In Artikel

DI MENIT KE-76, Hao (bernama lengkap Dieu Hao Do, sutradara film ini) bercerita tentang mimpi buruk yang berulang kali mampir di dalam tidurnya sewaktu ia masih kecil. Kejadian di dalam mimpi itu, sebagaimana tersirat dari apa yang ia ceritakan dan bagaimana ia menceritakannya, terdengar rada-rada absurdis:

Waktu kecil, aku berulang kali mengalami mimpi buruk: aku harus membangun menara setinggi lebih dari 10 m. Saat kucoba mendorong batu bata ke tengah menara, benda itu roboh. Aku pun menangis karena pekerjaan itu sepertinya mustahil. Setiap upaya untuk mendirikan dan menyeimbangkan menara itu pasti akan gagal. Sekarang aku tahu: tujuannya bukanlah untuk membangun menara, tetapi untuk menemukan cara mengatasi keruntuhannya. Kukerahkan segalanya untuk membuat sesuatu yang mungkin tidak pernah ada.

Visual yang kita lihat di layar, saat bagian cerita tentang mimpi itu disulihsuarakan, adalah pemandangan langit senja di atas kota yang ditengok dari dalam mobil. Hao juga sedang menyetir mobil dalam suasana yang hening. Lalu, garis pandu di dinding jalan terowongan memantul di kaca spion; kamera kemudian juga membidik garis bercahaya di langit-langit terowongan itu.

Cuplikan adegan dalam film Hao Are You (2023) karya Dieu Hao Do. (Sumber gambar: tangkapan layar).

Adegan reflektif di atas muncul setelah sebuah sekuen yang memperlihatkan kegagalan Hao memediasi komunikasi di antara paman-paman dan bibi-bibinya, via telepon, agar mereka mau berdamai dan bersedia untuk saling bertemu kembali setelah puluhan tahun putus silaturahmi.

Hao Are You (2023) adalah sebuah film dokumenter personal berdurasi 94 menit yang mengisahkan perpecahan keluarga besar maternal Hao. Putusnya hubungan di antara mereka berlangsung sejak kejatuhan Saigon yang mengakhiri Perang Vietnam pada tahun 1975. Kala itu, diperkirakan lebih dari 1,5 juta orang di Vietnam, terutama kaum minoritas Tionghoa, seperti keluarga yang dibicarakan dalam film ini, berupaya melarikan diri dari rezim Komunis, mencari tempat yang aman dan memohon suaka ke negara-negara lain; mereka nekat menghadapi risiko kematian menyeberangi Laut Cina Selatan menggunakan perahu kecil. Nyatanya, banyak yang tidak selamat. Anggota keluarga besar Hao, yang kini sudah berpisah satu sama lain dan hidup menyebar di tiga benua, adalah sebagian kecil penyintas yang masih hidup sampai sekarang.

***

Hao Are You adalah salah satu film yang tayang pada penyelenggaraan KinoFest 2023 di GoetheHaus, Jakarta, tepatnya pada tanggal 25 September 2023. Dalam amatan saya, film ini secara umum tidak menawarkan eksperimen visual yang dapat dikatakan “melampaui” atau bersifat alternatif terhadap gaya dokumenter konvensional. Banyak dari rekaman-rekaman gambar yang menampilkan pemandangan-pemandangan kota berfungsi sebagai transisi adegan-adegan inti; rekaman-rekaman ini sekadar mengantarai isi dari wawancara-wawancara Hao dengan ibu, paman-paman, dan bibi-bibinya mengenai ingatan dan pengalaman historikal-personal mereka sebagai penyintas perang dan konflik keluarga. Sementara itu, sulihsuara—diisi oleh suara Hao sendiri—memiliki proporsi yang bisa dibilang terlalu mendominasi konstruksi sinematik dalam rangka memandu penonton untuk memahami apa yang sedang dikisahkan di dalam film. Dengan tawaran gaya ungkap narasi yang seperti itu, 70 menit pertama dari total durasi Hao Are You terasa nyaris datar dan monoton meskipun ada begitu banyak informasi menarik yang disampaikan para narasumber wawancara sehubungan dengan konteks sosioekonomi dan geopolitik negara Vietnam selama masa perang.

Cuplikan adegan dalam film Hao Are You (2023) karya Dieu Hao Do. © Florian Mag

Akan tetapi, ada satu aspek pada karya dokumenter ini yang saya kira menarik untuk kita urai lebih jauh, khususnya dalam rangka memahami bagaimana permainan naratif yang diupayakan si sutradara untuk membangun konflik, klimaks, dan ketegangan sinematik di dalam filmnya. Aspek yang saya maksud adalah hal-hal yang berporos pada fotografi — foto keluarga. Seperti yang akan saya coba paparkan nanti, permainan Hao tersebut merangsang suatu pembacaan yang berpotensi mengorelasikan penjelasan mengenai realitas fotografis, dan/atau realisme fotografi, dengan gagasan tentang fotografi sebagai praktik rekonsiliasi performatif.

***

Cerita film ini diawali dengan adegan Hao yang menerima panggilan via telepon dari salah seorang pamannya. Di situ, kita ketahui bahwa lawan bicaranya sedang marah atas tindakan yang sudah dilakukan Hao. Selanjutnya, seiring sulihsuara Hao memulai cerita, kita diperlihatkan selembar klise (gambar negatif) foto keluarga; tujuh bersaudara berpose formal bersama kedua orang tua mereka. Hao bercerita bahwa hubungan silaturahmi dari tujuh orang kakak-beradik ini—ibunya Hao adalah anak kedua—telah rusak. Bahkan, ada di antara mereka yang sudah tidak berkontak lagi satu sama lain lebih dari empat puluh tahun.

Hao, yang tinggal di Jerman, mewawancarai ibunya mengenai masalah ini. Dari wawancara itu, ia pun ingin mendengar pendapat dari paman dan bibinya yang lain, mencari jawaban tentang apa faktor yang menyebabkan mereka terpecah-pecah. Ia pun bepergian ke Hong Kong, Kalifornia, dan Vietnam untuk menemui paman dan bibinya, berusaha mendapatkan penjelasan yang utuh. Apakah konflik yang mewarnai tujuh bersaudara itu ada hubungannya dengan dampak sosial dan politik akibat Perang Vietnam? Atau hanya memang persoalan konflik internal keluarga semata?

Cuplikan adegan dalam film Hao Are You (2023) karya Dieu Hao Do. (Sumber gambar: tangkapan layar).

Di sepanjang film, kemudian, kita akan mengetahui bahwa ibunya menyalahkan Komunis, sementara salah seorang pamannya mengaitkan masalah ini dengan urusan harta warisan keluarga, sedangkan paman dan bibinya yang lain memilih untuk diam saja.

Selain paman dan bibi, Hao juga mewawancarai beberapa orang sepupunya, menanyakan pendapat mereka tentang konflik yang terjadi di dalam lingkungan keluarga besar mereka. Sebagai generasi kedua, mereka semua sepakat bahwa konflik panjang ini mesti disudahi karena zaman sudah berubah. Dari situlah muncul niat Hao untuk memediasi semacam rekonsiliasi hubungan di antara ibu, paman, dan bibinya. Ia lantas merencanakan liburan ke kampung halaman di Vietnam, mempertemukan enam orang anggota keluarga yang masih hidup—salah seorang pamannya sudah meninggal—dengan harapan bahwa mereka akan berdamai.

Namun, upaya itu gagal. Hanya tiga orang yang bersedia bertemu. Dan dalam pertemuan itu pun, pertengkaran kembali terjadi, terutama pertikaian mulut antara Paman Pertama (anak sulung) dan ibunya (anak kedua) yang masih memperdebatkan harta warisan. Rekonsiliasi tidak berhasil utuh sebagaimana yang diekspektasikan Hao.

***

Cuplikan adegan dalam film Hao Are You (2023) karya Dieu Hao Do. (Sumber gambar: tangkapan layar).

Setelah adegan reflektif yang saya singgung di awal, sekuen selanjutnya yang mengemuka ke hadapan penonton adalah kisah pertemuan antara ibunya Hao (yang tinggal di Jerman) dengan Paman Pertama (yang tinggal di Hong Kong) dan Paman Kedua (yang tetap tinggal di Vietnam) di Vietnam. Ibunya dan Paman Pertama mengunjungi rumah mereka yang dulu. Alih-alih emosional, kegiatan itu berlangsung sebagai tur tamasya yang tenang. Pertengkaran kakak-beradik generasi pertama dalam keluarga besar maternal Hao ini baru benar-benar terjadi lagi pada saat adegan makan malam di sebuah restoran. Di dalam sekuen tersebut, terselip sebuah adegan (yang menampilkan Hao dan ibunya di dalam mobil) yang melaluinya Hao mengungkapkan kekikukan yang ia alami; ia mengakui bahwa pemicu pertengkaran pada makan malam itu adalah ibunya sendiri; si Anak Kedua tak henti-henti menggunjingkan perilaku si Kakak Pertama (si Paman Pertama) yang suka berjudi.

Kemudian, kita akan menyaksikan sekuen puncak di dalam film ini: keesokan harinya, Hao mengajak ibunya, Paman Pertama, dan Paman Kedua ke studio foto. Ia merayu mereka agar mau mengambil foto keluarga baru meskipun hari itu anggota keluarga dari tujuh bersaudara tidak lengkap. Awalnya, Paman Pertama menolak untuk berfoto dalam pose dan formasi yang sama dengan foto jadul keluarga mereka yang diambil 70 tahun yang lalu. Tapi Hao terus merayu hingga Paman Pertama bersedia, tapi hanya untuk sekali foto saja.

Cuplikan adegan dalam film Hao Are You (2023) karya Dieu Hao Do. © Florian Mag

Hao memberikan instruksi untuk mengatur pose potret keluarga tersebut; ia berupaya mengarahkan masing-masing orang untuk berdiri pada posisi yang sama persis dengan pose pada foto keluarga yang lama. Karena hanya bertiga maka ada posisi-posisi yang kosong. Ruang kosong ini seakan menegaskan “jarak” yang selama ini mengakar sebagai masalah utama dalam hubungan kekerabatan tujuh bersaudara tersebut.

***

Cuplikan adegan dalam film Hao Are You (2023) karya Dieu Hao Do. © Florian Mag

Dalam konteks produksinya, kita dapat memahami bahwa Hao menjadikan film sebagai metode untuk menyelidiki relasi antara ingatan dan trauma, sejarah personal dan kolektif, masa lalu dan kini, serta segregasi dan rekonsiliasi. Karena isu yang ia jelajahi adalah pengalaman yang sangat personal, yaitu masalah keluarga besarnya sendiri, film ini bersifat sangat reflektif. Akan tetapi, ia juga bersifat performatif dalam arti bagaimana persoalan batiniah subjek-subjek film juga turut dibongkar, lantas diintervensi dan diprovokasi dengan tujuan terciptanya sebuah perubahan tertentu secara psikologis dan emosional. Posisi Hao, sebagai sutradara sekaligus narator, juga memegang peran katalisator demi situasi tertentu yang, dalam konteks film ini, menujukan setiap partisipan pada suatu kondisi dan/atau, setidaknya, gestur rekonsiliater.

Cuplikan adegan dalam film Hao Are You (2023) karya Dieu Hao Do. (Sumber gambar: tangkapan layar).

Pada adegan di studio foto, secara spesifik Hao mendemonstrasikan fotografi sebagai praktik strategis dari rekonsiliasi performatif. Ia dengan sadar mendayagunakan kamera sebagai aparatus untuk “mengatur” tubuh dan kesadaran subjek, tetapi sekaligus juga untuk me-re-konfirmasi realitas representatif dari tubuh-tubuh yang memiliki sejarah fotografis yang spesifik. Kegiatan mengambil potret keluarga di dalam studio foto itu kemudian direkam untuk menjadi bagian dari film dokumenter. Hao aktif menentukan situasi bagi apa yang sedang dinarasikannya kepada penonton.

Cuplikan adegan dalam film Hao Are You (2023) karya Dieu Hao Do. (Sumber gambar: tangkapan layar).

Potret jadul keluarga ibunya, yang diambil 70 tahun yang lalu, menyisakan ingatan yang samar tentang hubungan kekerabatan di antara tujuh bersaudara. Potret keluarga yang diambil di masa sekarang (yang di dalamnya hanya ada tiga orang anggota yang berpose) membangkitkan sebuah rangkuman tentang konflik personal-sosial yang telah membentuk hubungan mereka satu sama lain selama ini. Di dalam potret keluarga yang diambil pada masa kini, “ruang kosong” di antara subjek-subjek yang berpose mungkin terasa sebagai unsur citrawi yang menyiratkan bahwa rekonsiliasi keluarga tidak akan pernah tercapai. Namun, picuan sinematik film ini sebenarnya sedang mengejar hal yang melampaui itu. Sebab, “ruang kosong” itu, menurut saya, justru menjadi semacam jeda, spasi, atau jarak pandang, yang sesungguhnya sangat bernilai bagi si sutradara dan kita, penonton, untuk mengafirmasi rekonsiliasi humanistis terhadap kekerasan sejarah dan masa lalu.

Dalam konteks rekonsiliasi fotografis yang mengemuka pada adegan puncak tersebutlah — sebagaimana halnya dengan misi si sutradara untuk menjadikan produksi film ini sebagai metode rekonsiliasi sosial bagi masalah keluarganya — narasi dokumenter personal Hao, yang pada awalnya terasa monoton, perlahan-lahan bermutasi menjadi gaya ungkap yang mengamini visi cinéma vérité: dalam kerangka antropologisnya, perhatian utama film ialah justru implikasi-implikasi sosial dan politik dari apa (dan siapa) yang sedang direkam kamera.

Trauma sejarah dan luka-luka personal, sebagaimana simpulan yang tersirat di penghujung film ini, memang tak akan mudah untuk disembuhkan. Ia bagaikan kumpulan batu bata yang disusun menjadi menara yang selalu akan runtuh. Tujuan utama kita bukanlah untuk menyembuhkan trauma dan luka, tetapi bagaimana mengatasi diri kita dalam menghadapi keadaan terkini yang disebabkannya. Atau setidaknya, memvalidasi perasaan kita akan situasi yang ada; mengafirmasinya. Karena, hanya dengan afirmasi total, rekonsiliasi selalu dapat dimungkinkan, dan niscaya akan selalu menjadi sebuah kemungkinan jikalau hasilnya belum benar-benar terealisasikan. []

Artikel ulasan berjudul “Sinema dan Fotografi sebagai Rekonsiliasi Performatif” ini terbit dalam rangka kerja sama media antara Jurnal Footage dan KinoFest Film Festival (Goethe-Institut Indonesia). Baca artikel lainnya dalam rangka acara tersebut: “Kupu-kupu Besi: Manuver dari Klimaks-Tanpa-Antiklimaks” dan Roter Himmel: Fiksi Emosi Ekologis di Pembukaan KinoFest 2023“.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search