Pengertian bukan suatu hal yang misterius dan semu yang ditempelkan pada ‘bunyi kata’, akan tetapi lahir dan berkembang di dalam sejarah. Kata-kata mendapat arti serta maknanya apabila dirangkai menjadi cerita. Dan cerita bukan suatu sistem yang tertutup tetapi ibarat perjalanan manusia selama hidupnya; menemukan, memastikan, mempertanyakan. Itu sebabnya pengertian tidak mutlak dan ada secara a priori, walaupun kehadirannya bisa pula karena suatu proses yang a posteriori, hasil penjabaran dari pengamatan registratif atau fakta-fakta yang dianggap nyata. Pengertian ‘fakta-fakta yang dianggap nyata’ dalam hal ini lebih menunjuk pada suatu hubungan maknawi antara subyek (manusia) dengan yang diamati. Dalam hubungan ini pengertian “meraba” fakta.
Arti serta makna dari kata-kata muncul pada saat kata-kata itu dipergunakan inter-subyektif dan dengan begitu tidak lepas dari pandangan hidup manusia, kebudayaan serta masyarakat yang mempergunakannya.
Catatan-catatan ini rasanya perlu apabila kita mau berbincang mengenai teori filem.
Teori filem lahir bersamaan dengan penemuan medium filem di abad yang lalu. Pasti para teoretikus filem tidak sependapat dengan ini, tetapi mengingat catatan tadi maka dapat kita katakan bahwa suatu proses pengaruh-mempengaruhi antara medium itu dan perumusan artinya menjadi pengertian telah terjadi, belum dalam bentuk yang sistematis tetapi embional (baru tumbuh—red).
Filem lahir di kurun waktu seni, terutama seni lukis meninggalkan naturalisme dan realisme. Impresionisme di bidang seni rupa telah memulai perjalanan pasti ke arah pemberian bentuk abstrak pada rakyat seni.
Fotografi dan filem justru mengambil jurus yang bertentangan. Kenyataan malah direproduksi dengan mirip sekali, termasuk gerak yang oleh seni rupa tidak dapat ditiru. Filem menjadi tontonan massa, tempatnya bukan di galeri atau museum, tetapi di lapangan, di sebuah tenda. Borjuasi Eropa dengan menonton karena para pengunjung pertunjukan filem adalah rakyat yang kurang mampu membeli karcis untuk opera.
Filem mulai dicemoohkan dan dianggap kitsch. Filem bukan seni dan tidak akan pernah menjadi seni, demikian pendapat para kritikus seni.
Lain lagi pembelaan dari para pelopor filem dan praktisi fotografi. Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia dapat mereproduksi alam dan manusia tanpa kuas dan cat. Filem juga seni, kata mereka.
Pertempuran untuk prestise inilah yang merupakan awal dari teori filem.
“Seni Gambar Bergerak”
Namun baru pada permulaan abad ini perumusan-perumusan yang lebih sistematis mengenai filem dilakukan. William C. deMille[1], yang kemudian menjadi pembuat filem yang penting dalam sejarah pada tahun 1911 mengatakan bahwa dengan imajinasi yang tiada batas filem dapat menjadi seni. Pada tahun 1915 Lindsay menulis bukunya The Art of The Moving Picture[2]. Ia mencoba meyakinkan museum-museum besar di Amerika, jurusan drama pada berbagai universitas dan dunia sastra serta kritik sastra pada umumnya.
Obsesi mengenai status “seni” kemudian mewarnai teori bahkan terdapat dalam hampir semua terbitan standar mengenai filem.
Kini, keadaannya telah berubah, namun tidak dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini pun dalam pembicaraan mengenai filem tetap menghantu masalah seni tidaknya sebuah karya filem.
Mereka yang meragukan filem mampu menjadi karya seni senantiasa secara tersirat menerapkan prinsip-prinsip seni lainnya pada medium ini, bukan saja awam akan tetapi juga pengulas-pengulas filem.
Hampir semua ulasan mengenai filem di Indonesia bertolak dari kategori-kategori sastra atau teater. Hanya cerita dan aktingnya yang disoroti, satu dua kalimat mengomentari fotografi atau editingnya. Tanpa disadari isu-isu teori filem abad yang lalu masih kita terapkan. Ini tentunya merupakan akibat dosa dari teori filem di masa awalnya.
Kita terjirat oleh suatu ortodoksi yang tidak memungkinkan kita menilai misalnya filem-filem avant-garde, eksperimental, animasi atau apa yang disebut video art. Kerangka teori yang ortodoks dan mapan itu memang tidak memungkinkan kita melakukan itu.
Belum lagi ortodoksi dan kemapanan itu tidak sedikit membawa distorsi dalam pengertian-pengertian mengenai filem. Distorsi itu terutama disebabkan karena aksentuasi yang terlampau kuat pada salah satu segi dari medium film.
Roger Manvell[3] dalam bukunya Film, menandaskan bahwa komposisi adalah yang paling penting. Segala sesuatu yang dipotret menjadi suatu pola dua dimensional.
Kriteria piktorial meresap ke dalam ortodoksi itu. Ucapan Manvell berasal lagi dari ulasan Arnheim, Artistic Utilization of Reduced Depth[4]. Namun Arnheim tidak begitu menekankan pada unsur-unsur dekoratif. Ia lebih menitikberatkan pada gambar (image) yang dibangun secara maknawi. Béla Balázs[5] (Theory of the Film) menulis bahwa sudut pengambilan kamera merupakan “karakteristik yang paling kuat dari proses filem, dan ini bukan reproduksi akan tetapi produksi atau ciptaan yang azasi. Mistik dari gambar terungkap apabila kamera dipergunakan secara kreatif”.
“Mistik” Filem
Titik berat pada “mistik” filem memang lahir dari klasifikasi filem sebagai “seni rupa”. Namun kekeliruan dalam rangka pemikiran ini adalah bahwa filem dipaksakan untuk memenuhi beberapa kriteria yang berasal dari seni lukis. Kategori “seni rupa” bisa dan telah menimbulkan keracunan karena hanya dapat diterapkan pada beberapa aspek dari filem dan bukan filem sebagai suatu keseluruhan.
Teori filem juga dikembangkan oleh para praktisi sendiri. Para pembuat filem seperti Lev Kuleshov[6], Pudovkin[7], dan Eisenstein[8] banyak menulis secara sistematis dan mengembangkan suatu pemikiran yang kemudian dikenal sebagai strukturalisme Rusia. Montase atau editing pada zaman filem bisu merupakan “mistik”nya yang baru dan utama.
Penemuan bahwa dua atau tiga shot dapat menimbulkan kesan, arti dan suasana yang berbeda-beda kalau disambung dengan kemungkinan berbagai urutan, memunculkan keyakinan bahwa montase atau editing merupakan kegiatan yang paling kreatif dalam produksi sebuah filem. Di Amerika filem-filem bisu dari Edwin S. Porter[9] dan D.W. Griffith[10] telah membuktikan itu, diperkuat lagi oleh eksperimen Lev Kuleshov yang memutarbalikkan urutan tiga shot dengan efek yang berbeda-beda. Balázs menulis: The single shots are saturated with the tension of a latent meaning which is released lika an electric spark when the next shot is joined to it. Eisenstein bahkan melangkah lebih jauh sedikit dengan mengatakan bahwa pada editinglah terletak kreasi atau proses kreatif.
Ide bahwa editing menyerupai penciptaan atau merupakan penciptaan itu sendiri kemudian mendominasi ortodoksi teori. Editing diidentifikasikan dengan “bahasa” kreatif dari filem. Di dalam Film Technique Pudovkin menulis bahwa setiap shot di dalam filem ibarat kata bagi seorang penyair. Editing adalah bahasa dari sutradara filem.
Paralelisme antara gambar dan kata-kata sebagaimana dikemukakan oleh strukturalisme Rusia kini memang dianggap terlalu berlebihan. Sebuah close-up yang paling sederhana di dalam sebuah filem bisu memperlihatkan dan mengekspresikan lebih banyak daripada sebuah kata. Semakin kompleks sebuah shot semakin tidak mungkin paralelisme dengan kata dipertahankan.
Itu sebabnya teori yang mapan dan ortodoks memerlukan interupsi dalam perekaman suatu peristiwa atau obyek. Pengontrolan terhadap kenyataan yang di filem menjadi keharusan, lebih daripada medium lain. Dan dalam hal ini editinglah menjadi mistiknya. Itu sebabnya, kata Pudovkin, hanya melalui editingnya kita dapat menilai kepribadian seorang sutradara. Atau dengan kata-kata Balázs: melalui montase kreativitas pembuat filemnya dimanifestasikan.
Ernst Lindgren[11] (The Art of The Film) menandaskan lagi bahwa editing adalah the foundation of film art. Masih cukup banyak teoretisi yang berpendapat begitu. Berpegang teguh pada teori ini menyulitkan kita menganalisa banyak filem baru yang penuh dengan plan-sequence, yaitu shot yang panjang, kompleks isinya dan menggambarkan suatu kejadian tanpa memilah-milah kejadian itu.
Konsep-konsep serta pengertian-pengertian dari teori filem yang ortodoks perlu dipertanyakan dan dikaji lagi. Di sinilah terletak salah satu peranan dari teori filem.
Perhatian dari berbagai ilmu terhadap filem sebagai suatu gejala, telah menumbuhkan dan menyuburkan teori filem. Sebelum tahun 1950 beberapa profesor di Sorbonne memulai studi resmi mengenai filem. Di bawah asuhan seorang estetikus yaitu Etienne Souriau[12] Institut de filmologie, menghimpun beberapa sarjana dari berbagai disiplin ilmu.
Jurnal mereka Revue internationale de filmologie memuat studi-studi mengenai misalnya fisiologi dari persepsi, psikososiologi film, konteks ekonomi dari produksi filem dan fenomenologi dari pengalaman mempersepsi.
Studi yang mengambil filem sebagai bidang sorotannya yang utama terlepas dari bidang-bidang seni lainnya secara intensif dilakukan. Walaupun André Bazin[13] dapat dikatakan orang yang pertama mendekati filem secara falsafi, tetapi penelaahan secara kontinu dan interdisipliner baru dilakukan oleh lembaga tadi.
Ketika Jean Mitry[14] menjadi profesor untuk filmologi pada Universitas Paris, filem secara resmi menjadi bidang studi ilmu. Mitry telah berusaha untuk secara teoretis mengadakan sintesa antara pikiran-pikiran yang ortodoks dengan pemikiran Bazin dengan dedikasi keilmuan yang luar biasa. Dari tangannya lahir sejumlah buku yang sangat berharga bagi khazanah teori filem.
Christian Metz[15] adalah produk dari kegiatan universitas yang makin intensif menelaah filem. Ia menulis banyak sekali esai mengenai film dan berkulminasi pada tesisnya yang panjang dan terurai Langage et cinema yang menyebabkan ia memperoleh Doctorat d’Etatnya.
Di dalam bahasannya mengenai karya Mitry Esthetique et psychologie du cinema, Mitry mencanangkan suatu era baru dalam teori filem. Mitry, kata Metz, telah melakukan apa yang belum pernah dilakukan oleh pemikir-pemikir terdahulu, yaitu menyusun secara sistematis problem-problem dari filem. Penulis seperti Bazin misalnya hanya mengembangkan idenya mengenai hubungan filem dengan kenyataan dan Eisenstein hanya menitikberatkan pada montase. Sedangkan apa yang dikerjakan oleh Mitry adalah tidak saja mengindahkan apa yang pernah ditulis oleh pemikir-pemikir terdahulu tetapi mengembangkan metode-metode begitu komprehensif untuk menelaah struktur hakiki dari medium filem.
Orientasi Baru
Kendati ia mengakui usaha besar dari Mitry, Metz berpendapat bahwa teori filem memerlukan orientasi baru. Sampai dengan Mitry, orang hanya menulis secara “umum” mengenai filem, berkata Metz lagi. Yang diperlukan adalah penelaahan ilmiah, meniti jalan pikiran Mitry, menguji dan mengkajinya dan membuang apa yang secara sepintas saja ditelaah Mitry dan yang tidak ada hubungannya dengan falsafah filem. Perlu juga dikaji pemikiran falsafi yang tanpa disadari menjadi dasar dari pemikir-pemikir terdahulu. Di balik Eisenstein berdiri Pavlov (Ivan Petrovich Pavlov, teoretikus psikologi asal Rusia—red) , Karl Marx, dan Piaget (Jean Piaget, filosof dan ahli epistemologi anak—red). Muensterberg bertolak dari kategori-kategori Kant (Imanuel Kant—red), Arnheim dipengaruhi psikologi Gestalt[16], Bergson (Henri-Louis Bergson, filosof Perancis—red) dan Jean-Paul Sartre membayangi Bazin dan Mitry sendiri tidak lepas dari Bertrand Russel[17] dan Edmund Husserl[18].
Pada tahun 1958 Ferdinand de Saussure mempublikasikan “Cours de linguistic generale”-nya, yang dapat dikatakan merupakan dasar dari semiologi, yaitu studi mengenai hubungan tanda, lambang dengan artinya. Bertolak dari pemikiran de Saussure dan juga Peirce (Charles Sanders Peirce, ahli semiotika asal Amerika—red), Metz mengembangkan semiologi filem. Metz membedakan apa yang disebut filemik dan sinematik. Yang pertama menyangkut hubungan filem dengan aktifitas produksi filem lainnya dan yang kedua menjadi pokok bahasan semiologi. Semiologi filem mau membangun suatu model yang komprehensif untuk menerangkan bagaimana filem mengandung arti atau menyampaikan arti itu kepada penonton. Dengan begitu diharapkan bahwa dapat ditemukan patokan-patokan untuk mengupas pola-pola pemberian arti yang dimiliki setiap filem. Pendekatan ini juga memungkinkan kita menentukan karakter yang spesifik dari berbagai genre filem. Semiologi filem misalnya, mau menemukan kemungkinan-kemungkinan umum dari suatu zoom-shot, sekaligus juga mau mengerti bagaimana jenis zoom tertentu, bersamaan dengan teknik-teknik lain memberikan arti tertentu. Fakta sinematografik adalah jantung dari filem dan ini berarti proses pemberian arti.
Dengan metode ini maka penelaahan kritis terhadap pengertian “bahasa filem” dilakukan. Metz berpendirian bahwa persamaan antara bahasa verbal dan filem hanya di permukaan saja. Pada tingkat fungsinya persamaan itu semakin jauh. Dengan semiologi maka teori filem membuka dimensi-dimensi baru untuk memahami filem.
Catatan terakhir ini sebenarnya ingin memberi sugesti bahwa dengan berkembangnya teknologi komunikasi serta aplikasinya di berbagai kegiatan manusia suatu bidang eksplorasi bagi teori telah terbuka. Di sini teori filem bersentuhan dengan ilmu komunikasi.
Dengan produksi serta aplikasi perangkat keras seperti komputer, mikro-komputer berikut program-programnya yang dipakai serentak dengan video dan media audio-visual lainnya, Videotex, interactive video dan lain-lain menimbulkan berbagai pengertian dan masalah yang patut menjadi bahan penelitian, mengingat bahwa penelitian di bidang ini masih sedikit dilakukan.
Teori filem bukan teori membuat filem tetapi suatu kegiatan intelektual yang mengandung eksplorasi, meluas dan menukik mencari kedalaman. Pengembangannya juga akan menguntungkan perkembangan filem itu sendiri serta praktisinya, sebagaimana telah dibuktikan dalam sejarah perfileman.
* Jurnal Footage menerbitkan kembali tulisan D. A. Peransi yang pernah terbit pada Sabtu, 27 Februari 1988 dalam Koran Suara Pembaruan. Redaksi melakukan penyelarasan bahasa dan menambahkan catatan kaki untuk lebih memperjelas tulisan ini, tanpa mengurangi dan menambahkan isi tulisan.
[1] Willam C. deMille (25 Juli 1878 – 5 Maret 1955) adalah penulis dan sutradara asal Amerika Serikat periode filem bisu. deMille banya mengadaptasi teater Broadway ke dalam filem-filem bisu.
[2] The Art of The Moving Picture diterbitkan pertama kali pada tahun 1915. Kemudian diterbitkan ulang dalam edisi revisi pada tahun 1922. Nicholas Vachel Linsay (10 November 1879 – 5 Desember 1932) merupakan penyair asal Amerika Serikat. Dia dianggap sebagai penyair singing poetry.
[3] Roger Arnold Manvell (10 Oktober 1909 – 30 November 1987) adalah orang pertama yang menjabat British Film Academy. Ia adalah penulis buku-buku tentang filem. Pada tahun 1975, ia mengajar sejarah filem di Universitas Boston, dan mendapatkan gelar Profesor pada tahun 1982.
[4] Rudolf Arnheim (15 Juli 1904 – 9 Juni 2007) adalah teoritikus filem asal Jerman. Ia juga seorang psikolog persetual. Bukunya yang paling terkenal adalah Art and Visual Perception: A Psychology of the Creative Eye (1954), Visual Thinking (1969), dan The Power of the Center: A Study of Composition in the Visual Arts (1982).
[5] Béla Balázs (4 Agustus 1884 – 17 May 1949) adalah kritikus filem keturunan Yahudi asal Hongaria. Saat di Wina, Austria, ia menjadi salah satu tokoh penting dalam kritik dan liputan tentang filem. Buku pertamanya Der Sichtbare Mensch (The Visible Man) (1924), telah menjadi pijakan awal dalam membaca ‘Jerman’ dalam bahasa filem dan teori, yang merupakan pengaruh dari pikiran-pikiran Sergei Eisenstein dan Vsevolod Pudovkin.
[6] Lev Vladimirovich Kuleshov (13 Januari 1899 – 29 Maret 1970) adalah sutradara Rusia dan seorang teoretikus filem. Ia merupakan tokoh utama dibelakang The Moscow Film School (sekolah filem pertama di dunia).
[7] Vsevolod Illarionovich Pudovkin (16 Februari 1893 – 20 Juni 1953) merupakan sutradara, penulis, dan aktor asal Rusia. Ia adalah tokoh yang memberi pengaruh pada pemikiran montase dalam filem.
[8] Sergei Mikhailovich Eisenstein (23 Januari 1898 – 11 Februari 1948) adalah salah seorang pelopor filem-filem ‘gaya’ Rusia dan seorang teoritikus filem. Ia sering disebut juga sebagai “Bapaknya Montase dalam Filem”.
[9] Edwin Stanton Porter (21 April 1870 – 30 April 1941) adalah tokoh pelopor perkembangan filem di Amerika Serikat. Ia bekerjasama dengan Thomas A. Edison. Filemnya yang terkenal adalah Life of an American Fireman (1903) dan The Great Train Robbery (1903).
[10] David Llewelyn Wark Griffith (22 Januari 1875 – 23 Juli 1948) adalah tokoh utama sejarah filem Amerika Serikat. Ia terkenal sebagai sutradara paling kontroversial dan memecah sesuatu yang tak mungkin. Filemnya yang paling terkenal adalah The Birth of Nation (1915) dan Intolerance (1916). Filem The Birth of Nation adalah pelopor penggunaan kamera dengan teknik naratif dan menjadi awal dari bentuk filem-filem panjang dalam perkembangan sinema berikutnya.
[11] Ernest Lindgren (3 Oktober 1910 – 22 Juli 1973) adalah penulis dan aktivis filem asal Inggris. Ia adalah orang pertama yang menjabat sebagai kurator National Film Library pada tahun 1935 yang kemudian berganti nama National Film Archive (1955)
[12] Étienne Souriau (1892 – 1979) adalah filosof asal Perancis, yang mendalami bidang estetika.
[13] André Bazin (18 April 1918 – 11 November 1958) adalah kritikus filem paling berpengaruh asal Prancis.
[14] Jean Mitry (7 November 1907 – 18 Januari 1988) merupakan teoritikus dan kritikus filem asal Prancis. Ia juga seorang sutradara. Mitry adalah salah seorang pendiri Cinémathèque Française pada tahun 1938.
[15] Christian Metz (12 Desember 1931 – 7 September 1993) adalah teoretikus filem yang terkenal sebagai pelopor penerapan teori semiotika Ferdinand de Saussure ke dalam filem. Pada periode 1970-an, pikiran-pikirannya sangat mempengaruhi perkembangan filem di Prancis, Inggris, Amerika Latin dan Amerika Serikat.
[16] The Berlin School of experimental psychology.
[17] Bertrand Arthur William Russell (18 Mei 1872 – 2 Februari 1970) adalah filosof asal Inggris. Ia juga merupakan ahli matematika, sejarawan, dan kritikus teori-teori ilmu sosial.
[18] Edmund Gustav Albrecht Husserl (8 April 1859 – 26 April 1938) adalah filosof fenomenologi penting abad ke-20, dan seorang ahli matematika. Ia berasal dari Jerman/Austria.
[/tab_item]
[tab_item title=”EN”]
(Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item]
[/tab]