In Artikel
[tab] [tab_item title=”ID”]

Suami-suami
Sutradara, John Cassavetes
1970. Warna
Ben Gazzara, Peter Falk dan John Cassavetes

Saya punya satu jalur pemikiran—itulah yang saya minati, cinta’
—John Cassavetes

John Cassavetes menyutradarai sebuah filem berjudul ‘Husbands’ (Suami-suami), sebuah filem yang ingin saya tuliskan dilihat sebagai akting besar triumvirate (persekutuan tiga orang pemegang kekuasaan) yang sekarang lewat bersama kematian Ben Gazzara, aktor terakhir yang bertahan, meninggal karena kanker bulan lalu.

‘Suami-suami’ disutradarai saat gerakan feminis sedang berada di puncak, dan di mana seorang lelaki begitu berani membuat filem murni tentang ego lelaki dalam pengejaran persoalan ke dalam revolusi feminis ini—ia tidak salah membuat filem ini di masa istimewa itu, sebab gerakan feminis jarang membicarakan peran lelaki dalam perbincangan mereka. ‘Suami-suami’ mengajukan pertanyaan itu. Apa peranan lelaki dalam hubungan?

Filem ini menelisik secara mendalam soal perpisahan lelaki dan perempuan ini. ‘Suami-suami’ hampir melangkah jauh seperti mengatakan hubungan jangka panjang adalah pengalaman tak menyenangkan dan rumit terutama dalam latar belakang kemunafikan dan kekurangan di pinggiran kota, di mana John Cassavettes sering membuat sebagai latar filem-filemnya. Filem ini pada intinya tentang lelaki yang mencari makna kehidupan dan definisi cinta, dipicu oleh kematian teman paruh baya mereka.

Archie (Peter Falk), Gus (John Cassavetes) dan Harry (Ben Gazzara) semuanya lelaki yang menikah, sekuen pembuka filem mempertunjukkan lelaki-leaki menikah ini dalam banyak warna kuning 70an gambaran singkat kumpul keluarga di tepi kolam, panggangan di hari Minggu yang malas, potret kelompok mereka bersama istri-istri, meminum bir dan tampak senang dengan diri mereka sendiri. Sekuen-sekuen pembuka ini mengatur mukadimah menuju kebenaran filem ini, melangkah terus, lalu menunjukkan kepada kita apa kebenaran itu, yakni, hubungan tidaklah sederhana dan mudah—cinta tidaklah sederhana dan mudah, ia gagap dan penuh dengan saat-saat indah sekaligus saat-saat menyedihkan, dan tidak seorang pun tahu apa yang mereka lakukan.

Dari sekuen pembuka bahagia ini lalu ke adegan di pemakaman dan penguburan lelaki keempat yang membuat keempat lelaki itu bersatu. Archie, Gus dan Harry tercengang dan telah datang pada kesadaran bahwa mereka berada di jalur mereka menuju kematian menjadi manusia yang berada di lerengan kehidupan.

Jadi dimulailah 4-hari minum gila-gilaan dimulai di Kota New York berakhir di London. Regresi ini kembali ke masa remaja (namun dengan saldo besar di bank) melihat mereka berkendara keliling Kota New York bermain bola basket, berenang, minum bir dengan orang-orang asing dan mendorong setiap situasi ke batasan kegagapan untuk menemukan makna kehidupan. Tidak menginginkan pengalaman arus pelarian ini berakhir, mereka semua memutuskan pergi ke London untuk meneruskan sisa-sisa mabuk gila-gilaan dalam gaya di sebuah hotel berkelas dan berhasil mengambil beberapa gadis cantik dari kasino.

Akan menjadi sangat mudah untuk sekadar menonton dan menganggap filem ini sebuah petualangan bocah yang hanya menggambarkan ketidakbertanggungjawaban lelaki dewasa namun Cassavettes sedang mengejar sesuatu yang lebih mendalam. Filem ini merupakan pembicaraan soal perasaan kegagalan dalam diri lelaki dan sebuah tampilan jujur pada cara menghadapi perasaan-perasaan ini. Ia mengajukan pertanyaan akhir, yang telah menyebabkan keberlanjutan persoalan dan telah menjadi tema sentral bagi banyak filem: apa itu cinta dan bagaimana seseorang membuatnya bekerja?

Seperti kebanyakan filem-filem Cassavettes, ia tidak takut untuk melihat ke saat-saat yang sering memalukan yang dialami semua manusia ini—lelaki atau perempuan. Ia sering mengakui bahwa ia telah secara sengaja ingin menempatkan banyak dari aktor-aktornya di luar zona nyaman mereka dalam situasi di mana mereka semua paling mungkin untuk mengeluarkan suatu kegagapan namun jujur—menelanjangi orang dari citraan palsu yang mungkin tentang diri mereka sendiri dan dunia.

Orang-orang tidak hanya ingin sekadar melalui hidup. Mereka ingin hidup. Saya tidak pernah sungguh-sungguh tahu tentang apa itu ‘Suami-suami’ di titik ini. Anda bisa berkata ini tentang tidak lelaki menikah yang menginginkan sesuatu bagi diri mereka sendiri. Mereka tidak tahu apa yang mereka inginkan, tapi mereka takut ketika sahbat terbaik mereka meninggal. Atau Anda bisa bilang ini tentang tiga orang lelaki yang sedang dalam pencarian cinta dan tidak tahu bagaimana mendapatkannya. Setiap adegan di gambar akan menjadi pendapat-pendapat kita tentang perasaan. Saya mencoba bicara pada para aktor dan mencoba untuk menemukan apa yang sungguh saya pikirkan tentang perasaan. Ia mungkin akan berubah keras atau getir; tapi saya bisa membiarkan apapun selama saya tahu kita semua jujur’

John Cassavetes
Cassavetes tentang Cassavetes

‘Suami-suami’ sesungguhnya tentang melakukan hanya itu tapi dari sudut pandang lelaki, ia tidak menyembunyikan kesalahan besar apapun dari lelaki danb di dalam penggambaran jujur ini kita mendapatkan beberapa pemahaman nyata tentang kenapa hubungan memiliki saat-saat kegagalan atau keberhasilan, ia memberikan sebuah perbincangan layak tentang hubungan lelaki-perempuan dan mengeluarkan kerusakan yang bisa dilakukan lelaki, dalam cara sama yang dilakukan filemnya yang lain dari sudut pandang perempuan melalui prisma saraf.

Penceritaan mendasar dari kebenaran ini ada di akhir adegan ketika Archie (Peter Falk) dan Gus (John Cassavettes)  di perjalanan pulangnya, Harry (diperankan oleh Ben Gazzara) tidak menginginkan ilusi ini berakhir, tinggal di London, di bandara merasa kenyataan menurun dari atas mereka dan dalam perasaan bersalah yang menggila mulai membeli mainan bagi anak-anak mereka, sebagai sebuah obat pada apa yang mereka ketahui berada di dalam toko ketika mereka pulang—mainan-mainan ini merupakan obat palsu bagi ketidakberdayaan.

Adegan akhir adalah representasi visual paling menyakitkan hati dari apa yang bisa menghasilkan kerusakan, saat Gus menggenggam 2 kantong kertas besar berisi mainan-maina ‘rasa bersalah’ ini di dasar perjalanannya, ia melihat anak gadisnya—lalu datang saat, kenyataan hidup yang ia dapatkan dengan anak-anak dan istrinya ini begitu berat untuknya—tampak tersesat dan terabaikan anak bungsunya datang tersandung jatuh di jalur mobilnya dan melihat ketidakhadiran ayahnya secara spontan meledak dalam tangis, kerapuhan dan kelembutan perwujudan ini kemudian dihaluskan oleh putranya yang remaja berteriak ‘Ayah! Ya, Tuhan! Ayah dalam masalah! Ibu, Ayah pulang…’ dan lalu kehidupan ini berjalan terus.


Tulisan ini diterjemahkan oleh Mirza Jaka Suryana
[/tab_item] [tab_item title=”EN”]

The Profound Art of Being a Loser

Husbands
Dir John Cassavetes
1970 Colour
Ben Gazzara, Peter Falk and John Cassavetes

I have a one track mind—that’s all I am interested in, is love’
—John Cassavetes

John Cassavetes directed a film called ‘Husbands’, which is the film I would like to write about seeing as the great acting triumvirate has now passed away with the death of Ben Gazzara the last actor to have survived, died from cancer last month.

‘Husbands’ was directed at a time when the feminist movement was in full swing a brave man to have pitched a movie purely about the male ego in pursuit of its own issues into this feminist revolution—he was not wrong to have made this film at that particular point in time, for a feminist movement that rarely discussed men’s role in their debate. ‘Husbands’ posits just that question. What was men’s role in relationships?

This film deeply investigates this problem of male and female separation. ‘Husbands’ almost goes so far as to say long term relationships are an unhappy and difficult experience especially in the hypocrital and devoid backdrop of suburbia which John Cassavetes often sets his films. It is in essence a film about the male search for the meaning of life and the definition of love, triggered by the death of their also middle aged male friend.

Archie (Peter Falk), Gus (John Cassavetes) and Harry (Ben Gazzara) are all married men, the opening sequence of the film shows these married men in many 70’s yellow colored snap shot images of family gatherings by the pool, lazy Sunday barbeques, group portraits of them with their wives, drinking beer and looking pleased with themselves. The opening sequence sets up the pre-amble to the truth of this film it goes on to then show us what that truth is which is relationships are not simple or easy—love is not simple or easy, it is awkward full of lovely moments and equally awful times and nobody knows what they are doing.

From this happy opening sequence then to the scene at the cemetery and the burial of the fourth man that made up their happy four man group. Archie, Gus and Harry are stunned and have come to the realization that they are on their own path to death being men who are in the descent of their lives.

So starts the 4-day drinking bender beginning in NY City ending up in London. This regression back into teenage hood (but with large bank accounts) see’s them tooling around NY City playing basketball, swimming, drinking beer with strangers and pushing every situation to the limits of awkwardness in order to find a meaning to living. Not wanting the experience of this stream of escapisms to end, they all decide to take a trip to London to live out the rest of the bender in style at a classy hotel and manage to pick up several good-looking girls from the casino.

It would be very easy to just on first viewing to consider this film a boy’s own adventure which only illustrate the irresponsibility of men but Cassavetes was after something deeper. This film is about discussing feelings of failure in men and an honest look at how to deal with these feelings. It asks the ultimate question, which has plagued and has been the central theme to many films: what is love and how does one make it work?

Like most of Cassavetes films, he is not afraid to look at these often embarrassing moments that all humans experience—male or female. He has often admitted that he has intentionally wanted to place many of his actors outside of their comfort zones in situations where they are most likely to expose something awkward but honest—stripping people of the false image that may have about themselves and the world.

These guys don’t just want to get by in life. They want to live. I don’t really know what ‘Husbands’ is about at this point. You could say it’s about three married guys who want something for themselves. They don’t know what they want, but they get scared when their best friend dies. Or you could say it is about three men that are in search of love and don’t know how to attain it. Every scene in the picture will be our opinions about sentiment. I try to talk to the actors and try to find out what I really think about sentiment. It may turn harsh or bitter; but I can allow anything as long as I know we are honest’

John Cassavetes
Cassavetes on Cassavetes

‘Husbands’ is exactly about doing just that but from the male perspective, it doesn’t hide any of men’s ugly faults and within that honest portrayal we get some real understanding of why relationships have moments of failure or success, it allows a proper discussion to exist about male-female relationships and exposes the damage that men can do, much in the same way that his other film ‘A Women under the Influence’ did from the female perspective through the prism of neurosis.

The most telling of this truth is in the end scenes when Archie (Peter Falk) and Gus (John Cassavetes) on the return trip home, Harry (played by Ben Gazzara) not wanting the illusion to end, stays on in London, at the airport feels reality descending on top them and in a guilty frenzy starts buying toys for their children, as a remedy to what they know is in store for them when they get home—these toys are the superficial band-aid to the dysfunction.

The end scene is the most heartbreaking visual representation of what can be the resulting damage, as Gus clutches 2 large paper bags filled with these ‘guilt’ toys at the bottom of his driveway, he see’s his young daughter—then comes the moment, this reality of the life he has with his children and his wife comes down hard on him—looking lost and abandoned his small child comes stumbling down the driveway and on seeing her absent father spontaneously bursts into tears, this fragile and tender realization is then soften by his older pre-pubescent son who yells ‘Dad!! Oh booooy! You’re in trouble! Maaaa Dad’s home…’ and thus this life goes on.

[/tab_item] [/tab]
Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search