Dimuat dalam surat kabar Bintang Timur, 12 Juni 1960.
oleh A.M. Chandra.
Bung Tom dan Bung Dirdjo.
Dalam suratku yang pertama telah kumulai menyinggung tentang pemain. Rasanya kuranglah lengkap laporanku ini, kalau aku hanya menyinggung seorang pemain saja. Baiknya aku teruskan cerita tentang pemain-pemain yang lain dan petugas-petugas filem Badja Membara (1961) ini satu-persatu. Sehingga para pembaca bisa menilai bagaimana isi dapur dari filem Badja Membara ini.
Bung Dirdjo dan kawan-kawan.
Sekelumit telah kupaparkan tentang si Achmadi. Dan sekarang aku, kawan kita lagi itu, pemain filem yang akhir-akhir ini mulai menonjol namanya, Zainal Abidin. Dalam filem Badja Membara ini Bung Zainal tidak ikut main. Tugasnya ialah sebagai assisten sutradara. Rupanya si Tiar (Bachtiar Siagian) melihat pada diri Zainal ada bakat-bakat untuk dididik sebagai sutradara yang boleh dikemukakan. Zainal juga sejak semula menceburkan diri dalam dunia filem kurang diperhatikan bakat-bakatnya oleh produser kita, oleh si Tiar diberi kesempatan untuk mengembangkan bakat-bakatnya sebagai seniman filem yang mendasarkan perjuangannya pada perbaikan hidup dan kehidupan rakyat.
Lain halnya dengan sifat Achmadi yang kukatakan sedikit minderwaardig (rendah diri), si Zainal ini yang rupanya sudah banyak bergaul di Jakarta dengan orang-orang gede dan bintang-bintang kawakan, dalam gerak-gerik dan sifatnya tampak dinamis. Hanya sayang, sebagai seorang pemain dia kurang memelihara bentuk badannya. Makin lama semakin bertambah gemuk tak menentu bentuk dan seginya. Sebagai seorang pemain rupanya karir dia sudah mulai mengkabur dan rupanya ini sudah disadari si Tiar. Karena itu Tiar memberikan kesempatan padanya untuk meningkatkan bakatnya dalam menyutradaan. Ya Bung Dirdjo, mudah-mudahan sajalah kawan kita Zainal Abidin ini bisa menggantikan Tiar nanti dalam menyutradaraan. Dan aku rasa bagi Zainal Abidin sendiri, jalan yang diberikan si Tiar tidak boleh disia-siakan, kalau dia mau menjadi seorang pelopor penyutradaraan mengisi lapangan ini bagi generasi yang revolusioner dan dinamis untuk yang akan datang sebaik-baiknya.
Bung Dirdjo dan kawan-kawan.
Kiranya Bung tak akan jemu meneruskan laporanku ini pada para pembaca. Memang aku sengaja menulis tentang si Tiar dalam membentuk, menitikberatkan ceritaku ini pada manusia-manusia baru. Pokok pendirian Tiar dalam membentuk manusia-manusia baru ialah bukan hanya sekedar membentuk saja, tetapi yang dia inginkan dan cita-citakan ialah manusia yang berisi dan mempunyai pendirian yang tetap. Mempunyai ideologi yang berisi dan mempunyai berpegang pada kepentingan rakyat, tidak pada kepentingan kaum borjuis dan semacamnya. Tiar ingin melihat kawan-kawannya berjuang tidak hanya untuk kepentingan kita bersama. Kolektif dalam daya upaya, untuk kemajuan kebudayaan menjadi pegangan Tiar dalam mengerjakan segala sesuatu. Karena itu hasil karya si Tiar bukannya merupakan hasil perseorangan tetapi merupakan hasil karya kolektif yang padat sekali. Dan tak heranlah kita, kalau filemnya Turang (1957) bisa menggondol hasil yang gilang-gemilang. Dan cara kerja kolektif-kolektif ini pulalah letak perbedaan cara kerja si Tiar dengan sutradara-sutradara yang lain. Mulai pendapat tukang masak sampai pendapat produksinya selalu Tiar dengarkan. Setiap ada kesulitan selalu dibawanya kawan-kawan sekerjanya berunding. Jelaslah bahwa sistem si Tiar kolektif ini lebih baik dan lebih berhasil dari cara kerja yang sendiri-sendiri saja.
Bung Dirdjo dan kawan-kawan.
Sesudah aku mengemukakan tentang asisten sutradara dan sutradara, maka akan kupaparkan kini sedikit tentang pemain-pemain, Sofia Waldy dan Ali Jugo. Tak banyak yang kudapat ceritakan tentang kedua pemain filem ini, Sofia Waldy yang dalam filem ini juga memegang peranan penting tampak badannya sakit-sakit saja. Aku sangat senang pada kebiasaannya, juga ramah pada setiap orang baik yang baru dikenalnya maupun pada yang sudah lama. Seperti misalnya pergaulannya dengan Achmadi, Hamid yang baru saja dia kenal, tak ubahnya pergaulan dia dengan Achmadi seperti pergaulan antara kawan yang sudah lama saling berkenalan. Bebas tetapi tahu batas-batas kesopanan dan ketimuran. Itulah sedikit tentang Sofia Waldy.
Tentang Ali Jugo, itu bintang kawakan yang sudah sejak tahun 1938 menceburkan diri dalam dunia perfileman, dalam meneruskan lapangan karyanya selalu melihat pada generasi baru harapan juga penuh ide-ide untuk meningkatkan golongannya. Kalau dulu sewaktu zaman penjajahan seorang pemain filem dianggap seperti sampah masyarakat, maka harapan Pak Ali supaya dalam zaman merdeka ini dapatlah golongan bintang filem memberikan pengertian pada masyarakat bahwa golongannya adalah anak masyarakat yang juga penting artinya bagi perkembangan sejarah bangsa dan kebudayaan. Inilah bung Dirdjo dan kawan-kawan, sekedar gambaran tentang kedua pemain itu. Cukuplah sekian laporanku.