In Kronik

Dimuat dalam Siasat Warta Sepekan, No. 144/Tahun ke III/4 Desember 1949

Seorang sutradara Indonesia seperti Andjar Asmara atau Usmar Ismail masih bersandar pada tenaga bintang-bintang layar putih, pada kesanggupan dan pengalaman aktor serta aktris.

Lebih-lebih Andjar Asmara. Selama dia membuat filem di South Pacific Film di Bidara Tjina [Jalan Otto Iskandardinata], pertama kali yang ia cari dan pentingkan siapakah yang akan memikul cerita. Kalau bukan Ratna Asmara, kalau bukan Iskandar Sukarno, kalau bukan Djauhari Effendi, yakni nama-nama yang sudah dikenal masyarakat dari panggung Tjahaja Timur dulu, maka Andjar Asmara tentunya merasa kikuk memulai pembuatan filem.

Nama-nama pemain terkenal, dikenal, atau dibikin supaya terkenal, nama-nama itu sudah menjamin setengah sukses dari filem yang hendak dibuat. Sistem ini dikenal orang di Hollywood sebagai sistem bintang-bintang atau star system. Kalau Ingrid Bergman yang melakonkan Jean D’Arc, ditambah dengan biaya beberapa juta dollar, maka ditanggung filem itu akan mendapat sukses maha besar, demikian perhitungan ringkas sineas di Hollywood.

Sejak aktif di dunia teater tahun 30-an, Ratna Asmara selalu menjadi pemain dalam pertunjukan-pertunjukan teater yang dikelola oleh suaminya, Andjar Asmara. Nama Ratna Asmara terus bersinar hingga ia masuk ke dunia filem pertama kali dalam Kartinah (1940) yang juga disutradarai oleh Andjar Asmara. Gambar dikutip dari Majalah Aneka, No. 16/Tahun I/10 oktober 1950.

Sejak aktif di dunia teater tahun 30-an, Ratna Asmara selalu menjadi pemain dalam pertunjukan-pertunjukan teater yang dikelola oleh suaminya, Andjar Asmara. Nama Ratna Asmara terus bersinar hingga ia masuk ke dunia filem pertama kali dalam Kartinah (1940) yang juga disutradarai oleh Andjar Asmara.
Gambar dikutip dari Majalah Aneka, No. 16/Tahun I/10 oktober 1950.

Kecenderungan ini sedikit banyak juga tampak di Indonesia. Baik di studio Wong Brothers, maupun di studio Denninghoff-Stelling ditambah Mol [pemilik Multifilm Batavia] di Bidara Tjina, orang nampaknya menganut teori star system.

Jan Cornelis Moll (1891-1954), pendiri Filmliga bersama Mannus Franken dan Joris Ivens ini sangat tertarik dengan produksi filem-filem scientific dan menggunakan teknik time-lapse fotografi membuat filem tentang mikro organisme seperti bakteri. Di tahun 30'an ia mendirikan cabang Multifilm di Batavia, lalu dipaksa bekerja di Nippon Eigasha di masa pendudukan Jepang di Indonesia dan melanjutkan membuat filem-filem propaganda tentang situasi di Indonesia untuk pemerintahan Belanda di masa revolusi 1945-1949. Gambar dikutip dari https://www.eyefilm.nl/en/collection/film-history/person/jc-mol.

Jan Cornelis Moll (1891-1954), pendiri Filmliga bersama Mannus Franken dan Joris Ivens ini sangat tertarik dengan produksi filem-filem scientific dan menggunakan teknik time-lapse fotografi membuat filem tentang mikro organisme seperti bakteri. Di tahun 30’an ia mendirikan cabang Multifilm di Batavia, lalu dipaksa bekerja di Nippon Eigasha di masa pendudukan Jepang di Indonesia dan melanjutkan membuat filem-filem propaganda tentang situasi di Indonesia untuk pemerintahan Belanda di masa revolusi 1945-1949.
Gambar dikutip dari https://www.eyefilm.nl/en/collection/film-history/person/jc-mol.

Juga sutradara Usmar Ismail yang baru menginjakkan langkahnya pertama di lapangan filem. Filem yang dibuatnya seperti Harta Karun dan Tjitra tidak sama sekali terbebas dari kecemerlangan atau yang disangkakan kecemerlangan peranan Raden Ismail dan Raden Sukarno.

Meskipun dalam perkembangan dunia filem Indonesia kita mencontoh kepada apa yang dihasilkan raja-raja filem di Indonesia.

Sebagian dari orang-orang Indonesia yang menaruh minat pada dunia filem menyatakan: ‘mesti’, lalu dikemukakan alasan seperti Hollywood telah banyak dirasakan kekurangan tenaga aktor-aktris yang cakap, sehingga terpaksa masih bertopang kepada sistem bintang-bintang sekalipun bintang-bintang tersebut baru mencapai taraf ukuran Indonesia.

Sebagian lain mengemukakan bahwa jika dalam segala hal kita membebek [mengikuti] Hollywood, maka besar kemungkinan filem Indonesia kehilangan pribadinya yang khas, perbawa [keluhuran] serta coraknya tersendiri. Filem-filem Indonesia sampai sekarang belum berhasil menyatakan dalam teknik fotografinya dari sifat-sifat khas alam Indonesia, langit lazuardinya, lautnya yang biru, padang dan sawah di kala surya turun dengan siluetnya, puncak nyiur melambai-lambai, pak tani dengan kerbaunya, angon sapi di pematang.

Juga mengenai isi dan jiwa cerita, para penulis skenario Indonesia belum berhasil mengemukakan unsur-unsur yang hidup serta nyata ada dalam masyarakat Indonesia yang kini tengah bergolak.

Filem Anggrek Bulan [1948] yang dibuat oleh Andjar Asmara-Denninghoff-Stelling dengan cerita tentang bandit serta gangster, tentang seorang wanita jelita yang menjadi detektif, semua itu adalah asing sekali bagi masyarakat Indonesia.

Andjar Asmara telah dikenal sebagai wartawan dan sutradara teater sebelum ia terjun menjadi sutradara filem. Di masa kolonial Belanda, ia pernah bekerja untuk Java Industrial Film Batavia untuk membuat filem propaganda berdurasi pendek.

Andjar Asmara telah dikenal sebagai wartawan dan sutradara teater sebelum ia terjun menjadi sutradara filem. Di masa kolonial Belanda, ia pernah bekerja untuk Java Industrial Film Batavia untuk membuat filem propaganda berdurasi pendek.

Nyata sekali, bahwa penulis skenarionya yakni seorang bekas juru bicara angkatan laut Belanda sebelum perang dan kemudian bekerja pada RVD [Rijksvoorlichtingsdienst atau Kementerian Penerangan Belanda] sama sekali tidak memperhatikan sifat-sifat dan susunan masyarakat Indonesia dan semata-mata mendapat ilham dari filem-filem gangster a la Hollywood seperti The Saint, Bulldog Drummond, dan sebagainya.

Filem dari Andjar Asmara lainnya seperti Djaoeh Dimata [1948], nyata amat bersifat mengejar tujuan selaku hiburan bagi khalayak. Ceritanya banyak mengandung romantik palsu sentimentil yang tak dapat dipertanggungjawabkan, dan masih untung jika khalayak pulang, mereka ingat betapa sedihnya nasib Ali Joego selaku pemusik buta, betapa setia isterinya, betapa kejam Iskandar Sucarno. Selebihnya tidak meninggalkan bekas apa-apa.

Juga Usmar Ismail, walaupun derajat filem dan ceritanya rata-rata lebih tinggi daripada Andjar Asmara, terbukti pada Harta Karun yang disadur dari karangan Molière L’Avare dan pada gubahannya sendiri Tjitra. Pada hakikatnya masih belum keluar dari apa yang dinamakan ‘Suasana Borjuis’.

Tjitra mungkin oleh sebagian orang ditafsir sebagai lakon perlambang, sebagai bayangan suatu citra-citra yaitu nasionalisme yang bersifat universal, tetapi di lain pihak dapat pula ditafsirkan sebagai penjelmaan jiwa seorang pemuda yang memperjuangkan duka dan suka masa pubernya, yang masih mengagungkan sesuatu cita-cita, baik cita-cita itu bernama kebangsaan, kemanusiaan maupun dia [Tjitra] hanya bernama seorang gadis biasa, yang juga bermata dua, sekalipun dalam anggapannya lebih hitam dari mata gadis-gadis lain juga berhidung, bermulut dan berambut, serupa juga dengan yang lain.

Sesungguhnya, pada hemat saya para sineas Indonesia yang sekarang bekerja di Jakarta belum menemukan jalan yang sebenarnya serta bermanfaat bagi masyarakat Indonesia. Dengan mengatakan ini bukan berarti saya tidak dapat melihat kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi dalam pekerjaan mereka, baik berupa kesulitan keuangan, maupun tekanan rohani.

Akan tetapi, apabila filem Indonesia hendak berkembang ke arah yang baik, maka hendaknya selalu diingat seni filem seperti juga semua seni mestilah mempunyai fungsi di tengah masyarakat. Fungsi itu buat masyarakat Indonesia, tidak boleh tidak bersifat mengangkat, menggunakan martabat kemanusiaan bangsa Indonesia, mengembangkan pribadi manusia Indonesia, menjadikan dia warga negara yang aktif, tahu mempergunakan haknya serta menunaikan kewajibannya.

Demikian beberapa pikiran saya kemukakan mengenai dunia filem Indonesia, berhubung dengan sebuah filem Italia yang saya lihat dan hendak bicarakan di sini sekedarnya.

Nama filem tersebut ialah Pencuri Sepeda atau dalam bahasa Italianya Ladri di Biciclette.

Regiesseur-nya [sutradara] Vittorio de Sica adalah salah seorang sutradara Italia yang terkemuka dan filemnya ini telah mendapat hadiah pertama pada Bienvinale Venetia.[1]

Vittorio de Sica tidak menganut teori star-system.

*

Untuk peran utama dia pilih seorang buruh pabrik yang menganggur di kota Roma, namanya Lamberto Maggiorani. Lamberto belum pernah berdiri di muka kamera, namun dia memegang peranan orang yang kecurian sepeda.

Antonio Ricci mempunyai seorang putera berumur 8 tahun dan buat pemeran tokoh ini de Sica menjatuhkan pilihannya pada seorang kanak-kanak yang biasa bermain dan bergelandangan di jalan besar, seorang suraatjongen [pengantar surat] yang juga belum pernah main filem, namanya Enzo Staiola.

Dengan kedua orang ini Vittorio de Sica memulai pembuatan filemnya.

Tema ceritanya pun sangat dekat kepada masyarakat hidup, seolah-olah dipungut begitu saja dari jalanan kota Roma. Cerita ini benar-benar lahir dari keadaan darurat massa proletariat dengan sedih melaratnya, Oleh karena itu seperti coretan-coretan Si Djali-Djali oleh pengarang-wartawan Sudjati S.A. yang menggambarkan kehidupan proletariat Jakarta, demikian pula Vittorio de Sica membawa kita dengan kameranya ke tengah kehidupan keluarga buruh, yang telah nganggur dua tahun lamanya.

Screenshot adegan ketika Antonio Ricci mendaftar kerja.

Screenshot adegan ketika Antonio Ricci mendaftar kerja.

Buruh itu Antonio Ricci yang dapat pekerjaan di kotapraja Roma sebagai tukang penempel poster di tembok. Tetapi syarat menerima kerja itu ialah sebuah sepeda.

Celakanya sepedanya sudah lama tersimpan di rumah gadai, sehingga Antonio menjadi putus asa. Untunglah isterinya mendapat akal baik, dan kain spreinya yang terakhir dia korbankan, untuk menebus sepeda suaminya.

Screenshot adegan Maria Ricci menggadai sprei di tempat pegadaian.

Screenshot adegan Maria Ricci menggadai sprei di tempat pegadaian.

Sepeda dapat diambil dan pagi-pagi benar putera Antonio yang berumur 8 tahun sudah bangun serta dengan gembira membersihkan sepeda ayahnya. Maklum buat pertama kali sejak berapa lama ayah akan mendapat gaji pencarian yang teratur lagi.

Screenshot adegan Antonio Ricci membawa sepeda ke tempat kerja sebagai bukti ia memiliki sepeda.

Screenshot adegan Antonio Ricci membawa sepeda ke tempat kerja sebagai bukti ia memiliki sepeda.

Antonio berangkat ke tempat pekerjaannya.

Screenshot adegan Bruno membersihkan sepeda ayahnya.

Screenshot adegan Bruno membersihkan sepeda ayahnya.

Tatkala dia lagi menempel poster Rita Hayworth di sebuah tembok, pada saat ia terpica [lengah], sepedanya dilarikan orang. Antonio berusaha memburu pencurinya, tapi tidak berhasil. Sepedanya, sumber pencariannya lenyap. Hantu kemelaratan sudah menyeringai…

Screenshot adegan Antonio Ricci menempel poster Rita Hayworth sesaat sebelum sepedanya dicuri.

Screenshot adegan Antonio Ricci menempel poster Rita Hayworth sesaat sebelum sepedanya dicuri.

Di sini filem lalu menunjukkan kepada kita rentetan lukisan, dimana Antonio bersama puteranya berusaha menemukan sepedanya. Maka kamera membawa kita ke jalan-jalan di sepanjang kota Roma, ke tengah-tengah kediaman rakyat jelata.

Screenshot adegan mengamati sepeda yang hendak dicuri Antonio Ricci.

Screenshot adegan mengamati sepeda yang hendak dicuri Antonio Ricci.

Pada akhirnya dalam keadaan putus asa, Antonio sendiri mencuri sepeda orang lain. Tapi dia malang. Dia dicegat oleh orang banyak, ditempeleng, dipukuli, dan hendak dibawa ke kantor polisi. Untunglah yang punya sepeda merasa kasihan, dan membiarkan saja Antonio bersama puteranya pergi tanpa dituntut.

Screenshot Antonio Ricci mencuri sepeda.

Screenshot Antonio Ricci mencuri sepeda.

Pada penutup filem kita lihat Antonio berjalan berbimbingan tangan dengan puteranya, pulang ke rumah, dengan dada bersinar di tengah kegelapan masa depan, airmata kesedihan menitik membasahi pipinya, sedangkan puteranya berdiam diri, dan dengan pandangan penuh mengeru melihat kepada ayahnya.

11

Screenshot Antonio Ricci dan Bruno setelah Antonio Ricci gagal mencuri sepeda.

Screenshot Antonio Ricci dan Bruno setelah Antonio Ricci gagal mencuri sepeda.

Dan ketika matahari sudah lenyap dibalik gedung-gedung tinggi Roma, di tengah-tengah khalayak banyak yang kembali ke rumah masing-masing, kejam dan masa bodoh terhadap duka cita sesama manusia, ayah dan anak ditelan oleh masa yang bergerak, suram dan menekan itu…

Screenshot Antonio Ricci dan Bruno hilang ditelan massa.

Screenshot Antonio Ricci dan Bruno hilang ditelan massa.

Cerita ini memang tidak mempunyai happy-ending, seperti pada filem-filem Hollywood. Cerita sesungguhnya gampang saja, berpusat pada sebuah sepeda. Dialog tidak banyak dipergunakan, Vittorio de Sica lebih banyak “berbicara” dengan kameranya, dengan “lichtbeelden” [gambar cahaya]. Teknik fotografinya adalah demikian rupa, sehingga penonton mendapat kesimpulan, bahwa dalam filem Pencuri Sepeda adalah sebuah kota yakni Roma yang menjadi peran utama.

Putera Indonesia beruntung sekali apabila pada sineas Indonesia sesudah melihat filem Italia ini mendapat ilham subur, sehingga filem Indonesia dapat dibanggakan kelak sebagai buah seni yang berharga.

Pokoknya agaknya ialah membuat filem dari dan untuk rakyat: mudah dapat ditangkap serta dihargakan oleh rakyat biasa.

 

Amsterdam, 7 November 1949


 

[1] Rosihan Anwar salah menulis penghargaan yang diperoleh filem Ladri di Biciclette. Film ini tidak mendapatkan penghargaan di Festival Film Venice, tetapi mendapatkan penghargaan di ajang kompetisi lainnya, seperti Academy Award untuk Honorary Award-Best Foreign Language Film, Golden Globe, Special Prize of the Jury di Locarno International Film Festival. Bienvinale Venetia adalah nama dari Biennale Venice, sebuah perhelatan seni rupa yang diselenggarakan di Italia sejak 1895.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search