Tidak ada penekanan benda berupa cangkir kopi dalam filem Secangkir Kopi Pahit (Teguh Karya, 1985). Tidak juga ada adegan dan sekuen seorang tokoh yang ditegaskan sedang meneguk kopi. Kalaupun ada, hanyalah adegan Togar dan Simangala (Zainal Abidin Domba) yang berada di warung pinggir jalan saat sedang makan dan minum, itu pun tidak dijelaskan minuman apa yang mereka konsumsi. Kalau mau mencari minuman yang lebih signifikan dalam konstruksi cerita filem, benda tersebut sesungguhnya adalah bir. Togar pergi ke warung milik Lola (Rina Hassim) untuk nongkrong dan minum bir. Karena bir juga Togar bisa dekat dengan Lola. Bila kita menganggap sebuah judul perlu dimaterialisasikan dalam bentuk visual maupun peristiwa, kita bisa berandai bahwa Secangkir Kopi Pahit memungkinkan untuk diberi nama lain, misalnya “Sebotol Bir Dingin”
Dengan demikian, kopi pahit di filem Secangkir Kopi Pahit tidak terikat dengan representasi visual, atau pengalaman sensorik tokoh-tokoh yang ada di filem ketika sedang menikmati kopi. Teguh Karya membawa material yang bernama kopi pahit ini ke dalam tingkatan konsep, yang terhubung bukan oleh apa yang ditampilkan di filem, tapi oleh ingatan dan pengalaman subjektif masing-masing penonton. Konsep terhadap rasa pahit ini bisa diinterpertasikan secara universal, tidak lagi terikat pada satu objek atau subjek tertentu; menghubungkan antara prekonsepsi yang dimiliki penonton, dengan apa yang dikisahkan di filem. Bila pahit tidak muncul sebagai entitas tunggal dan representatif, pahit seperti apa yang coba dibayangkan oleh Teguh Karya?
Merobek Angan-Angan
Judul awal Secangkir Kopi Pahit adalah “Merobek Angan-Angan”. Hal ini saya ketahui saat sedang mencari naskah skenario filem tersebut di Sinematek Indonesia beberapa tahun lalu. Halaman depannya masih bertuliskan judul awal. Di sisi kanan tengah, dengan ukuran huruf lebih kecil, tercetak “SECANGKIR KOPI PAHIT”. Tidak diketahui dengan pasti apa alasan Teguh Karya mengganti judul “Merobek Angan-Angan” dengan “Secangkir Kopi Pahit”. Namun yang jelas, makna “Merobek Angan-Angan” lebih terhubung secara langsung dengan pengalaman yang terjadi pada Togar ketimbang “Secangkir Kopi Pahit” yang maknanya lebih kebendaan dan abstrak.
Secangkir Kopi Pahit berlokasi di dua tempat: Jakarta dan kampung di pesisir Danau Toba (filem ini tidak memberikan informasi spesifik nama kampung tersebut, namun dalam naskah skenario, disebutkan kampung tersebut adalah Tiga Raja). Konflik utama dalam cerita yang terjadi di filem adalah kematian Lola yang hadir di awal dan di akhir cerita, juga bagaimana kehidupan di Jakarta mengubah diri Togar yang merantau dari desa tersebut. Ibu Togar menyalahkan Jakarta sebagai penyebab utama perubahan yang terjadi atas anaknya. Togar pergi ke Jakarta untuk mengejar cita-citanya menjadi wartawan. Sebelumnya, Togar kuliah di Jogjakarta jurusan Ekonomi—tidak tamat, lalu mengikuti jejak kawannya bernama Buyung (Ray Sahetapy) yang sudah lebih dahulu menjadi wartawan di Jakarta. Sebelum menjadi wartawan, Togar bekerja sebagai buruh di pabrik semen. Di dekat pabrik semen, terdapat warung tempat para buruh berkumpul, warung itu dimiliki oleh Lola, seorang janda yang sudah memiliki tiga anak. Togar yang sering berkunjung ke warung menjadi dekat dengan Lola, hingga akhirnya Lola hamil dan mereka menikah. Ketika Togar mendapatkan kabar kalau ayahnya meninggal, dia pulang kampung sendirian. Togar bertemu dengan ibunya yang marah karena bertahun-tahun tidak mendapatkan kabar. Setelah mengetahui kalau Togar sudah menikah, Ibunya meminta Togar untuk membawa serta keluarganya ke kampung untuk pemberkatan adat. Saat Togar dan Lola sedang naik perahu di danau, Lola terjatuh dan tenggelam, jasadnya baru diketemukan beberapa jam kemudian. Togar lalu menghadapi tuduhan bahwa kematian Lola disengajainya.
Waktu dan Tatapan
Teguh Karya menggunakan logika investigasi pengadilan sebagai metode bercerita. Penonton diperlihatkan terlebih dahulu kasus pidana yang terjadi, dan kebenaran terungkap seiring dengan proses investigasi itu berlangsung. Metode ini memungkinkan arus waktu tidak berjalan linear; waktu menjadi elastis sehingga perjalanan dari masa kini ke masa silam, lalu kembali lagi ke masa kini bisa terjadi wajar. Hal ini memaksimalkan potensi sinema dalam memanipulasi presepsi waktu dalam sekuen, tapi di satu sisi, tetap terikat dengan konstruksi naratif yang diusungnya. Penggunaan waktu yang demikian ini bisa saja dianggap sebagai sebuah eksperimentasi naratif yang coba dilakukan oleh Teguh Karya, tapi sesungguhnya ada yang coba diungkap dengan keberadaan waktu yang elastis tersebut.
Konsekuensi pertama adalah perpindahan sudut pandang dari tokoh-tokoh yang berinteraksi satu sama lain. Sudut pandang Secangkir Kopi Pahit seringkali mewakili tatapan Togar. Ini terlihat di banyak sekuen seperti di sekuen saat Togar mengamuk di jembatan ketika berlangsung arak-arakan adat pelepasan pemuda saat hendak merantau. Beberapa sudut pandang, walaupun sudut pandang tersebut dimiliki oleh tokoh lain, tapi tatapannya mewakili tatapan Togar, seperti saat Buyung dan pemimpin redaksi media cetak berbicara secarang langsung—seakan diwawancarai—untuk membicarakan Togar. Di satu sekuen, terdapat sudut pandang yang berubah karena adanya sentuhan fisik, ekspresi dan gestur. Saat Togar hendak menemui Sukarsih (Dewi Yull) untuk kebutuhan penyelidikan, Sukarsih berteriak dan memukulnya. Pada titik ini, kita masih mengalami sekuen dalam posisi tatapan Togar, namun ketika tangan Sukarsih ditangkap Togar, tatapan, waktu dan ruang seketika berpindah ke peristiwa lain saat Sukarsih hendak diperkosa oleh Parto, yang saat itu juga sedang menggenggam tangan Sukarsih yang sedang meronta dan berteriak. Selama beberapa detik kita mengalami peristiwa melalui tatapan Sukarsih. Beberapa detik kemudian kita dikembalikan ke posisi awal, saat Togar masih berusaha meyakinkan Sukarsih. Sekuen ini ditutup dengan dipukulnya Togar oleh Parto dan kembali lagi ke pengadilan.
Keberadaan pengadilan, selain menjadi upaya untuk melogiskan waktu yang elastis, juga menjadi penanda hadirnya tatapan lain, yaitu tatapan negara. Sesungguhnya, tatapan inilah yang paling dominan karena hampir selalu sekuen ditutup dengan pengadilan, yang artinya pengakuan-pengakuan yang muncul bukanlah pengakuan yang diungkapkan oleh kehendak diri masing-masing tokoh, melainkan dipaksa oleh kehendak negara melalui pranata pengadilan. Dengan memahami hal tersebut, kita mendapati satu kompleksitas lain terhadap cara penceritaan yang digunakan Teguh Karya, bahwa logika investigasi pengadilan selain memungkinkan narasi berjalan tidak linear, juga menciptakan posisi tatapan yang sifatnya otokratis. Penyelidikan yang terjadi semata-mata karena untuk mencari satu kebenaran tunggal, apakah Togar membunuh Lola? Tatapan ini terkontradiksi dengan tatapan yang dimiliki Togar, yang berupaya membuka masalah sistemik dari apa yang dialaminya di Jakarta, sementara tatapan negara terfokus pada masalah pidana yang dialami Togar.
Muntah Wartawan Ditutup Koran
Sebagai wartawan, Togar tentu berada dalam perputaran arus media yang memproduksi informasi untuk khalayak. Filem ini cukup detil memperlihatkan bagaimana sebuah berita lahir; berawal dari ide, lalu masuk ke ruang redaksi, hingga berita tercetak. Pada awalnya, profesi wartawan ini begitu dinikmati Togar. Melalui matanya sebagai wartawan, Togar mewartakan berbagai kesenjangan dan ketidakadilan yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya; segala kesenjangan dan ketidakadilan itu dianggapnya sebagai potensi berita yang menunggu untuk dia tuliskan. Pandangan Togar mulai berubah ketika dia merasa bahwa dirinya juga berada di dalam situasi yang dia wartakan itu dan dia tidak mampu untuk mengubah kenyataan tersebut.
Terdapat satu sekuen yang menggambarkan pergulatan yang dialami Togar dengan objek-objek yang saling berkaitan dengannya. Di satu adegan saat Togar tidur di sisi Lola, Togar seketika muntah di lantai dan Lola mengambil sebuah benda untuk menutup dan menyeka muntah tersebut. Benda itu bukanlah lap, atau benda lain yang biasa digunakan untuk menyeka lantai, melainkan beberapa lembar koran. Ada sisi fungsionalitas yang logis bila kita melihat mengapa Lola menggunakan koran untuk menyeka muntah, karena keberadaan koran hanya signifikan dalam satu waktu saja, ketika digantikan oleh edisi terbaru, koran tersebut kehilangan kebaruan dan signifikansinya. Namun bila kita ingin membahas ke ranah dimensi tafsir visual, yang berkorelasi dengan seluruh kenyataan filemis, maka keberadaan koran yang digunakan untuk menyeka muntah menjadi sangat problematis. Segala kata, proses intektual yang tertulis di dalam koran bertemu dengan muntahan itu, muntahan dari seorang wartawan. Ini terhubung dengan pembahasan awal tentang tatapan. Di sekuen ini kita melihat melalui tatapan Togar. Tidak ada penolakan dari Togar ketika Lola menyodorkan koran untuk menyeka muntah. Pada titik ini, kita bisa interpretasikan Togar tidak lagi melihat kata-kata di koran sebagai bagian dari idealisme yang dituliskannya. Terdapat pergolakan dalam diri Togar terhadap idealisme dan kenyataan yang dialaminya, dan itu dimaterialkan oleh Teguh Karya dengan wartawan yang muntah ditutup koran. Koran mengalami perubahan fungsi, tidak lagi sebagai sumber berita dan informasi, tapi menjadi alas dan penutup muntah.
Muntahnya Togar juga bisa dilihat sebagai penolakan batin terhadap dirinya dan Lola. Muntah sebagai ekspresi penolakan terlihat karena Togar hanya muntah setelah tidur dengan Lola. Di banyak adegan, kita diperlihatkan bahwa Togar seakan tidak terima kalau harus tidur, hingga menikahi Lola. Penolakan ini diperlihatkan dengan beberapa sekuen dramatis seperti saat mereka baru menikah, dan saat Togar menyeret Lola untuk melihat dirinya di cermin, merefleksikan jauhnya perbedaan umur mereka. Penerimaan yang terjadi antara Togar dan Lola ditandai dengan hilangnya ritual muntah dan berganti dengan tatapan yang berbalas, antara Lola, Togar dan selembar koran kering yang tergeletak di lantai.
Nama Lola sendiri sesungguhnya memiliki perjalanan panjang dalam sejarah sinema dunia. Lola adalah Marlene Dietrich di filem Der blaue Engel (The Blue Angel, 1930) karya Josef von Sternberg. Lola adalah Martine Carol di filem Lola Montès (1955) karya Max Ophüls. Lola adalah Anouk Aimée di filem Lola (1961) karya Jacques Demy. Lola adalah Barbara Sukowa di filem Lola (1981) karya Rainer Werner Fassbinder. Lola yang disebutkan tadi dengan Lola-nya Rina Hassim memiliki kesamaan polemik karakter; mereka adalah perempuan yang bernegosiasi dengan teritori, milieu yang didominasi oleh laki-laki, dan terkadang proses negosiasinya memuat seksualitas. Terdapat satu sekuen di Secangkir Kopi Pahit yang secara samar memperlihatkan posisi Lola dan warungnya dalam medan sosial di filem tersebut. Ketika Togar datang membawa koran yang memuat tulisan pertamanya, Lola diam-diam pergi ke belakang bersama seorang buruh. Sekuen lalu berlanjut ke dialog antara Togar dan rekan buruhnya, yang berbicara tentang tulisan yang ditulis Togar, yaitu perihal prostitusi di ibu kota. Tidak dijelaskan apakah Lola menggunakan seksualitas untuk mendapatkan uang atau murni kesenangan semata, tapi yang jelas, nama Lola dalam Secangkir Kopi Pahit memiliki gaung yang sama dengan Lola-Lola yang disebutkan sebelumnya.
Identitas dan Urban
Seperti filem Teguh Karya lainnya, Secangkir Kopi Pahit juga membahas tentang problematika identitas, baik itu identitas yang sifatnya personal, maupun komunal, dan masing-masing saling berkelindan. Identitas di sini banyak diperlihatkan melalui fragmen-fragmen kultural yang ditempatkan ke dalam ruang-ruang yang khusus, ruang-ruang yang sepertinya hanya pahami oleh satu kelompok identitas tertentu saja. Dan ruang-ruang khusus tersebut dibenturkan di dalam satu rumah besar bernama Jakarta. Kita melihat dan mendengar cukup banyak penanda identitas tersebut seperti dialek dan nama. Teguh Karya memperjelas semua latar belakang kesukuan tokoh-tokoh di filem ini: Togar dan Simangala adalah seorang Batak, Buyung adalah seorang Minang, Lola adalah seorang Minahasa, Sukarsih seorang Jawa dari Banyuwangi. Bahkan, beberapa tokoh yang kehadirannya hanya sekilas saja seperti kepala pemulung yang ditemui Togar dan Buyung secara jelas diinformasikan dari Sumatera Utara. Di filem ini, seakan-akan tidak ada yang lahir dan besar di Jakarta. Dengan demikian, kita bisa simpulkan bahwa filem ini sesungguhnya adalah cerita tentang lalu lintas manusia yang semuanya memiliki tujuan akhir di Jakarta. Kisah tentang Sukarsih secara gamblang memperlihatkan situasi lalu lintas tersebut; seseorang yang dibawa paksa dari kampung ke Jakarta oleh biro agen pembantu rumah tangga. Dalam titik ini, kisah Sukarsih menjadi krusial, selain sebagai upaya untuk melihat secara gamblang lalu lintas tersebut, juga sebagai metafor terhadap situasi Togar itu sendiri.
Melihat Secangkir Kopi Pahit di periode 2010-an seperti melihat satu dokumentasi fiksional terhadap sejarah Indonesia. Dalam konteks sosial dan politik, filem ini seakan menangkap semangat zamannya. Secangkir Kopi Pahit mempertanyakan peran media cetak dalam masyarakat, juga pengaruh ketimpangan sosial serta sentralisasi pembangunan yang terjadi di masa Orde Baru. Dalam konteks capaian estetika sinema, Secangkir Kopi Pahit mengingatkan kita bahwa pernah dalam satu waktu, industri sinema Indonesia berada di titik yang tinggi dalam mengolah dan memberdayakan medium gambar bergerak. Di mana terdapat usaha keras bagi pembuatnya dalam menempatkan, mengkomposisikan juga mengartikulasikan tiap-tiap hal yang tampak untuk menciptakan kompleksitas makna dan bentuk artistik.