Artikel ini pertama kali dimuat di Pertjatoeran Doenia & Film, No. 3, Tahun I, pada bulan Agustus 1941, dan merupakan kelanjutan dari artikel yang ditulis oleh Andras Asmara mengenai proses produksi film.
Uraiannya memang lebih menekankan informasi teknis ketimbang refleksi estetik. Namun begitu, terdapat sejumlah aspek yang justru penting untuk kita cermati sehubungan dengan hal-hal teknis tersebut. Uraian teknis ini juga menegaskan tentang film sebagai produk kultural yang menuntut kepekaan seorang pembuat mengenai bakat, karakteristik, dan sifat material (dan juga medium) yang digunakannya.
Meskipun uraiannya terbilang tak lagi begitu relevan dengan kondisi produksi film zaman ini (mana kala film digital telah mendominasi), penjelasan Andjar Asmara bagaimanapun menunjukkan kepada kita tentang cara kerja alat produksi film pada masanya, serta mengandung refleksi historis tentang hakikat medium gambar-bergerak ini.
Artikel Andjar Asmara mengenai pembuatan film ini terdiri dari dua bagian. Redaksi Jurnal Footage memuatnya di situs ini dengan mengikuti pembagian tersebut, dan dengan menyunting sejumlah kata sesuai EYD tanpa menghilangkan esensi tulisan asli.
Selamat membaca!
—
Baca bagian pertama dari seri artikel ini: “Pembikinan Film (I)“
Suatu kesusahan dalam pembikinan film di negeri kita ini ialah hawa yang panas. Sebaik-baiknya film itu dibikin di hawa dingin. Tempat yang baik untuk mendirikan studio ialah di tempat yang dingin, misalnya Bandung atau Lembang. Tetapi, berhubung jalur perdagangan amat susah di Bandung dan keperluan untuk pembikinan film lebih mudah didapatkan di Betawi, inilah rupanya yang menyebabkan kebanyakan studio film didirikan di Betawi. Meskipun di Betawi untuk mencuci film tidak dapat dikatakan sebagai tempat yang ideal. Oleh sebab itu, mencuci film itu sebaiknya dilakukan dengan hawa dingin atau “air conditioning”. Dalam mencuci film haruslah dijaga supaya obat-obat tetap dingin.
Dalam karangan kita yang dahulu sudah kita terangkan, bahwa dasaran pembikinan film adalah serupa dengan pembikinan potret. Begitu pulalah dalam hal mencuci film. Sesudah dicuci maka terdapatlah negatif. Tuan tentu mengetahui bahwa yang dimaksud dengan negatif itu ialah keadaan yang terbalik dari keadaan yang sebenarnya, yaitu putih kelihatan hitam dan sebaliknya.
Sebelum kita teruskan, marilah kita lihat apa yang terjadi dengan suara. Yang kita rundingkan di atas ini ialah mencuci negatif dari gambar, sedang pembaca tentu bertanya bagaimanakah suara dimasukkan ke dalamnya. Sistem itu terjadi dengan dua jalan, yaitu “enkeel system” dan “dubbel systeem“. Kalau digunakan enkel systeem, amatlah mudah diketahui, sebab sudah kita katakan bahwa dengan enkeel systeem pengambilan suara berbarengan dengan pengambilan gambar. Suara itu terdiri dari gurat-gurat yang kecil-kecil di pinggir film. Jadi, kalau digunakan enkeel systeem, mencuci gambar dan gurat-gurat yang menghasilkan suara itu pun berbareng pula.
Kalau digunakan dubbel systeem, keadaan ini berlainan. Dasaran dari dubbel systeem ialah gambarnya diambil dengan kamera dan suaranya dengan satu tustel lain pula yang menghasilkan suara (sound-recorder).
Dengan bergitu, terdapat dua macam film. Yang satu memuat gambar dan yang satu lagi memuat suara. Kedua macam film ini dicuci sendiri-sendiri. Jadi, kalau yang satu sudah dicuci maka terlihat pada negatifnya sebuah gambar dan bagian suara kosong, sedang film yang satu lagi terlihat gurat-gurat suara dipinggirnya, dan di bagian gambarnya kosong.
Sesudah terdapat negatif dan sesudah film itu dikeringkan pada satu rol yang berputar di dalam sebuah kamar dingin pula, maka datanglah waktunya film itu akan dicetak menjadi positif. Pekerjaan ini semuanya dilakukan di kamar gelap. Sebuah mesin pencetak yang dinamakan “printer” tersedia di kamar gelap, maka hanya boleh dipakai lampu merah. Film negatif tadi dimasukkan dalam gigi mesin, dimasukkan pula film yang masih memakai obat (dalam pembikinan sebelum dicetak). Mesin itu dijalankan dengan listrik, dengan sorotan sebuah lampu maka dipindahkan gambar dari negatif itu kepada positif, maka terdapatlah film positif, yang sesudah dicuci merupakan gambar yang sebenarnya yang akan dipertunjukkan di bioskop.
Pekerjaan yang penting sesudah ini ialah menyambung film itu di dalam “editing room”. Dalam bahasa Belanda, pekerjaan ini disebutkan “film redactie”. Istilah ini sering memunculkan salah prasangka. Ada orang yang menyangka bahwa film redacteur itu mengerjakan pekerjaan semacam jurnalistik, yaitu tulis menulis, padahal istilah itu semata-mata terkait dengan sambung-menyambung film.
Ketika membicarakan skenario, sudah kita katakan bahwa skenario itu terdiri dari runtutan “shot” atau “scene”. Semua scene ini diberi nomor. Kalau film telah sampai ke dalam editing room maka film redacteur menyambung film itu menurut nomor dan skenario. Kalau sudah film itu disambung dari mula sampai habis, maka rampunglah penyambungan itu, tetapi sebenarnya film itu belum siap, karena sesudah itu haruslah beberapa kali dilakukan koreksi, kalau ada yang kurang ditambahkan, kalau ada yang kepanjangan dibuang. Kalau pekerjaan koreksi ini sudah selesai barulah boleh dikatakan film itu siap untuk dikirim kepada film-censuur [sensor film]. Tentang kewajiban censuur dalam mengamat-amati film itu dapatlah pembaca memahami Mr. Subagyo dalam Pertjatoeran Doenia dan Film keterangan yang panjang lebar dari karangannya tuan nomor 1.
Cabang-cabang lain yang penting pula sesudah film itu siap ialah bagian reklame. Beberapa cliche’s [gambar] yang dipilih lalu dimuat dalam surat-surat kabar, diiringi dengan keterangan-keterangan tentang film itu, beberapa kain reklame yang dicat dipasang untuk menarik perhatian orang yang lalu lintas.
Kalau semua pekerjaan ini selesai maka bolehlah dikatakan film itu siap untuk dipertunjukkan.
Meskipun pembikinan film itu amat sulit untuk diterangkan kalau hendak diperhatikan sampai kepada bagian yang kecil-kecil, dengan uraian yang serba ringkas ini saya harap tercapai maksudnya, yaitu memberi penerangan dalam garisan yang kasar-kasar tentang membikin film. []