Artikel ini pertama kali dimuat di majalah Aneka, No 10, Tahun IX, 1 Juni 1958. S. M. Ardan menyoroti bagaimana perkembangan dari teknik penceritaan di dalam film yang kala itu mulai menunjukkan ketertarikan pada “aspek-aspek kedaerahan” (atau yang biasa kini lebih tepat kita sebut “lokalitas”). Beberapa para pembuat film, menurut si penulis, menjelajahi lokalitas sebagai salah satu medan estetik, khususnya dalam modus penceritaan. Sementara yang lain, mengadopsi atribut-atribut kedaerahan semata sebagai cara untuk meningkatkan popularitas dari segi komersil.
Secara khusus untuk membicarakan hal itu, S. M. Ardan mengulas dua film yang, sebagaimana dapat dibaca pada analisisnya, sengaja diperhadap-hadapkan (atau dibanding-bandingkan). Dalam amatan si penulis, capaian estetik dan teknik artistik Djadoeg Djajakusuma dalam Harimau Tjampa (1953) masih mengungguli usaha yang dilakukan oleh Bachtiar Siagian dalam Turang (1957).
Tulisan ini kami muat kembali untuk memberikan gambaran tentang polemik sinema Indonesia kala itu, yaitu era 1950-an, dalam kaitannya dengan bagaimana sinema kita membingkai persoalan-persoalan lokalitas yang ada di Indonesia.
Selamat membaca!
Film Perfini Harimau Tjampa1 mendapatkan hadiah Harimau Perunggu untuk musik terbaik dalam Festival Film se-Asia (Tenggara) ke II di Singapura tahun 1955, karena Harimau Tjampa satu-satunya film yang berhasil mempergunakan musik asli (Minangkabau) dalam film, tidak saja sebagai ilustrasi tapi juga sebagai unsur untuk menceritakan isi film. Harimau Tjampa dan Ifugao (film Filipina yang menggondol tiga hadiah) banyak menarik perhatian disebabkan mengandung warna daerah, yaitu menggambarkan kedaerahan.
Memang pada suatu festival yang bersifat internasional, film-film yang asing bagi orang luar selalu mendapat perhatian istimewa. Ini terbukti dari film-film Italia dari jenis neo-realistis, seperti Roma Kota Terbuka (Roma Città Aperta, Roberto Rosellini, 1945, ) atau Pencuri Sepeda (Ladri di biciclette, Vittorio de Sica, 1948,) yang dengan tepat menggambarkan keadaan masyarakat sesudah Perang Dunia ke II; secara khas pula pelukisannya! Atau film Jepang Rashomon (Akira Kurosawa, 1950.) dan Jigoku-mon (Teinosuke Kinugasa, 1953) yang mencari kekuatan pada cerita-cerita lama dengan segala tata caranya, yang paling asing bagi dunia Barat.
Usaha semacam itu di Indonesia dimulai secara sungguh oleh Perfini dengan Harimau Tjampa (dan juga Kafedo),2 karena sebelum dan sesudah itu perusahaan film Indonesia lainnya juga pernah membuat film yang mengemukakan segi daerah, seperti Sorga Terachir (Fred Young, 1952), Manusia Sutji (M Chatab, 1955), dan Sampai Berjumpa Kembali (Basuki Effendi,1955), tapi kedaerahan di sini hanya merupakan tempat kejadian belaka dan untuk daya penarik, yaitu pulau Bali yang memang telah terkenal keindahannya, bukan saja di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Hanya Sorga Terachir yang ada sedikit memberatkan segi kedaerahan, namun lalu mengalami pencabutan peredaran karena diprotes keras oleh putera-putera dari daerah Bali dengan alasan bahwa film itu menyeleweng dalam pelukisannya.
Ya, karena mengambil Bali sebagi objek nyatanya lebih didorong oleh pertimbangan komersil daripada oleh hasrat ingin mengemukakan hal-hal daerah. Sebab itu, tepatlah jika usaha Perfini dengan Harimau Tjampa (dan Kafedo)-nya dikatakan suatu usaha yang sungguh-sungguh, karena kedaerahannya tidak sekadar sebagai tempat berlaku cerita saja, tapi juga pembikinannya tidak terdorong oleh pertimbangan komersil, karena Minangkabau tidaklah sepopuler Bali, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Apalagi Kafedo yang mengedepankan tentang Mentawai yang masih asing itu, bahkan bagi bangsa Indonesia sendiri; dengan sendirinya Kafedo (dan Harimau Tjampa) malah memberi sekedar pengetahuan tentang satu segi kedaerahan di Indonesia, betapa kecil pun.
Negara Indonesia terdiri dari beribu-ribu kepulauan yang membagi penduduknya dalam berbagai suku dengan keistimewaannya masing-masing sesungguhnya merupakan bahan film cerita. Tapi justru sumber inilah yang boleh dibilang belum sama sekali ditimba oleh orang-orang film Indonesia. Adalah mengherankan bahwa kesadaran nasional yang meluap-luap hampir di segala lapangan pada dewasa ini, tidak (belum?) merasuk ke dunia film. Rasanya lebih tepatlah kalau film Indonesia mencari kekuatan ceritanya pada tanah asal dan bukan meniru-niru dari bumi luar.
Turang Produksi Refic
Bertumpu pada sumber Indonesia ini memperoleh kelanjutannya dalam film Turang produksi Refic dengan skenario regie di tangan Bachtiar Siagian, yang menurut pecintanya “merupakan satu usaha untuk memenuhi anjuran PJM Presiden Soekarno untuk kembali pada kepribadian nasional”. Selanjutnya film itu dimaksudkan untuk “membangunkan persatuan nasional” dengan “menunjukan fakta-fakta pahit selama revolusi” dan “di samping itu kebudayaan satu daerah dijadikan latar belakang”, dalam hal ini: Tanah Karo, kampung Seberaja.
Berlainan dengan pembikinan Sorga Terachir yang lebih terdorong oleh pertimbangan komersil, pembuatan Turang lebih didorong oleh hasrat ingin mengemukakan segi kedaerahan, malah demikian meluapnya keinginan itu sehingga Turang punya kelemahan dalam cerita. Kesadaran nasional pada diri Bachtiar Siagian nampaknya telah berupa exces karena Turang-nya lebih tepat jika dinamakan newsreel Gelora Indonesia; segi kedaerahannya bukan lagi merupakan latar belakang. Ceritanya sendiri jadi terdesak yang mustinya jadi penjalin dan pendukung, tidak ada imbangan antara cerita dan latar belakang. Walaupun begitu, latar belakang yang (seakan-akan) telah menjadi hal utama itu tetap saja merupakan suatu latar belakang, karena kabur pelukisannya. Jadi, baik cerita ataupun yang dimaksudkan untuk latar belakang kedua-duanya “kabur”.
Dorongan pembikin Turang memanglah bukan pertimbangan komersil, tapi kebanggaan akan kedaerahan sayangnya terlalu meluap-luap. Akibatnya, demikian tololkah pasukan gerilya sehingga turun ke kampung cuma dengan maksud untuk menyanyi dan menari? Tentu saja pasukan Belanda datang menggerebek! Nyanyian dan tarian kesedihan Tipi (Nyzimah) meratapi ayahnya yang ditawan Belanda dan untuk surprise serangan Belanda? Tak adakah cara lain? Misalnya, berikan malam itu kepada Rusly (Omar Bach) membujuk Tipi, bukanlah ini ada artinya bagi perkembangan cinta mereka dan bagi kelanjutan cerita? Pada waktu bermesra-mesraan itu sekalian juga digambarkan bagaimana hubungan antara pemuda di Tanah Karo. Untuk suatu pertempuran cukuplah kalau serangan pasukan Belanda itu berdasarkan laporan Djendam, (Hadisjam Tahax), mata-mata musuh.
Dan lagu Turang hanya diperdengarkan dengan harmonika yang disusul oleh Tipi menyanyikan sambil memandang bulan (oh!), tak terdengar lagi sebelum dan sesudah itu. Tegasnya lagu Turang tidak dijadikan theme song, lagu pengiring sepanjang film seperti Harimau Tjampa menggunakan Alah Sansai atau sebagaimana film-film (Hollywood) umumnya. Juga kita penonton tidak tahu apa artinya “Turang”, pula adalah “Turang” suatu lagu rakyat atau ciptaan baru dan siapa penciptanya. Kenapa pula orang-orang menari di sekitar Rusly yang terbaring menderita luka parah? Dengan maksud apa? Juga hal ini tak terjawab.
Untuk menerangkan kedua hal tadi dan hal-hal yang lainnya tidaklah ada baiknya jika Bachtiar Siagian memasukan satu tokoh lagi (dalam pasukan gerilya misalnya) yang berasal dari luar daerah Karo. Orang ini tentunya akan bertanya kepada temannya anak daerah Karo tentang segala sesuatu mengenai Tanah Karo. Mengenai orang itu penonton akan memperoleh penerangan tentang apa itu “Turang”, tentang mengapa orang-orang menari [di] sekitar Rusly yang terbaring luka atau tentang hal-hal lain. Juga sekalipun digambarkan bahwa sesuatu daerah bukan cuma dipertahankan oleh putera-putera dari daerah itu saja, tapi juga oleh putera-putera dari lain daerah. Karena memang begitu kenyataannya di masa revolusi, bahwa putera-putera dari berbagai daerah Indonesia bahu-membahu mempertahankan dari nafsu imperialisme penjajah.
Tapi lepas dari serba kekurangan tersebut, Turang adalah suatu usaha baik yang perlu diteruskan. Segi kedaerahan di Indonesia ini musti ditimba untuk menyadarkan bangsa Indonesia, bahwa buminya penuh keserbaan berupa daerah-daerah dengan kekayaan dan ketinggian budayannya, yang tak kalah dengan apa pun dari luar yang biasanya menyilaukan. Asal pembikinannya tidak cenderung supaya laris di daerahnya saja, seperti Turang. Asal segi kedaerahan itu cukup dijalin dan didukung oleh cerita yang baik dan menarik, seperti Harimau Tjampa atau seperti Kafedo, sehingga akan memikat bagi bangsa Indonesia sendiri dari daerah mana pun dia berasal, atau lebih-lebih dengan orang luar. Kita tunggu usaha ke arah itu! []
Endnotes