengubahnya. Saya tambah-tambahi. Dengan pagar dan semacamnya.
Pada pokoknya, Anda tak ingin memfilemkan serangkaian “Kisah-Kisah Moral” di dalam studio, meski Anda membuat dua pengecualian tertentu, yakni pada filem Love in the Afternoon dan My Night at Maud. Mengapa dua filem itu harus diambil gambarnya dalam studio?
Hanya demi alasan praktis. Sewaktu kita tak bisa menemukan lokasi di Prancis atau setidaknya di Paris– sudah disebut tadi saya mendatangi lokasi sebelum skenario ditulis. Sebagian latar itu telah begitu jadi bagian cerita yang tak bisa kita memakai sembarang lokasi. Lokasi yang saya perlukan begitu spesifik dan tak ditemukan di kota Paris. Saya lalu pergi ke bakal lokasi dan melongok banyak apartemen di sana, tapi sama sekali sia-sia. Tampilan itu salah dan kelewat bising. Saat itulah Pierre Cottrell, rekan di perusahaan Les Filems du Losange kita, menyarankan supaya melakukan syuting di studio. Saya ragu-ragu, memikirkan mahalnya, tapi akhirnya kita temukan satu studio di kawasan tua kota Paris. Saya kenal tempat itu saat masih mengerjakan acara pendidikan di televisi. Kami tak pernah benar-benar melakukan syuting di studio, melainkan di satu apartemen yang disulap menjadi sebuah studio. Saya katakan, “Ini cara yang bagus.” Begitulah lokasi My Night at Maud telah difilemkan. Begitulah filem itu.
Dalam Love in the Afternoon, ruang gudang telah dibuat di studio karena kita tak bisa menemukan–
Itu kantor di filem Love in the Afternoon. Ruangannya telah dibangun di kantor perusahaan filem Les Films du Losange.
Anda bahkan mengkopi gedung-gedung seberang jalannya.
Itu bukan ruangan ini, tapi sebelahnya. Ditambah pemandangan dari jendela-jendela. My Night at Maud juga sudah diambil gambarnya di rumah kau. Francoise, tokoh utama wanita kedua, tinggal di satu pondok “di pegunungan” tapi gambarnya diambil di Paris. Alasannya karena seperti tadi kau bilang: tak ada pilihan lain. Semua sama saja, saya merasa lebih nyaman– Kita tak dapat apartemen yang bisa dipermak, maka kita harus mengambil gambarnya di studio. Sejak itu saya selalu menghindari studio kecuali untuk serangkai filem yang memang harus diambil gambarnya di studio.
Dalam filem-filem Anda, mimpi-mimpi tak terbiasa ada. Anda seakan alergi memakai mimpi dalam filem, terkecuali dalam Love in the Afternoon.
Ya, karena hal itu ada dalam prolognya. Saya percaya sinema adalah seni yang berdasarkan pada realitas di masa kini, dan alangkah dibuat-buatnya untuk menampilkan mimpi malam maupun mimpi siang hari. Tapi soalnya, seakan inilah jalan-keluar sebuah filem. Jalan-keluar itu tidak berada di antara kisahan. Tapi dengan menghadirkan tokohnya. Saya telah sengaja membuat filem itu sedikit kekanakan dengan mendasarkan pada satu buku yang telah saya baca di masa kanak.
Benarkah saat membuat filem Love in the Afternoon, Anda telah mencipta dengan karya-karya Ingres [Jean Baptiste Ingres pelukis klasik Prancis]?
Ya, di sana persis ada pameran lukisan karya Ingres saat pembuatan Love in the Afternoon. Sebenarnya filem itu telah rampung. Barangkali gambar yang kita pakai telah serupa dengan karya Ingres. Soal ini akan jelas nanti.
Tapi Anda kerap melakukan “pengamatan” ekstensif mengenai pelukis. Tiap filem Anda merujuk seni lukis.
Saya selalu terinspirasi pelukis, tapi saya tak pernah berniat menyalinnya. Mungkin tak ada yang peduli, tapi hal ini biasa melandasi percakapan saya dengan kameraman seperti Nestor Almendros, yang juga mencintai seni lukis. Saya contohkan My Night at Maud: Lukisan-lukisan di dinding adalah pilihan saya sendiri. Semua itu semacam ceruk. Sangat fotogenik. Kenapa ceruk-ceruk bulan? Sebab nanti di sana akan banyak sekali yang bisa diceritakan tentang bulan. Mungkin setelah pendaratan pertama di bulan– Bukan, mungkin lebih seperti roket mengitari bulan meski semua orang bicara tentang pendaratan di bulan. Juga ada foto-repro lukisan pria telanjang karya Leonardo da Vinci. Semuanya demikian indah dan terlihat sebagai pilihan wajar si tokoh dokter wanita. Lalu untuk Claire’s Knee, saya berpikir tentang Gauguin [Paul Gauguin, pelukis moderen Prancis abad 19 yang berkarya di Tahiti Pasifik], karena lukisan-lukisan “Tahiti”nya menggambarkan pegunungan, lebatnya pepohon, birunya air dan semacamnya. Saya tak mencoba mengulang lukisan Gauguin. Saya beri saja tokoh-tokoh di filem itu tuwala pantai bagai pareos [sarung] orang Tahiti yang sangat gaya di masa itu.
Tapi teristimewa, filem-filem Anda sedemikian lukisannya, terutama oleh cara Anda membingkai gambar-gambarnya.
Ia ada secara wajar kepada saya. Saya tak memaksudkannya. Sebagian karena saya tak memakai perancang latar kecuali untuk filem-filem berangkai saya. Untuk filem-filem saya kini, saya telah mendekorasi dan memilih sendiri lukisan untuk dipasang. Kadang saya biarkan tempat itu tetap apa adanya, kadang saya temukan hal lain. Saya telah memilih lukisan bagi sebagian filem saya. Dalam seri Comedies and Proverbs dan Pauline at the Beach, saya memakai lukisan Matisse [Henri Matisse, pelukis moderen Prancis]. Lalu di Boyfriends and Girlfriends ada karya lukis Nicolas de Stael. Kau benar: saya memakai banyak lukisan. Ada keterpautan antara lukisan di dinding dengan di dalam filemnya, bahkan saat lukisan itu tak nampak. Segi lain dari lukisan yakni di atas segalanya, kita memilih warna untuk layar. Saya ingat, saat akan menghampari sebuah filem, untuk mendapatkan bayang sempurna abu-abu begitu menyita karena kita bersikeras menghamparkan abu-abu. Itu pada filem Full Moon in Paris. Saya ingat, menghamparkan abu-abu sungguh bermasalah. Sehingga saya selalu mengatur pilihan warna. Dalam serangkai Kisah-Kisah Moral, saya tetapkan untuk menaruh satu warna pada setiap filem. Masing-masing merupakan satu warna pelangi, seluruhnya menuruti aturan yang sama. The Bakery Girl of Monceau = kuning. Suzanne’s Career = hijau. My Night at Maud = biru tengah malam. La collectionnesuese = ungu. Kredit titelnya ungu. Claire’s Knee = pink. Dan Love in the Afternoon = jingga. Seluruh warna itu menuruti aturan kumparan warna, yang semula agaknya belum dimulai. Ketika membuat serangkai Comedies and Proverbs, saya menaruh sejumlah warna bagi tiap filem. Misalnya, The Aviator’s Wife mengandung warna hijau, biru dan sedikit kuning. Pauline at the Beach mengandung biru, putih dan merah. Full Moon in Paris memakai abu-abu, dikontraskan warna-warna terang merah, hijau dan sebagainya. Boyfriends and Girlfriends memakai warna-warna resmi Cergy-Pontoise, tempat syutingnya, ditambah biru dan hijau. Juga skenario-skenario saya membatasi korespondensi tertutupnya dengan warna-warna.
Kembali ke sebelumnya, jika kita membandingkan siklus filem-filem Anda, apa perbedaan pokok antara Kisah-Kisah Moral dengan filem-filem berikutnya kemudian?
Bisa dikatakan, Kisah-Kisah Moral ini lebih moral, lebih ambisius. Dalam hal ini filemnya mempertanyakan apakah aturan moral itu. Comedies and Proverbs kurang mengandung ambisi semacam itu. Tanpa diskusi teoretis apapun, atau sedikit sekali. Malah Comedies and Proverbs lebih tentang kecemburuan dan konflik antar tokoh-tokohnya. Pada Four Seasons [ingat karya musika Vivaldi: Empat Musim], bisa dikatakan saya jumpai lagi pertanyaan soal moral dan filsafat dengan gaya yang lebih seksama seperti dalam A Tale of Springtime. Di semua filem itu, ada cukup diskusi mengenai alam semesta.
Akankah Anda mengambil gambar filem Anda nanti dengan digital? Apakah Anda punya pandangan memanfatkan sifat-sifat media digital bagi filem-filem Anda kelak?
Mungkin saya telah berhenti usai karya saya nanti, tapi ya, saya ingin. Pada satu masa saya telah memainkan peranan nabi, dan saya tak keluar jauh dari cap itu. Tetapi itu bukan saya, sepenuhnya Nouvelle Vague. Seperti semua tindakan revolusioner, kita berpikir soal masa depan. Saya tak berkata, “Apres moi, le deluge,” sebab saya tak berpikir sinema akan menghilang lenyap. Sinema akan beralih bentuk, meski saya belum bisa mengatakan kemungkinan bentuk lain itu. Namun, ya, saya terus memakai– Pada filem saya nanti, saya akan memakai prosedur yang agak rumit. Syutingnya akan saya kerjakan dengan 16 mm, lalu ditransfer ke video, hingga dicetak dalam 35 mm.
Entahlah, tapi barangkali– Media itu mengakibatkan besarnya aturan dari kendali atas citraan. Satu hal yang pasti: lebih banyak orang akan menonton filem-filem klasik di rumah dengan DVD, yang tingkat kualitasnya lebih memuaskan bagi sutradara. Itulah pastinya masa depan sinema.
Sebagian orang mungkin akan terlukai– tapi saya sudah takkan lagi pergi ke bioskop. Saya dapat menghargai sebuah filem dan menilainya lebih baik jika menontonnya di video daripada di gedung bioskop. Ini keharusan usia saya. Saya sudah sedikit klaustrofobia, dan penglihatan saya– telah hilang arah untuk memilih tempat duduk di jarak yang pas dari layar; sering saya tak mendapat kursi, sedangkan tak mungkin lagi saya duduk sembarangan. Itu sebabnya saya lebih memilih menonton filem di video, meski tentu mereka yang “kuno” akan ragu-ragu. Saya merasa sangat nyaman menonton filem dengan video atau DVD di rumah.
Saya amat mengakui kualitas suara filem kita. Saya kira di masa depan, dengan DVD, penonton bisa menaikkan volume untuk merasakan kehebatan gabungan (mixing) suara. Di bioskop, kualitas mixing suara sering tak bisa diperhatikan. Istilahnya, aspek rasio DVD menghargai pilihan aspek rasio 1.33. Filem saya nanti akan beraspek rasio 1.33. Tapi di gedung bisokop– akan selalu jadi pertentangan, tidak akan ditayangkan dalam aspek rasio 1.33.
Sebetulnya bisa, tapi pakai sedikit tipuan. Filem menjadi beraspek rasio 1.85 tapi dengan selotipan hitam di tiap sisi bingkaian sehingga di layar akan menjadi beraspek rasio 1.33. Selotipan hitam itu sepekat malam dalam bioskop sehingga tak akan tampak. Terimakasih saya pada Anda, Monsieur Eric Rohmer.
Saya yang mesti berterimakasih padamu, sudah datang bertanya-tanya….. dan membagi kenangan dengan baik. Kita berbagi kenangan yang sama, sebab kadang kita seperti tak bisa mengingat dengan cara yang sama. Saya lupa sebagian hal, engkau lupa sebagian lain.
Sumber wawancara Barbert Schoeder dan Eric Rohmer, “Moral Tales, Filmic Issues”, dalam kumpulan DVD filem Eric Rohmer, Six Moral Tales. Rekaman video digital wawancara ini terjadi pada April 2006, khusus untuk Criterion Collection. Transkripsi, penerjemahan dan penyuntingan oleh Ugeng T. Moetidjo.
Tentang Eric Rohmer (lahir di Nancy-Prancis, 1920-)
Sutradara filem, pemikir sinema dan gurubesar sastra asal Prancis, serta penulis kritik filem pada jurnal Revue de Cinema, Les Temps Modernes, La Parisienne dan Arts. Di tahun 1949-1950, memimpin redaksi majalah La Gazette du Cinema dan Cahiers du Cinema. Filem pendek pertamanya, Journal d’un selerat -16 mm, dan kedua, Presentation -1952, dengan pemeran J. L. Godard, serta Sonata Kreutzer (dari novel Leo Tolstoy -sudah diterbitkan Pustaka Jaya dengan judul Pembunuh Isteri), 1958. Menulis buku bersama Chabrol, Hitchcock, 1959. Cukup lama bekerja sebagai kepala program pendidikan sastra dan sinema di stasiun televisi. Pada 1962, mulai mengerjakan serangkai filem “Kisah-Kisah Moral” dengan membuat filem The Bakery Girl of Monceau.