GELOMBANG PANAS YANG melanda dunia selama dua tahun terakhir telah menjadi sorotan utama dalam isu krisis iklim. Dari tahun lalu hingga tahun ini, kita menyaksikan suhu udara yang melonjak secara drastis di berbagai belahan dunia, menyebabkan dampak serius bagi lingkungan, kesehatan manusia, dan ekosistem. Fenomena ini menjadi bukti nyata akan eskalasi krisis iklim global, dengan negara-negara mengalami suhu ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya. Gelombang panas yang berkepanjangan menyebabkan kebakaran hutan yang merusak banyak area, kurangnya pasokan air, serta risiko kesehatan masyarakat yang lebih tinggi, terutama pada kelompok rentan seperti anak-anak dan orang tua. Semua ini menjadi pengingat yang kuat akan urgensi untuk bertindak secara serius dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan melindungi planet kita dari dampak krisis iklim yang semakin parah.
Pada malam pembukaan Kinofest 2023, 21 September 2023, di GoetheHaus Jakarta, tayang sebuah film yang menyoal dampak dari gelombang panas di Jerman dan kaitannya dengan sikap manusia. Kinofest 2023 merupakan penyelenggaraan kedua setelah diselenggarakan secara daring tahun lalu. Kinofest, festival film yang memutarkan film-film mutakhir Jerman, pada tahun ini mengangkat tema kuratorial “Interkoneksi, Imigrasi, dan Keterikatan dalam Film Jerman Kontemporer”; dikuratori oleh Gugi Gumilang dan diselenggarakan mulai tanggal 21 hingga 27 September 2023 di GoetheHaus Jakarta. Setidaknya, sebagai film pembuka, Roter Himmel (atau Afire, 2023) menggambarkan bagaimana persoalan yang ingin disorot oleh festival ini.
Film Roter Himmel karya sutradara Christian Petzold—yang tercatat telah meraih penghargaan Silver Bear Grand Jury Prize pada Berlin International Film Festival (Berlinale) 2023—menyinggung efek gelombang panas yang menyebabkan kebakaran hutan di Jerman dan bagaimana manusia-manusia di sekitar lokasi tersebut menyikapi bencana kebakaran yang terjadi. Film ini dibuka dengan gambar hutan yang dibidik dari dalam jendela mobil. Di dalam mobil, ada Felix dan Leon; mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah tempat mereka akan mengerjakan proyek masing-masing. Mobil terus berjalan sementara kamera terus menyoroti jalan di depan mobil, dengan pohon-pohon di kiri dan kanan; mobil melaju sembari dilatari musik yang santai dan melankolis seolah menegaskan sebuah perjalanan yang nikmat. Akan tetapi, tiba-tiba gambar dan musik yang nikmat tersebut “dipatahkan” dengan bidikan mobil yang mogok dan kedua pemuda itu sudah berada di luar mobil, sedang mencari cara mengatasi persoalan.
Biasanya, dalam karya seni berbasis waktu (sastra, teater, musik, dan film), bagian awal karya merupakan bagian penting, baik untuk mengikat perhatian penonton maupun sebagai awalan untuk mengkristalisasi apa yang akan dibicarakan sepanjang film. Ini sebagaimana Roter Himmel, yang “mematahkan” imaji pohon dan hutan yang dibingkai dengan lantunan lagu yang terdengar nikmat, seakan mengindikasikan ada suatu persoalan di balik “kenikmatan” tersebut. Film ini mengkristalisasi persoalan gelombang panas, kebakaran hutan, dan sikap manusia pada bagian awal dengan suatu “kenikmatan” dan “patahan”. “Patahan” itu sendiri, nyatanya, tidak langsung dijelaskan dan dielaborasi dari awal hingga ke tengah jalan cerita Roter Himmel. Kebakaran hutan hanya muncul tipis-tipis, bahkan yang diperlihatkan hanya cahaya merah di langit, bukan api yang sedang membara atau bara dari pohon-pohon. Hingga pada bagian akhir, kebakaran hutan pun menjadi jelas sebagai elemen utama naratif yang menentukan kisah yang tadinya tampak berpusat pada manusia-manusia saja.
Secara garis besar, cerita berpusat pada tokoh bernama Leon (diperankan oleh Thomas Schubert), seorang penulis yang sedang menyelesaikan karya keduanya, setelah debutnya yang sukses. Dalam cerita ini, Leon sedang mengalami stres karena kualitas novel yang sedang ia kerjakan. Leon bersama temannya Felix (diperankan oleh Langston Uibel), yang ingin membuat portfolio fotografi, berlibur ke sebuah pantai di sekitaran tepi Laut Baltik, menginap di sebuah rumah selama di sana, sembari menyelesaikan pekerjaan mereka masing-masing. Konflik muncul ketika seorang perempuan, Nadja (diperankan oleh Paula Beer), yang telah tinggal di rumah tersebut, setiap malam bersuara keras ketika bersetubuh bersama Devid (diperankan oleh Enno Trebs). Konflik berkembang antara mereka berempat, di antara Leon, Nadja, Devid, dan Felix. Film ini kemudian seolah menjadi film cinta-cintaan antara Leon dan Nadja, Devid dengan Felix, sampai pada bagian akhir cerita, kebakaran hutan terus menjalar dan menjadi-jadi hingga membuat Devid dan Felix mati terbakar.
Dalam konteks ekologi yang terjadi belakangan, kebakaran hutan dalam film Roten Himmel tidak lagi bisa diposisikan sebagai metafora atas “cinta-cintaan” mereka, atau katakanlah metafora atas kondisi psikis Leon. Justru, cerita cinta-cintaan, atau dengan kata lain, manusia yang hanya menyoal persoalan diri mereka sendirilah yang menjadi metafora atas sikap manusia terhadap alam. Sebagaimana komposisi antara “bidikan-bidikan kebakaran hutan” dan “manusia-manusia dalam cerita”, persoalan alam hanya menjadi remah dalam semesta persoalan manusia. Film Roten Himmel membungkus sikap manusia yang cenderung berpusat tentang dirinya dan pada bagian akhir seakan mengingatkan bahwa, apabila terus begitu, bencana lebih besar pasti akan datang.
Apabila sebuah festival film bisa diposisikan sebagai suatu karya seni, sebagaimana karya seni yang membungkus pembuka dengan suatu kristal, maka film Roter Himmel adalah “kristal” dari apa yang akan diusung oleh Kinofest 2023: Interkoneksi, Imigrasi, dan Keterikatan dalam Film Jerman Kontemporer. Apakah memang demikian? Mari alami Kinofest dari tanggal 21 hingga 27 September 2023 di GoetheHaus Jakarta. []
Artikel ulasan berjudul “Roter Himmel: Fiksi Emosi Ekologis di Pembukaan KinoFest 2023” ini terbit dalam rangka kerja sama media antara Jurnal Footage dan KinoFest Film Festival (Goethe-Institut Indonesia). Baca dua artikel lainnya dalam rangka acara tersebut: “Kupu-kupu Besi: Manuver dari Klimaks-Tanpa-Antiklimaks” dan “Sinema dan Fotografi sebagai Rekonsiliasi Performatif“.