Artikel ini pertama kali dimuat dalam Star News (No. 1, Tahun IV, 1955) dan juga tercantum di dalam buku Kenang-kenangan Festival. Andjar Asmara melakukan tinjauan dan refleksi mengenai situasi terkini dari masa pertumbuhan perfilman Indonesia pada masa itu. Ia menguraikan argumentasi dengan melandaskan pada enam aspek, yaitu (1) kemajuan teknik film, (2) pendanaan, (3) pengalaman produksi film dan penyutradaraan, (4) kualitas pemeran (pemain film), (5) bahasa film yang disenangi audiens, dan (6) fasilitas dari pemerintah.
Refleksi Andjar Asmara ini, dalam derajat tertentu, masih relevan jika kita hubungkan dengan situasi produksi film di Indonesia pada masa sekarang.
Selamat membaca!
Melihat perkembangan film di seluruh dunia, mengingat tempat yang didudukinya dan besarnya pengaruh kepada sekalian golongan dalam masyarakat, maka dapatlah kita menarik kesimpulan betapa film di beberapa negeri asing telah tercantum sebagai salah satu industri yang terpenting. Jika diperhatikan pula pertumbuhannya di tanah air kita, betapa masyarakat telah mulai menghargai dan membutuhkan film, baik bikinan bangsa sendiri, mengingat pula bertambahnya jumlah bioskop, baik di kota-kota besar, maupun sampai ke pelosok-pelosok di tanah air kita, maka bukanlah suatu khayal kalau kita meramalkan bahwa film Indonesia menghadapi suatu masa yang gilang-gemilang di masa yang akan datang.
Dengan tulisan ini akan saya coba membuat suatu tinjauan yang didasarkan atas kenyataan sekarang dan keharusan pertumbuhan di masa datang, dengan keinsyafan bahwa industri film kita dewasa ini berada dalam masa pertumbuhan.
Tinjauan ini saya dasarkan atas,
- Kemajuan teknik film yang harus dikejar;
- Kelapangan keuangan untuk melaksanakannya;
- Pengalaman yang mendalam tentang soal regie dan skenario yang disadarkan atas pengetahuan umum, ilmu jiwa dan ilmu kemasyarakatan;
- Mutu permainan yang harus dipertinggi;
- Menemukan corak film yang disukai semua golongan;
- Bantuan pemerintah dalam soal mendapatkan bahan dan alat-alat dan fasilitas lainnya yang harus menjadi pendorong bagi produser kita.
1. Kemajuan Teknik
Salah suatu faktor yang menjadikan film luar negeri lebih mendapat pasar dan lebih disukai daripada film Indonesia ialah perbedaan besar dalam hal teknik. Kita masih sangat terbelakang dalam soal pemotretan dan soal suara yang rata dan baik di dalam seluruh film. Terkecuali satu atau dua produksi yang baik, pada umumnya kita belum dapat menghasilkan film yang seluruhnya rata pemotretannya, sedap dipandang dan suaranya enak didengar. Pemotretan adakalanya baik, tetapi di bagian lain gelap, kurang penerangan, lalu di bagian lagi terlalu terang. Suara kadang-kadang sedap didengar, di lain bagian kekerasan atau bahkan terlalu pelan sehingga tak terdengar.
Soal kecil-kecil yang lain, tetapi penting buat kesedapan mata menonton, seperti fade-out dan dissolve masih sangat kaku, dan sebagainya. Satu dan lain hal disebabkan karena kurangnya alat di laboratorium atau kurangnya pekerja yang ahli. Meskipun sudah ada beberapa studio yang mempunyai alat-alat moderen, tetapi masih belum ada yang dapat dikatakan sempurna.
Seorang regisseur akan terpaksa membatasi kemungkinan opname di dalam sepur [kereta api] atau mobil karena ketiadaan background-projector. Kalau di dalam imajinasinya ia melihat sesuatu shot akan lebih bagus kalau diambil dari atas dan ia ingin mempermainkan kamera melayang dari satu sudut ke sudut yang lain, ia tak bisa menuliskan shot yang demkian ke dalam shooting script karena belum ada kraan [crane] yang dapat memungkinkan itu. Dengan rij-opname [catatan susunan pengambilan gambar] ia pun sering membatasi keinginannya. Demikianlah seterusnya.
Selama teknik film kita belum mencapai mutu yang dapat dikatakan sempurna, sehingga segala kesulitan teknik dapat dikuasai, selama menonton film Indonesia masih terdapat cacat mengganggu mata dan perasaan, selama itu pula kita akan tetap terbelakang di pasar dunia.
Satu faktor penting dalam masalah film jangan kita lupakan, yaitu sifat hiburannya. Seseorang tak akan dapat terhibur menonton film selama mata dan perasaannya terganggu. Perasaan yang timbul karena pandangan mata boleh dibandingkan dengan membaca sesuatu buku atau majalah yang dicetak atas kertas baik dengan huruf-huruf yang terpilih, bentuknya manis dan menyedapkan pandangan mata, tersusun dan diatur pula dengan opmaak yang artistik, atau …… membaca sesuatu yang dicetak atas kertas murah dan kasar, hurufnya centang-perenang, berantakan, separuhnya sudah potol [patah] dan kabur, jalan tintanya tidak rata, opmaak-nya [tata ruang] tidak estetis, pendeknya segala sesuatu menjauhkan nafsu membaca, walaupun isinya penting bagaimanapun juga.
Rupa adalah utama. Rupa mendahului isi dalam soal visueel. Inilah sebabnya saya dahulukan membicarakan soal ini. Penyempurnaan teknik film yang kita harus kejar dari sekarang merupakan suatu faktor terutama yang akan menentukan mutu film Indonesia di masa yang akan datang.
Kalau mempersoalkan hal ini saya gunakan kata “kejar”, tiada lain karena pertumbuhan film dan kesempatan untuk membuatnya, bagi bangsa kita barulah sesudah kemerdekaan diusahakan bersungguh-sungguh.
Perbandingan dengan luar negeri oleh karenanya menjadi pincang sebab misalnya Amerika yang banyak berjasa dalam penyempurnaan teknik film, sudah memulainya pada permulaan abad ini. Bahkan perbandingan dengan Jepang dan India pun tidak adil, sebab sebelum perang kedua negara Asia ini telah bayak berusaha dan mencapai mutu yang tertentu di lapangan film.
2. Kelapangan Keuangan
Film mendatangkan uang, tetapi dia menghendaki pula keuangan yang cukup untuk melaksanakannya. Kemajuan film akan terbatas selama keuangan terbatas. Terutama sekali seorang produser harus bisa bekerja dengan keuangan cukup yang membolehkan ia bekerja continue, bersambung dari satu ke lain film. Jangan tersangkut menunggu dan jangan mengharapkan pendapatan film pertama untuk membelanjai film kedua.
Tugas lain bagi produser kita untuk mencapai kemajuan di masa datang ialah disamping untuk kebutuhan teknis, disokong oleh keuangan yang cukup untuk dapat membeli cerita-cerita yang baik dengan sepantasnya dari pengarang-pengarang yang baik dan ahli dan memberi nafkah baik pada regisseurs yang bermutu dan pemain-pemain yang pandai. Segala sesuatu tentu harus didasarkan atas kemungkinan-kemungkinan pemasukan uang. Tetapi di masa datang pemasukan uang boleh diharap bertambah, kalau tidak berlipat ganda dari sekarang, mengingat terus bertambahnya jumlah bioskop, yang lama-lama akan menjadi kebutuhan yang tak dapat dielakkan bagi tiap-tiap kota, besar maupun kecil.
Film diliputi oleh soal-soal artistik, sebagai hasil fotografi, regie, skenario, permainan, dekor, make-up dan lain sebagainya. Tetapi yang mendukung semua ini, yang memudahkan dan melancarkan penyelenggaraan sehingga tercapai semua hasil yang disebutkan diatas, ialah uang. Dan uang ini janganlah terbatas.
Supaya menghindarkan dari salah paham, saya tidak menganjurkan pembuatan film secara boros yang tak dapat dipertanggungjawabkan, tetapi jangan pulalah terkungkung karena rencana keuangan yang ciut, sehingga produser/regisseur terpaksa harus membatasi kemungkinan dari kesanggupan dan kecakapan sehingga mereka tak dapat mengembangkan sayapnya. Dalam hal seperti ini bukan saja produser/regisseur mengalami kerugian moril, tetapi evolusi film pada umumnya akan terhambat olehnya.
Barang siapa yang bergaulan rapat dengan dunia film kita akan sering mendengar keluhan seorang produser/regisseur: “Aku ingin membuat film ini sebaik-baiknya, tetapi keuangan tidak mengizinkan ….” Maksud hendak memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai! Selama keadaan ini tidak berubah, kepesatan kemajuan film kita akan terlambat.
Disamping hasil artistik yang kita sebutkan diatas, film harus dipandang sebagai usaha dagang (business). Dagang semata-mata.
Dari produser kita yang sekarang harus lahir film-magnaten yang mengerti benar seluk-beluk film sebagai usaha dagang. Dagang yang memperhitungkan laba-rugi. Orang-orang yang ulung dan berpengalaman memperdagangkan film. Orang-orang yang berani membelanjai sesuatu produksi dengan kelapangan dan dengan keyakinan penuh bahwa uang yang dikeluarkan itu akan kembali berlipat ganda.
3. Pengalaman yang Mendalam
Dunia film kita pada waktu ini sudah boleh merasa syukur mempunyai banyak regisseur, yang dalam istilah baru disebut “sutradara” yang sebagian besar sebagai juga para pemain, terdiri dari mereka yang mempunyai banyak pengalaman di sandiwara. Dalam hal ini kita lihat banyak persesuaian dengan sandiwara lama yang terkenal sebagai “stambul” atau “bangsawan”.
Pada zaman itu, seorang pemain yang banyak pengalaman dan mempunyai bakat, berkat lamanya diatas panggung, hafal semua cerita dan peranan yang lama kelamaan naik pangkatnya menjadi “programma-meester”, begitulah istilah untuk seorang yang mengatur permainan dibalik layar. Lebih dari pada mengatur tidak dikehendaki dari padanya. Ia tidak pernah belajar menyelami isi dan jiwa cerita atau jiwa dari sesuatu peranan. Mencipta pada waktu itu berdasarkan imajinasi semata. Imajinasi ini yang menelorkan cerita-cerita atau peranan-peranan yang tak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmu jiwa (psychologisch).
Sekarang kita melihat keadaan yang bersamaan dalam dunia film.
Perbedaannya hanya seorang regisseur terikat pada skenario dan waktu shooting kepada script untuk menentukan urusan scenes. Tetapi di dalam prakteknya ia mengatur.
Sifat karangan saya ini jauh daripada menghina teman-teman old-timers yang sekarang berada di pucuk pimpinan pembikinan film. Kalau di permulaan bab ini saya mengatakan syukur dunia film telah mempunyai regisseurs yang demikian, ialah sesungguhnya. Justru karena merekalah jumlah film kita dalam waktu yang akhir ini banyak bertambah dan karena merekalah banyak pemain yang tertolong mendapat peranan (nafkah). Jadi dalam hal ini mereka berjasa sebagai pelopor ini untuk selanjutnya tidak akan dihilangkan oleh tiap-tiap penulis sejarah film yang jujur di tanah air kita.
Tetapi dengan keinsyafan bahwa pertumbuhan film di satu waktu akan sedemikian pesatnya, mutu yang dikehendaki akan sedemikian tingginya, disamping pengetahuan teknik yang harus diketahui oleh tiap-tiap regisseur, maka akan datang suatu waktu, regie akan dipegang oleh generasi muda yang sekarang sedang mencari pengalaman, yang pengetahuannya berdasarkan schooling yang dibentuk pula oleh permintaan zaman, yang berdasarkan ilmu jiwa dan pengetahuan umum yang menjadikan mereka bertanggung-jawab atas sesuatu yang diciptakan. Pertumbuhan yang dihadapi oleh generasi muda ini adalah yang sewajarnya, yang beriringan dengan kecerdasan masyarakat pada umumnya.
Masyarakat adalah yang membentuk tiap-tiap pertumbuhan, kemajuan perubahan dan perkembangan. Masyarakat senantiasa menuntut kemajuan. Seseorang tidak akan tinggal statis kalau ia memperhatikan tuntutan masyarakat. Ia terpaksa menambah pengetahuannya, mengisi jiwanya, kalau ia tidak mau ketinggalan. Maka oleh sebeb itu diantara old-timers yang memperhatikan undang-undang yang tidak tertulis ini, tentu di kemudian hari ada juga yang akan dapat mempertahankan kedudukannya, asal pandai menyesuaikan diri pada tuntutan zaman.
Demikian halnya dengan regie dan demikian pula dalam hal skenario.
Suatu kekurangan yang dirasakan dalam pembikinan film Indonesia ialah penulis skenario yang baik yang berpengalaman dan dapat menyesuaikan diri kepada permintaan dan kesukaan masyarakat, untuk siapa film dibuat. Walaupun di satu waktu kelak kita akan mempunyai lebih banyak regisseur yang bermutu, tetapi regisseur yang baik tak kan ada artinya kalau ia tidak bekerja dengan skenario yang baik pula.
4. Mutu Permainan
Keadaaan sebagai dalam soal regie yang dewasa ini banyak diselenggarakan oleh old-timers dari dunia sandiwara, sebagai yang diuraikan di atas tadi lebih nampak lagi di kalangan pemain film. Sebagian besar dari pemain-pemain film berasal dari sandiwara. Hal yang semacam ini terdapat di tiap-tiap negeri selama film masih dalam permulaan dan dalam masa pertumbuhan, suatu keadaan yang tak dapat dielakkan selama masih dalam masa peralihan dari sandiwara ke film.
Disebut masa peralihan sebenarnya tidak tepat, karena sandiwara yang mempunyai tempat tersendiri sebenarnya tidak usah gulung tikar karena film, tetapi kenyataan yang kita hadapi sekarang ialah tidak ada satu sandiwara yang akan menampung sedemikian banyaknya artis sandiwara, sehingga semuanya terpencar-pencar berlindung di beberapa studio film.
Regie dan permainan didalam tangannya artis-artis sandiwara dengan sendirinya menghasilkan “sandiwara yang difilmkan”. Tertolong oleh kebiasaan bermain dan personality yang sudah terbentuk sangat memudahkan artis sandiwara beraksi di depan lensa, tetapi dari hasil permainan nampak jelas bahwa kedua kesenian itu berlainan dasar.
Keadaan inilah yang dewasa ini banyak mempengaruhi dunia film kita. Sebaliknya, walaupun dalam jumlah yang lebih kecil muncul tenaga-tenaga muda yang tidak berasal dari sandiwara untuk regie maupun untuk permainan. Golongan ini, yang kebanyakan terdiri dari angkatan muda terpelajar, tersebar pula di seluruh studio. Mereka mencari pengalaman dan dengan sendirinya dengan bertambah pengalaman tentu akan menjadi pemain-pemain yang baik di hari depan.
Tetapi apa yang kita sesalkan ialah tidak adanya didikan dan pimpinan bagi begitu banyaknya tenaga muda yang mempunyai hasrat dan bakat. Pada umumnya seorang regisseur mencari dan mencoba tenaga baru pada waktu hendak memulai suatu produksi baru. Tenaga baru itu dilatih secara kilat untuk beberapa hari, kemudian menghadapi lensa. Dari nasib dan bakatnyalah tergantung karir selanjutnya dalam film.
Beberapa soal internal, termasuk juga soal keuangan yang menjadi sebab dari keadaaan darurat ini, terlalu panjang dan mendalam untuk dibeberkan di sini, tetapi bergandengan dengan soal-soal lain yang akan menentukan kemajuan film Indonesia di masa datang adalah pula soal permainan yang masuk bagian terpenting dan oleh sebab itu keadaan yang tidak sehat ini dapat dipertahankan.
Dalam hal itu, barangkali tidak pada tempatnya di sini kita memajukan pertanyaan: “Apakah belum waktunya para produser memikirkan suatu kesempatan melatih calon-calon pemain film?” Misalnya dengan mendirikan bersama-sama suatu sekolah atau kursus dalam beberapa bulan untuk mengajarkan pengetahuan elementer sebelumnya menghadapi lensa. Ini akan sangat memudahkan pekerjaan regisseur dan dengan memberi dasar kepada calon lebih dahulu akan memudahkan pula kepada mereka mencapai tingkatan yang lebih tinggi dalam permainan.
Kalau di atas tadi kita menghendaki dasar yang kokoh bagi produser, regisseur dan penulis skenario untuk kemajuan film Indonesia di hari kemudian, maka tidak salahnya kita menghendaki yang sedemikian bagi para pemain yang bukannya menduduki tempat yang boleh diabaikan di lapangan film.
5. Menentukan Corak Film
Para produser kita sedang mencari. Mencari corak film yang tepat untuk semua golongan penonton. Selain dari soal teknik film luar negeri yang lebih baik, yang mengurangkan perhatian untuk film dalam negeri yang belum dapat menyamainya –seperti yang kita uraikan pada permulaan karangan ini– adalah pula dalam soal menghidangkan, soal memilih cerita yang lebih tepat ternyata Malaya dan India lebih berpengalaman.
Sedikit waktu yang lalu ketika film Malaya membanjiri pasar Indonesia, soal ini hangat dibicarakan. Orang bertanya apa sebabnya? Orang mencari, dimana letaknya kelebihan film Malaya, makanya lebih disukai penonton. Ada yang mengatakan karena teknik film Malaya lebih sempurna, pemotretannya bersih, suaranya empuk. Ada yang mendasarkan kepada P. Ramlee atau Kasma Booty. Lagu-lagunya menarik, kata yang lain pula. Beberapa produser lalu menelaah skenarionya dan mengatakan pembagian sequences: lucu, drama dan sedih secara teratur dan sebagainya.
Dengan tidak mendalami dis ini sebab-sebab yang sebenarnya –karena mungkin juga belum diketemukan– satu kenyataan yang tak dapat disangkal dari film Malaya ialah bahwa penonton berduyun-duyun melihatnya, box-offices dapat memberi bukti dan para exploitant lebih senang memutar film Malaya daripada film Indonesia yang kadang-kadang sesudah main dua malam sudah terpaksa dicabut karena kekurangan penonton.
Hanya satu pelajaran yang dapat diambil dari film Malaya, yaitu: bangsa kita ternyata bisa gemar dan “movie-minded” juga terhadap sesuatu film yang dapat meresap ke sanubarinya. Tetapi selain daripada itu, walaupun berbukti bahwa film Malaya lebih disukai, apakah kita harus meniru? Kalau ditelaah lebih dalam maka nampak jelas kesembronoan dalam pembikinannya. Skenario kerapkali berantakan dan tak dapat dipertanggung-jawabkan. Lelucon-leluconnya banyak yang tengik, permainan banyak yang kaku dan dipaksa. Temanya kebanyakan berkisar disekitar anak yatim piatu, berbini dua, orang miskin menjadi kaya dan lain sebagainya.
Kalau dilihat dari sudut ini alangkah bahagianya produser-prduser film Indonesia yang jauh lebih kaya dengan bahan-bahan yang lebih hidup, lebih hangat dan berjiwa di sekitar alam kita yang terbuka, masyarakat kita yang sedang bergolak, membangun dan …… sedang bobrok! Alangkah bahagianya kita dengan bahan-bahan ini dan disamping itu mempunyai pula kemerdekaan menulis dan berbicara, yang di Malaya terkungkung.
Kalau diselidiki pula para pemain kita jauh lebih tinggi mutunya dari Malaya. Di antara para regisseur kita banyak yang memberi harapan untuk kemudian hari. Beberapa di antara studio-studio kita sedang melengkapi alat-alatnya sehingga dalam waktu yang singkat kiranya dapat mengejar kekurangan kita dalam hal teknik. Di seluruh lapangan kita lebih beruntung, malah dalam satu hal ini ada kelebihan kita yaitu: produser Indonesia, disamping sadar komersil mempunyai tugas nasional terhadap pembangunan industri film. Keinsyafan ini bukan saja terdapat pada para produser, regisseur dan penulis skenario, juga di kalangan pemain.
Faktor pembangunan nasional akan menjadikan pertumbuhan film Indonesia di masa datang sangat menarik dan saya rasa dalam menentukan corak film di masa datang haruslah didasarkan pada keinsyafan ini. Kepada para produser, regisseur dan penulis skenario terserah cara mengolahnya menjadi filmis sehingga menjadi suatu hidangan yang lezat citanya untuk para penonton.
6. Bantuan Pemerintah
Kalau kita hubungkan pemerintah dalam pembangunan industri film Indonesia adalah karena kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para produser dalam menempatkan bahan-bahan dan alat-alat.
Soal ini tak dapat dilihat dari kesulitan-kesulitan yang diderita dewasa ini …an sich, tetapi dipandang keseluruhannya sebagai suatu kewajiban pemerintah untuk di masa datang berdiri di belakang industri film Indonesia, dengan keinsyafan bahwa industri yang sedang berkembang ini harus dipupuk, dibimbing sehingga di satu waktu sampai ke tempat yang dicita-citakan, oleh mereka yang sekarang sedang memperjuangkannya. Dan tempat yang dituju itu bukanlah suatu tempat yang kecil atau rendah, tetapi sangat berarti bagi negara.
Kalau di Amerika industri film sudah dapat menduduki tempat yang ke-2, di Jepang atau India kurang lebih sudah demikian, maka melihat kemungkinan film di Indonesia yang tidak kurang pentingnya di masa datang sudah seharusnya pembangunan industri ini mendapat perhatian sepenuhnya dari pemerintah.
Meskipun industri film dewasa ini masih dalam masa pertumbuhan, tetapi melihat bertambahnya jumlah bioskop terus-menerus dan hasrat kaum produser untuk di satu waktu mengisi bioskop-bioskop ini lebih banyak dengan film sendiri dan mengurangi film impor (deviezen); melihat bertambah banyaknya jumlah independent-producers berhubung dengan kekurangan studio dan kekurangan kapital untuk mendirikan yang baru atau karena sulitnya mendapatkan deviezen, maka sampailah gerangan saatnya bagi pemerintah memikirkan untuk menempatkan seorang ahli yang mengerti seluk-beluk film di Kementerian yang bersangkutan.
Ahli ini dapat berhubungan langsung dengan para produser, mendengar kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi dan berdasar atas pengalaman ini memikirkan dan merancangkan apa yang dapat dibuat untuk mendorong industri baru ini supaya menjadi besar dan menghasilkan untuk negara.
Barangkali banyak terdengar suara mineur [pesimir] dalam uraian saya ini, tetapi dengan membaca yang tersirat (bukan yang tersurat!) seseorang akan memahami optimisme saya tentang film Indonesia di masa datang. Kalau kita menghendaki perbaikan, haruslah lebih dahulu kita memeriksa di mana terletak kekurangan dan kelemahan kita yang harus diperbaiki.
Last but not least, usaha dari Panitya Film Festival Indonesia yang lalu adalah sangat berarti dalam sejarah film Indonesia. Dengan jalan ini mudah-mudahan setiap tahun, akan terdapat kompetisi sehat yang membaikkan, yang meninggikan mutu film Indonesia di masa datang. []