In Artikel

(Temporarily available only in Bahasa Indonesia)

Menghadiri Malang Film Video Festival (Mafvie) VI pada tanggal 8-10 Juni 2010, pertanyaan yang pertama kali muncul adalah apa yang membedakan festival ini dengan festival lainnya? Sampai dengan hari terakhir, dan setelah menyaksikan karya-karya yang difestivalkan, pertanyaan tersebut masih sulit dijawab. Menyandingkan Mafvie dengan festival filem lainnya menjadi relevan, mengingat bahwa perhelatan para pembuat filem pendek ini adalah sebuah peristiwa kebudayaan. Tentu ini adalah hal yang strategis, apalagi festival-festival ini berlangsung di daerah “pusat” (Jakarta). Harapannya tentu besar. Apalagi dengan trauma sentralisasi kebudayaan pasca Orde Baru masih melekat sampai hari ini. Melihat festival filem seperti Mafvie yang berlangsung di Malang, dalam semangat otonomi daerah, tentu ada keinginan untuk dapat melihat semangat estetika baru yang lahir dari karya-karya filem yang dihadirkan pada festival ini.

mafvie-poster

Mafvie adalah festival filem dan video yang diadakan oleh lembaga ekstra kampus di Universitas Muhammadiah Malang (UMM), Kine Klub UMM. Mavfie VI kali ini mengambil tema ‘Kembali ke Indonesia’. Menghadirkan 47 film kompetisi, 7 film non kompetisi dan 2 film tamu. Juga ada program yang melibatkan beberapa lembaga yang selama ini bekerja di video komunitas seperti Kampung Halaman Yogyakarta, Komunitasfilm.org, Boemboe.org, dan diskusi forum komunitas bersama komunitas-komunitas film berbasis kampus. Dalam festival ini ada juga program presentasi spesial seperti Paul Agusta dengan filem At The Very Bottom of Everything (Di Dasar Segalanya), Proyek Payung dengan Antalogi 9808 (Antology of 10 Indonesian Reform) dan penampilan beberapa karya Lucky Kuswadi Lucky Kuswandi bersama Kalyana Shira Films. Program lainnya adalah diskusi filem dokumenter bersama Gerzon R.Ayawalia (Institut Kesenian Jakarta).

Secara umum program-program yang diadakan di Mafvie cukup berkontribusi positif terhadap wawasan perkembangan filem-video di Indonesia kini. Dalam hal ini berkaitan dengan penggunaan medium video di wilayah-wilayah komunitas. Pada sesi screening filem tamu, belum ada sebuah usaha yang cukup berarti terhadap penambahan wawasan filem, sejarah filem, yang notabene merupakan kebutuhan dasar yang belum terpenuhi di kalangan perfileman berbasis kampus. Dari beberapa tayangan dari film tamu, bisa ditebak bahwa semangat festival ini masih belum lepas dari semangat dan imajinasi pemahaman filem yang berkutat pada film industri di Indonesia. Artinya kampus sebagai basis intelektual, dalam konteks pewacanaan film yang berlaku pada komunitas kine klub nya masih masih belum memberikan kontribusi apapun dalam mendidik pelaku filem bahkan penonton.

mavfie-bukutamu

Secara kesan, yang ditangkap dari festival Mafvie VI adalah tidak berbeda dengan semangat yang ada di beberapa festival filem di Jakarta. Sebut saja, mulai dari protokoler acara pembukaan, sampai acara penutupan. Nampak identifikasi terhadap seremoni acara festival yang mengikuti perilaku festival-festival filem di tingkat nasional yang telah menjadi stereotype yang diusung oleh media massa besar (televisi). Semangat ini tentu melahirkan pertanyaan apakah perilaku festival di daerah macam Mafvie ini juga “mimikri” terhadap festival film tingkat nasional? Salah satu contoh katalogus. Bisa dilihat pada keterangan katalogus, melampirkan nama-nama panitia yang jumlahnya kurang lebih 40 an orang. Terdapat susunan panitia yang menggunakan istilah macam produser, board of advisors, program manager, director program, accer, community local officer, venue coordinator, guest local officer, event manager, dan tetek bengek lainnya. Dari sini dapat dibaca bahwa Mafvie membawa semangat festival yang benar-benar menggunakan menagemen berbasis industri. Sungguh disayangkan jika manajemen festival sekelas nasional, tidak menghasilkan kualitas gelaran yang tidak baik. Akan lebih bijaksana kalau keseriusan sebuah festival dibangun bukan pada segi manajerial semata, tapi bagaimana membangun kualitas filem, pembangunan wacana dan sejarah filem yang baik. Membangun orientasi yang jelas pada festival, tentu juga menjadi sarana mendidik para penonton sebagai perimbangan terhadap situasi filem industri di tingkat nasional.

mafvie-pengunjung

Pada festival ini, saya tidak dapat mendapatkan informasi yang “menarik” untuk dapat memahami “ide” dan “tema” kegiatan ini. Nampaknya fungsi strategis katalogus pada Mafvie VI belum terlalu maksimal difungsikan. Materi katalogus festival tidak memuat banyak hal yang tentang di apa yang ada di balik diadakannya festival ini. Begitu juga  gagasan kuratorial, alasan pengkategorian oleh dewan penjuri, bahkan sampai pada gagasan kenapa tema ‘Kembali ke Indonesia’. Pada katalogus tema ‘Kembali ke Indonesia’ yang ditulis oleh oleh Cindhi Pryhesti (Ketua Pelaksana) menyatakan; “Kembali ke Indonesia menjadi tema acara Mafvie kali ini, dimana kami sebagai generasi muda mulai menyadari adanya perubahan sikap dan perilaku generasi muda Indonesia yang mulai melupakan nilai-nilai luhur Indonesia dan mulai terbawa arus globalisasi, kami mencoba menumbuhkan kembali jiwa nasionalisme ini melalui kemasan acara Mafvie Fest 2010.”

Katalogus tidak memberikan informasi yang baik tentang filem-filem yang  difestivalkan secara memadai, setidaknya seperti tahun produksi, tempat produksi, dan produser filem tidak diinformasikan dalam katalogus. Sebagai perhelatan filem yang ada di daerah, informasi segala hal yang berhubungan dengan filem-filem yang ditayangkan menjadi suatu hal yang sangat berguna dalam membaca jejak-jejak kebudayaan, khususnya di bidang filem.

Dari amatan di atas, bisa ditebak karya-karya filem macam apa yang akan difestivalkan pada festival ini. Dari kategori filem yang dikompetisikan, tidak berbeda jauh layaknya filem-filem yang di hadir pada festival di tingkat nasional, seperti Festival Film Indonesia (FFI) atau festival filem di daerah lainnya. Wacana festival di kalangan komunitas filem yang memang masih sangat minim dalam memaknai sebuah festival bahkan wacana filem itu sendiri. Festival sebagai sebuah wacana aktivitas kebudayaan seharusnya menjadi hal yang strategis dalam pengembangan kebudayaan secara umum dan filem secara khusus. Namun, perilaku aktivisme yang memang selalu subur terjadi di beberapa daerah, termasuk aktivitas festival, menjadikan festival menjadi semacam mimikri baru yang tidak berkorelasi sama sekali dengan basis material dan basis idea kebudayaan tersebut berlangsung.

mafvie-screening

Pada sesi pembacaan mominasi penghargaan, khususnya pada kategori Teknis Film Terbaik, dewan juri mengacu pada beberapa pendekatan penilian seperti pengambilan gambar, tata suara dan pencahayaan. Bagi saya ini cukup membuat terkejut dengan orientasi teknis dalam perhelatan festival filem yang berlangsung di daerah ini. Artinya orientasi penggunaan teknologi pada sebuah filem bukan dimaknai sebagai sebuah siasat kebutuhan estetika lagi, tapi kecanggihan alat demi melayani ’keserupaan’ bahkan mimikri pada level filem industri. Seharusnya pertanyaannya, sejauh mana relevansi pembangunan filem tingkat daerah, dengan para pelaku pembuat film independen yang minim dengan perangkat modal didorong sejajar dengan para pembuat filem komersil? Artinya wacana “membuat filem itu mudah” yang sempat didengungkan oleh para kalangan komunitas dan filem independen, digugurkan oleh satu diantara konsituennya sendiri. Pada konteks ini, tentu belum diperluas dengan wacana apa yang disebut dengan filem, sinema, kino dan istilah lainnya yang secara sadar atau tidak, sering digunakan di kalangan pelaku filem independen selama ini, sehingga pemaknaan dan sejarah teknologi filem, belum sama sekali disentuh.

Hampir separuh lebih filem yang dihadirkan pada Mafvie VI tidak konsisten dengan tema festival; Kembali Ke Indonesia. Pada wawancara yang dilakukan jurnalfootage.net dengan Ketua Kine Klub UMM Vicky Arief H, berkaitan tema ‘Kembali Ke Indonesia’, hanya memberikan pernyataan yang sama dengan tulisan katalogus. Pernyataan pada katalogus terkesan normatif dan hafalan, juga masih lemah, malah terkesan ada bias dan melangit dalam penggunaan kata ‘nilai luhur’.

mafvie-baliho

Nampaknya perhelatan dan peristiwa perfileman di daerah masih perlu di kaji dan dibaca ulang, agar sebuah peristiwa tidak lagi sekedar menjadi aktvisme belaka yang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap strategi kebudayaan di daerah bahkan nasional. Sehingga perayaan istilah yang subur berlangsung di Indonesia saat ini, tidak menjadi praktek salah kaprah, atau gaya konsumsi baru, yang mungkin jauh tidak mendidik, atau bahkan bisa jadi siasat baru modal dalam mencari lahan-lahan baru hegemoni. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah berkaitan dengan festival Mafivie sebagai sebuah perhelatan festival yang mengatasnamakan daerah Malang. Artinya, identitas menjadi persoalan yang cukup penting digagas. Sungguh miris festival di level daerah ini hanya melibatkan karya dari wilayah Malang hanya sekitar seperempatnya. Mayoritas karya-karya filem yang ditampilkanberasal dari luar wilayah Malang. Artinya perhelatan Malang Film Video Festival menjadi kehilangan konteks identitasnya. Apalagi dengan klaim penggunaan nama Malang.

Harapan besar tentu masih melekat pada festival film yang berlangsung di beberapa daerah. Dengan acuannya bukan lagi Jakarta atau negeri entah berantah mana pun. Harus ada semangat dan kebutuhan di tiap daerah yang definitif. Jika memang kebutuhan, lalu buat apa menggunakan istilah-istilah populer dalam wacana kebudayaan di Indonesia. Termasuk kebutuhan penggunaan istilah festival yang sebenarnya tidak mewajibkan adanya pemenang satu, dua, dan seterusnya. Festival tidak “hanya” selalu sibuk dengan protokoler acara yang mirip dengan perhelatan nasional. Akhirul kata, dalam masyarakat kita ada sejarah dimana ‘kata’ melahirkan kesadaran baru dan perubahan, seperti kata ‘pemuda’ dan ‘Indonesia’. Atas dasar semangat tersebut tulisan ini dibuat. Tentu usaha saling belajar adalah demi kebaikkan bersama. Selamat atas terlaksananya Malang Film Video Festival VI 2010.

mafvie-foto

Para pemenang Malang Film Video Festival VI 2010:

Film Favorit Penonton:
Travel karya Ulul Albab

Film Fiksi Pelajar Terbaik:
Caping Emak karya Deskan Rendra

Film Dokumenter Pelajar Terbaik:
Santos Si Jago Kentrung karya Ellandra Serra

Film Penghargaan untuk Animas Pelajar:
Yo Opo Iki? karya Ongky Yuddo

Film Dokumenter Umum Terbaik:
Musisi Mencari Status karya Ary Agung & M Leo Zaini

Film dengan Teknis Terbaik:
Masih Belajar karya Adhyatmika

Film Ide Cerita Terbaik:
Debt karya Khusnul Khitam

Film Fiksi Terbaik:
Masih Belajar karya Adhyatmika

 

Foto: Dokumentasi Panitia Malang Film Video Festival VI 2010 (Facebook)

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search