In the City of Sylvia adalah sebuah filem produksi tahun 2007 karya José Luis Guerín. Inilah karya fiksi pertamanya setelah pada tahun 1984 dirinya menyelesaikan filem Betha’s Motives, tentang seorang anak kecil yang hidupnya berubah setelah desa tempat tinggalnya dijadikan latar sebuah filem. Membedah oeuvre sutradara asal Catalunya ini dengan mengategorisasikannya sebagai karya ‘fiksi’ dan ‘non-fiksi’ sebenarnya agaklah keliru karena dalam beberapa filemnya, baik itu yang dianggap sebagai karya ‘fiksi’ maupun ‘non-fiksi’, José Luis Guerín menggabungkan dan banyak bermain dengan kedua elemen tersebut. Salah satu contohnya adalah filem Train of Shadows (1997) yang mengambil bahan baku dari potongan seluloid yang direkam pada tahun 1920-an oleh sebuah keluarga kaya di rumah peristirahatannya. Pada filem tersebut, José Luis Guerín menginterpretasi ulang footage itu dengan memberikan berbagai penekanan dramatis yang luput dari penonton, bahkan José Luis Guerín mencoba merekonstruksi beberapa kejadian yang sebenarnya tidak hadir dalam footage tersebut. Contoh lainnya adalah filem In the City of Sylvia dan Some Photos In the City of Sylvia (2007) yang akan dibahan di tulisan ini.
Memasuki periode baru, pendekatan José Luis Guerín terhadap sinema perlahan-lahan berubah. Filem-filemnya yang diproduksi setelah tahun 2011, seperti The Academy of Muses (2015), Le Saphir de Saint-Louis (2015), dan Recuerdos de una mañana (2011) lebih menekankan persoalan tentang realitas yang hadir antara orang-orang (atau tokoh-tokoh) dalam suatu lokasi dan kesejarahannya. Ini berbeda dengan sebelumnya, saat José Luis Guerín lebih suka menginvestigasi dan menginterpretasi keterkaitan puitik antara manusia, lokasi, dan ingatan (baik itu ingatan diri ataupun ingatan kolektif).
Kembali ke In the City of Sylvia. Salah satu adegan paling mengesankan dalam filem ini adalah kejadian di kafe terbuka, saat Él—kata ganti orang ketiga tunggal untuk laki-laki dalam bahasa Spanyol—duduk sendirian dan mengamati wajah orang-orang lain yang duduk di kafe. David Bordwell menjelaskan dengan cukup rinci bahwa permainan bidikan sudut pandang dan latar yang dilakukan José Luis Guerín mampu menciptakan dramatisasi visual antara subjek-subjek di kafe itu[1]. Beberapa bidikan dibuat seakan-akan mengecoh presepsi mata penonton, contohnya bidikan dua pria paruh baya yang mengapit seorang perempuan. Pada awalnya, kita tidak tahu apa keterkaitan tiga orang ini karena posisi blocking mereka yang duduk sejajar dan saling berdekatan, namun kesan yang dihasilkan dari bidikan tersebut adalah mereka bertiga memiliki keterikatan hubungan. Kebenarannya mulai terungkap saat perempuan itu memeluk pria di sebelah kanan dan pria di sebelah kiri, lalu dihadirkan bersama dengan pasangan semejanya. José Luis Guerín kemudian mengungkap secuil detail dari pasangan ini saat mereka mulai berbicara, dan ini menjelaskan mengapa saat awal dihadirkan bidikan ‘orang ketiga’. Kecuali percakapan dua orang ini, umumnya percakapan di kafe hanya sebatas suara latar yang tidak bisa disimak dengan jelas. Apa yang dibicarakan memang tidak ada pengaruh apa pun bagi cerita filem, atau bagi tokoh utama Él, namun detail kecil ini memberikan kesan tentang suasana di kafe tersebut. Beberapa kata yang terucap menjelaskan mengapa pasangan itu terlihat tidak ada kedekatan emosi walaupun duduk semeja dan saling berdekatan. Hal itu kontras dengan meja-meja lainnya yang diisi oleh beberapa pasangan yang riang dan saling bercengkrama. Di waktu yang sama, Él menggambar sketsa wajah dari figur-figur di kafe itu, khususnya wajah perempuan-perempuan yang menurutnya menarik untuk dilihat. Él mentransformasikan wajah-wajah tersebut ke dalam guratan dan garis-garis, dan apabila ditengah pembuatan sketsanya wajah yang dia gambar terhalang dari belakang, Él pindah ke meja yang berada lebih depan. Seperti pensil yang menggambarkan wajah acak di atas kertas dengan garis-garisnya, kamera dalam adegan di kafe ini menyibak dimensi lain, yaitu keadaan observasional pada satu latar tertentu pada subjek-subjek yang terlihat acak. Cara pandang dari relasi antara kamera dengan alat tulis ini cukup serupa dengan caméra-stylo, istilah yang dijelaskan oleh Alexandre Astruc. Bagi Alexandre Astruc, caméra-stylo berarti kemampuan sutradara dalam mengekspresikan buah pikiran dirinya sendiri ke dalam gambar bergerak menggunakan kamera yang bertindak layaknya kuas pada pelukis dan pena pada penulis.[2] Kamera dalam adegan di kafe di filem ini berupaya mengungkapkan keadaan yang lebih abstrak dan acak, seperti suasana di kafe itu, tanpa ada ikatan plot, karakter, serta dialog, menggunakan satu latar dengan mengandalkan penggunaan ekspresi wajah, blocking kamera serta gestur pemainnya. Tanpa detail yang berlebihan, seperti garis-garis dalam sketsa, dan mempercayakan penonton untuk melakukan observasi dan berimajinasi pada subjek-subjek tersebut.
In the City of Sylvia hadir berpasangan dengan Some Photos In the City of Sylvia, sebuah filem yang berisi rangkaian foto-foto hitam-putih yang diambil sendiri oleh José Luis Guerín. Filem ini sama-sekali tidak menggunakan suara, tetapi memakai teks yang berada di bawah, seperti subtitle sebagai metode bercerita sang narator. Dua filem tersebut terikat satu sama lain sebagai pelengkap cerita tentang Él yang terobsesi dengan Sylvia. Namun, sebagai karya, keduanya berdiri sendiri. Some Photos In the City of Sylvia merupakan observasi mendalam terhadap obsesi dan hasrat platonik, serta menjelaskan alasan mengapa In the City of Sylvia menggunakan kota Strasbourg sebagai latar. Penggunaan kota Strasbourg adalah upaya tapak tilas perjalanan hidup Johann Wolfgang von Goethe, penulis yang membuat salah satu karya seminal pada era Sturm und Drang, The Sorrows of Young Werther (1774). Filem Some Photos In the City of Sylvia menggunakan gaya ‘epistolari’—rangkaian kisahnya diceritakan dalam bentuk dokumen berupa surat kepada seseorang—serupa dengan The Sorrows of Young Werther. Seperti Werther (dengan kata lain, Goethe) yang mendamba cinta Charlotte namun tidak kunjung berbalas, Él terobsesi dengan seorang perempuan bernama Sylvia; dan dia mencari Sylvia ke berbagai kota. Di sepanjang filem didapati bahwa Sylvia bukanlah figur konkret yang hidup, melainkan sebuah ide, atau suatu ideal tentang sebuah sosok yang tak akan bisa tergapai. Sylvia sebagai ide tersebut bisa tumbuh di tubuh siapa pun. Itulah sebabnya, foto-foto perempuan di Some Photos In the City of Sylvia selalu berganti wajah. Tidak peduli siapa nama sebenarnya dari perempuan-perempuan itu dan kota tempat mereka tinggal, Él selalu merujuk mereka dan kota itu dengan nama Sylvia.
Persepsi bahwa Sylvia bukanlah seorang tokoh cukup banyak mengubah pandangan saya saat menyaksikan kembali In the City of Sylvia. Persepsi ini menjelaskan iklan fashion dan kosmetik di stasiun tram yang ditempatkan menonjol sebagai isyarat bahwa pengejaran terhadap yang ideal juga hadir dalam bentuk paling banal sekalipun, juga beberapa coretan tembok yang hadir tanpa penjelasan di In the City of Sylvia dan Some Photos In the City of Sylvia, yakni tulisan “Laure Jet’aime” (Aku mencintaimu Laure), sebagai sebuah teriakan, atau mungkin tangisan penarik perhatian yang ditujukan pada satu perempuan, sedangkan orang yang melakukan pencoretan itu agaknya bernasib sama dengan Él, Werther/Goethe, dan Dante Alighieri. Dalam kasus Dante Alighieri, Sylvia yang dimaksud adalah seorang perempuan bernama Beatrice Portinari yang meninggal di umur 24 tahun. Sepanjang karir penulisannya, Dante Alighieri terus dibayangi oleh sosok Beatrice Portinari. Dante Alighieri menulis kumpulan puisi berjudul La Vita Nuova (1295) yang terinspirasi dari hubungannya dengan Beatrice Portinari. Salah satu baitnya dikutip dalam Some Photos In the City of Sylvia: “In her eyes my lady carries love, and everything she stares at, becomes noble”.
Sebagai sebuah karya yang berdiri sendiri, In the City of Sylvia dan Some Photos In the City of Sylvia bisa saja dinikmati tanpa harus menonton keduanya, namun penonton yang hanya menyaksikan In the City of Sylvia akan kehilangan esensi penting dari pencarian terhadap yang ideal itu. Sebaliknya, bila hanya menonton Some Photos In the City of Sylvia, kita akan kehilangan bentuk lain dari eksplorasi visual yang dihadirkan oleh José Luis Guerín seperti adegan di kafe tadi. Sementara itu, diskursus terhadap yang ideal semacam itu dapat kita temukan genealoginya pada filem Robert Bresson, Four Nights of a Dreamer (1971). Filem ini baru saja direstorasi dalam bentuk Blu-Ray dan menjadi salah satu inspirasi filem In the City of Sylvia. Kedua filem tersebut mengambil bahan baku literatur yang sama, yaitu White Nights karya Fyodor Dostoyevsky.
[divider scroll_text=””] [1] David Bordwell (2007), “Three nights of a dreamer”, Diakses dari situs web David Brodwell: http://www.davidbordwell.net/blog/2007/11/05/three-nights-of-a-dreamer/, tanggal 30 Januari, 2017. [2] Alexandre Astruc (1948), “The Birth of a New Avant-Garde: La Caméra-Stylo”, pertama kali terbit di L’Écran française (30 Maret, 1948). Diakses dari situs web New Wave Film: http://www.newwavefilm.com/about/camera-stylo-astruc.shtml, tanggal 30 Januari, 2017.