Dua tambah dua tidak selalu menjadi empat.
Winston Smith yang bekerja di Ministry of Truth, dalam novel karangan George Orwell, Nineteen Eighty-Four (1949) tahu benar bahwa fakta seperti perhitungan matematik di atas bisa dengan mudah dibentuk ulang menggunakan penyaluran informasi yang berkelanjuan terus menerus. Ministry Truth, seperangkat dengan Ministeries of Love, Peace & Plenty, adalah mesin utama penguasa untuk menindas dan memanipulasi fakta yang lalu diolah menjadi kebenaran. Informasi digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kuasa. Siapa yang mengendalikan informasi serta arusnya, dia yang berkuasa, begitu juga sebaliknya.
Di filem terbaru Adam Curtis, berjudul HyperNormalisation (2016), mesin pengendali informasi itu bernama ‘Perception Management’. Mesin ini memiliki seperangkat instrumen yang berbeda, tetapi saling berkaitan untuk mengendalikan konten dan arus informasi. Perangkatnya berupa media, public relation (yang bila ditarik dari akar pemikirannya, yaitu Edward Bernays, public relation adalah istilah halus dari propaganda), akademisi, presenter tv, mata-mata, hingga musisi. Salah satu contoh penggunaan ‘Perception Management’ adalah ketika mereka berhasil mengubah pandangan publik tentang Muammar Gaddafi. Awalnya, Muammar Gaddafi dibentuk sebagai seorang penjahat yang menyerupai tokoh antagonis dalam filem James Bond, yang motivasinya tidak lebih dari seseorang dengan nafsu membuat onar. Lalu Muammar Gaddafi bertransformasi menjadi seorang arketip pemimpin dari Timur-Tengah dan penyelamat demokrasi. Ketika kebijakan luar negeri Amerika Serikat tidak lagi memihak pada Muammar Gaddafi, dia kembali lagi menjadi penjahat, dan pada akhirnya adalah penyerbuan ke negara Libya. Fakta mengikuti kemana arah kebijakan penguasa.
Cerita tentang Muammar Gaddafi adalah salah satu kepingan dari banyak kisah yang dinarasikan oleh Adam Curtis dalam HyperNormalisation. Kesemua cerita tersebut saling berkaitan dan diikat dengan voice-over yang menghubungkan berbagai peristiwa dari seluruh dunia, khususnya di Amerika Serikat, Eropa dan Timur-Tengah, diawali dengan cerita tentang dua kota, New York dan Damaskus. Di masa yang bersamaan, yaitu pada tahun 1975, terjadi perubahan radikal yang membuat kedua kota ini mengalami transformasi kekuasaan. Birokrasi kota New York, yang awalnya dikuasai oleh politisi lokal, diambil alih oleh institusi finansial yang diwakili oleh para banker. Dari kisah tersebut, Adam Curtis membentuk narasi bahwa dunia saat ini dikontrol oleh para elite melalui seperangkat instrumen-instrumennya.
Seperti filem-filemnya yang lain, Adam Curtis memakai banyak sekali arsip di filem ini, mulai dari arsip wawancara, arsip suara, dan arsip teks. Pengunaan arsip-arsip itu memiliki berbagai fungsi. Pertama, arsip sebagai fondasi utama dari fakta yang coba dibentuk oleh Adam Curtis, seperti penggunaan arsip teks dan arsip wawancara dari berbagai tokoh. Kedua, arsip juga menjadi semacam ilustrasi untuk menggambarkan apa yang terjadi dalam suatu peristiwa. Penggunaan arsip sebagai ilustrasi tidak serta merta berhubungan langsung dengan penggunaan arsip lainnya, yaitu arsip sebagai fondasi fakta, tetapi arsip ini menginterpretasikan fakta dari apa yang dikatakan oleh voice-over. Arsip ini memiliki konteks yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan arsip lainnya, namun Adam Curtis mencabut konteks asalinya, menciptakan konteks baru lalu direkatkan dengan voice-over. Salah satu contoh yang sangat baik dari praktik ini adalah urutan adegan penangkapan Nicolae Ceaușescu dengan video aerobik Jane Fonda. Adam Curtis merajut dua footage yang tampaknya tidak saling berhubungan menjadi terikat dalam satu konteks naratif untuk menjelaskan matinya sistem lama dan bangkitnya sistem baru, sistem yang akan menguasai geo-politik seluruh dunia pada dekade setelahnya. Untuk menambah dramatisasi pengadeganan, disisipkanlah musik On Some Faraway Beach dari Brian Eno (album Here Come the Warm Jets, 1974). Pada titik ini, Adam Curtis tidak menggunakan voice-over, berganti menggunakan teks besar di layar bertuliskan “THE OLD SYSTEM WAS DYING” diikuti dengan“THE NEW SYSTEM ABOUT TO BE BORN”. Voice-over berubah menjadi teks agar fokus penonton total pada visual. Baik teks, musik maupun footage saling bertransformasi untuk menciptakan arti dan konteks baru.
Pengunaan suara juga memiliki beberapa lapis. Voice-over berada dalam lapis utama untuk menyuarakan kebenaran absolut berdasar pada fakta-fakta dari arsip tersebut. Posisinya paling tinggi ketimbang suara lain yang hadir karena tanpa narasi voice-over, konteks baru yang coba dibuat Adam Curtis tidak bisa dibentuk. Di samping itu, yang juga menarik adalah penggunaan musik yang selain ilustratif, juga bermakna ironik. Ada berbagai jenis musik yang digunakan, mulai dari musik beraliran electropunk seperti Suicide, ambient dan rock seperti Brian Eno, hingga klasik modern seperti Sergei Prokofiev dan Benjamin Britten. Dalam banyak adegan, musik hadir sebagai latar suara saja, namun di beberapa segmen, musik muncul ke depan mengalahkan voice-over untuk menciptakan dramatisasi. Salah satu contohnya ada pada adegan eksekusi Nicolae Ceaușescu dan video aerobik Jane Fonda yang dijelaskan di atas. Contoh lain adalah pada saat Adam Curtis menggunakan montase filem-filem Hollywood yang mengilustrasikan kehancuran sebagai refleksi apatisme pada era 1990-an. Lagu Dream Baby Dream (1979) dari Suicide yang dikombinasikan dengan montase filem-filem bertema disaster adalah contohnya. Kombinasi ini membuat efek sarkastik. Dream (‘mimpi’) yang dilihat penonton adalah mimpi di mana segalanya berubah menjadi buruk, dystopia. Lirik lagunya, “keep those dreams burnin’ forever” berbaur dengan visual api kehancuran dari montase filem tersebut. Dengan demikian, musik mengamplifikasikan penggunaan arsip visual yang digunakan oleh Adam Curtis.
Hal ini pula yang cukup disayangkan dari HyperNormalisation karena tidak menyebutkan salah satu instrumen terbesar dari ‘Perception Management’, yaitu Hollywood. Melalui Hollywood, Amerika Serikat memproduksi kenyataan dengan filem-filem yang mengglorifikasi kebijakan luar negrinya. Ambilah contoh filem-filem seperti The Kingdom (Peter Berg, 2007), yang berkisah tentang agen rahasia yang bertugas membongkar terorisme di Timur-Tengah; Transformers: Revenge of the Fallen (Michael Bay, 2009), yang bercerita tentang alien yang bertujuan menginvasi bumi—setting filem yang berada di Timur-Tengah bukanlah tanpa alasan, dengan militer Amerika Serikat dan sekutunya sebagai penyelamat dunia. Lalu, The Hurt Locker (Kathryn Bigelow, 2008): filem pemenang Oscar ini menggambarkan pasukan penjinak bom Amerika Serikat di Irak. Ada sangat banyak filem-filem lainnya yang bertindak sebagai propaganda secara halus dan didistribusikan ke seluruh dunia. Kelalaian Adam Curtis yang tidak menyertakan Hollywood, sebenarnya, terbilang fatal karena dia cukup banyak menggunakan arsip filem yang diproduksi oleh Hollywood. Adam Curtis abai dalam melihat medium filem sebagai bentuk pengalihan informasi paling efektif yang dimiliki Amerika Serikat.
HyperNormalisation menyerang simplifikasi yang dilakukan oleh media, tetapi Adam Curtis sendiri juga melakukan simplifikasi di beberapa bagian. Adam Curtis tidak menyebutkan adanya motivasi pengambilalihan ladang minyak dalam perang Timur-Tengah. Adam Curtis juga tidak dengan detail menjelaskan tentang Curveball, seorang informan bernama Rafid Ahmed Alwan al-Janabi yang mengatakan kebohongan tentang proyek senjata pemusnah masal di Irak; dia hanya menyebutkan “a source” tapi tidak dengan rinci menerangkan, tidak juga menyebutkan nama sosok penting di balik bias informasi perang Irak. Tidak pula ada pembahasan tentang krisis imigran sebagai dampak paling signifikan dari perang di Timur-Tengah, yang kemudian digunakan sebagai alat bagi kelompok sayap kanan untuk menggapai kekuasaan. Di sini, kita perlu mempertanyakan kembali adanya simplifikasi informasi yang dilakukan oleh Adam Curtis, yang mana menjadi ironik karena filem ini berupaya membongkar simplifikasi informasi itu sendiri. Istilah HyperNormalisation sendiri yang lalu digunakan Adam Curtis sebagai judul berasal dari buku Alexei Yurchak yang berjudul Everything Was Forever, Until It Was No More: The Last Soviet Generation (2005) untuk mendeskripsikan kondisi menjelang keruntuhan Uni Soviet di mana para penduduk dan politisinya tidak lagi memiliki visi dan kepercayaan pada apapun dan sehingga kemudian mereka memainkan peran untuk pura-pura percaya pada apa yang dikatakan pemerintah. Adam Curtis tidak menyebutkan buku bahkan nama penulis yang menciptakan istilah tersebut. dia hanya menyebutkan “One Soviet writer” tanpa memberi kredit siapa yang menciptakan istilah tersebut.
Dengan demikian, bila kita melihat HyperNormalisation sebagai sebuah karya filem berbasis jurnalistik, maka beberapa fakta yang diungkap perlu diverifikasi dan diselidiki lagi. Sebagai penonton kita perlu kembali mempertanyakan ulang fakta-fakta yang terungkap serta keterhubungannya. Inilah level yang membedakan pendekatan Adam Curtis dengan Chris Marker. Filem-filem politis Chris Marker, seperti A Grin Without a Cat (1977) dan Description d’un Combat (1960), tidak menjadikan voice-over dan arsip sebagai api Prometheus. Voice-over dan arsip dalam Chris Marker menjadi agen reflektif, membentuk ingatan yang hilang atas kejadian lampau. Chris Marker dengan jelas memberikan subjektivitas pada narasinya. Inilah yang tidak ada pada HyperNormalisation yang berasumsi bahwa apa yang dikatakan narator adalah kebenaran mutlak. Adam Curtis tidak memberikan ruang bagi penonton untuk berpikir dan merefleksikan sendiri berbagai kejadian dan keterhubungannya tersebut.
Meskipun begitu, bila HyperNormalisation dilihat sebagai sebuah karya filem yang memiliki kebenarannya sendiri, yaitu kebenaran filemis, sebagai simulacrum, meminjam kata Jean Baudrillard (1981), maka HyperNormalisation adalah filem yang sangat baik pembuatannya. Menggunakan tangan kreatifnya, Adam Curtis mampu memanipulasi arsip visual dan suara dengan inovatif dan mengkolasekannya dengan berbagai elemen budaya populer. HyperNormalisation menjadi karya seni yang cukup representatif untuk mengingatkan kita tentang relasi bias informasi dan kuasa, sebagaimana karya literatur Nineteen Eighty-Four, terutama di masa ‘post-truth’ seperti saat ini, yang terjadi tidak hanya di Amerika Serikat atau Eropa, tapi juga di Indonesia.