Satu di antara strategi merefleksikan dan merumuskan pengalaman berfestival adalah dengan membuat forum-forum diskusi yang bisa melihat rujukan-rujukan baru dalam memandang perkembangan sinema kekinian. Arkipel International Documentary and Experimental Film Festival 2013, juga memuat program diskusi sehari penuh untuk mencoba mengisi ruang kosong akan kebutuhan wacana maupun pengalaman sinema di Indonesia saat ini. Beberapa program diskusi yang diadakan oleh festival Arkipel diantaranya mengangkat tema Sinema & Aktivisme, yang dihelat pada 28 Agustus 2013 di Teater Kecil – Taman Ismail Marzuki (TIM), pukul 10.00 WIB. Para pemateri yang mengisi sesi diskusi ini adalah Bowo Leksono, pengusung festival filem di sebuah kota di Jawa Tengah, Festival Film Purbalingga selama bertahun-tahun. Pembicara kedua adalah Abduh Azis (Koalisi Seni Indonesia), pegiat filem yang sangat dekat dengan dinamika sosial politik budaya yang ada di Indonesia. Dalam wacana aktivisme sinema ini, para pembicara banyak mengutarakan pengalaman dan masalah-masalah perfileman di Indonesia, khususnya terkait dengan perkembangan filem di luar industri. Seperti filem yang dibuat oleh komunitas, maupun filem yang dibuat dari inisiatif masyarakat. Perbincangan dalam wilayah aktivisme masih minim diperbincangkan, khususnya terkait dengan semangat independensi dalam aktivisme sinema yang juga sangat minim sumber daya. Sehingga sangat penting dalam perbincangan ini untuk membangun sebuah jaringan kerja beserta wacananya.
[gdl_gallery title=”arkipel-2013-diskusi-1″ width=”175″ height=”140″ ]Sesi kedua mengangkat tema Sinema, Sejarah & Arsip. Adapun para pemateri dalam sesi diskusi yang diadakan di Teater Kecil – TIM pukul 13.00 ini adalah; Intan Paramaditha, seorang penulis dan peneliti yang sekarang sedang menggarap disertasi doktoral dengan tema politik seksualitas filem Indonesia. Pemateri kedua adalah pembicara yang memiliki pengalaman dalam merestorasi dan mengarsipkan filem yakni, Andy Pulung. Kedua pembicara memperbincangkan pengalaman dan persoalan-persoalan pengarsipan yang ada di Indonesia. Andy Pulung banyak mengutarakan tentang bagaimana sulit dan rumitnya sebuah restorasi yang dihantui oleh keterbatasan material dan dana, sedangkan Intan Paramaditha banyak mengutarakan bagaimana pengertian arsip yang tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial budaya. Dalam sesi tanya jawab, seorang peserta mengutarakan pendapat tentang bagaimana pengalaman restorasi filem juga membutuhkan penelitian yang berkaitan dengan estetika dan sejarah filem yang direstorasi sehingga tidak mengurangi kualitas estetika yang terkandung pada filem yang bersangkutan.
[gdl_gallery title=”arkipel-2013-diskusi-2″ width=”175″ height=”140″ ]Diskusi ketiga mengangkat tema yang sangat penting di Indonesia, yaitu Kritik dalam Sinema. Diskusi yang diadakan di Teater Kecil – TIM pukul 16.00 WIB ini mengundang dua pembicara yang memiliki latar belakang berbeda; Riri Riza, seorang sutradara filem ternama, dan Hikmat Darmawan, seorang pemerhati filem dan kritikus. Kedua pembicara mengutarakan bagaimana kritik seharusnya dibangun dalam kaitannya dengan perkembangan kritik sinema di Indonesia belum bisa memenuhi standar yang baik bagi perkembangan filem di Indonesia sendiri.
[gdl_gallery title=”arkipel-2013-diskusi-3″ width=”175″ height=”140″ ]Festival filem adalah perhelatan di mana pemutaran filem dan sesi-sesi diskusi menjadi dua komponen yang tak terpisahkan dalam rangka memperbarui wacana-wacana perkembangan sinema. Kurangnya wacana dan ruang dialog di antara pemerhati dan pelaku sinema di Indonesia diharapkan memicu kualitas diskusi sehingga berhasil mencapai targetnya menjadi ruang dialog dan persebaran wacana dan informasi dalam membangun dialektika di kalangan publik sinema di Indonesia. Arkipel sebagai sebuah festival filem, tentu adalah perhelatan yang juga sangat memperhatikan dialog dan wacana terkait perkembangan sinema kekinian.
[/tab_item] [tab_item title=”EN”]Available soon..
[/tab_item] [/tab]